18 Februari, 2017

Algoritme Kebencian


Apabila Anda ingin memerdekakan sebuah masyarakat, yang Anda butuhkan adalah internet.” (Wael Ghonim, Aktivis Internet)

Sewaktu Ghonim mencetuskan ini pada 2011, optimismenya memang beralasan. Mesir berada di ambang revolusi yang akan menggulingkan pemerintahan otoriter Mubarak. Berkat media sosial, rakyat menemukan kelaliman pemerintah dan bergerak menuntut perubahan.

Tak butuh waktu lama sampai Ghonim pupus harapannya. Ghonim —yang perannya dalam memobilisasi rakyat melalui Facebook dianggap vital— terkoyak menyaksikan bagaimana media sosial memecah belah kekuatan rakyat yang seharusnya mengawal demokratisasi di negaranya. Ujaran kebencian, provokasi adu domba, dan berita palsu menguasai media sosial.

Bos Facebook, Mark Zuckerberg dan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.

Kekecewaan Ghonim kini tidak sulit kita jumpai. Sewaktu Trump memenangi pemilu tempo hari, mata tak hanya tertuju pada kebangkitan populisme ekstrem yang melalap berbagai belahan dunia hari ini. Berbagai pihak menuntut Mark Zuckerberg, CEO Facebook, untuk bertanggung jawab atas maraknya berita palsu yang menguntungkan kandidat yang mengecer nasionalisme dan sensasionalisme vulgar itu di media sosialnya.

Dari data yang diperoleh perusahaan pemantau jejaring sosial, Buzzsumo, memang klaim ini punya dasar. Dari 16 juta respons yang diperoleh 20 berita teratas perihal pemilu di Facebook, 8,7 juta respons tertuju pada berita palsu seperti “Paus Francis Mendukung Trump” atau “Hillary Terungkap Wikileaks Menjual Senjata ke ISIS”. Sebagian besar berita itu melejitkan citra Trump dan mencederai citra Hillary.

Apakah situasi semacam ini asing di Indonesia? Kita tahu: tidak.

Donald Trump dan Mark Zuckerberg.

Gelembung paranoia
Kala diminta pertanggungjawabannya atas berbagai informasi menyesatkan, Facebook menampik. Seperti yang dari waktu ke waktu ditegaskannya, Mark Zuckerberg mengetengahkan bahwa Facebook merupakan perusahaan teknologi. Facebook, berbeda dengan media massa, tak memproduksi kandungan (content) yang beredar di jejaringnya. Karena itu tak bisa dituntut bertanggung jawab atasnya.

Namun, kita pun bisa menimpali balik, andai saja persoalannya benar-benar sesederhana itu. Sedari awal Facebook didesain sebagai sebuah ekologi digital yang tak hanya menghubungkan orang-orang, tetapi juga menyihir mereka tenggelam di dalamnya. Mereka mencetak untung dari waktu dan perhatian yang dihabiskan para pengguna di jejaringnya —menjualnya sebagai peluang beriklan strategis bagi perusahaan yang sadar televisi— saat daya jangkau media cetak semakin melemah seperti sekarang ini.

Karena itu, Facebook dalam usaha menegakkan dominasinya atas platform media sosial lain, mengembangkan algoritme yang efektif dalam membaca sekaligus menyajikan dinamika dan drama jejaring sosial yang mengikat penggunanya. Facebook menyusun satu rumus untuk mengalkulasi acungan jempol, jejaring pertemanan, waktu membaca pos, serta semua jejak perilaku digital pengguna yang dapat menerka selera dan preferensi tiap pengguna. Lantas Facebook akan memilihkan unggahan status, foto, berita dari jaringan sang pengguna yang dianggapnya akan memikat pengguna bersangkutan.

Apakah algoritme merupakan biang keladi dari tumbuh suburnya kapitalisme digital?

Facebook tak mengembangkan algoritme ini secara instan. Dan hasilnya adalah Facebook yang kita jumpai hari ini adalah media sosial terbesar yang jumlah pengguna aktifnya tak mungkin lagi terkejar lagi oleh media sosial lainnya. Apa yang acap Anda lihat pertama kali ketika membuka laman utamanya?

Muatan-muatan menggugah emosi, sentimentil dan —yang terpenting— memaksa Anda untuk terus memancangkan perhatian ke lamannya. Banyak di antaranya yang, tak bisa kita tampik, merupakan berita membahagiakan, seperti kabar kelahiran anak seorang teman dekat. Namun yang tak kalah banyak adalah informasi yang menorehkan kebencian, kemarahan, ketakutan dan kecemasan yang membuat galau berbagai pihak.

Facebook sendiri, tentu, tak pernah menggambarkan algoritme yang dikembangkannya bertujuan untuk memprovokasi atau memanipulasi emosi para penggunanya. Di laman beritanya, Facebook menyampaikan bahwa pihaknya ingin merancang sebuah platform tempat para penggunanya tak akan melewatkan kabar penting dari jaringan perkawanannya serta memperoleh interaksi otentik dan bermakna.

Akan tetapi, siapa yang bisa mengantisipasi kalau ternyata algoritme untuk tujuan demikian itu melecut pula kandungan yang mengobarkan permusuhan kepada yang lain? Bahwa yang lantas terjadi bukan hanya Anda terjalin setiap saat dengan kawan-kawan, tapi juga Anda digerayangi paranoia tak beralasan dari muatan yang menggentayangi jejaring Anda?

Hillary Clinton versus Donald Trump.

Kapitalisme digital
Pengaruh algoritme ini tak berhenti pada mengubah cara banyak orang memperoleh informasi. Ia pun, dengan sendirinya, mengubah secara dramatis cara orang-orang memproduksi dan mereproduksi informasi. Apabila satu pihak menginginkan kandungan yang disusunnya tersebar dan memperoleh entah untung sosial, politik, ataupun finansial darinya, mereka harus mengikuti logika yang dihasung dan dirampungkan media sosial dalam penyajiannya.

Akibatnya, tak mengherankan jika hari-hari ini situs berita yang dianggap kredibel sekalipun pada akhirnya terjebak untuk mengerdilkan dirinya menjadi penjaja judul bombastis sentimental. Situs berita remang-remang, dapat ditebak, semakin leluasa untuk menebar kabar liar yang tak dapat dipertanggungjawabkan dalam gaduh-riuh yang menyulut emosi. Muatan yang demikianlah yang fakta nyatanya, harus diakui, mendapatkan panggung utama dalam jejaring sosial digital kita.

Sebuah artikel BuzzFeed bahkan mengungkap ada sekelompok anak muda di Macedonia yang pencahariannya menyusun dan menyebarkan berita palsu seputar pemilu AS dan terutama yang mengangkat Trump. Mengapa mereka melakukannya? Jawabannya sederhana: karena uang. Uang akan mereka peroleh ketika para pengguna media sosial bisa terbujuk —lebih tepatnya terperangkap— mengunjungi situsnya. Namun, pertanyaan pentingnya, mengapa mereka bisa melakukannya? Tak lain karena media sosial menyediakan tambang informasi yang sangat melimpah sekaligus merupakan medium paling ampuh bagi penyebarannya dengan kecepatan seketika.


Yang menarik, anak-anak muda ini mengaku sempat berusaha menayangkan pula berita perihal senator Bernie Sanders. Namun, tak ada yang bergaung lebih kuat di Facebook dibandingkan dengan berita tentang Trump dan Trump. Dan kita tahu, sejak pertama, Trump memang dibesarkan sekaligus membesarkan figurnya sendiri dengan kampanye kebencian.

Bukankah hal ini juga menggambarkan bagaimana kini muatan kebencian menyalip muatan lainnya dalam menggenggam kehidupan digital kita? Itu lantaran ia lebih mudah menjangkiti khalayak dan memungkinkan para pihak dalam mengambil keuntungan darinya?!

Apa yang kita saksikan saat ini merupakan paradoks telanjang dari era teknologi informasi. Semakin canggih perkakas yang memudahkan kita berhubungan dengan insan lain, ternyata semakin sempit dan picik cakrawala pandang kita. Kita jadi tersandera oleh sentimen kita sendiri yang sejatinya sudah dipetakan, dipancing dan dimanipulasi sedemikian rupa sehingga sebagian pihak akan menangguk mujur dan meraup untung akibat dari kenyataan paradoksal ini.

Pada akhirnya, kita memang telah disandera oleh sesosok makhluk gelap dalam gulita malam yang beberapa tahun silam bahkan belum lahir: kapitalisme digital.

Geger Riyanto,
Esais; Peneliti Sosiologi;
Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di Universitas Indonesia
dan Bergiat di Koperasi Riset Purusha
KOMPAS, 7 Februari 2017