16 Agustus, 2008

Ideologi yang Salah Kaprah

Masyarakat yang tidak memahami dirinya sendiri adalah masyarakat tanpa karakter. Problemnya, masyarakat seperti ini sering menolak kritik terhadap dirinya sendiri, bahkan enggan mengakui kebenaran sejarah yang sudah membentuk dirinya hingga sekarang.
Sejarah kelam ditutup-tutupi tanpa mau mengakui sebagai bagian dari kenyataan hidup masa lalu. Padahal, pengakuan akan kesalahan masa lalu ini penting untuk perjalanan hidupnya di masa depan.

Begitu juga dengan ideologi Pancasila sebagai ideologi negara. Itu merupakan salah kaprah yang rumit secara akademik. Berbicara soal ideologi, mestinya orang merujuk pada liberalisme, sosialisme, dan hampir tidak pernah merujuk pada Pancasila.
Itu sebabnya ketika orang berbicara matinya ideologi, orang lantas berpikir berakhirnya ideologi besar, seperti liberalisme dan sosialisme, karena dianggap gagal memberikan kesejahteraan dan kemakmuran kepada manusia. Kemudian juga muncul usaha perbaikan, seperti neoliberalisme dan yang lainnya. Namun, di Indonesia lalu muncul pembelaan bahwa ideologi Pancasila tidak bisa mati.
"Padahal konteksnya bukan di situ," ujar Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Dr Gumilar Rusliwa Somantri yang ditemui di ruang kerjanya di Kampus FISIP UI Depok awal pekan ini.
Gumilar, bapak tiga anak ini, punya klangenan ikan koi dan aktif sebagai pengelola Paguyuban Pelestarian Satwa Langka Perkutut. Berikut petikan pembicaraan dengannya.

Bukankah ideologi membimbing manusia dalam membangun relasi sosial untuk kehidupannya, tapi mengapa dikatakan ideologi sudah berakhir?
Ideologi memang membantu kita memahami sesuatu dan memberi tuntunan bagaimana meraih sesuatu. Tetapi berakhirnya ideologi itu terkait dengan ideologi besar yang punya pengaruh luar biasa dalam pemikiran sosial, seperti liberalisme dan sosialisme, yang kemudian dianggap tak lagi bisa menjawab tuntas problem yang dihadapi manusia sekarang. Itu sebabnya muncul pandangan yang mengatakan ideologi sebaiknya ditinggalkan saja.

Lantas apa yang dipakai, apa ideologi tidak dibutuhkan?
Orientasi perhatian sekarang tidak perlu dipatok pada satu ideologi, tetapi langsung ke tujuan akhirnya, yaitu bagaimana memberikan perhatian dan meningkatkan kesejahteraan manusia. Seperti di Indonesia, ilmuwan sosial ditantang oleh kondisi kehidupan kebangsaan dan lingkungan global yang dinamis. Dalam konteks sosio-politik, ekonomi dan kebudayaan di tingkat nasional pun terjadi perubahan luar biasa. Demokratisasi berjalan cepat, keterlibatan dalam ekonomi pasar dunia makin masif, dan masyarakat sipil punya peran yang mulai diperhitungkan.
Problem kebangsaan muncul berlapis. Masalah lingkungan, pertanian, pangan, kriminalitas, kemiskinan, pengangguran, bahkan politik sektarian. Politik sektarian makin mengental sejak berlangsungnya reformasi 1998. Saat inilah masyarakat seperti tersadarkan tentang pentingnya falsafah berbangsa. Tatkala kebhinekaan ditentang dan diharamkan, terasa sekali bahwa wilayah publik perlu koridor yang disepakati bersama.

Wilayah publik itu batasannya apa?
Saya pikir, Pancasila sebagai falsafah hidup bersama bisa menjadi koridor dalam hidup bersama. Pancasila itu menjadi ruang publik pergulatan pemikiran, koridor kebebasan dalam menerapkan sektarian, dan bukan menjadi ideologi tersendiri yang mencampuradukkan ideologi besar yang ada.
Pendiri bangsa telah merumuskan Pancasila untuk menjadi falsafah hidup dalam berbangsa dan bernegara. Ketika negara ini lahir, pemimpin kita waktu itu berpikir tentang apa saja syarat yang harus ada untuk berdirinya sebuah negara. Salah satunya, ya falsafah itu.

Mengapa Pancasila ditinggal?
Orde Lama menggiring Pancasila pada ortodoksi ideologis Manipol-Usdek, bahkan konsepsi simplistik Nasakom. Sementara pada awal kekuasaan Soeharto, masyarakat melihat Pancasila sebagai dasar negara dalam satu rangkaian integratif dengan UUD 1945. Dan secara konteks sosio-politik ketika itu, masyarakat tampaknya juga setuju melaksanakan doktrin Pancasila dan UUD 1945. Pada sebagian elite politik terutama militer, yakin Pancasila tak dapat dihapus, apalagi diganti dengan komunisme.
Namun, pada masa Soeharto ini terjadi ideologisasi, bahkan mistifikasi Pancasila yang kentara. Pancasila dijadikan instrumen politik menjaga kelestarian status quo. Padahal, langkah ini jelas jauh dari semangat pemimpin bangsa di masa pergerakan kemerdekaan. Bahkan, lebih parah lagi, Orde Baru menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berpolitik.
Kondisi ini membuat bangsa menistakan falsafah hidupnya yang dibangun pendiri bangsa ketika terjadi reformasi dan pergantian rezim. Sistem politik Orde Baru yang menekankan asas tunggal itu telah mengguratkan luka sejarah yang mendalam. Misalnya, telah membagi masyarakat dalam kotak Pancasilais atau tidak. Sejarah berulang, anomalis sisi positif dan penistaan sisi negatif muncul lagi dalam kehidupan berbangsa.
Logika umum yang berlaku dalam realitas sosial-politik, anomali yang direpresentasikan dalam wujud dendam politik aktor di setiap proses besar perubahan sosial kepada pendahulunya. Penguasa yang runtuh adalah penguasa yang kalah. Karena itu, perubahan sosial menjadi milik pemenang. Maka, pemenanglah yang dianggap berhak dan mendapat giliran melakukan pemaknaan atas realitas dan berkuasa memberi penilaian benar salah.

Lantas Pancasila pun dianggap bagian kelompok kalah?
Ya, Pancasila dianggap sebagai bagian yang harus dihancurkan karena dianggap analog dengan Orde Baru. Padahal, Pancasila itu falsafah dasar dalam hubungan sosial kemasyarakatan, sebagai core value dan bukan milik Orde Baru. Nyatanya, banyak nilai ideal Pancasila itu yang tidak sesuai dengan kenyataan Di sinilah problem besar lain. Implementasi prinsip Pancasila sering melahirkan sikap kontradiktif. Prinsip kemanusiaan dalam perjuangan penegakan HAM dapat dinilai radikal dan tidak sesuai dengan kebudayaan Indonesia. Prinsip nasionalisme dapat diartikan sebaliknya sebagai isolasi kebudayaan, penolakan gagasan liberalisme, dan resistensi kebudayaan.
Prinsip demokrasi bisa kontradiksi dengan kebijaksanaan elite yang mengklaim kebenaran dengan menggunakan "konsensus nasional". Yang menyedihkan, prinsip keadilan sosial tidak mampu mengatasi kesenjangan sosial antara minoritas yang memiliki keistimewaan dan mayoritas yang marjinal. Tampaknya, dari sisi ini kita melihat betapa core value itu gagal menampilkan fakta sosial yang diinginkan.

Apa yang bisa kita lakukan?
Dulu Soekarno dan pendiri bangsa ini berpikir Pancasila dapat menjadi solusi bagi benturan ideologi besar yang dianut masyarakat. Mereka berusaha merangkumnya dalam satu kesepakatan bersama yang lalu kita kenal sebagai Pancasila. Soeharto melakukannya dengan menekan ideologi lain dan menjadikan Pancasila sebagai ideologi tunggal. Namun juga tidak menyelesaikan masalah. Saya pikir yang terbaik adalah membiarkan ideologi yang dianut masyarakat hidup, tetapi tak boleh melanggar batas kebebasan, yaitu Pancasila yang menjadi falsafah dasar berbangsa dan hidup bersama. Itu saja ....

Oleh IMAM PRIHADIYOKO, KOMPAS, 25 November 2006

Tidak ada komentar: