16 Oktober, 2013

Ketika Hukum Terkomodifikasi

John Locke dan Montesquieu, pencetus gagasan Trias Politika.

Masyarakat Indonesia untuk kali ke sekian dihentak oleh “tsunami besar” dalam dunia hukum, ketika Rabu, 2 Oktober 2013 malam lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar karena diduga menerima suap terkait sengketa pilkada di Kabupaten Gunung Mas Kalimantan Tengah.

Media televisi malam itu saling berlomba menampilkan informasi paling eksklusif. Hampir semua media cetak mengubah haluan headline untuk terbitan paginya. Tak sampai 24 jam, KPK pun menetapkan Akil dan beberapa orang lainnya dari DPR dan kepala daerah sebagai tersangka kasus penyuapan tersebut.

Kaget dan prihatin, itulah kata yang terlontar dari berbagai kalangan pada hari-hari ini. Gelombang “tsunami hukum” yang datang silih-berganti semakin memorakporandakan hukum dan keadilan di negeri ini. Sungguh ironi besar, ketika suara publik begitu kuat meneriakkan pengganyangan korupsi, di sisi lain penyelenggara negara, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif, tercemari oleh kejahatan luar biasa itu.

Lengkap sudah kolaborasi korupsi di negeri ini ketika tiga pilar negara berjamaah menjalankannya. Gagasan besar John Locke yang disempurnakan oleh Montesquieu untuk memisahkan kekuasaan ke dalam Trias Politika agar tercipta negara demokratis yang mampu mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan mendorong mekanisme check and balances menjadi porak-poranda di negeri ini. Semua justru berbagi kapling dalam berladang korupsi.

Angie, Kartini, Rudi, Akil, Heri, Luthfi, Gayus, Djoko.

Tidaklah mengherankan jika kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dan keadilan makin tergerus. Jabatan sebagai penyelenggara negara yang pada awal pelantikan mereka katakan sebagai amanah, berubah menjadi khianat. Masyarakat bertanya-tanya, apakah yang salah dalam sistem politik, hukum, dan ketatanegaraan kita, sehingga badai korupsi datang silih-berganti?

Tentu kita masih ingat bagaimana pada awal reformasi, kemasifan praktik korupsi ditengarai sebagai akibat keminimalan kesejahteraan aparat penyelenggara negara dan penegak hukum. Pemerintah kemudian menaikkan kesejahteraan atau me-remunerasi dengan cukup signifikan bagi aparat yang rawan dengan penyalahgunaan kekuasaan, semisal pegawai Ditjen Pajak, Bea dan Cukai, juga aparat penegak hukum dari kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman.

Maka efektivitas kebijakan tersebut kembali dipertanyakan, ketika ternyata muncul rentetan kasus yang melibatkan pegawai pajak Gayus Tambunan, Dhana Widyatmika, jaksa Urip Tri Gunawan, hakim tipikor Kartini Marpaung dan Heri Kisbandono di Semarang, politikus Angelina Sondakh, Luthfi Hasan Ishaaq, Irjen Pol Djoko Susilo, Rudi Rubiandini dan berderet kasus lain yang tak kalah menggemparkan.

Kini masyarakat kembali disuguhi drama terheboh yang melibatkan Ketua MK. Mahkamah Konstitusi selama ini yang digadang-gadang sebagai benteng terakhir keadilan yang masih steril dari praktik kotor. Kamis, 3 Oktober lalu KPK menetapkan Akil Mochtar sebagai tersangka. Tentu bukan hal sepele, karena lazimnya kasus yang disidik KPK hampir pasti sampai meja pengadilan karena memiliki bukti kuat permulaan terhadap pelanggaran hukum.

Berbagai kasus tersebut menunjukkan tesis tentang keminimalan kesejahteraan penyelenggara negara dan penegak hukum sebagai faktor pemicu korupsi tidak selamanya benar. Pendapatan yang ditingkatkan ternyata belum terbukti efektif mengerem nafsu koruptif. Sebaliknya, justru menjadi bargaining untuk menaikkan “tarif” suap yang harus diberikan kepada mereka. Dan akhirnya masyarakat pun seolah-olah telah menjadi terbiasa ketika membaca dan mendengar angka-angka korupsi yang berjumlah jutaan bahkan miliaran.

Berani, Jujur, (Pemimpin) Hebat !!!

Proses Komodifikasi
Dari berbagai peristiwa tersebut, termasuk kasus Akil, tampaknya dunia hukum di Indonesia mengalami proses komodifikasi. Mengacu pemikiran kaum Marxian, komodifikasi dapat dilihat sebagai proses mengubah tujuan dan fungsi suatu aktivitas atau benda yang seharusnya nonkomersial dan bersih dari kepentingan kapital, menjadi komoditas menggiurkan yang membawa banyak keuntungan kapital.

Dunia hukum yang seharusnya menjadi sarana menegakkan kebenaran dan keadilan bagi semua orang, terkomodifikasi sebagai alat untuk memperoleh keuntungan bagi sebagian aparat penegak hukum. Kapitalisme yang saat ini menghegemoni kehidupan dunia, telah merangsek masuk ke ranah hukum, sehingga kini hukum memiliki fungsi laten menjadi alat transaksi ekonomi. Kini hukum telah menjadi alat untuk memupuk dan menumpuk kekayaan pribadi.

Penyelesaian kasus-kasus hukum kini cenderung transaksional, dan proses tersebut tidak pernah dipelajari oleh aparat penegak hukum ketika mereka masih di fakultas hukum atau di Akademi Kepolisian. Kapitalismelah yang telah dijadikan guru, sehingga dengan cerdik (bukan cerdas) dan licik bagai kancil, mereka mampu memanfaatkan wewenang hukum untuk pemupukan modal kapital.

Hasilnya, sengketa pilkada disulap sebagai peluang pemupukan kapital karena sudah menjadi naluri orang yang bersengketa pasti akan berusaha dan bersaing menjadi pemenang. Inilah peluang kapital yang kemudian ditangkap dan dimainkan oleh aparat penegak hukum yang amoral.

Inilah ironi dunia penegakan hukum dan kita masih harus bersabar menunggu, karena tampaknya epilog drama korupsi belum juga kunjung tiba waktunya. Tapi dengan sistem yang baik, didukung keterjagaan integritas moral individu penegak hukum, semestinya dan seharusnya korupsi dapat dilawan. Kita berharap, setelah peristiwa Akil, epilog segera datang untuk mengakhiri drama yang seolah-olah tak kunjung usai. Kita tetap harus optimistis.

Kuncoro Bayu Prasetyo;
Dosen Antropologi Unnes dan Akademi Kepolisian
SUARA MERDEKA, 7 Oktober 2013