12 November, 2012

Mengapa UU Bahasa Diabaikan?


Adakah undang-undang (UU) yang tidak mencantumkan ketentuan pidana? Apa yang bisa memaksa orang mematuhi sebuah UU bila di dalamnya tak tercantum pasal-pasal tentang sanksi bagi pelanggarnya? Untuk apa dibuat UU bila tidak untuk dipatuhi atau dilaksanakan?

Hingga kini tampaknya hanya UU Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan yang benar-benar aneh (tapi nyata). UU "4 dalam 1" ini jelas mengandung diskriminasi. Siapa saja yang melanggar pasal-pasal yang menyangkut bendera, lambang negara, dan lagu kebangsaan dihukum Rp 100 juta hingga Rp 500 juta atau pidana penjara setahun hingga lima tahun. Anehnya, tak satu pasal pun menjelaskan sanksi bagi pelanggar pasal-pasal tentang bahasa.

Pantaslah ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berpidato resmi dengan bahasa Inggris beberapa waktu lalu tak bisa dituntut secara hukum. UU yang disahkan Presiden SBY pada 9 Juli 2009 ini menyatakan, bahasa Indonesia berfungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu bangsa, serta sarana komunikasi antar daerah dan antar budaya daerah. Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi melalui media massa. Media massa dapat menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing yang mempunyai tujuan atau sasaran khusus.

UU ini mewajibkan pemerintah mengembangkan, membina, melindungi bahasa dan sastra Indonesia. Pengembangan, pembinaan, dan pelindungan dilakukan secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan oleh lembaga kebahasaan. Pemerintah juga wajib meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan.

Tentang bahasa negara yang diatur dalam Bab III Pasal 25-45, penuh dengan kata wajib (ada 18 kata wajib dalam 17 pasal). Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam peraturan perundang-undangan, dokumen resmi negara, dan pidato resmi presiden, wakil presiden, dan pejabat negara lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri.


Bahasa ini juga wajib digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional, pelayanan administrasi publik di instansi pemerintahan, dan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Indonesia, lembaga swasta Indonesia, atau perseorangan warga negara Indonesia.

Bahasa Indonesia juga wajib dipakai dalam forum yang bersifat nasional atau bersifat internasional di Indonesia, komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta, laporan setiap lembaga atau perseorangan kepada instansi pemerintah, penulisan dan publikasi karya ilmiah di Indonesia, nama geografi di Indonesia, nama-nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.

Bahasa nasional ini pun wajib digunakan pada rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum, seperti informasi melalui media massa, dan informasi tentang produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia.

Semua kata wajib dalam UU ini sama sekali tak berpengaruh karena tidak mengikat, tanpa sanksi hukum. Dalam kehidupan sehari-hari sangat mudah kita menemukan berbagai pelanggaran terhadap kata wajib dalam UU ini. Dan tentu saja tak pernah ada seorang pun yang terkena hukuman. Lihatlah nama-nama pusat pertokoan, kompleks perumahan, lembaga-lembaga pendidikan, judul-judul buku, film, sinetron, nama-nama program radio dan televisi swasta, serta nama-nama rubrik di media massa cetak, dan dalam jaringan. Mereka telah melanggar UU tersebut secara terang-terangan tanpa merasa bersalah, apalagi takut.


Memang, pemerintah, menurut UU tersebut, wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa Indonesia. Pengembangan bahasa ini meliputi upaya memoderenkan bahasa melalui memperkaya kosakata, pemantapan dan pembakuan sistem bahasa, pengembangan laras bahasa, serta mengupayakan peningkatan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional.

Pembinaan meliputi peningkatan mutu berbahasa melalui pembelajaran bahasa di semua jenis dan jenjang pendidikan serta pemasyarakatan bahasa ke berbagai lapisan masyarakat. Selain itu, pembinaan juga untuk meningkatkan kedisiplinan, keteladanan, dan sikap positif masyarakat terhadap bahasa Indonesia. Perlindungan bahasa meliputi upaya menjaga dan memelihara kelestarian bahasa lewat penelitian, pengembangan, pembinaan, dan pengajarannya.

Melalui media ini kita mengusulkan agar pemerintah (presiden) dan DPR segera merevisi UU tersebut. Khususnya Bab III tentang Bahasa Negara harus diatur secara normal, tidak diskriminatif, dan ada sanksi hukum bagi para pelanggar yang tak melaksanakan kewajibannya.

Namun, bila soal perilaku berbahasa dianggap tak perlu diatur oleh UU, mohon dicabut saja segera Bab III (Bahasa Negara) dari UU tersebut. Jadi, UU itu cukup mengatur bendera, lambang negara, dan lagu kebangsaan saja. Biarkanlah setiap warga negara ini berperilaku berbahasa sesuka hati. Biarlah setiap orang bertanggung jawab secara moral dan sosial belaka dalam hal berbahasa Indonesia.

S Sagala Tua Saragih
Dosen Program Studi Jurnalistik
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung

REPUBLIKA, 1 November 2012

03 November, 2012

Mimpi Perlindungan TKI


Kalau sampai hari ini masih ada yang berpikir bangsa Indonesia telah berada pada trek yang benar sebagai negara maju dan tak mungkin tersesat ke arah negara yang gagal, mungkin itu hanya para pemimpi di siang hari.

Begitu juga jika masih ada yang berbuih-buih mulutnya mengatakan pemerintah telah melakukan pelindungan yang optimal terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, itu mungkin karena mereka memang tak hendak bangkit dari tidur panjangnya. Tak usah dibangunkan, sudah terlalu boros bangsa ini membuang energi untuk membuka lebar-lebar mata mereka yang pejam permanen.

Tak aneh karenanya ketika TKI dilecehkan, mengalami berbagai macam kekerasan hingga nyawa dan kehormatan sekalipun tak mampu dipertahankan, tak pernah tebersit bahwa mereka itu saudara kita, sebangsa dan setanah air. Berasal dan memijak bumi yang sama, bumi pertiwi yang sama-sama kita cintai.

Beberapa hari terakhir, masyarakat Indonesia terenyak dengan terkuaknya iklan yang tersebar di Malaysia dengan judul “Indonesian Maids Now on Sale”. Sungguh sebuah iklan pelecehan dan penghinaan tak hanya kepada bangsa Indonesia, tetapi juga terhadap nilai-nilai kemanusiaan pada era ketika perbudakan terhadap manusia menjadi musuh bersama dalam kehidupan ini.


Diobral dengan diskon 40 persen, siapa saja di Malaysia bisa mendapatkan pekerja rumah tangga (PRT) migran Indonesia. Namun, ironisnya, tidak semua warga Indonesia terkejut dengan adanya iklan ini. Dengan mekanisme penempatan dan perlindungan TKI yang karut-marut, mestinya sudah dapat diprediksi gejala-gejala bisnis semacam itu di Malaysia, khususnya selama moratorium. Terlebih, perspektif TKI sebagai komoditas untuk menghasilkan devisa secara instan tak kunjung berubah di kalangan elite pemerintah ini.

Munculnya iklan yang mengobral TKI di Malaysia sebenarnya hanya puncak dari fenomena gunung es dari paradigma komodifikasi oleh Pemerintah Indonesia yang memberikan bobot bisnis penempatan TKI lebih dominan daripada perlindungannya. Besarnya peran swasta (Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta/PPTKIS) dalam pengiriman TKI yang dilegalisasi dalam UU Nomor 39 Tahun 2004 telah memperkuat skema migrasi dengan biaya tinggi yang mengakibatkan TKI terjerat utang secara sistematis.

Situasi ini secara perlahan menggeser dimensi HAM dalam penempatan buruh migran sehingga penempatan TKI menjadi industri dan kerajaan bisnis. Sementara, Pemerintah Indonesia cenderung membiarkan praktik tersebut dengan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum. Untuk itu, sikap dan langkah cepat Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa yang memprotes keras iklan tersebut kepada Menlu Malaysia patut diapresiasi. Begitu juga langkah tanggap Pemerintah Indonesia yang telah mengirimkan nota protes diplomatik kepada Pemerintah Malaysia.


Sindikat “Trafficking
Menganggap iklan ini hanya sebagai kreativitas orang-orang iseng dan berujung pada kedai potong rambut sungguh sangat memprihatinkan dan patut disayangkan. Apalagi itu diucapkan oleh seorang menteri yang semestinya berada pada garda terdepan untuk melindungi TKI. Selugu inikah bangsa ini berhadapan dengan mafia dan sindikat trafficking yang menghalalkan berbagai macam cara untuk mendapatkan keuntungan?

Atau, jangan-jangan memang ada yang tak ingin sindikat perdagangan PRT migran Indonesia di Malaysia ini benar-benar terbongkar. Kecurigaan ini wajar karena hal ini sangat berkaitan dengan nilai ekonomi yang sangat tinggi. Sejak 29 Juni 2009, Pemerintah Indonesia memutuskan kebijakan moratorium ke Malaysia, hingga moratorium dicabut pada Desember 2011, dan penempatan PRT migran di Malaysia dibuka pada Maret 2012.

Sesungguhnya praktik penempatan tidak berhenti sama sekali. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa semasa moratorium, sekitar 22.000 permit kerja untuk PRT Indonesia diterbitkan oleh Malaysia. Dan pasca-moratorium, bulan Juli hingga September 2012, pemerintah mengaku hanya menempatkan 64 PRT migran Indonesia di Malaysia, tetapi nyatanya sekitar 14.000 permit kerja dan Job Performance Visa sudah diterbitkan oleh Pemerintah Malaysia.

Sekadar gambaran, biaya penempatan (cost structure) PRT migran Indonesia di Malaysia adalah 12.000 ringgit (sekitar Rp 38.400.000) yang harus dibayar oleh majikan di Malaysia dan 3.850 ringgit (sekitar Rp 12.320.000) yang harus dibayar PRT migran Indonesia dengan cara potong gaji selama 7 bulan. Hal ini berbanding terbalik dengan gaji PRT migran di Malaysia yang hanya 550 ringgit atau sekitar Rp 1.760.000.

Oleh karena itu, dengan menganggap fiktif iklan ini, sama saja dengan menutup mata terhadap kejahatan trafficking yang jelas-jelas berada di depan mata. Atau memang sengaja menutup kasus ini agar borok dan kobobrokan yang terjadi selama moratorium tak terungkap sehingga mereka dapat terus melanjutkan mimpi-mimpinya di atas singgasana penderitaan para pekerja.


Bertepuk Sebelah Tangan
Tiga tahun moratorium yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia tak ditanggapi secara serius oleh Pemerintah Malaysia. Karena fakta di lapangan menunjukkan Pemerintah Malaysia senantiasa mengeluarkan permit kerja kepada PRT migran asal Indonesia. Hal ini sungguh sangat melecehkan kewibawaan bangsa ini.

Posisi setara antara Pemerintah Malaysia dan Indonesia yang selalu didengungkan para pemimpi itu tampak hanya bualan dan imajinasi fiktif. Faktanya, Pemerintah Indonesia hanya bertepuk sebelah tangan selama moratorium. Oleh karena itu, wajar kiranya jika moratorium selama ini tidak banyak meninggalkan jejak yang berarti bagi perbaikan perlindungan untuk TKI.

Nota kesepahaman (MOU) yang direvisi dengan dua klausul baru, yakni paspor dipegang oleh TKI dan adanya hari libur bagi PRT migran, secara normatif menjanjikan masa depan baru bagi buruh migran. Namun, hal ini belum dapat menjamin perlindungan mereka selama komodifikasi TKI terus dilanggengkan.

Akhirnya, sudah terlalu sering bangsa Indonesia disakiti, baik oleh sikap maupun kebijakan Pemerintah Malaysia kepada para TKI di sana. Bukan rahasia lagi bila banyak TKI yang menjadi korban kekerasan di Malaysia, baik oleh majikan maupun oleh sindikat trafficking yang menggurita hampir di setiap sel dalam institusi yang legal dan ilegal. Bahkan, tidak sedikit para TKI yang tewas dan menjadi korban kesewenang-wenangan polisi di Malaysia.

Untuk itu, bila bangsa ini, yang dimotori oleh presiden sebagai kepala negara, tak mau mengambil sikap tegas dan menganggap remeh pelecehan terhadap harkat dan martabat PRT migran Indonesia yang bekerja di Malaysia, sesungguhnya kita memang sedang diajak bermimpi.

Anis Hidayah
Direktur Eksekutif Migrant Care
KOMPAS, 2 November 2012