03 Agustus, 2008

Menjadi Mukmin Tak Cukup Hanya dengan Percaya

"Yang Penting Iman, Bukan Agama." Kata Budayawan Romo Mangunwijaya, dalam majalah UMMAT, No. 14 Thn. I, 8 Januari 1996, hal. 45.
Menurut Romo Mangun, agama itu bagaikan sebuah perkawinan, sifatnya sangat eksklusif. Sementara itu, iman memiliki sifat yang inklusif. Karenanya, seharusnya warga negara Indonesia dituntut bukan hanya bagaimana beragama, tetapi bagaimana seharusnya beriman. Karena, orang beragama itu belum tentu beriman.
Agama itu eksklusif, memang begitu karakternya. Sama dengan perkawinan. Agar tidak eksklusivistik, diperlukan iman dalam beragama. Sebab, iman itu inklusivistik, merangkul. Iman merupakan tujuan atau sasaran orang beragama. Agama itu hanya jalan saja.
Orang beriman itu melihat manusia lain sebagai makhluk Tuhan yang perlu disayang, dimengerti, dan dihormati. Kita harus sadar, dalam praktik sehari-hari, orang beragama itu belum tentu beriman.
Di dalam wacana umum yang kita kenal perbedaan orang beriman (Mukmin) dan orang yang tidak beriman (biasanya disebut dengan Kafir), adalah bahwa Mukmin itu orang yang percaya akan adanya Tuhan. Sebaliknya orang Kafir adalah mereka yang tidak percaya akan adanya Tuhan. Namun di dalam realitas sosial, secara obyektif kita nyaris tidak mudah menemukan perbedaan di antara orang-orang yang percaya dan tidak percaya akan adanya Tuhan. Terutama hal itu tampak jelas di dalam aspek perilaku sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Orang akan sulit membedakannya kecuali dari aspek-aspek fisik yang tampaknya (semakin) cenderung lebih bersifat artifisial daripada esensial, sebagaimana dikemukakan di atas.
Keimanan merupakan sebuah kata atau istilah yang sudah demikian sangat lumrah diucapkan maupun didengar dalam kehidupan sehari-hari. Karena sudah sangat lumrahnya itulah barangkali yang menyebabkan hampir tidak ada lagi orang yang peduli dan mau memikirkan atau merenungkan (kembali) apa sebenarnya makna hakiki dari istilah "iman" tersebut. Sehingga tidak mustahil bahwa arti dari kata atau istilah "iman" itu sendiri mengalami perkembangan (sesuai dengan "kodrat" bahasa), pergeseran bahkan penyimpangan yang bisa jadi justru berlawanan dengan makna ketika awal mulanya kata atau istilah itu diciptakan (diucapkan, dimengerti). Sehingga tak pelak, kita mengalami semacam kebingungan atau kerancuan dalam memahami atau memaknai istilah "iman" (semantic confusion).
Dalam kenyataannya, keimanan difahami sebagai perasaan (kepercayaan) hati yang terdalam dari diri seseorang. Jadi, ruang-lingkup iman yang telah disama-artikan dengan "percaya" tersebut, semata-mata adalah di dalam hati. Atau dengan kata lain, keimanan adalah urusan (yang letaknya di) hati sehingga hanya orang bersangkutan dan Tuhan-lah yang mengetahuinya. Seolah-olah iman "tidak berkaitan langsung" dengan ucapan maupun perilaku pribadi maupun sosial. Sehingga tidak mengherankan bila sampai terjadi peristiwa orang berantem atau bahkan berperang saling bunuh dan menghancurkan, sama-sama atas Nama Tuhan yang sama (religious violence), sebagaimana hal itu terjadi di dalam sejarah agama-agama besar dunia.
Kalau kita tinjau kembali pengertian "iman" sebagaimana yang diajukan dalam al-Qur'an dan diajarkan oleh Rasulullah Muhammad saw., maka "iman" adalah "Ikatan hati yang diikrarkan melalui lisan dan diamalkan melalui laku-perbuatan" (HR. Ibnu Majah) atau dengan redaksi yang lain, "Iman" dapat didefinisikan sebagai keyakinan hati atau dasar pendirian yang menggema dalam ucapan dan kemudian menjelma dalam tindakan (laku perbuatan). Jadi dengan kata lain ruang-lingkup pengertian "iman" menurut Hadits tersebut meliputi isi hati, ucapan, dan perbuatan (meliputi seluruh aspek hidup seseorang).
Apa yang ada dalam hati seseorang bila diungkapkan atau dinyatakan dengan lisan biasanya disebut sebagai pendapat atau pandangan orang tersebut. Sedangkan suatu tindakan atau perbuatan yang didahului oleh pandangan tertentu biasanya disebut dengan sikap. Hal ini untuk menegaskan perbedaan antara sebuah sikap dengan yang sekedar gerak refleks yaitu gerak tak sadar alias spontan. Sehingga secara lebih komprehensif keimanan seseorang berarti merepresentasikan pandangan dan sikap hidup orang tersebut.
Kemudian, apa yang menjadi isi hati yang menjadi ikatan hidup seseorang? Di dalam al-Qur'an, antara lain dijelaskan, "yu'minuuna bimaa unzila ilaika wa maa unzila min qablika" (Q.S. al-Baqarah: 4). Beriman dengan apa yang diturunkan kepada Anda dan dengan apa yang diturunkan sebelum Anda. Apa yang diturunkan kepada kita adalah al-Qur'an, dan yang diturunkan kepada umat sebelum kita adalah Taurat, Zabur, Injil dll. Namun dalam ayat yang lain (Q.S. al-'Ankabut: 52) disebutkan bahwa alternatif iman tidak hanya dengan ajaran yang diturunkan oleh Tuhan saja, tetapi bisa dengan selain ajaran Tuhan yang disebut dengan ajaran bathil. Bahkan dalam surah an-Nisa': 51 dinyatakan bahwa ada manusia yang menanggung derita sosial akibat beriman dengan ajaran jibti (wishful thinking spiritualism) dan ajaran thaghut (overdose materialism).
Jadi, "iman" secara umum adalah pandangan dan sikap hidup berdasarkan ajaran yang diturunkan dari Tuhan dan atau dengan ajaran-ajaran selainnya. Sedang secara khusus dapat disebut bahwa mereka yang beriman dengan ajaran Allah (al-Qur'an) sebagaimana diwujudkan dan dibuktikan dalam kehidupan para Rasul-Nya adalah Mukmin haq (Q.S. al-Baqarah: 119, 213; al-Imran: 2, 86) atau biasanya cukup disebut dengan Mukmin saja. Sedang mereka yang tidak beriman dengan al-Qur'an sebagaimana Sunnah para Rasul, disebut Mukmin bahtil (Q.S. Maryam: 84; al-Baqarah: 168, 208; al-An'am: 142) atau yang biasa disebut dengan istilah Kafir. Lalu kalau kita benar-benar telah menyatakan diri sebagai Mukmin sejati, apakah layak melakukan tindakan bermusuhan, apalagi berperang dengan sesama orang yang juga menyatakan diri beriman, menodai keadilan, mengabaikan musyawarah, merusak lingkungan (sosial dan alam), korupsi, dan lain-lain, dimana hal itu semua bertentangan dengan perintah di dalam al-Qur'an? Bahkan bertentangan dengan seluruh Kitab Suci yang kita imani, yang kita percayai dengan sepenuh-penuhnya, yang menjadi pandangan dan sikap hidup para Mukmin sejati.

Adib Susila Siraj
Technorati Profile

1 komentar:

Ajib Setya Budi mengatakan...

Mukmin, demikian itulah bunyinya. Ada beberapa indikator mukmin diantaranya :
1. Bila disebut nama-Nya bergetar hatinya.
2. Bila dibacakan ayat-ayatnya, semakin bertambahlah Imannya.
3. Rela berkorban demi untuk-Nya
4. Ingin selalu dekat dengan-Nya
Kapan sja dan dimana saja selalu ingat (sadar) untuk hidup dengan ajarannya.