19 September, 2014

Wajah Ganda Jokowi-JK


Sesuai janjinya, Jokowi-JK akhirnya mengumumkan postur kabinet, Senin, 15 September 2014. Kabinetnya terdiri atas 34 menteri dengan rincian 19 kementerian tetap, 6 kementerian berubah nama, 6 kementerian gabungan, dan 3 kementerian baru. Kursi menteri akan diisi oleh 18 profesional dan 16 dari partai politik.

Posisi wakil menteri dipertahankan di pos Kementerian Luar Negeri, lainnya dihilangkan. Tampak tidak ada perbedaan signifikan antara kabinet Jokowi-JK dan kabinet SBY-Boediono yang juga terdiri atas 34 menteri. Perbedaan kecil hanya soal alokasi kursi menteri di kabinet SBY-Boediono yakni 14 dari profesional dan 20 dari parpol. Perbedaan kecil lain adalah pos wakil menteri yang mencapai 17 orang di antaranya untuk Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Pertanian.

Dengan tidak adanya perbedaan signifikan dalam postur kabinet ini merupakan cacat dini Jokowi-JK. Soal ini tidak boleh diremehkan karena jauh sebelum dan selama kampanye pilpres, isu perampingan kabinet menjadi daya tarik untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas Jokowi-JK. Jadi, Jokowi-JK harus mampu memberikan penjelasan yang jujur, rasional, dan argumentatif soal dipertahankannya postur kabinet gemuk ala SBY-Boediono tersebut agar tidak dituding telah melakukan pembohongan publik.


Kegenitan Tim Transisi
Hal positif yang dilakukan Jokowi-JK sebelum menjalankan pemerintahannya adalah membentuk Tim Transisi. Secara teoritik, Tim Transisi berperan untuk melakukan berbagai kajian tentang gagasan/konsep, kelembagaan dan kualifikasi personalia yang memadai sebagai syarat untuk mewujudkan kabinet profesional yang mampu bekerja cepat, akurat, berkualitas, dan murah. Tim ini juga diperlukan untuk menjamin kesinambungan penyelenggaraan pemerintahan dari SBY-Boediono ke Jokowi-JK. Sayangnya, tanggung jawab mahaberat dan mulia ini tidak ditunjang dengan keanggotaan Tim Transisi yang dapat diandalkan.

Keterpilihan Rini Soemarno (dulu Rini Soewandi) sebagai ketua Tim Transisi merefleksikan kuatnya dominasi Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Selagi menjabat menteri perdagangan era Megawati Soekarnoputri, kinerja Rini sebenarnya tidak meyakinkan. Begitu pula kehadiran intelektual (Andi Widjajanto, Anies Baswedan) dan aktivis (Hasto Kristianto, Akbar Faisal) tidak mampu meyakinkan publik bahwa tim ini bisa bekerja optimal. Minimnya pengalaman anggota Tim Transisi dalam pemerintahan membuat tim ini gagal menghasilkan agenda-agenda yang meyakinkan sehingga bisa mengikat Jokowi-JK. Soal postur kabinet misalnya awalnya tim ini yakin, kabinet bisa dirampingkan hingga 20 kementerian saja.

Jokowi juga kerap menyatakan bahwa kabinetnya akan ramping dan profesional. Tapi, gagasan ini dengan mudah dipatahkan oleh JK. Dengan dalil bahwa dirinya sudah lama di pemerintahan dan lebih berpengalaman, JK menegaskan bahwa postur kabinet tetap 34 kementerian sehingga Tim Transisi tidak boleh gegabah mengurangi itu. Mempertahankan 34 kementerian merupakan efek dari kuatnya dominasi JK.


Kenyataan ini menyingkap dua soal serius. Pertama, Tim Transisi dibentuk semata-mata untuk membangun citra bahwa kepemimpinan Jokowi-JK benar-benar dirancang dan dipersiapkan secara matang. Itu terlihat dari kegenitan tim untuk menebar wacana intelektual tentang berbagai rancangan perubahan.

Perlahan tapi pasti, publik sadar bahwa semua itu tidak lebih dari intellectual exercise, yang ramai dan asyik diperdebatkan, tapi sulit diadopsi menjadi keputusan politik yang mengikat dan operasional. Andi Widjajanto mengatakan bahwa Tim Transisi telah menyelesaikan tugasnya menyusun postur kabinet dan kualifikasi menteri, tapi soal keputusan akhir, tetap menjadi urusan Jokowi-JK.

Jika demikian, apa bedanya kajian akademis di berbagai perguruan tinggi dengan kerja Tim Transisi?

Kedua, sejak awal JK sudah tidak sepakat dengan gagasan perampingan kabinet yang digagas Jokowi. JK memang menjadi bagian dari perancang postur kabinet dengan 34 kementerian saat berpasangan dengan SBY periode 2004-2009 lalu. Namun, selama kampanye JK sengaja membiarkan gagasan ini berkembang sekadar untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas demi memenangkan Pilpres 2014. Sulit dibantah bahwa di sinilah Jokowi-JK sudah cacat secara etik karena menjanjikan sesuatu yang akhirnya tidak akan mereka laksanakan.


Wajah Ganda
Demi membangun pemerintahan yang kuat dan optimal bekerja untuk rakyat, Jokowi-JK menjanjikan bahwa kabinetnya akan didominasi oleh profesional murni. Kualifikasi menteri dipatok tinggi yakni memiliki kompetensi, berintegritas, serta memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat. Jokowi-JK juga membuka kemungkinan kader partai menjadi menteri, tapi kader bersangkutan harus meletakkan jabatannya di partai. Di samping itu, merujuk pada koalisi gemuk kabinet SBY-Boediono yang didominasi kader partai, Jokowi-JK bertekad merampingkan itu.

Jokowi-JK juga mendeklarasikan koalisi partai tanpa syarat. Partai Golkar yang ingin merapat dengan konsesi beberapa kursi menteri ditolak karena tidak sesuai proposal koalisi Jokowi-JK. Terkesan bahwa koalisi ini bisa secara mandiri berjalan tanpa didukung partai lain di luar PDIP, PKB, Hanura, NasDem, dan PKPI. Tapi, belum lagi berkuasa, Jokowi-JK sudah menerapkan politik wajah ganda. Pertama, jatah kursi ternyata dibagi hampir merata antara profesional dan partai. Jokowi memang menyebutnya profesional partai. Tapi, Jokowi lupa bahwa profesional bekerja semata-mata untuk kepentingan rakyat, sementara kader partai tidak.


Kasus korupsi yang melibatkan beberapa menteri di era SBY-Boediono merupakan bukti bahwa kader partai tidak mungkin sepenuhnya bisa profesional karena mereka juga bertanggung jawab untuk menutupi kelemahan keuangan dari kekuatan politiknya. Syarat melepas jabatan bagi kader partai yang menjadi menteri juga tinggal sayup-sayup.

Kedua, meski mengaku tidak merasa terancam dengan manuver politik oposisi yang digalang Koalisi Merah Putih (KMP), diam-diam Jokowi-JK melobi berbagai kekuatan politik untuk memperkuat koalisinya. JK bahkan menyatakan telah menyiapkan jatah kursi menteri bagi partai yang mau bergabung dengan pemerintah. Jika kelak anggota koalisi Jokowi-JK bertambah, tekad untuk membentuk kabinet yang profesional dan total bekerja untuk rakyat menjadi sulit diwujudkan. Karena di mana pun koalisi multipartai yang gemuk cenderung lemah, lamban, dan boros. Lemah karena mudah pecah setiap ada perbedaan kepentingan, lamban karena pengambilan keputusan yang bertele-tele, dan boros karena menghabiskan banyak anggaran untuk menjaga soliditas koalisi.

Romanus Ndau Lendong,
Dosen Universitas Bina Nusantara, Jakarta
KORAN SINDO, 18 September 2014

05 September, 2014

Cerdas Bersama Taman Bacaan


Banyak alasan yang membuat orang merasa perlu membaca, diantaranya untuk mengembangkan “keterampilan” bertutur dan berbahasa. Lewat kebiasaan membaca, seseorang tak akan pernah merasa sendirian. Ia bisa mengisi waktu luangnya sekaligus mendapat pengetahuan baru yang akan memperkaya pribadinya. Kegiatan itu juga dapat menghindarkan seseorang dari stres.

Paul C Burns, Betty D Roe, dan Elinor P Ross dalam Teaching Reading in Today’s Elementary Schools menulis bahwa, “Membaca memang sebuah proses yang -tidak hanya proses membaca itu yang kompleks- tapi setiap aspek yang ada selama proses membaca itu pun bekerja dengan sangat kompleks.”

Ada beberapa aspek yang bekerja saat kita membaca, kata Burns dan kawan-kawan, yaitu sensori, persepsi, sekuensial (tata urutan kerja), pengalaman, berpikir, belajar, asosiasi, dan afeksi. Sewaktu anak kecil membaca misalnya, sesungguhnya itu tidak hanya mengasah ketajaman berpikirnya, pada saat bersamaan kepekaan perasaannya juga terasah. Secara umum anak itu akan mengembangkan kemampuan intelektualnya sekaligus meningkatkan kecakapan dan kecerdasan mental.

Melalui membaca pula, kita dapat meningkatkan kemampuan dan kualitas pribadi, khususnya bila dimulai sejak usia dini. Membudayakan membaca merupakan hal yang bermanfaat bagi masa depan, dan berlaku bagi siapa pun. Lebih baik lagi bila para orang tua menanamkan kebiasaan membaca sejak dini kepada anak-anaknya.


Adapun buku adalah jendela ilmu. Dari bukulah kita bisa mengukur potensi sebuah bangsa. Bangsa yang memiliki minat baca buku tinggi pasti akan lebih mempunyai keunggulan komparatif untuk bisa bersaing dengan bangsa-bangsa lain.

Di negara kita, selain perpustakaan umum, masyarakat juga mengenal perpustakaan desa (perpudes), rumah pintar, pondok baca, dan taman bacaan masyarakat (TBM) lainnya.

Adapun taman bacaan sejatinya merupakan bagian dari perpustakaan, dan kini ada beberapa TBM yang dikelola masyarakat. Fasilitas itu dibangun karena rasio yang tidak ideal andai membangun perpustakaan (karena kecilnya jumlah penduduk di sebuah daerah). Sehingga bersama taman bacaan, anak-anak sejak usia dini bisa dibiasakan untuk gemar membaca, minimal diawali dengan melihat gambar atau foto di dalam buku atau majalah yang ada. Bila ia merasa bahwa tempat itu membuatnya nyaman, maka setelah dewasa kelak ia akan terbiasa dan gemar membaca.

Kini sudah mulai tumbuh pengertian bahwa membaca bukan lagi sekedar mengisi waktu luang atau bahkan perintang waktu, melainkan sudah menjadi semacam kebutuhan. Pengelola taman bacaan merasa berhasil menjalankan tugas bila tempat itu selalu dipenuhi pengunjung. Namun di berbagai kota, masih dijumpai kondisi taman bacaan yang sepi dari pengunjung karena kurangnya informasi dan sosialisasi (dan pastinya menjadi kurang menarik), karena disebabkan keterbatasan dana dan SDM pengelolanya.


Menambah Informasi
Sebenarnya, walau relatif sebentar, tiap saat kita bisa membaca, kapan pun dan di mana pun. Misal di rumah sebelum berangkat kerja/kuliah, menunggu bus di halte, menunggu kereta di stasiun, dan sebagainya. Yang jelas kita bisa memanfaatkan sedikit waktu untuk menambah informasi sekaligus memperoleh pengetahuan yang sangat bermanfaat.

Cerdas bersama TBM merupakan satu cara agar masyarakat lebih menaruh perhatian dalam rangka menambah pengetahuan dan meningkatkan kecerdasan. Terlebih visi misi taman bacaan masyarakat tidak berbeda jauh dari perpustakaan pemerintah/perpustakaan sekolah/perguruan tinggi.

Karena itu, pemerintah semestinya menjaga supaya harga buku tetap terjangkau. Hal itu supaya pengelola taman bacaan bisa membelinya. Dengan koleksi lengkap dan fasilitas memadai maka TBM tersebut menjadi lebih menarik bagi calon pengunjung. Pengelola yang cerdas seharusnya juga tak segan untuk “berburu” buku, majalah dan bahan bacaan menarik lainnya guna melengkapi koleksinya.

Ia bisa meminta bantuan dari manapun ataupun menerima sumbangan buku dari pribadi, tokoh-tokoh masyarakat, komunitas, kedutaan besar, instansi pemerintah/BUMN, atau swasta. Penulis optimis minat baca warga Jateng dan masyarakat luas pada umumnya akan meningkat bila lebih banyak lagi didirikan taman bacaan masyarakat.

Pemerintah (kelurahan/kecamatan/kota/kabupaten, bahkan provinsi) dapat memanfaatkan taman bacaan untuk menyampaikan program atau capaian keberhasilan pembangunan lewat buku yang disumbangkan. Upaya itu sejalan dengan program mencerdaskan kehidupan bangsa sembari mengoptimalkan pemberdayaan masyarakat.

Ambijo,
Ketua Forum Penulis Kebumen (FPK)
SUARA MERDEKA, 3 September 2014