20 Juni, 2018

Malumologi Sorakan Terhadap Anies


Masih terhanyut suasana saling memaafkan nan indah permai pada hari kedua Idul Fitri, saya terhenyak ketika menyimak dua naskah yang dimuat sebuah media online.

Dua naskah menghenyakkan itu yang satu berjudul “Dimensi Politik Menjijikkan di Istana Bogor, pada Hari Raya” tulisan Pradipa Yoedhanegara dan yang satunya lagi berjudul “Self Defeating Disorder” tulisan Zeng Wei Jian.

Kedua naskah tersebut merupakan ulasan terhadap suatu peristiwa yang terjadi pada acara Open House Idul Fitri di Istana Kepresidenan di Bogor.

Pada saat itu ada sekelompok (tidak semua) masyarakat yang sedang antri mengucapkan Selamat Lebaran kepada Presiden Jokowi, menyoraki Gubernur Anies Baswedan yang juga datang ke Istana Bogor untuk mengucapkan Selamat Lebaran kepada Presiden Jokowi.


Kelas Langitan
Kedua penulis naskah sama-sama mengulas sorakan terhadap Gubernur Anies pada acara Open House Idul Fitri di Istana Bogor. Meski sama sasaran, namun ulasan mereka berdua tak serupa gaya dan sisi. Pradipa mengulas masalah secara lembut dan membelai dari sisi kultural sementara Zeng mengulas masalah secara tajam dan menusuk dari sisi psikologi gangguan mental.

Pradipa menyayangkan peristiwa yang disebutnya dimensi politik menjijikkan sebagai suatu peristiwa yang memalukan sebab merusak keindahan suasana saling memaafkan lahir-batin pada masa Lebaran.

Zeng mengasihani para pendukung Ahok yang menderita gangguan mental sehingga tidak mampu beranjak move on akibat terjebak dendam kesumat akibat junjungan mereka telak dikalahkan Anies pada Pilkada Jakarta gara-gara mayoritas warga Jakarta lebih suka Anies ketimbang Ahok.

Sementara Pradipa mendambakan “Das Sollen” , Zeng menertawakan “Das Sein”. Namun terlepas gaya dan sisi ulasan mereka berdua, saya menghormati dan menghargai Pradipa Yoedhanegara dan Zeng Wei Jian sebagai para penulis kritik sosial kaliber sakti mandraguna kelas langitan.

Pradipa Yoedhanegara (kiri), Anies Rasyid Baswedan (tengah), Zeng Wei Jian (kanan).

Memalukan
Ada dua jenis sorakan yaitu yang melecehkan dan yang memuja. Saya tidak hadir pada saat peristiwa Anies disoraki terjadi di Istana Bogor maka saya tidak mengetahui jenis sorakan tersebut.

Apabila ternyata sorakan terhadap Anies di Istana Bogor bersifat memuja maka berarti Pradipa dan Zen sama-sama keliru tafsir.

Namun andaikata ternyata sorakan terhadap Anies tergolong jenis sorakan yang melecehkan maka saya pribadi sangat berterima kasih kepada para pesorak yang seirama-senada dengan pe-walk out ketika Gubernur Anies pidato atas permintaan panitia perayaan 90 tahun Kolese Kanisius.

Mereka telah berkenan memberikan contoh nyata perilaku memalukan akibat tidak tahu malu. Contoh-contoh perilaku memalukan akibat tidak tahu malu itu sangat berharga demi melengkapi isi buku Malumologi yang sedang saya susun.

Jika ada yang tidak berkenan, maka pada hari kedua Idul Fitri ini saya memberanikan diri untuk memohon maaf lahir dan batin.

Jaya Suprana
Penulis adalah peneliti perasaan yang disebut sebagai malu yang hasilnya akan dimuat di dalam buku MALUMOLOGI
Acara “Menuju Peradaban”
Sabtu, 16 Juni 2018
http://rmol.co/read/2018/06/16/344277/Malumologi-Sorakan-Terhadap-Anies-



Dimensi Politik Menjijikkan di Istana Bogor pada Hari Raya

Open House yang dilakukan oleh Presiden Jokowi pada hari pertama perayaan Idul Fitri 1439 H yang dilaksanankan di Istana Bogor tercoreng, oleh perilaku memalukan dan tidak terpuji para pendukung rezim yang menyoraki kedatangan Gubernur DKI, Anies Rasyid Baswedan yang datang bersilaturahmi kepada Presiden Jokowi.

Momentum Hari Raya seharusnya dijadikan sebagai ajang untuk saling bermaaf-maafan oleh semua pihak karena dengan perayaan Idul Fitri tersebut seluruh umat manusia di muka bumi ini kembali kepada kesucian dirinya yaitu menjadi fitrah kembali seperti bayi yang baru dilahirkan di dunia ini.

Sorakan yang dilakukan oleh para pendukung Presiden Jokowi di Istana Bogor, terhadap Gubernur DKI Anies Rasyid Baswedan, pada Hari Raya Idul Fitri adalah suatu tindakan yang tidak terpuji, sangat memalukan dan mempermalukan kita semua sebagai sebuah bangsa, yang sedang merayakan Hari Kemenangan bagi umat Islam.


Jadi jelaslah kini, perilaku memalukan tersebut sepertinya sudah menjadi budaya bagi para pendukung rezim, sebagai akibat dari kekalahan Ahok pada Pilkada tahun lalu (2017). Dan mungkin juga merupakan bentuk ketakutan para pendukung rezim apabila kelak Anies Rasyid Baswedan berpasangan dengan Prabowo Subianto untuk maju sebagai penantang Presiden Jokowi pada Pilpres tahun 2019.

Perilaku memalukan yang terjadi di Istana Negara tersebut, seharusnya dapat dicegah oleh pihak Paspampres atau pun pihak keamanan lainnya dengan memberikan teguran keras terhadap orang ataupun kelompok yang meneriaki Gubernur Anies. Karena dampak dari cemoohan mereka terhadap Gubernur Anies pada akhirnya semakin membuat Tuan Presiden tergerus citranya di hadapan publik.

Di era digital society seperti saat ini, perilaku seperti itu seharusnya dapat dihindari. Sebab pada akhirnya publik akan menilai para pendukung rezim saat ini bukanlah orang-orang terpuji yang memiliki jiwa dan karakter kenegarawanan. Mereka akan dianggap sebagai manusia pembenci yang selalu menyimpan dendam serta permusuhan. Bahkan di saat umat Muslim di seluruh dunia saling bersilaturahmi dan saling bermaaf-maafan.

Miris sekali perilaku para pendukung rezim yang mengaku paling Pancasilais dan paling mencintai Indonesia, serta merasa paling Bhinneka, tapi ternyata itu semua bohong belaka. Karena jelas sudah perilaku yang mereka pertontonkan di hadapan publik saat Idul Fitri, bukanlah cermin dari sikap seorang Pancasilais yang mencintai NKRI, dan sama sekali tidak menghargai kebhinekaan yang sering mereka suarakan.


Secara pribadi saya ingin menyatakan, perilaku intoleran yang dilakukan oleh pendukung rezim terhadap Gubernur Anies Rasyid Baswedan saat perayaan Hari Kemenangan tersebut, adalah hal paling menjijikkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Para pendukung rezim sepertinya tidak tahu bagaimana memaknai Idul Fitri dan menjalin silaturahmi di hari yang dipenuhi rahmat dan karunia dari Sang Khaliq.

Untuk itu sudah selayaknya bila pihak istana membuat pernyataan kepada publik dengan meminta maaf kepada Gubernur Anies, atas sikap konyol yang dilakukan oleh para pendukung Tuan Presiden Jokowi, yang sudah sangat keterlaluan dan berlebihan tersebut. Dan juga telah sangat mencoreng Lembaga Kepresidenan, karena hal tersebut dilakukan di dalam Istana Bogor.

Sebagai pesan penutup, semoga saja agenda open house di acara Hari Raya pada tahun yang akan datang tidak terjadi lagi hal yang memalukan seperti ini. Dan berharap para pendukung maupun relawan #2019GantiPresiden agar tidak mengikuti perilaku tidak terpuji seperti yang dilakukan oleh para pendukung rezim saat ini.

Wallahul Muwaffiq ila aqwami-thoriq,
Wassalamu ‘alaikum Wr, Wb.

Pradipa Yoedhanegara
Sepinggan, 15 Juni 2018
https://pribuminews.co.id/2018/06/15/dimensi-politik-menjijikan-di-istana-bogor-pada-hari-raya/
http://www.swamedium.com/2018/06/15/dimensi-politik-memalukan-di-istana-bogor-pada-hari-raya/2/


Self Defeating Disorder

“Revolusi Mental” itu sukses; soraki Anies-Sandi di Istana Bogor. Clair et distinct (bahasa Prancis, jelas dan terperinci) Tadinya, saya kira “Revolusi Mental” itu berarti makan keong, cabut meteran listrik, tanam cabe sendiri, cacing itu bergizi dan “tawar dong”, sewaktu harga beras meroket.

Tak ubahnya segerombolan simpanse di musim kawin, in tropical jungle, mereka bersuara gaduh. Mereka berbunyi nyaring saat melihat Anies-Sandi memasuki Istana Bogor.

Anies-Sandi datang menghadap Presiden. Bersilaturrahmi kepada Kepala Negara. Sebuah etika pemerintahan. Sebuah adab orang-orang beragama.

Pola tingkah-laku gerombolan “Revolusi Mental” itu persis digambarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-III-R) tahun 1987. Presisi dan akurasinya amazing.

Pola tingkah-laku itu disebut “Self-defeating personality disorder”. Kurang-lebih artinya “kerusakan mental orang-orang yang kalah”.


Ya, mereka kalah dua digit dalam Pilkada Jakarta. Sakitnya tuh di sini. Riset menyatakan amarah menstimulasi bagian-bagian otak. Amygdala mengaktivasi hypothalamus. Akhirnya, pituitary triger sekresi hormon-hormon cortisol, adrenaline dan noradrenaline.

Bila terus-terusan marah, mereka bisa gila permanen. Semuanya bermula dari “Self-defeating personality disorder” itu.

Ada beberapa indikasi; mereka “chooses people and situations that lead to disappointment, failure, or mistreatment” dan “rejects opportunities for pleasure, or is reluctant to acknowledge enjoying themselves (despite having adequate social skills and the capacity for pleasure)”.

Mereka pilih Anies-Sandi sebagai sumber frustrasi kalah di Pilkada. Proyek-proyek dan mimpi mereka musnah.

Gerombolan ini tolak bantuan sosial dan medis. Anies-Sandi merilis Program Rumah DP 0 (Nol) Rupiah. Tapi mereka lebih memilih hidup dalam kegelapan dendam dan amarah. Kasihan sekali orang-orang ini.

The End

by Zeng Wei Jian
https://www.facebook.com/search/top/?q=Zeng%20Wei%20Jian


Terbuat dari Apa Hatimu, Bang Anies?

Kalau yang menghina pejabat di medsos bisa ditangkap, dipenjarakan. Bagaimana kalau yang menghina secara langsung? Tak terbayangkan.

Tapi Anies Baswedan masih bisa tersenyum ramah saat disoraki oleh relawan lawan politiknya. Kalau saja saya yang “dibegitukan”, apakah saya masih bisa tersenyum lepas? Kayanya nggak mungkin. Begitulah kelakuan norak “sejumlah warga” saat Anies ikut hadir dalam open house yang diadakan oleh Presiden Jokowi di Istana Bogor.

Terbuat dari apa hatimu Bang Anies?

Kejadian ini bukan kali pertama. Anies juga disoraki oleh “kaum tempurung” yang norak permanen saat menghadiri pernikahan putri Jokowi, Kahiyang Ayu di Solo. Namun, Anies masih tetap bisa menebar senyum lepas.


Terbuat dari apa hatimu Bang Anies?

Anies juga dipermalukan saat ditahan oleh Paspampres, nggak boleh ikut rombongan pejabat dalam acara Piala Presiden (ketika itu Persija-Jakarta, juara). Tidak nampak ada kemarahan dalam wajahnya, juga tak ada ucapan bernada marah setelahnya.

Terbuat dari apa hatimu Bang Anies?

Ini indikasi permusuhan, yang menjelaskan sebenarnya keterbelahan warga itu bermula dari kelompok sebelah mana!? Nggak heran kalau belakangan ini kelompok “bani sorak” berencana bikin acara Rembuk Nasional sambil memaki, dan menantang kelompok lainnya. Cuma bisa bilang, rembuk ndasmu!

Balya Nur
Penulis adalah pegiat media sosial
http://www.swamedium.com/2018/06/16/terbuat-dari-apa-hatimu-bang-anies/