16 Desember, 2016

Organisme Rakyat dan Umat Islam


Dari Pulau Seribu hingga 411 dan 212 saya menemukan, menyaksikan dan merasakan dengan penuh sukacita dan rasa syukur, bahwa ternyata Allah tidak meninggalkan rakyat kecil dan Umat Islam Indonesia. Allah tidak membiarkan mereka yang sejak lama pikirannya galau dan hatinya amat sengsara ini sendirian dalam kesepian.

Ini bukan “haqqulyaqin” dan ”‘ilmulyaqin”. Ini “’ainulyaqin” dan “ruhulyaqin”. Saya tidak kaget dan mungkin justru gembira kalau siapapun menganggap ini romantik, klenik, takhayul atau halusinasi. Allah sungguh mememperlihatkan bahwa Dia “fa’-‘alul-lima yurid”, Maha Mengerjakan apa yang Dia kehendaki. Tidak ada selain Allah yang mampu menciptakan trigger atau momentum sangat sederhana hanya beberapa detik di Pulau Seribu, sesudah sekian kali desing mercon kekurang-beradaban dan bom kebrutalan tidak menghasilkan letusan apapun.


Kalau Anda tuan rumah 212, sejauh-jauhnya Anda berani memperkirakan dan menyiapkan akomodasi paling banyak hanya untuk 150 ribu orang. Tetapi jutaan Malaikat menyusupi kalbu sekian juta manusia untuk “yadkhuluna fi dinillahi afwaja” berduyun-duyun dari tempat yang sangat jauh berkumpul di suatu area. Murni, sejati, suci. Tanpa kesulitan dan kemacetan, dibanding tersiksanya lalu lintas mudik hari raya yang hanya seper-50 atau seper-100 massanya dibanding 212. Makanan dan minuman berlimpah ruah dinikmati oleh manusia yang jumlahnya lebih 3.000 kali lipat dibanding penumpang Kapal Nabi Nuh. Persis seperti hidangan (Al-Maidah) ajaib yang tiba-tiba tersuguhkan di bilik kecil Siti Maryam dalam kelipatan sekian juta.

Silakan meneliti ribuan macam lagi “fi’lullah”, kerja tangan Allah, asal dimaksudkan demi rasa syukur dan penyadaran bahwa kehidupan ini tidak sesederhana dan tidak se-teknis-materiil yang kita sangka. Dan ini semua saya tuturkan tidak untuk rasa bangga dan sesumbar. Justru yang terpenting dari paparan ini adalah satu prinsip bahwa “Nabi Musa jangan menyangka mampu membelah samudera.


Tidak ada tongkat sakti. Tidak ada makhluk sakti, tidak pun Nabi, Rasul, Wali, Sayyid, Syarif, Habib, Jin, Asif bin Barkhiyah yang memindahkan Istana Balqis lebih cepat dari sekedipan mata, ataupun para Malaikat. Allah memerintahkan kepada Musa “belahlah laut dengan tongkatmu”, sekaligus memerintahkan kepada air laut “membelahlah begitu disentuh oleh tongkat Musa.

Nabi Musa tidak bisa menjamin bahwa kalau besok sorenya ia pukulkan lagi tongkat itu maka air lautan akan terbelah. Sebagaimana mukjizat apapun yang terjadi pada semua Nabi dan Rasul, itu semua bukanlah kehebatan mereka, melainkan pinjaman dan perkenan dari Allah kepada siapapun saja yang dikehendaki oleh-Nya. Semoga presisi ilmu hikmah yang demikian, yang lahir di kesadaran dan nurani para pemimpin dan pekerja amal saleh 212.

Ada yang mengatakan “kalau ingin melihat buih, lihatlah Monas 212.” Saya takdhim kepada buih. Saya ngeri kepada buih tatkala ia ditiup oleh Tuhan dan menenggelamkan pulau-pulau. Saya berempati kepada buih yang menjadi buih karena dibuihkan oleh desain-desain besar cakar Iblis global dan Dajjal nasional. Jika Allah mencintai mereka karena dibuihkan oleh sesamanya, kemudian buih-buih itu dihamparkan dan menenggelamkan Nusantara — maka biarlah saya kehilangan apapun saja, asal diperkenankan menjadi bagian dari buih itu. Karena tak ada yang lebih nikmat dari kemesraan cinta-Nya.


Buih-buih 212 itu hanyalah cipratan kecil dari suatu organisme besar rakyat Indonesia dan Umat Islam. Tidak ada organisasi apapun dengan kemampuan mobilisasi secanggih apapun, yang bisa menciptakan keindahan karya 212. Itu organisme, ciptaan Allah, yang penuh rahasia, pada yang tampak mata maupun yang tersamar dan tersembunyi. Organisme makhluk adalah “tajalli” Allah itu sendiri, dengan memilih siapapun dan apapun untuk dijadikan medium atau sarana untuk memanifestasikan “innallaha ‘ala kulli syai-in qodir”-Nya.

Andaikan memang khusus di era sekarang ini ada Iblis global mempekerjakan Dajjal nasional untuk mengincar penaklukan atas tanah air Indonesia, rakyatnya dan Umat Islam, insya Allah tidak rumit untuk mewujudkannya di ranah organisasional, di level tata kelola formal kenegaraan dan kepemerintahan, secara sistemis dan strategis. Tidak terlalu pelik untuk “berunding”, mengendalikan, mengintervensi, mengamandemen, memotong, menyunat, membuat legalitas baru untuk kepentingan dan keuntungan sesuai desain, program dan proyek.


Asalkan Tuhan dianggap bukan faktor, bisa mudah digambar mapping hajatan itu. Sepanjang diyakini bahwa organisme rakyat dan Umat Islam adalah khayalan dan omong kosong, maka buldozer penaklukan tak akan ada kendala untuk dijalankan. Sepanjang Pancasila dipercaya hanya sebagai basa basi, dan Ketuhanan Yang Maha Esa sekadar ungkapan sopan santun, maka jalanan akan mulus tanpa ada batu-batu pengganjal. Asalkan diteguhkan ilmu dan pengetahuan bahwa Allah tidak benar-benar ada, apalagi bekerja, berperan dan men-support para kekasih-Nya — maka program the show of Iblis dan Dajjal must go on.

Tidak perlu terpengaruh halusinasi yang mengatakan bahwa Negara dan Pemerintah adalah organisasi, sedangkan rakyatnya, terutama yang menghampar luas di bawah, adalah organisme. Bahwa NU, terutama PBNU, misalnya, adalah organisasi. Tetapi Nahdliyin adalah organisme. Bahkan kaum elit, kelas menengah dan terpelajar tertata dalam skema organisasi, tetapi rakyat kecil adalah organisme.

Organisasi dilaksanakan oleh manusia, mengacu pada syariat organisme “alam” yang sempurna. Tetapi organisme rakyat dan Umat Islam Indonesia, pelaku utamanya bukanlah mereka. Ada Maha Subyek yang memperjalankan mereka berpuluh-puluh abad lamanya dalam ketangguhan dan misteri.

Muhammad Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) melakukan dekonstruksi pemahaman nilai, pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi masalah masyarakat.
caknun.com, 8 Desember 2016

27 November, 2016

Memahami Penodaan Agama Seutuhnya


Setelah keluarnya artikel saya yang berjudul: "Al-Maidah: 51 dan Politik Islam yang Tak Kunjung Lepas Landas," saya menerima beberapa pertanyaan yang intinya kira-kira seperti ini: memperhatikan ragam diskusi tentang surah Al-Maidah: 51, apakah kasus pernyataan Basuki Tjahaja Purnama (atau lebih sering disebut Ahok) di Kepulauan Seribu dapat dianggap sebagai penistaan terhadap agama Islam yang merupakan suatu tindak pidana berdasarkan hukum Indonesia? Artikel ini akan mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Ketentuan terkait pidana penistaan agama diatur dalam Pasal 4 Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan /Atau Penodaan Agama ("PNPS 1965") yang menambahkan ketentuan baru dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu Pasal 156a yang berbunyi sebagai berikut:

“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; (b) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan yang Maha Esa.”

Penjelasan resmi dari Pasal 156a di atas menyatakan: “huruf a, tindak pidana yang dimaksudkan di sini, ialah yang semata-mata (pada pokoknya) ditujukan kepada niat untuk memusuhi atau menghina. Dengan demikian, maka uraian-uraian tertulis maupun lisan yang dilakukan secara obyektif, zakelijk dan ilmiah mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan, bukanlah tindak pidana menurut pasal ini.”

Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Saya tidak akan membahas lebih jauh apakah penetapan presiden Soekarno di atas sebenarnya bisa dianggap sebagai undang-undang atau tidak, mengingat dari tata peraturan perundang-undangan yang normal, tidak mungkin keputusan presiden bisa mengalahkan atau mengganti ketentuan undang-undang (termasuk menambahkan ketentuan baru dalam KUHP).

Jadi saya asumsikan dulu untuk kepentingan pembahasan kita kali ini, bahwa ketentuan di atas mengikat sebagai suatu undang-undang yang sah.

Adapun kutipan pernyataan Ahok yang dipermasalahkan dalam kasus ini adalah kurang lebih sebagai berikut: “.... bapak ibu nggak bisa milih saya, ya kan, dibohongin pakai surat Al-Maidah 51, macam-macam itu. Itu hak bapak ibu, ya, jadi kalau bapak ibu merasa nggak bisa milih nih, karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya, nggak papa, karena ini panggilan pribadi bapak ibu ....

Pertanyaan utamanya, apakah potongan kalimat kurang lebih 20 detik dari total temu wicara sekitar 45 menit itu memenuhi unsur tindak pidana penodaan agama? Video lengkapnya bisa dilihat di sini. (https://youtu.be/N50zheD7Amg)


Sebagaimana telah beberapa kali saya sampaikan mengenai pemidanaan atas kasus-kasus terkait penghinaan dan penodaan agama, saya selalu menyarankan agar sifat tindak pidananya dihilangkan atau paling tidak dibatasi karena standar yang digunakan untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan penghinaan atau penodaan sering kali tak jelas dan oleh karenanya pasal-pasal tersebut menjadi rentan disalahgunakan.

Khusus untuk penghinaan yang terkait isu agama, saya juga pernah membahas panjang lebar tentang bagaimana seharusnya umat Islam bersikap melalui artikel saya di sini:
(http://www.pramoctavy.com/2015/01/bolehkah-membunuh-penghina-nabi.html)

Namun mengingat peraturannya sendiri masih belum dicabut dan nampaknya ada cukup banyak elemen masyarakat yang sedang emosi akibat pernyataan di atas, kita perlu mendalami lebih jauh unsur penodaan agama dalam kasus ini.

Merujuk kepada PNPS 1965, sebenarnya tidak banyak membantu, karena baik pasal maupun penjelasannya tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan menodai agama, hanya dikatakan bahwa tindak pidana ini adalah yang semata-mata ditujukan kepada niat untuk memusuhi atau menghina.

Berarti setidaknya ada dua unsur yang harus dianalisis, unsur niat dan unsur memusuhi atau menghina (mengingat unsur mengeluarkan perasaan di muka umum sudah jelas terbukti dari adanya video dan juga acara temu wicara di Pulau Seribu itu).

Terkait pembuktian niat, saya akan serahkan kepada ahli lainnya, termasuk mungkin ahli psikologi dan bahasa tubuh karena acaranya sendiri berlangsung cukup lama dan nampaknya sulit memisahkan potongan kalimat di atas dari konteks acara secara keseluruhan untuk memahami apakah ada niat menghina / menodai.


Saya lebih tertarik kepada konsep penghinaannya sendiri. Dari berbagai analisis yang beredar, penghinaan atau penistaan agama dianggap muncul karena adanya kalimat “dibohongi pakai surah Al-Maidah 51.

Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa: (i) surah Al-Maidah: 51 secara eksplisit berisi larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin, dan ayat ini menjadi salah satu dalil larangan menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin, (ii) ulama wajib menyampaikan isi surah Al-Maidah ayat 51 kepada umat Islam bahwa memilih pemimpin muslim adalah wajib, (iii) setiap orang Islam wajib meyakini kebenaran isi surah Al-Maidah ayat 51 sebagai panduan dalam memilih pemimpin, dan (iv) menyatakan bahwa kandungan surah Al-Maidah ayat 51 yang berisi larangan di atas sebagai sebuah kebohongan, hukumnya haram dan termasuk penodaan terhadap Al-Quran.

Walaupun definisi penodaan sendiri tidak pernah dijelaskan dalam PNPS 1965, dari sudut pandang logika hukum, paling tidak harus bisa dibuktikan terlebih dahulu bahwa pernyataan Ahok soal dibohongi dengan Al-Maidah 51 adalah suatu kesalahan, khususnya dari segi hukum Islam.

Bagaimana caranya kita bisa dianggap menodai sesuatu apabila yang kita sampaikan ternyata benar? Menurut KBBI, menodai bisa berarti mencemarkan, menjelekkan nama baik atau merusak kesucian, keluhuran, dan sebagainya. Sementara bohong didefinisikan sebagai tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

Logika ini juga yang nampaknya dipakai dalam Fatwa MUI dimana Fatwa MUI itu menyimpulkan bahwa pernyataan Ahok tersebut salah dari sudut pandang hukum Islam karena menurut MUI, kaum Muslim wajib memilih pemimpin Muslim dan dengan demikian, mereka tidak dibohongi dengan keberadaan Al-Maidah: 51.


Sebagaimana sudah dibahas di artikel saya sebelumnya, memang banyak tafsir dari ulama klasik yang melarang kaum Muslim menjadikan kaum non-Muslim sebagai pemimpin, walaupun ada juga tentunya pendapat lain yang lebih kontemporer yang menganggap bahwa larangan ini hanya berlaku untuk pemimpin kafir yang zalim atau khusus dalam situasi perang / permusuhan.

Isu utamanya adalah konsep dan definisi pemimpin tak bisa dipisahkan dari bentuk negara yang menaungi keberadaan si “pemimpin” tersebut. Dan karena belum ada pendapat tunggal mengenai bentuk negara dalam hukum Islam, dengan sendirinya, konsep dan definisi “pemimpin” juga menjadi ambigu.

Belum lagi ditambah fakta bahwa istilah awlia dalam Al-Quran (sebagaimana juga dimuat dalam Al-Maidah: 51) tidak terbatas hanya ditafsirkan sebagai pemimpin, namun juga teman setia yang cakupannya sebenarnya jauh lebih luas dibanding pemimpin.

Fatwa MUI tersebut sayangnya tidak menjelaskan lebih jauh soal apa yang dimaksud dengan pemimpin, padahal kuncinya ada di situ. Uniknya, fatwa MUI kali ini juga tidak memberikan satupun kutipan dari Quran, Hadits dan kitab-kitab fikih (yang biasanya dikutip oleh MUI) untuk mendukung ide bahwa pemimpin non-Muslim adalah haram dan bahwa semua umat Islam wajib meyakini kebenaran hal tersebut.


Kerancuan ini yang kemudian menimbulkan multitafsir dan juga memunculkan tuduhan dari sebagian orang bahwa fatwa ini bersifat politis, bukan lagi murni akademis. Kenapa saya sebut akademis? Karena fatwa ulama tidak memiliki kekuatan hukum mengikat baik dari sudut pandang hukum Indonesia maupun hukum Islam (yang menyebabkan munculnya ide forum shopping atau talfiq).

Orang bisa bebas mengikuti atau menolak suatu fatwa sehingga umumnya fatwa ditulis dengan dasar-dasar yang dianggap ilmiah sehingga isinya bisa dipertanggungjawabkan secara akademik.

Apalagi dalam kasus kita, konsekuensi dari kesimpulan yang dimuat dalam fatwa MUI di atas sangat besar karena fatwa tersebut secara implisit mempertanyakan akidah orang-orang Muslim yang tidak menganggap bahwa larangan memilih pemimpin non-Muslim merupakan kebenaran yang bersifat absolut.

Soal akidah tentunya tak bisa sembarangan. Saya pernah menulis juga tentang mengapa isu hukum yang seringkali memiliki perbedaan pendapat seharusnya tidak dibawa ke ranah akidah.

Maka kita harus bertanya, ketika MUI atau pun organisasi atau ulama lainnya sedang membahas konsep pemimpin di Indonesia, sejauh mana mereka akan mendefinisikan istilah itu dan sampai sejauh mana larangan memilih pemimpin kafir itu berlaku?

Apakah hanya akan berhenti di jabatan gubernur pada saat Pilkada? Atau mau dibawa ke ranah jabatan lain? Jelas bahwa kalau kita bicara pemimpin, seharusnya tidak hanya terbatas pada gubernur. Malah saya yakin kalau hanya dikhususkan pada gubernur, kita justru akan dianggap berbohong.


Ambil contoh kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah yang sempat saya bahas di artikel sebelumnya. Ketika Al-Mawardi membolehkan adanya jabatan Menteri Pelaksana yang boleh diisi oleh orang non-Muslim, Al-Mawardi berargumen bahwa hal itu dikarenakan si Menteri memiliki kewenangan terbatas (hanya melaksanakan hal-hal yang diinstruksikan oleh Khalifah) serta tak memiliki kewenangan anggaran maupun kemampuan mengangkat pegawai.

Kalau kita mengaplikasikan konsep ini di Indonesia (wewenang terbatas dan tidak meliputi kuasa anggaran dan pegawai), definisi pemimpin bisa meliputi banyak sekali jabatan, mulai dari level ketua RT, ketua RW, lurah, bupati/walikota, gubernur, hakim agung, hakim konstitusi, kepala departemen dan badan-badan negara (seperti OJK, BI, dan BKPM), menteri sampai Presiden.

Besar kemungkinan jabatan wakil (wakil gubernur, wakil presiden, dan sebagainya) juga masuk dalam konsep ini. Kita bahkan belum bicara di level teman setia yang seharusnya bisa meliputi sahabat, partner bisnis, rekan kerja atau bos di perusahaan.

Inikah yang dimaksud dengan pemimpin oleh MUI dan para pihak yang mendukungnya? Kenapa tidak dipertegas seperti itu sekalian? Karena kalau demikian penafsiran yang dipilih dan diamini oleh MUI dan para pendukungnya, klaim bahwa pernyataan Ahok di Pulau Seribu adalah suatu kesalahan tentunya menjadi logis dan masuk akal, keberadaan pemimpin non-Muslim 100% haram dalam segala bentuk dan jabatan.


Namun apabila kita konsekuen memilih penafsiran ini, keharaman memilih pemimpin non-Muslim seharusnya bukan saja terbatas pada kasus ketika rakyat sedang atau akan memilih pemimpin mereka di level Pilkada atau Pilpres, tetapi berlaku juga pada semua pejabat Muslim yang hendak memilih dan mengangkat pejabat non-Muslim.

Dalam penafsiran ini, Presiden Jokowi, selaku orang Muslim, sudah tak lagi beriman ketika mengangkat Ignasius Jonan sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral karena Jonan orang Katolik (dan jelas jabatan Menteri ESDM memiliki wewenang yang luas, apalagi jabatannya sangat strategis dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak).

Lagipula, apa alasannya kalau kata “memilih” hanya dibatasi pada memilih dalam Pemilu? Toh bagi sebagian ulama, Pemilu dan demokrasi juga tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Memilih tidak harus selalu dalam konteks demokrasi. Istilah yang lebih tepat sebenarnya adalah “menjadikan.”

Konsekuensi lebih lanjutnya, sistem yang memungkinkan terpilihnya pemimpin non-Muslim juga seharusnya haram. Dalam kaidah hukum Islam yang sangat terkenal, ketika suatu tindakan diharamkan, semua tindakan yang membantu terciptanya tindakan itu juga haram (contoh: kalau minum alkohol itu haram, maka menjual dan memproduksi alkohol juga haram walaupun tidak diminum).


Dengan sendirinya, bentuk negara kesatuan Republik Indonesia pun harus diharamkan karena negara Indonesia memperbolehkan majunya calon non-Muslim dalam setiap pemilihan pemimpin dan juga membolehkan orang non-Muslim untuk memegang jabatan tertentu dalam pemerintahan.

Bagaimana mungkin kita membiarkan sistem yang memfasilitasi orang non-Muslim tetap berjalan sementara kita juga meyakini bahwa kaum Muslim tak boleh dipimpin oleh secuil pun kaum non-Muslim?

Mungkin bentuk negara yang benar adalah ketika ada segregasi yang jelas antara kaum Muslim dan non-Muslim, sistem pajak saat ini dihapuskan dan orang-orang non-Muslim diwajibkan membayar jizyah.

Tak hanya konsep negara kesatuan yang haram. Para founding fathers Muslim di masa lalu juga sebenarnya telah melakukan perbuatan haram dengan menjadikan founding fathers non-Muslim sebagai kawan setia dalam berjuang melawan penjajahan.

Seharusnya mereka semua meyakini sebagai kebenaran mutlak bahwa kaum non-Muslim tak bisa dipercaya dan selalu menginginkan hal-hal yang buruk bagi kaum Muslim (lihat sumber tafsirnya dalam artikel saya tentang Al-Maidah: 51). Jadi, apakah ini tafsir yang akan kita ambil?

Kalau benar pandangan tersebut kita ambil, saya cukup yakin bahwa kita baru saja melakukan perbuatan makar terhadap negara Indonesia karena menolak bentuk negara kesatuan. Sesuatu yang anehnya didiamkan saja selama ini walaupun sebenarnya merupakan tindak pidana serius berdasarkan KUHP.


Sampai di sini mungkin ada yang berpendapat bahwa tafsiran di atas terlalu berlebihan atau mungkin maksudnya cuma satir. Tidak, saya tidak sedang menyusun tulisan satir atau sarkasme. Saya sedang serius menyampaikan konsekuensi logis suatu pemikiran, konsekuensi yang seringkali dilewati atau dianggap angin lalu.

Omong kosong kalau kita mengklaim memiliki integritas pemikiran, bebas kepentingan dan murni ghirah, tetapi tak mau berpikir mendalam soal konsekuensi dari pemikiran itu sendiri.

Lagi pula, memangnya apa alternatif lainnya yang bisa membuat suatu tafsiran konsisten dan tak mengandung kebohongan? Apakah definisi pemimpin hanya terbatas pada gubernur? Hal itu lebih tak jelas lagi dalilnya. Apakah konsep pemilihan maksudnya hanya dalam batasan Pemilu? Wong konsep pemimpin yang dipilih rakyatnya saja belum disepakati kesesuaiannya dengan hukum Islam?!

Dan katakanlah kita aplikasikan ini hanya dalam konteks Pemilu, apa dasarnya untuk menyatakan bahwa pejabat Muslim bebas dari kewajiban untuk memilih (baca menunjuk / menjadikan) pejabat lain yang juga beragama Islam? Atau pemimpin yang wajib Muslim itu terbatas pada pemimpin dengan jumlah rakyat, pegawai, luas wilayah dan anggaran minimum tertentu? Batasannya seperti apa?

Hal tersebut juga tak ada dalil eksplisitnya dalam Quran maupun Hadits, alias kita bisa menyusun teori kita sendiri. Perlu diingat, teori terkenal mengenai bentuk negara yang dikembangkan oleh Al-Mawardi sendiri sebenarnya tidak terlalu banyak mengutip Quran dan Hadits karena memang tidak ada pembahasan yang eksplisit dan detail mengenai konsep negara dan pemerintahan, apalagi bentuk teknis soal wewenang dan persyaratan masing-masing pejabat.


Buku Al-Mawardi ditulis sekitar 500 tahun setelah Islam berdiri dan Al-Mawardi mempelajari praktik yang terjadi di lapangan dalam kurun periode itu, yang tak lain adalah eksperimen Islam dalam menyusun sistem politik.

Atau mungkin kita bisa berdalil bahwa karena Indonesia bukan negara Islam, jadi wajar-wajar saja kalau sistemnya memungkinkan orang non-Muslim diangkat menjadi pemimpin. Yang penting yang Muslim tidak memilih yang non-Muslim.

Namun ini hanya berlaku dalam sistem Pemilu, bagaimana kita menjelaskan hal tersebut dalam kasus pemilihan pemimpin yang tidak melibatkan Pemilu, misalnya melalui komite atau pejabat tertentu?

Apakah ini berarti mereka yang berada di pemerintahan harus mengeluarkan syarat baru bahwa semua orang non-Muslim tidak boleh lagi mengikuti lelang jabatan atau pemilihan dalam bentuk apapun demi mengikuti fatwa MUI?

Bagaimana dengan keimanan orang-orang ini yang telah membiarkan orang non-Muslim ikut serta dalam proses seleksi kepemimpinan padahal mereka memiliki kewenangan untuk mengubah persyaratan tersebut?


Lalu mengapa cuma pemimpin? Mengapa tidak berangkat lebih jauh sampai ke level teman setia yang sebenarnya merupakan tafsiran awal dari Al-Maidah: 51? Batasannya seperti apa? Ternyata memang tidak jelas !!!

Contoh: perdagangan dengan orang kafir sah-sah saja katanya, tetapi kapan perdagangan sehari-hari berubah jadi pertemanan setia? Apakah mereka yang kafir tidak boleh jadi pelanggan tetap yang Muslim?

Apakah setiap hari kita pergi dan berinteraksi selalu disertai dengan niat bahwa kita tidak mengakui kebenaran agama Nasrani sedikit pun dan bahwa semua interaksi ini hanya sikap luar saja untuk sekedar membina hubungan manusia yang minimal?

Lelah sekali hidup seperti itu. Tetapi kalau memang mengaku kaffah, kenapa tidak sekalian saja bagi mereka yang memiliki keyakinan, bahwa menjadikan orang non-Muslim sebagai pemimpin dan teman setia itu salah?

Maka wajar bila orang akan mempertanyakan kualitas sikap yang hanya setengah-setengah atau yang mau enaknya saja. Wajar juga kalau ada yang mempermasalahkan semua keributan ini sebagai isu politis ketimbang isu ghirah umat. Bagaimana bisa mengaku punya ghirah, bila mereka bahkan tak paham terhadap apa isu yang sedang dibela?


Perlu dicatat, saya tidak sedang menyarankan agar umat Islam di Indonesia memilih jalur ketika kita putus hubungan dengan orang non-Muslim atau jalur ketika kita menyingkirkan semua kandidat non-Muslim dari kancah perpolitikan dan bisnis.

Bukan saja hal tersebut bertentangan dengan nilai-nilai kebhinekaan di Indonesia dan tentunya bertentangan pula dengan Konstitusi kita dan Pancasila, hal tersebut juga justru memperkeruh suasana dan menjelekkan nama Islam, seakan-akan orang Islam selalu berada dalam keadaan paranoid, takut diserang, takut ditipu, takut dimanfaatkan oleh orang non-Muslim.

Ini kan aneh. Mayoritas tapi mentalnya lemah. Yang sedang saya pertanyakan adalah bagaimana caranya kita bisa menyatakan bahwa pernyataan Ahok salah dan oleh karenanya menodai Islam namun tanpa membuat seluruh sistem negara kesatuan Republik Indonesia bubar?! Ini yang perlu direnungkan.

Mungkin, apabila tafsiran isu larangan pemimpin non-Muslim ini dipahami terbatas pada masa perang dan konfrontasi niscaya akan lebih tepat untuk digunakan. Tafsiran ini sesuai dengan nilai-nilai Islam yang pragmatis sebagaimana sering saya ulas dalam artikel-artikel saya dan tidak perlu membuat kepala kita pusing mencari justifikasi soal mana tipe pemimpin yang haram dan mana yang tidak sebagaimana saya uraikan di atas.


Dalam situasi klasik ketika konsep negara belum ada, dan wilayah-wilayah masih diperjuangkan satu demi satu, lalu dikepung pula oleh wilayah-wilayah lain yang dikuasai kaum kafir, maka anjuran untuk menolak pemimpin non-Muslim ini menjadi amat sangat wajar.

Ya iya lah, kalau wilayah dan kesatuan kaum saja belum beres, bagaimana caranya mengambil pimpinan dari orang yang sama sekali tidak berbagi nilai yang sama dengan kita? Sementara itu di konsep negara modern yang basisnya lebih banyak ke wilayah dan nasionalisme, memaksakan konsep seperti ini tentu saja sulit.

Realitasnya memang sudah berubah, menggunakan konsep yang konfrontatif dengan sesama warga negara sendiri jelas kontraproduktif dan menciptakan suasana yang saling tak mempercayai.

Apalagi Indonesia saat ini sudah dianggap final sebagai bentuk negara kesatuan yang ber-bhinneka (kecuali kalau anda mungkin memang sudah siap untuk melakukan pidana makar).    

Dan apabila kita memilih tafsiran demikian, mau tidak mau konsep larangan pemimpin non-Muslim yang bersifat umum dan absolut tidak lagi menjadi benar dan dapat dipertahankan. Tidak mungkin kita menyatakan dua ide yang 100% bertentangan sebagai sama-sama benar.


Secara logika, hanya salah satu konsep yang bisa kita pilih dengan segala konsekuensinya. Lalu kenapa kemudian ide larangan pemimpin non-Muslim yang umum itu kini disebarluaskan dan dianggap sebagai kebenaran absolut sampai-sampai akidah sesama Muslim bisa dipertanyakan? Silakan direnungkan kembali.

Lebih penting lagi, apa urgensinya untuk menciptakan konfrontasi dengan ide demikian di era masa kini?

Mungkin ada yang akan berpendapat bahwa terlepas apakah pernyataan Ahok itu benar atau salah secara obyektif, paling tidak secara subyektif, pernyataan tersebut telah menimbulkan keresahan dan kemarahan terhadap sebagian umat Islam karena dianggap menyakiti hati mereka.

Dengan demikian, kasus ini bisa tetap dianggap sebagai penodaan agama. Ada beberapa permasalahan dengan klaim tersebut.


Pertama, apabila penodaan atas suatu agama dinilai hanya dari adanya pemeluk agama tersebut yang merasa dinodai, apa dasarnya sebagian umat Islam bisa mewakili sebagian yang lain untuk menyatakan bahwa seseorang telah menodai agama Islam?

Apakah jumlahnya harus mayoritas? Atau semua orang Islam harus sepakat terlebih dahulu? Masa pidana dijatuhkan hanya berlandaskan pada banyak-banyakan suara?

Penduduk Muslim di Indonesia ada lebih dari 200 juta manusia, kalau yang ribut mencapai 200 ribu orang pun sebenarnya tak sampai 0,1% dari total semua penduduk tersebut. Apakah bisa dianggap mewakili suara kaum Muslim Indonesia?

Saya juga belum pernah mendengar adanya doktrin hukum pidana yang menyatakan bahwa seseorang bisa dipidana karena ada banyak orang lain yang beranggapan orang tersebut harus dipidana. Memangnya pengadilan punya nenek moyang Anda?


Lebih penting lagi, seperti juga pernah saya bahas dalam berbagai artikel saya termasuk tentang Al-Maidah: 51, bila mendasarkan pendapat akademik hanya pada suara mayoritas tanpa menelisik lebih jauh isi argumentasinya maka sangat riskan. Contoh yang sering saya gunakan adalah hukum perbudakan.

Kehalalannya, termasuk kehalalan menyetubuhi budak tanpa persetujuan si budak (alias memperkosa) adalah pendapat mayoritas ulama klasik dengan dalil dari Quran dan Hadits.

Apakah apabila kita tak lagi setuju dengan kehalalan itu dan mengutuk tindakan ISIS yang memperbudak kaum Yazidi, kita sudah dianggap menodai Islam karena menghina pendapat dari para ulama yang agung di masa lalu?          

Kedua, standar rasa sakit hati yang bisa menyebabkan pidana itu seperti apa? Sekedar sakit hati tanpa alasan apapun atau harus jelas penyebabnya? Bagaimana kalau yang sakit hati tak paham apa yang menyebabkan ia sakit hati?

Apakah kemarahan buta tanpa alasan menjadi dasar untuk pemidanaan? Saya pikir semua ahli hukum tahu jawabannya. Jelas tidak. Kalau begini caranya, setiap kali ada satu atau beberapa orang tersinggung karena ucapan orang lain, terlepas apapun ucapannya, orang lain tersebut bisa dipidana.


Sistem hukum yang membiarkan hal tersebut terjadi adalah sistem hukum yang berantakan, bayangkan penyalahgunaannya.

Saya teringat kasus tragis di Afghanistan ketika seorang wanita Muslim, Farkhundah Malikzada, dihajar ramai-ramai dan dibakar hidup-hidup oleh massa di sekitar sebuah masjid. Alasannya? Ia dituduh membakar Quran.

Ironisnya, penuduhnya sebenarnya seorang penjual jimat yang sedang ditegur oleh wanita itu karena berjualan di depan masjid. Hanya karena teriakan si penjual bahwa Farkhundah telah membakar Quran, tanpa pikir panjang, segerombolan orang langsung menyerbu dan membunuh Farkhundah.

Yang lebih tak masuk akal lagi, ada imam Masjid di Afghanistan yang sempat membenarkan peristiwa ini karena menurutnya ketika Quran dihina, wajar orang murka dan tidak berpikir panjang. Tentu saja ini menimbulkan protes dari ribuan wanita Afghan.

Tidak ada hukum yang memperkenankan orang marah untuk membunuh orang lain begitu saja, atau hukum yang membenarkan pembunuhan hanya karena emosi dengan alasan emosinya berbasis ghirah.

Membenarkan hal tersebut sama saja menyatakan kepada khalayak ramai bahwa umat Islam tak mampu berpikir panjang, tak mampu mengontrol emosi, dan cenderung barbar. Contoh kasus seperti ini yang membuat nama Islam sebenarnya dinodai dan kita semua tahu ini bukan cuma satu kasus.


Ketiga, apabila murni kita hanya memakai standar perasaan subyektif, akan timbul banyak perdebatan yang tak kunjung usai soal kapan penghinaan atau penodaan dianggap terjadi. Ambil contoh istilah kafir.

Mungkin sebagian orang santai saja menggunakan istilah ini kepada orang yang beragama lain, tetapi kalau orang lain tersebut tak terima, secara teknis, bisa saja diargumentasikan bahwa pernyataan kafir tersebut adalah bentuk penodaan karena konotasi kata "kafir" yang sangat negatif.

Contoh lain, orang Nasrani percaya bahwa Yesus adalah putra Tuhan atau bagian dari Trinitas sementara orang Muslim percaya bahwa Yesus adalah seorang manusia biasa dan nabi. Hal tersebut merupakan keyakinan fundamental dari masing-masing agama.

Apakah dengan demikian otomatis keduanya saling menodai agama lain karena saling tidak mengakui hal fundamental tersebut dan diajarkan pula secara umum melalui kegiatan dakwah masing-masing?

Berapa banyak ucapan khotib Jumat yang pernah saya dengar yang bisa dianggap menodai agama lain terlepas apakah dari sudut pandang kaum Muslim hal itu dianggap biasa-biasa saja. Contoh gampang soal orang kafir yang diklaim tak bisa dipercaya dan berniat menimbulkan keburukan untuk kaum Muslim yang sempat saya singgung di atas.


Saya masih ingat persis di sebuah masjid perkantoran ketika khatib shalat Jumat dengan enteng menyatakan bahwa kita tak bisa berteman dengan orang Nasrani karena kebencian mereka terhadap kaum Muslim.

Apa yang mungkin diyakini oleh sebagian orang itu jelas bisa dianggap penghinaan bagi orang Nasrani karena sama saja mengklaim bahwa semua orang Nasrani pada dasarnya buruk. Diucapkan di depan ratusan jamaah pula dan dengan suara berapi-api.

Dengan alasan subyektif, ajaib rasanya kalau sampai hal tersebut tidak dianggap melanggar ketentuan PNPS 1965 yang berlaku secara umum untuk semua agama. Atau kita akan berargumen bahwa pernyataan khotib itu sah-sah saja karena kaum Muslim di Indonesia mayoritas?

Lah, masa kita yang sekarang jadi penindas baru setelah jadi mayoritas? Apa bedanya dengan kaum jahiliyah dulu ketika mereka mayoritas dan kaum Muslim hanya minoritas? Lagi-lagi ini perlu direnungkan secara mendalam.

Boko Haram dan para perempuan yang disandera.

Saya berharap bahwa tulisan ini bisa menjadi dasar untuk melakukan analisis yang lebih mendalam mengenai posisi yang kita ambil, khususnya dalam memahami kasus penodaan agama.

Dan ini hanya bisa terjadi ketika kita mau berpikir secara sistematis dan menyeluruh. Pernah dalam suatu diskusi terkait hal di atas dalam sebuah grup WA, ketika saya meminta orang berpikir lebih jauh tentang isu perbudakan dan riba untuk memahami fleksibilitas hukum Islam, ujung-ujungnya mereka mengirimkan video tentang bahaya menggunakan akal dalam Islam dan kemudian menuliskan doa mohon petunjuk dari Allah SWT serta perlindungan dari kesesatan (intinya meminta diskusi diakhiri saja secara implisit).

Ini lucu sekaligus menyedihkan, ke mana ghirah-nya ketika disuruh berpikir? Semua semangat itu hanya bisa timbul ketika kita tak lagi berpikir dan murni terbakar emosi?

Kalau demikian, apa yang bisa kita lakukan untuk menghindari terjadinya mob mentality macam yang terjadi di Afghanistan di atas? Semoga hal demikian tak terjadi di Indonesia.

Demo Aksi Damai Bela Islam II, 4 November 2016.

Sebagai penutup, bagi mereka yang akan berdemonstrasi hari ini terkait isu penodaan agama, saya gembira bahwa akhirnya orang-orang ini merasa dan mengakui bahwa hak berdemonstrasi adalah bagian dari sistem demokrasi di Indonesia (aneh kalau sudah menganggap punya hak, tetapi tak mengakui kesesuaian hak itu dengan hukum Islam).

Kapan lagi saya melihat ada orang-orang yang kemarin misalnya menganggap bahwa konsep Islam Nusantara tak masuk akal kemudian membalas fatwa haramnya berdemonstrasi dengan ide 'Urf alias adat istiadat untuk menunjukkan bahwa larangan itu seharusnya terikat dengan budaya Saudi Arabia sementara adat Indonesia berbeda.

Saya berharap ini tak berhenti di sekedar comot mencomot fatwa yang disukai saja, tetapi juga dipertimbangkan masak-masak mengapa kita memilih mengambil satu posisi tertentu karena demokrasi tanpa partisipasi aktif dan rasional dari masyarakatnya tentu tak akan berjalan dengan baik. Saatnya kita jadikan perbedaan sebagai rahmat, bukan kutukan.

Pramudya A. Oktavinanda
Advokat dan Kandidat PhD di University of Chicago Law School
Selasar.com, 5 November 2016
http://www.pramoctavy.com/2016/11/memahami-penodaan-agama-seutuhnya.html

18 November, 2016

Cara Berpikir Kita Sedang Dikendalikan


Krisis ekonomi 2008 yang mengguncang Amerika Serikat dan berimbas ke berbagai negara terutama Eropa hingga Asia, semakin menyadarkan berbagai pihak, bahwa sistem ekonomi dan tata dunia yang dibangun pada peradaban ini patut dipertanyakan kembali. Upaya analisis dilakukan mulai dari hal yang paling mendasar. Mereka menyadari saat ini dunia telah berada pada titik masa konsekuensi dari apa yang telah dibangun selama ini.

Selama berabad-abad, sistem yang berjalan yang menjadi acuan tata kehidupan manusia di bumi ini ditemukan telah dimodifikasi dan dimanipulasi untuk keuntungan segelintir orang atau kelompok saja. Segelintir elit itu memodifikasi dan memanipulasi dengan rangkaian sinergi antara agama, politisi, dan ahli ekonomi secara sistematis dan strategis.

Data statistik yang dirilis pada Credit Suisse Global Wealth Databook 2015 menunjukkan bahwa pusaran uang dan kekayaan dalam piramida distribusi kekayaan dunia, yaitu total kekayaan lebih dari $100 Miliar atau sepadan kurang lebih 1300 Triliun rupiah, dimana jumlah itu mencapai 45% dari total kekayaan seluruh penduduk bumi, hanya dimiliki oleh 1% manusia dari populasi 7 miliar penduduk bumi. 1% manusia ini memiliki kepentingan melanggengkan posisinya di sana. Kemudian diikuti 28% manusia yang mempunyai harta antara $10.000 – $100 Miliar. Dan dengan dogma sukses dunia yang ditanamkan kepada kita selama ini, maka sisanya yaitu 71% dari miliaran manusia lain, yang hanya memiliki kekayaan di bawah $10.000 berebut untuk menempati posisi 1% – 28% itu.


Uang yang pada awalnya hanya alat tukar, kini telah menjadi alat nilai untuk menentukan kehormatan seseorang. Maka level kelompok 1% itu dipandang sebagai manusia terhormat, manusia elit. Bisa terjadinya perubahan cara pandang ini telah diproses berabad-abad lamanya. Benih-benih mindset itu telah ada lama sebelum mencapai tonggaknya ketika Renaissance bergulir di Eropa pada abad ke-17 dan terlaksana hingga hari ini di seluruh dunia.

Turunan skema kelompok elit itu, kini secara berjenjang juga ada di setiap kelompok masyarakat, sehingga hanya sejumlah kecil orang saja yang menguasai masyarakat besar. Sekelompok elit ada di setiap society yang selalu berusaha dan mempertahankan diri untuk memiliki kekuasaan. Karena dengan kekuasaan itu mereka mampu mengontrol masyarakat. Cara para elite itu dalam mengendalikan masyarakat tidak dengan mengontrol jumlah produksi atau jumlah uang yang beredar, tetapi dengan mengendalikan sisi kognitif manusia, yakni cara berpikir. Bila ada perdebatan yang menjadi wacana umum, tujuan intinya bukan pada apa yang menjadi tema perdebatan, melainkan cara berpikir yang dibentuk dalam wacana itu. Semua itu tidak tampak pada arena perdebatan dan tidak akan dibahas, tetapi tertanam dalam kognitif manusia. Cara berpikir inilah yang telah dimanipulasi selama berabad-abad.

Alat manipulasi ini semakin menemukan jalannya ketika Eropa menyadari betapa pentingnya kertas sebagai media penyebaran informasi. Kemudian bermetamorfosa menjadi media massa berbasis kertas yang secara perlahan dikuasai para elite ini melalui kekuatan kapitalnya. Dan pada akhir 1980-an, lebih berkembang lagi bentuk pengendalian informasi itu dengan adanya televisi.


Untuk memahami upaya pengendalian cara berpikir ini bisa dipelajari karya-karya Noam Chomsky, profesor linguistik dunia dari MIT Massachussets. Ia seorang Yahudi yang tidak Yahudi, seorang Amerika yang sangat tidak Amerika hingga ia dicap pengkhianat oleh banyak warga Amerika. Salah satu karyanya adalah Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media dan juga telah menjadi film dokumenter Manufacturing Consent: Noam Chomsky and the Media tahun 1992. Selain itu, gambaran bagaimana sistem dunia ini bekerja dapat juga dibaca dalam bukunya How the World Works yang diterbitkan Bentang Pustaka dalam bahasa Indonesia.

Evolusi bentuk pengendalian mindset ini terjadi lebih canggih lagi ketika tahun 1989, Tim Berners-Lee menggagas World Wide Web (WWW). Ia meletakkan itu menjadi dasar internet yang berkembang hingga ragam bentuknya seperti yang kita rasakan sekarang ini.

Di era yang menurut para peneliti telah memasuki era konsekuensi ini, sejatinya merupakan masa akhir dari sebuah siklus. Letnan Jenderal Sir John Glubb, seorang perwira Inggris yang ditempatkan di Timur Tengah pada akhir masa Ottoman di Turki mengamati daur sebuah dinasti di dunia dalam tulisannya, The Fate of Empire. Dalam pengamatannya, ia melihat kecenderungan putaran yang sama pada setiap masa sebuah dinasti atau kekaisaran. Semua berputar pada siklus 250 tahun atau setidaknya sepuluh generasi. Dalam daur itu, menurutnya ada enam tahap yang dilalui hingga fase keruntuhan.

Tahap pertama adalah generasi para Perintis (Pioneers). Selanjutnya memasuki masa-masa Penaklukan (Conquests). Kemudian adalah era Perniagaan (Commerce). Berikutnya generasi yang berada dalam era Kemakmuran (Affluence). Terus mencapai klimaksnya pada era Intelektual (Intelect). Daur ini berujung setelah manusia terlena dengan capaian-capaiannya yang tidak membatasi sifat kebinatangannya, yakni masuk pada era Kemunduran (Decadent).


Bila kita tarik lebih besar menjadi gambaran peradaban, dunia hari ini telah memasuki masa dekaden. Era kemerosotan dari peradaban Kapitalisme Global. Dalam analisa Glubb, ada kesamaan yang tampak pada masa dekaden di setiap dinasti. Gambaran itu seperti militer yang tidak disiplin dan melakukan tindakan asusila hingga melewati batas kemanusiaan. Salah satunya terlihat ketika tentara Amerika melakukan pelecehan kepada para tawanan di Irak dan Afghanistan, atau kasus pelecehan dan penyiksaan yang mencuat kepada para tahanan Guantanamo.

Gambaran lain yang sangat tampak hari ini yang menunjukkan fase dekaden peradaban adalah mencoloknya tampilan kekayaan dan kemewahan. Rumah-rumah, kendaraan-kendaraan, pakaian-pakaian mewah dan sebagainya. Lalu diikuti oleh jurang kesenjangan yang sangat jauh antara kaya dan miskin. Termasuk yang juga kentara adalah eksploitasi seks yang sangat masif yang bisa kita lihat dari menjamurnya pornografi, terutama di dunia maya.

Namun masa kemunduran peradaban ini tidak terlalu disadari oleh seluruh elemen masyarakat. Bahkan ada yang tidak sadar sama sekali. Juga banyak yang sadar namun merasa tidak berdaya atas serbuan berbagai bentuk dekadensi itu. Namun demikian, masih ada sebagian orang ––yang walaupun tak banyak–– tetap sadar sekaligus terus berjuang untuk memperbaiki keadaan.

Bagi yang tidak sadar, mungkin mereka memang tidak tahu. Ketidaktahuan ini sendiri dicurigai merupakan bentuk upaya elite yang berkepentingan untuk mempertahankan posisi kekuasaan mereka. Masyarakat dialihkan perhatiaanya agar tidak sadar akan kondisi kehancuran yang sebenarnya sedang terjadi.


Mungkin kita bisa belajar dari Kekaisaran Romawi. Di masa dekadensi kekaisaran itu, masyarakat dialihkan perhatiannya sehingga tidak benar-benar sadar akan apa yang sesungguhnya menimpa mereka dengan disuguhi hiburan pertunjukan Gladiator. Pertunjukan itu sangat menyedot atensi dan memecah perhatian rakyat. Saat itu para elite serakah menumpuk emas dan perak yang menjadi standar alat tukar, melampiaskan hawa nafsu kekayaan dan materi, serta obsesi kekuasaan yang dikelabuhi dengan memanipulasi rakyat. Pengalihan perhatian itu sebenarnya adalah upaya elite penguasa yang menyadari masa keterpurukan.

Hari ini, bentuk pengalih perhatian itu mewujud lebih canggih pada program siaran televisi. Di Amerika, masyarakatnya dininabobokan dengan acara-acara televisi. Siaran olah raga adalah salah satu bagian yang menyedot perhatian hingga menjadi bagian utama dari sejarah hidup mereka yang diperbincangkan setiap hari, mulai dari remaja hingga usia lanjut. Bahkan menjadi bagian dari impian anak-anak. Tayangan American Footbal merupakan bisnis multijutaan dolar yang menguntungkan bagi para elite. Puncaknya adalah final Super Bowl yang siaran langsungnya bisa ditonton seratus juta pasang mata, hanya kalah satu tingkat jumlah penontonnya dari Final Piala Dunia FIFA.

Hiburan olah raga, baik itu sepakbola melalui liga-liga Eropa-nya, F1, Moto-GP, dan sebagainya telah menjelma menjadi pengalih perhatian yang strategis selain hiburan televisi lainnya seperti film, musik, drama opera sabun (sinetron), talkshow, kuis, dan gosip. Pelaku olah raga menjadi selebritis yang dipuja-puji sedemikian rupa, seperti para Gladiator di masa keterpurukan Kekaisaran Romawi.

Ada profesi lain yang secara kuat diposisikan menjadi selebriti di masa dekadensi kekaisaran Romawi, Ottoman, dan Spanyol, yaitu para tukang masak atau Chef. Kuliner adalah bentuk lain pengalih perhatian itu. Dan itu tampak juga di sekitar kita saat ini. Hasrat pelampiasan nafsu memburu kenikmatan dan kelezatan sedang bertubi-tubi mengepung dan mendorong kita memburu apa dan di mana makanan yang enak, pakaian yang bagus dan ngetrend, film dan musik yang top, program reality show televisi yang mengasyikkan, atau majalah-majalah hiburan mana yang menghibur.

Semua itu mengalihkan perhatian kita juga membuat cara berpikir dan memandang sesuatu dalam jangkauan yang sangat pendek dan sempit. Bila terkait politik, betapa banyak bentuk pengalih perhatian itu yang akan dipaparkan kemudian, yang bisa kita tadabburi dari kegaduhan nasional yang terjadi belakangan di negeri ini.


Melalui gambaran ini, mudah-mudahan bisa dipahami bahwa para elite “kekaisaran” Kapitalisme Global saat ini, dengan kuasa dan kapitalnya sedang berusaha dengan segala cara untuk melanggengkan kursi kekuasaannya dalam jajaran 1% kelompok oligarki, terutama dengan cara mengendalikan cara berpikir masyarakat dunia.

Dengan menyadari berlangsungnya sebuah sistem yang dimanipulasi itu, dan segala bentuk pengendalian cara berpikir serta pengalihan perhatian yang telah berlangsung berabad-abad lamanya, maka kita menyadari pula bahwa untuk bisa lepas dari kungkungan itu memerlukan langkah dan waktu yang panjang dan tidak mudah.

Kita bisa mencoba bercermin diri, apa yang akan kita lakukan untuk menghadapi kungkungan pengendalian itu. Para elite memiliki kekuatan kekuasaan dan kapital yang besar. Mari coba kita hitung dengan cermat langkah apa yang bisa kita perbuat. Mari kita lihat kembali kemampuan dan kekuatan diri kita yang sejati.

Dengan tetap memegang teguh secara mutlak peran Allah dalam perjuangan untuk berdaulat dari pengendalian kaum elite itu, kita percaya dalam sekejapan mata perubahan akan terjadi. Kun Fayakun. Namun kita juga harus mengupayakan diri dalam perubahan itu. Sehingga dalam kesadaran kita, ini tetap merupakan sebuah "Jurus Jalan Panjang" yang harus terus-menerus diperjuangkan dengan lebih strategis dan bersatu dalam Ummatan Wahidah.

Ahmad Jamaluddin Jufri
Staff Progress, dan Dewan Redaktur Maiyah,
Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
CakNun.com, 17 November 2016

21 Oktober, 2016

Politik Akal Sehat dan Politik Akal Sesat


Politik akal sehat tampaknya sedang memasuki ruang gawat darurat di negeri ini. Ibu Kota sebagai ibu teladan telah menjelma menjadi ibu kesesatan. Pada mulanya, nalar lurus mempertanyakan keputusan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan memilih Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai calon Gubernur DKI Jakarta. Rekam jejak Ahok dinilai tidak sejalan dengan garis ideologis Marhaenisme ––pembela wong cilik.

Tak lama kemudian, nalar terpelanting lebih jauh mendapati keputusan poros “Cikeas” dan “Kertanegara” dalam menetapkan pasangan yang diusungnya. Seorang jenderal purnawirawan dengan getir menyatakan, “Penunjukan Agus Harimurti Yudhoyono merupakan preseden buruk bagi TNI; menjadi contoh negatif yang bisa merusak atmosfer pembinaan di lingkungan TNI. Seorang prajurit ditempa untuk menjadi tentara sejati, bukan menjadi politisi.

Pesan berantai melalui media sosial juga secara satir mempertanyakan integritas dan marwah politik kubu lain. Seseorang yang pernah menghujat tokoh sentral kubu ini sebagai pelanggar HAM dan proksi mafia kini dengan senang hati menerima pinangannya. Adapun sang tokoh yang pernah dinista pun seperti mati akal untuk bisa berdiri tegak dengan otonomi ideologinya. Alhasil, tiga pasang calon tampil sebagai hasil pilihan akal sesat. Kepentingan jangka pendek mengorbankan kesehatan nalar publik. Urusan negara dipandang sebagai pertaruhan harkat keluarga. Popularitas menepikan integritas. Modal uang menjatuhkan modal moral.


Kebebasan demokratis sebagai buah reformasi belum kunjung menghadirkan kehidupan politik yang lebih sehat dan bermakna. Kebebasan sebagai negative right (bebas dari) mengalami musim semi. Bangsa ini telah bebas dari berbagai bentuk represi, sensor, bahkan pembatasan. Namun, kebebasan sebagai positive right (bebas untuk) mengalami musim paceklik. Kita tidak memiliki kapasitas dalam menggunakan kebebasan itu untuk memperbaiki kehidupan negeri dengan memberdayakan daulat rakyat.

Berbagai bentuk pilihan dan kebijakan publik tidak menggunakan asas-asas nalar publik yang sehat. Kebijakan dan pilihan politik dengan nalar publik yang sehat setidaknya harus memenuhi empat prinsip utama sebagai suatu politik yang responsif: prinsip kemasukakalan, efisiensi, keadilan, dan kebebasan.

Dengan keempat prinsip ini, politik responsif harus mempertimbangkan rasionalitas publik tanpa kesemena-menaan mengambil kebijakan / keputusan; adaptabilitas kebijakan dan institusi politik terhadap keadaan; senasib sepenanggungan dalam keuntungan dan beban; serta persetujuan rakyat terhadap pemerintah. Ketika arena politik lebih mewadahi konflik kepentingan ketimbang konflik visi-ideologi, maka watak politik menjadi narsistik, dan itu berarti mengecilkan harapan banyak orang.

Tuntutan politik responsif menghendaki agar demokrasi yang dikembangkan tidak berhenti sebagai demokrasi minimalis yang bersifat elitis, tetapi menjelma menjadi demokrasi deliberatif (permusyawaratan) yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan.


Demokrasi elitis sebagaimana dikonseptualisasikan oleh Joseph Schumpeter yang mendefinisikan demokrasi sebatas metode prosedural, melupakan substansi yang berkaitan dengan tujuan kesejahteraan atau perbaikan nasib rakyat. Demokrasi hanyalah seperangkat prosedur dengan mana keputusan diambil dan kebijakan dihasilkan.

Kedua, konsep politik yang dianalogikan dengan konsep ekonomi pasar. Kompetisi politik berhubungan erat dengan kompetisi ekonomi. Oleh sebab itu, demokrasi elitis ini benar-benar menempatkan demokrasi sebagai suatu arena kompetisi bagi elite-elite terbatas dan teratas. Demokrasi adalah persaingan antarelite. Politisi adalah pengusaha, wakil rakyat adalah saudagar, voter adalah konsumen.

Ketiga, demokrasi elitis ini membedakan dirinya dari sistem totalitarianisme sejauh bahwa pemimpin dari demokrasi elitis diajukan, sementara sistem kediktatoran berdasarkan pada pemaksaan. Keempat, rakyat umum memiliki peranan minimal dalam demokrasi ala Schumpeter ini. Rakyat hanya datang ke pemilu untuk memilih wakilnya, tetapi mereka tidak dapat “menentukan” dan berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan.


Demokrasi deliberatif mengatasi kekurangan demokrasi elitis dengan memandang kebebasan individu dan kesetaraan politik merupakan hal penting sejauh dapat mendorong kemampuan manusia untuk membentuk tatanan kolektif yang berkeadilan melalui deliberasi rasional (Hurley, 1989).

Dalam demokrasi deliberatif, keputusan politik dikatakan benar jika memenuhi setidaknya empat prasyarat. Pertama, harus didasarkan pada asas rasionalitas dan keadilan, bukan hanya berdasarkan subyektivitas kepentingan. Kedua, didedikasikan bagi kepentingan banyak orang, bukan demi kepentingan perseorangan atau golongan. Ketiga, berorientasi jauh ke depan, bukan demi kepentingan jangka pendek melalui akomodasi transaksional yang bersifat destruktif (toleransi negatif). Keempat, bersifat imparsial, melibatkan dan mempertimbangkan pendapat semua pihak (minoritas sekalipun) secara inklusif, yang dapat menangkal dikte-dikte minoritas elite penguasa dan pengusaha serta klaim-klaim mayoritas.

Orientasi etis “hikmat kebijaksanaan” mensyaratkan adanya wawasan pengetahuan mendalam yang mengatasi ruang dan waktu tentang wacana yang dipersoalkan. Melalui hikmat itulah mereka yang mewakili rakyat bisa merasakan, menyelami, dan mengetahui apa yang dipikirkan rakyat untuk kemudian diambil keputusan yang bijaksana yang membawa republik ini pada keadaan yang lebih baik.

Orientasi etis “hikmat kebijaksanaan” juga mensyaratkan kearifan untuk dapat menerima perbedaan secara positif dengan memuliakan apa yang disebut sebagai “kebajikan keberadaban”, yakni rasa pertautan dan kemitraan di antara ragam perbedaan dan kesediaan untuk berbagi substansi bersama, melampaui kepentingan kelompok, untuk kemudian melunakkan dan menyerahkannya secara toleran kepada tertib sipil.

Yudi Latif,
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
KOMPAS, 27 September 2016

25 September, 2016

Gubernur DKI dan Keputusan Seorang Mayor


Pada kesempatan terakhir dari batas waktu pendaftaran bagi calon gubernur DKI, muncul nama seorang Mayor lulusan Akademi Militer. Sebuah keputusan yang terlihat sebagai sebuah keputusan yang “last minute”.

Pada umumnya keputusan yang diketahui sebagai sebuah keputusan yang “last minute” pasti  ada sebabnya.  Mengapa baru atau harus muncul pada “last minute”?

Itu pula sebabnya maka sebuah keputusan yang muncul di “last-minute” akan mengundang banyak sekali pertanyaan yang menuntut jawaban.

Dan pada setiap pertanyaan yang menuntut jawaban, menjadi biasa sekali pula untuk munculnya sekian banyak komentar, tanggapan serta jawaban-jawaban dari pertanyaan tadi yang terkadang spekulatif sifatnya.

Dalam kepemimpinan militer banyak sekali diajarkan tentang keteladanan. Tidak hanya diajarkan sejak dari awal seseorang memasuki dinas ketentaraan, akan tetapi dapat dikatakan dalam hampir setiap kegiatan sehari-hari.


Contoh dan teladan
Maka, inti sari dari sebuah kepemimpinan di militer akan selalu bergumul dengan bagaimana mekanisme “memberi contoh” yang baik terlebih dahulu.

Sudah menjadi sebuah nilai yang universal bagi dunia militer di mana saja di permukaan bumi ini hal yang utama dan pertama yang diberikan kepada calon tentara adalah “memberi contoh” yang baik.

Sebuah langkah wajar sekali dan sangat logis bagi seseorang yang masuk ke bidang kehidupan baru adalah mulai sejak awal harus segera menyesuaikan diri tentang bagaimana harus bersikap.

Bagaimana menyesuaikan diri, itulah yang membutuhkan “contoh”.


Contoh yang baik yang diberikan pada saat paling dini tentu saja akan sia-sia bila tidak berlanjut pada kegiatan harian yang membentuk sebuah keteladanan.

Berangkat dari hal-hal yang sederhana sifatnya, belajar baris berbaris, belajar bagaimana melaksanakan penghormatan sebagai tentara, belajar cara berdiri sikap sempurna dan sikap istirahat dalam barisan.

Kesemua itu membutuhkan “contoh yang baik”, contoh yang seharusnya standar, contoh yang baku.


Selanjutnya dalam pendidikan dan latihan, terutama sekali pada awal-awal perjalanan karier seorang anggota militer, sulit sekali mengesampingkan faktor keteladanan dalam konteks kepemimpinan.

Dalam bahasa yang agak berbeda, namun memberikan pengertian yang sangat jelas tentang hal tersebut, Jenderal Colin Powell menguraikan intisari dari pengalaman panjangnya sebagai komandan dan atau panglima.

The most important thing I learned is that soldiers watch their leader do. You can give them classes and lecture them forever, but it is your personal example they will follow.

Kiranya menjadi jelas sekali bahwa seorang Mayor yang sudah banyak sekali dibekali tidak sedikit classes dan lecture bahkan sampai pada strata yang cukup tinggi, tetap saja dan ternyata Sang Mayor will follow personal example. Mengikuti jejak personel yang jadi contoh.


Militer yang sukses
Meski representasinya hanya sedikit, bagi para lulusan akademi militer, contoh tentang lulusan yang sukses dan populer adalah mereka yang menjadi politikus dan pengusaha.

Banyak sekali lulusan akademi militer yang tampil sebagai tokoh-tokoh penting, mulai dari presiden, menteri, dirjen, sekjen, gubernur, bupati dan lain sebagainya. Demikian pula dengan tokoh-tokoh besar yang muncul sebagai pengusaha yang sukses.

Dengan demikian fenomena gubernur DKI dan sebuah keputusan seorang berpangkat Mayor menjadi tidak begitu aneh sebagai sebuah gejala yang akan bergulir selanjutnya ke depan.

Sebuah fenomena yang will follow personal example, seperti dikatakan Colin Powell. Sebuah fenomena yang memang berujud gejala mengikuti keteladanan yang tampak terang benderang di depan mata mereka.

Robert Waldinger, seorang pendeta yang juga seorang psikiater dan analis psikologi, dalam penjelasan dari hasil penelitian tentang tujuan hidup seseorang yang telah berlangsung dua generasi, mengatakan, sudah menjadi tujuan hidup setiap orang untuk mencapai sukses.

Apa itu sukses? Ukurannya adalah menjadi seseorang yang populer selain untuk menjadi orang kaya.


Pemimpin sejati
Sebenarnya dalam teori kepemimpinan cukup banyak pula yang mengutarakan tentang apa dan siapa pemimpin sejati.

Diskusi mengenai pemimpin sejati, sayangnya sering berakhir pada beberapa kesimpulan yang kadang tidak mudah untuk dimengerti dengan baik.

Kerap disebut bahwa seorang pemimpin sejati adalah dia yang memiliki kepercayaan diri yang kokoh untuk berdiri sendiri, berani untuk mengambil keputusan-keputusan yang sulit dan mengandung risiko, sekaligus memiliki rasa kasih sayang dalam konteks peduli dengan kebutuhan orang lain.

Dikatakan pula, pemimpin juga tidaklah berujud seseorang yang selalu berusaha mengajukan dirinya untuk menjadi pemimpin, akan tetapi seseorang yang kualitas tampilan sosok dan karakter pribadinya terlihat menonjol sehingga banyak orang lain yang justru memintanya untuk menjadi pemimpin mereka.


Dia adalah sosok seorang dengan integritas yang terlihat menonjol dalam keseharian dibanding orang-orang lain di sekitarnya.

Pemimpin laksana seekor elang yang tidak pernah terbang berkelompok, tetapi terbang seorang diri sebagai pemberani, jauh dari kepura-puraan yang tentu saja kemudian hanya akan dapat dijumpai atau muncul pada saat-saat tertentu saja.

Lalu bagaimana kita bisa berharap untuk dapat melihat banyak generasi muda tentara Indonesia berkompetisi dengan sehat dan penuh antusias untuk menjadi jenderal, laksamana dan marsekal.

Memberikan banyak pelajaran kepada para perwira tentang perang dan peperangan, tentang strategi dan taktik militer, tentang semua hal yang merupakan tugas pokok sebuah organisasi yang memang didesain untuk perang adalah sangat penting dalam pembinaan perwira.


Mungkin tidak cukup hanya diberikan pada sekolah staf dan komando saja, tetapi kebiasaan mempelajari, membahas dan mendiskusikan semua aspek tentang perang-perang yang pernah terjadi, seharusnya lebih diberikan kesempatan pada seluruh perwira.

Mempelajari apa yang diperbuat oleh para panglima-panglima perang kenamaan yang sukses memenangkan perang harus dapat disajikan dengan menarik kepada para calon komandan dan panglima.

Membaca literatur dari para suhu dan jagoan perang juga akan sangat bermanfaat dalam keseluruhan pembinaan perwira militer.

Kesemua itu dapat sedikit banyak membantu turut membentuk karakter perwira sebagai ksatria penjaga bangsa dan ibu Pertiwi yang tidak mudah tergoda dengan sekedar popularitas dan kekayaan.


Napoleon Bonaparte bahkan menyerukannya dengan spesifik, “Read over and over again the campaigns of Alexander, Hannibal, Caesar, Gustavus, Turenne, Eugene and Frederic…..this is the only way to become a great general and master the secrets of the arts of war.

Saya menerjemahkan dengan bebas, baca, baca dan bacalah lagi! Sayangnya, membaca adalah justru kelemahan terbesar dari banyak para perwira kita.

Negeri ini membutuhkan tentara sejati, anak-anak muda pemberani, para perwira ksatria yang senantiasa siap mengabdikan dirinya kepada negara dan bangsa yang dicintainya dan tidak kenal menyerah.

Berpulang juga tanggung jawab ini kepada kita semua untuk saling bahu membahu agar negeri ini dapat menghasilkan para perwira sejati yang tidak mudah tergoda kepada hal-hal selain bagi kejayaan Indonesia.

Chappy Hakim
Kepala Staf Angkatan Udara Republik Indonesia 2002-2005,
Ketua Tim Nasional Evaluasi Keselamatan Keamanan Transportasi 2007,
Juga seorang penulis buku
KOMPAS, 24 September 2016

22 Agustus, 2016

Diskresi atau Korupsi


Presiden Jokowi mewanti-wanti agar penegak hukum tidak mengkriminalisasi diskresi yang diambil oleh pejabat pemerintah, khususnya pemerintah daerah.

Ini merupakan pernyataan yang kesekian kalinya disampaikan oleh Presiden. Sebelumnya, Presiden bahkan merencanakan membuat aturan anti kriminalisasi pejabat pemerintah. Sikap Presiden tersebut merupakan respons atas curhatan para kepala daerah dan pejabat pemerintah yang takut mengambil keputusan lantaran khawatir akan diperkarakan. Hal itu mengingat hingga saat ini sudah ratusan kepala daerah terjerat korupsi dan ada ribuan aparatur yang diproses tindak pidana korupsi. Apakah benar diskresi dikriminalisasi?

Sebelumnya, mari kita cermati modus korupsi di daerah. Ada beberapa jenis kasus yang sering terjadi di daerah. Mulai dari pengadaan barang dan jasa, pengelolaan aset, pengelolaan anggaran, perizinan, pelayanan publik, hingga perjalanan dinas. Semua itu wilayah yang rentan korupsi. Korupsi di bidang pengadaan proyek-proyek pembangunan yang dibiayai APBN atau APBD mendominasi temuan perkara di daerah. Ada bermacam-macam modus yang digunakan dalam korupsi sektor ini.


Modus paling sering adalah persekongkolan antara birokrasi dan pihak ketiga yang sudah terjadi sejak tahap perencanaan yang berujung pada suap kepada pejabat tertentu. Sering juga melibatkan politisi di legislatif. Kemudian, rekayasa dokumen pengadaan dan mark up harga. Selanjutnya, kesalahan prosedur pelaksanaan pengadaan.

Keuntungan bagi pejabat biasanya didapat dengan jalan suap, gratifikasi, kick back, mark up, dan rekayasa harga. Di sektor lain, korupsi biasanya didahului penyalahgunaan wewenang dengan melanggar aturan hukum. Atau boleh jadi tak ada pelanggaran hukum atau penyalahgunaan wewenang, tetapi karena menerima suap atau gratifikasi, maka diproses hukum. Itulah pola korupsi yang secara umum terjadi di birokrasi, khususnya di pemerintahan daerah. Terlihat tingkat kepatuhan aparatur pada aturan hukum dan prosedur administrasi dalam menjalankan kewenangan sangat rendah. Terkadang korupsi terjadi bukan karena kebijakan yang diambil, melainkan semata karena menerima suap atau gratifikasi dalam menjalankan tugas dan kewenangan.


Penyalahgunaan diskresi
Diskresi merupakan prinsip mendasar yang dimiliki oleh aparatur pemerintah dalam mengelola pemerintahan. Asas ini memberikan legitimasi atas kebijakan yang diambil oleh pemerintah demi kepentingan umum. Berdasarkan prinsip ini, seorang pejabat tidak dapat dipidana selama mengikuti rambu-rambu penggunaan diskresi.

Sejatinya diskresi merupakan kekuasaan yang bebas dan dapat digunakan untuk mengatasi masalah tertentu. Namun, saat ini ruang diskresi sudah kian sempit. Hampir semua urusan pemerintahan telah diatur oleh regulasi dan aturan teknis yang rigid. Bahkan, penggunaan diskresi pun telah diatur secara tertulis dalam UU Administrasi Pemerintahan. Penggunaan diskresi pun ada prosedurnya, sesuatu yang sebenarnya menyalahi konsep diskresi itu sendiri.

Dalam praktik pemerintahan, penggunaan diskresi seharusnya tidak perlu dikhawatirkan oleh pejabat pemerintah. Selain sebagai asas dalam menjalankan fungsi pemerintahan, diskresi juga telah memiliki landasan hukum yang kuat berdasarkan UU Administrasi Pemerintahan. Yang menjadi persoalan adalah penyalahgunaan diskresi (discretional corruption). Penyalahgunaan itu terjadi karena pemahaman yang keliru atas diskresi atau adanya niat jahat untuk memperoleh keuntungan tertentu.


Ada banyak salah kaprah tentang diskresi. Diskresi kerap kali dijadikan alasan untuk melanggar prosedur hukum. Misalnya dalam hal pengadaan barang dan jasa. Ketika pejabat pengadaan melakukan penunjukan langsung dengan alasan diskresi pejabat yang bersangkutan, padahal mekanisme itu tidak boleh dilakukan karena tidak memenuhi syarat menurut aturan pengadaan. Ini jelas bukan diskresi, tetapi penyalahgunaan diskresi.

Yang juga harus dipahami, dalam hal pengadaan barang dan jasa, pengelolaan anggaran dan aset, ruang diskresi sebenarnya sudah sangat terbatas. Sebab, hal tersebut telah diatur dalam regulasi tersendiri berikut dengan aturan-aturan teknisnya.

Hampir setiap tahun Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri memproduksi aturan teknis yang menjelaskan bagaimana kewenangan itu dijalankan. Walaupun terkadang aturan-aturan yang diterbitkan pemerintah pusat inilah pangkal masalahnya. Jadi, masalahnya bukan pada diskresi, melainkan pada penyalahgunaan diskresi yang berujung pada korupsi.


Pembenahan birokrasi
Melihat modus korupsi birokrasi dan penyalahgunaan diskresi yang sering terjadi, maka pemerintah harus mempercepat proses pembenahan birokrasi. Kekuasaan diskresi yang besar tanpa tata kelola pemerintahan yang baik hanya akan melahirkan praktik korupsi yang masif.

Presiden tidak boleh menutup mata atas kebobrokan birokrasi di daerah bahwa masih banyak yang mencoba menyalahgunakan jabatan demi keuntungan tertentu. Jangan sampai diskresi digunakan untuk bersembunyi di balik rencana jahat untuk menggarong uang negara dan melakukan sesuatu yang terkesan legal-formal tetapi dilakukan karena ada motif keuntungan pribadi, kelompok, atau kroni-kroninya. Pada saat yang sama, Presiden punya PR besar untuk mempercepat reformasi di tubuh kepolisian dan kejaksaan.

Oce Madril,
Dosen Fakultas Hukum UGM,
Peneliti di PUSKAT (Pusat Kajian Anti Korupsi) UGM

KOMPAS, 11 Agustus 2016