28 Februari, 2014

Umat sedang Menjadi Buih


Islamisasi (di Jawa) merupakan proses yang diwarnai perbedaan dan kepelikan bahkan sejak periode awal”. Itulah kesimpulan Ricklefs, sejarawan Australia. Menurutnya, di satu sisi ada budaya hibrid, yaitu menjadi orang Jawa dan menjadi Muslim sekaligus bukan merupakan sesuatu yang problematis. Di sisi lain ada harapan untuk memilih antara menjadi Muslim atau menjadi Jawa.

Karena beragama bukan hanya soal individual maka dimensinya kemudian mencakup segala hal. Ricklefs mencatat kenyataan ini sejak dini. Katanya, kaum priyayi meragukan bahwa Islamisasi adalah gagasan yang baik untuk masyarakat Jawa. Karena itu mereka merintis berdirinya Boedi Oetomo, yang kemudian tenggelam karena konservatisme mereka dan kalah bersaing dengan organisasi lain yang lebih modern dan lebih aktif. Bahkan Islam makin berkembang dengan pesat. Penjajahan Belanda merupakan salah satu faktor penguat perkembangan Islam.

Proses Islamisasi yang dialektis itu terus berlangsung hingga kini. Walau dikotomi abangan dan santri pada satu sisi kini tak relevan lagi, namun pada level tertentu masih tetap muncul. Kita menyaksikan proses Islamisasi yang kian massif. Namun dalam hal politik, ekonomi, bahkan wacana publik, kita akan menyaksikan Islam tetap seperti di masa awal kedatangannya: pelik dan problematis. Ada banyak faktor yang menjadi penyebabnya.


Mari kita lihat hal-hal berikut ini. MUI adalah salah satu contoh institusi keagamaan yang dijadikan olok-olok dan bulan-bulanan. Bahkan ada plesetan “kami mendukung MU, karena tak ada I”. Jika MU saja maknanya adalah Manchester United dan ketika ada I menjadi MUI. Jika ada tokoh agama yang terpeleset maka dia akan ditoyor beramai-ramai sampai terjerembab tak bisa bangkit lagi. Terjadi penggelontoran dana dari asing untuk melemahkan doktrin-doktrin Islam, sehingga perolehan suara partai-partai Islam menjadi rendah. Oleh sebab itu, tak ada politisi dari garis santri yang benar-benar moncer.

Di bidang ekonomi, umat masih lebih dominan sebagai konsumen. Pelanggaran HAM terhadap umat, sedikit atau bahkan tak ada pembelaan sama sekali. Misalnya hak untuk mengenakan jilbab di lingkungan TNI dan Polri, serta di lembaga-lembaga pendidikan non-Muslim. Demikian pula hak untuk mendapat pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah non-Muslim dan hak untuk mendapat pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah non-Muslim oleh guru-guru beragama Islam. Umat benar-benar sedang menjadi buih. Terombang-ambing tak berdaya. Wacana publik berbau Islam dicurigai sebagai tidak Indonesia. Tentu ini sangat menggelikan, terutama jika kita mengkaji sejarah negeri ini.

Wajah Islam yang sedang menjadi buih ini rupanya bukan monopoli Indonesia, tapi merupakan fenomena global. Tak ada perhatian dunia terhadap pembantaian dan pengusiran minoritas Rohingya dari negerinya sendiri di Myanmar. Pemberontakan minoritas di Afrika Tengah, yang kebetulan beragama Islam, dijawab dengan kehadiran pasukan Prancis. Umat Islam yang tak ikut memberontak ikut menjadi tertuduh, dibantai, dan diusir dari negerinya sendiri. Kita juga bisa menyaksikan porak-porandanya umat di Irak, Libya, Suriah, dan Mesir. Dan rasanya tak ada artinya lagi menyebutkan soal Palestina.


Di sini ikut disebut tentang fenomena global itu hanya hendak memperlihatkan bahwa apa yang terjadi di Indonesia bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Ada keterkaitan. Ada faktor geopolitik dan geoekonomi. Dan untuk menjawab semua itu hanya dengan dua hal: kepemimpinan umat dan persatuan Islam. Namun ada satu syarat, yakni rasa percaya diri. Umat ini mengalami ketidakpercayaan diri yang luar biasa.

Di lapangan politik, para politisi dan partai-partai umat seolah harus ikut arus dengan mensyaratkan modal (uang) untuk memenangkan pemilu. Akibatnya mereka terjebak dalam money politics, yang tentu saja kalah jaringan, kekuatan, dan keterampilan dalam permainan penggalangan dana. Sedangkan para pemimpin agama banyak yang tergoda untuk terjun langsung masuk ke lapangan politik praktis. Kader-kader terbaik dan muda sebagian lebih suka menjadi tim sukses politisi dan pemain politik besar yang tak berbasis umat. Lebih baik ikut menumpang daripada berjuang. Lebih baik kebagian daripada terkapar. Sungguh mengenaskan.

Ketidakpercayaan diri elite umat ini berdampak pada hilangnya keteladanan dan goncangnya pegangan. Yang semua itu menimbulkan gempa ketidakpercayaan diri yang massif. Kita berharap para pemimpin umat untuk menyadari kenyataan ini dan kembali ke tugas sucinya masing-masing. Hal ini penting bagi terbangunnya masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera lahir batin.

Riclefs sudah mengingatkan proses dialektis tiada henti untuk menjadi Islam Indonesia. Tak perlu ada yang dipertentangkan. Itu merupakan proses ber-Islam yang khas Indonesia. Namun yang penting dicatat adalah peringatan Ricklefs tentang hadirnya benih yang sejak awal memang tak menganggap Islam sebagai gagasan yang benar bagi negeri ini. Hal ini nyata dan tetap ada. Biarlah itu sebagai kewajaran. Itu menjadi semacam pengingat untuk selalu eling lan waspodo.

Nasihin Masha
REPUBLIKA, 28 Februari 2014

25 Februari, 2014

Mestinya Malu


Selain kecelakaan, mobil bukan tempat di mana hal-hal yang penting terjadi, kan? Tetapi bagiku, mobil adalah tempat pikiranku suka melayang lepas-bebas. Maka ia tempat aku kerap menggagas kolom Udar Rasa ini: barulah ide tebersit di benakku, aku merogoh Blackberry untuk mencatatnya; kadang berhenti sebentar di pinggir jalan, kadang tidak. Boleh ataupun tidak boleh, aku tak peduli? Tetap aku lakukan. He... he....

Kini, aku sudah parkir di pinggir jalan, sedang mikirin Udar Rasa dan sekaligus apa yang baru saja terjadi dua menit yang lalu: Aku di kemudi, lalu lintas di depan cukup lancar; aku di belakang sebuah mobil lain. Ia tepat di depanku. Sialan!! Lampu hijau telah berkedip beralih ke kuning. Mestinya sopir mobil itu berhenti. Tidaaaak! Bukan mengerem, dia malahan tambah melaju. Gila bener! Melihat gelagatnya, aku mestinya ngerem dengan keras, kan? Tetapi, kerasukan setan apa, aku justru menekan pedal gas …. dan, ya! Kami dua-duanya lolos… menerobos lampu merah, pas di depan sepasang polisi yang menatap kami melintas –dengan mulut ternganga bengong. “Waaah!!! Hampir-hampir kena!

Lalu, apa reaksi kami setelah pengalaman ini? Malu? Sama sekali tidak! Sebaliknya kami terpingkal-pingkal, kecuali tamu bule Perancis kami, yang bermuka masam, lalu berkata padaku: “tu exagères” –kamu berlebih-lebih!!

Go to hell.” Elu Perancis, pikirku. Memang aku berlebih-lebih, tetapi bukankah itulah pertanda bahwa aku saat ini kian “go Indonesia?” Aku tak kurang permisif dari sobat-sobat Indonesiaku! Tepat seperti Anda sekalian, teman-teman Indonesiaku pun bisa melanggar tanpa rasa bersalah.


Maka, seperti kalian pula, aku pun tertawa waktu membaca bahwa Gayus bisa hadir di Macau saat di penjara. Seperti kalian dalam situasi serupa, aku tersenyum mendengar temanku mengisahkan cara dia naik pangkat menjadi pegawai golongan IVA: “Sistemnya pas seperti di jalan tol,” katanya polos, “bayar sekali di portal, lalu bebas hambatan, he... he...!” Bukankah perumpamaannya sangat pas? Apakah itu sebabnya aku, kini, mengucurkan duit pada istriku setiap dia perlu uang pelicin naik-pangkatnya, yang notabene tak kunjung naik itu? Jangan-jangan tidak naik karena duit pelicin itu baru cukup untuk pembelian pulsa bagi si Bapak X, pegawai “kunci”? Bisa jadi! Susah nyusun anggaran suapan, kan? Jangan dikasih “lebih”, tapi jangan “kurang” juga! Bisa berabe!

Seperti Anda sekalian, teman-teman, selain permisif, aku juga “loyal”, dan berbangga karenanya. Di antara kenalan baikku, terhitung seorang yang pintar dan kerjaannya menjadi joki unggulan bagi skripsi-skripsi orang berkantong tebal. Aku tidak pernah membuka rahasia borok busuknya: orangnya baik sama aku. Harus setia kawan, dong! Maka bila aku bertemu dengan sarjana berembel MM dan DR palsu tapi sah hasil kerja sobat itu, aku bersembah-bungkuk seperlunya di hadapan mereka. Main aman!

Cuma, oleh karena loyal, tidak mungkin aku terlalu “lurus” lha iyalah! Apakah kalian pernah membaca tulisanku? Kalau “ngalor-ngidul”, sejarahnya terlalu mendalam, atau kelewat puitis, tandanya aku bohong. Tapi kalau tidak bohong, bagaimana? Tambah musuh! Maka aku pun terpaksa kompromi dalam kebohongan itu. Tak heran bila aku mempunyai banyak teman. Aku benar-benar “go Indonesia”, kan?


Permisif, loyal, berbohong, banyak teman. Lengkap sudah! Atau hampir lengkap: coba bayangkan bagaimana jadinya aku bila berkuasa dan mengelola duit dalam jumlah besar? Mungkinkah aku luput dari “korupsi”? Aku tidak yakin! Apalagi aku bukan tipe orang yang mudah ditakut-takuti bakal kecemplung di neraka!

Begitulah aku, begitulah kalian, begitulah kita, teman-teman, dan saudara-saudara se-Nusantara: tanpa kita sadari, perilaku permisif tak ayal bakal berujung pada suap-menyuap. Seperti pernah ditulis seorang karib di dalam salah satu SMS-nya: “Kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK menunjukkan banyak sekali pihak-pihak yang terlibat tidak menyadari bahwa mereka telah melakukan ‘tindakan tercela yang melanggar hukum’. Kebanyakan terjerat jalinan pertemanan, persahabatan yang mudah tergelincir menjadi persekongkolan.

Ya! Korupsi bukan sesuatu yang berada nun jauh di sana. Bukan realita abstrak yang sembunyi di belakang istilah asing yang suka diucapkan ahli hukum yang mahir. Korupsi sudah hadir secara potensial di dalam perilaku remeh, yaitu di dalam cara kita menerobos lampu merah, “nyontek” di sekolah, mencari akal untuk naik pangkat dan bahkan tertawa untuk itu semua. Sadarkah kita? Cukup sadarkah aku? Jelas tidak! Buktinya: aku tidak sampai hati mengungkap nama orang-orang yang aku sebut “boroknya” di atas. Astaga!!

Jean Couteau,
Penulis Kolom “Udar Rasa” di Kompas
KOMPAS,  23 Februari 2014

16 Februari, 2014

Kritik terhadap Perbankan Syariah


Bank Muamalat Indonesia berdiri tahun 1992. Sebagai bank syariah pertama di Indonesia, Bank Muamalat harus bisa membuktikan diri sebagai sistem perbankan alternatif terhadap model perbankan konvensional.

Dapat terhindar dari krisis moneter Asia Tenggara 1997 karena tidak mengikuti sistem bunga pasar, bank syariah mulai mendapat perhatian. Akan tetapi, kebangkitan bank syariah sesungguhnya terjadi pada awal abad ke-21, bersamaan dengan kebangkitan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi (UMKMK) berbasis pertanian.

Keberhasilan bank syariah selanjutnya baru tampak dengan dibentuknya Bank Syariah Mandiri dengan dukungan Bank Mandiri. Langkah itu diikuti pembentukan Unit Usaha Syariah (UUS) yang setelah berkembang kemudian berdiri sendiri menjadi Bank Umum Syariah (BUS) sebagai cabang dari bank umum konvensional. Ternyata, baik UUS dan BUS mampu berkembang rata-rata dua kali lebih cepat dan lebih menguntungkan daripada perbankan konvensional.


Diterima pasar
Perkembangan itu lantas diikuti dengan terbentuknya Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dan Bait al-Mal wa al-Tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan mikro. Gejala ini menunjukkan bahwa konsep bank syariah tak hanya diterima pasar dan investor, tetapi juga menunjukkan keunggulannya, baik dari segi pertumbuhan aset dan modal, rentabilitas, maupun kepercayaan.

Namun, dalam laporan manajemennya, ada beberapa kelemahan yang oleh ahli ekonomi Islam Jerman, Volkner Nienhaus, disebut sebagai kelemahan institutional capability atau kelemahan kemampuan kelembagaan, terutama dalam pengembangan produk-produk berdasarkan akad murabahah, mudharabah,  musyarakah, dan qord al-hasan.
Yang terjadi kemudian, ternyata 70 persen akad adalah berupa transaksi murabahah yang melayani kebutuhan konsumsi dan perdagangan dengan sistem mark up. Produk-produk lain, terutama qord al-hasan (fasilitas kebajikan), untuk orang miskin dan pengusaha pemula masih sangat terbatas (minim sekali).

Penilaian kedua adalah bahwa bagi hasil yang diterima ataupun dibebankan kepada debitor rata-rata lebih tinggi dibanding suku bunga bank konvensional yang ada. Dalam kaitan ini yang diuntungkan ialah investor dan deposan pemilik dana sedangkan yang dirugikan adalah debitornya. Lantas timbul pertanyaan; “Apa bedanya dengan bank konvensional?”

Kritik ketiga adalah kekhawatiran akan jatuhnya bank syariah kepada pemodal asing sejalan dengan meningkatnya pangsa pasar bank syariah yang kini baru mencapai 5 persen dari aset perbankan nasional.


Meski kritik itu diam-diam diakui, perbaikan tidak tampak signifikan dan ada saja bank yang menolak membuat laporan mengenai kompatibilitas bank syariah dengan hukum syariah berdasarkan tujuan-tujuan syariah.

Kesimpulannya, bank syariah secara esensial tidak berbeda dengan bank konvensional sebagai investor oriented firm (IOF) yang bertujuan mencapai keuntungan sebesar-besarnya dengan uang sebagai komoditas utama. Dengan kata lain, bank syariah dalam praktiknya tetap lembaga “peternakan uang” (making money out of money) alias lembaga ribawi yang diharamkan.

Bedanya hanya pada instrumen, yaitu penghitungan bagi hasil atau mudharabah yang tidak pernah dipraktikkan sesuai dengan maksud dan tujuan syariah sebenarnya. Untuk mengakalinya, profit-sharing itu diubah menjadi revenue-sharing, yang mirip dengan transaksi murabahah.

Padahal, sebenarnya bank syariah dibentuk dengan tujuan menghapus riba dalam industri keuangan. Dalam al-Quran, riba itu diharamkan, sedangkan yang dihalalkan adalah transaksi jual-beli. Alternatif riba pada dasarnya adalah sistem zakat, shadaqah, dan infaq sebagai fasilitas pinjaman untuk kebajikan atau al-qord al-hasan dan dalam sunah adalah waqaf.

Karena itu, sumber dana bank Islam sebenarnya adalah harta agama sebagaimana ditulis oleh Prof Dr KH Miftah Faridh dalam bukunya, Harta, yang tergolong dalam kategori nonpasar (nonmarket). Dana nonpasar bisa berasal dari anggaran belanja sosial negara, bantuan internasional, atau dana corporate social responsibility  (CSR). Jadi, sumber dana bank syariah bisa berupa dana simpanan koperasi, tabungan masyarakat, bahkan investor karena bank sosial juga bisa memberikan keuntungan.


Berorientasi pengguna
Dengan demikian, bank syariah pada hakikatnya adalah perusahaan yang berorientasi pada pengguna atau User Oriented Firm (UOF) atau lembaga fasilitas keuangan untuk kebajikan (al-qord al-hasan). Dalam teori perbankan kontemporer, bank semacam ini disebut “bank sosial” (social bank) yang dewasa ini sudah berkembang di dunia dan bergabung dalam organisasi Global Bank based on Ethical Value (GBEV). Bank sosial ini selain berdasar nilai etis juga berorientasi pada dampak sosial dan lingkungan hidup (social and environmental impact). Dalam konteks Indonesia, bank sosial bisa memfasilitasi perkembangan ekonomi rakyat sebagai basis kemandirian ekonomi bangsa.

Misi bank sosial berdasar syariah ini adalah memberikan fasilitas keuangan kepada orang miskin produktif (productive poor) dan orang-orang telantar atau tuna-perlindungan sosial dengan penciptaan lapangan kerja atau sebagai inkubator bisnis serta peningkatan pendapatan masyarakat secara merata. Hal ini merupakan basis dari inklusi finansial, sebagaimana Grameen Bank, Banglades, yang dananya berasal dari lembaga donor.

Dalam kasus perlindungan sosial, Dompet Dhuafa bisa menjadi embrio bank sosial syariah. Bank bisa memfasilitasi pendirian koperasi perumahan, koperasi pendidikan, koperasi kesehatan, koperasi asuransi sosial, koperasi transportasi dan koperasi lainnya.


Dengan meningkatnya pendapatan masyarakat atas fasilitasi bank sosial, maka akan terjadi proses inklusi finansial, di mana masyarakat akan menyimpan dana di bank dan bank akan menjadi pengelola uang tunai masyarakat sebagai sumber permodalan baru dengan dukungan media jejaring sosial. Dalam kaitan ini, sumber keuntungan bank adalah biaya pelayanan administrasi (fee based income) dan bukan hasil “peternakan uang”.

Walaupun belum dikenal dalam nomenklatur perbankan Indonesia, bank sosial bisa dibuatkan landasan perundangannya. Kalangan Kristen Demokrat Jerman sebenarnya berharap bank Islam itu sama dengan bank sosial di negara-negara maju. Karena itu, bank syariah dewasa ini bisa dikembangkan menjadi bank sosial Islam dengan meredefinisikan sistem produk dan jenis akadnya, sesuai tujuan-tujuan syariah (al-Maqosith al-Syariah) dalam konteks Indonesia.

M Dawam Rahardjo,
Rektor Universitas Proklamasi ’45, Yogyakarta
KOMPAS, 14 Februari 2014

06 Februari, 2014

Sterilisasi Kebangsaan


Sulit untuk tidak menyatakan bahwa indoktrinasi atau ketetapan perundangan kontroversial (UU Nomor 2 Tahun 2011 Pasal 34 Ayat 3b.a.) yang disebut “empat pilar kebangsaan” itu ditandai oleh serentetan ketakarifan.

Kita dapat menyebut ketakarifan historis, ketakarifan filosofi, dan ketakarifan politik. “Empat pilar kebangsaan” sama sekali bukan “persoalan semantik”, melainkan persoalan kepandiran yang tak bisa dibiarkan. Semua itu sangat berpotensi bermuara justru pada sterilisasi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sehingga membuat semuanya tak berguna atau tak akan terwujud menurut fungsi dan tujuannya masing-masing. Itulah sebabnya indoktrinasi itu harus dihentikan dan ketetapan perundangannya harus dicabut.

Ketakarifan historisnya jelas. Pancasila adalah monumen politik eenmalig luar biasa dari bangsa kita. Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) —yang diprakarsai dan didukung oleh pemerintahan pendudukan Jepang— dibentuk di sekitar awal 1945 dan sidang-sidangnya dilaksanakan sepenuhnya dengan moralitas dan otoritas politik. Di situ tampil pemimpin-pemimpin sejati bangsa kita dari semua kalangan dengan rekam jejak kepemimpinan yang terpuji dalam hitungan integritas dan kompetensi. Di dalam BPUPKI tak ada koruptor, politikus karbitan, apalagi pelawak dan preman.

Pada sidang-sidang BPUPKI juga berlaku deliberasi politik yang historically exemplary, baik dalam hitungan Aristotelian (demi universalisasi kebajikan), dalam hitungan Rawlsian (demi kesetaraan posisi awal dan posisi tanding), maupun dalam hitungan Habermasian (demi keterbukaan agenda dan “kartu-kartu” politik). Keseluruhan sidang BPUPKI sepenuhnya bersih dari politik uang, pesan sponsor, dan arriere pensee —motif-motif tak patut dan tersembunyi. Keabsahan prosedural dan esensialnya sungguh prima.


Ketakarifan filosofinya pun jelas. Pancasila yang disepakati bersama oleh para Bapak Pendiri Bangsa kita adalah suatu filosofische grondslag, ‘fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya’, sebagai tempat tegaknya bangunan republik kita. Dalam rumusan demikian, sudah pasti Pancasila dimaksudkan sebagai landasan tunggal. Sebagai landasan tunggal, ia tak bisa dipilar-pilarkan bersama yang lain agar sefungsi dengannya. Logika jernih tak memungkinkan rekayasa demikian.

Perlu ditegaskan bahwa selain berbeda fungsi, Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika pun berbeda tingkatan serta genus dan atau spesies. Keempatnya hanya akan berguna jika dipertahankan pada fungsi dan esensinya masing-masing. Sebagai Weltanschauung, Pancasila adalah representasi atau jati diri nation, bukan representasi atau jati diri negara. Dalam hitungan itu, ia mustahil disandingkan dengan yang lain.

Di sinilah kita memasuki ketakarifan politik dari indoktrinasi atau ketetapan perundangan “empat pilar kebangsaan” itu. Pancasila adalah induk, rel, pedoman, dan pengontrol atau tolok ukur bagi aktualisasi ketiga yang lainnya. Laku memilar-milarkan keempatnya seperti suatu himpunan bisa berdampak menghilangkan fungsi Pancasila, terutama sebagai induk, rel, pedoman, serta pengontrol NKRI dan UUD 1945 itu sendiri. Itu juga bisa menghilangkan fungsi kontrol UUD 1945 terhadap NKRI.


Tak ada korespondensi
Dalam hitungan politik, tak akan pernah ada korespondensi atau kesejalanan langsung, penuh, otomatis, apalagi permanen antara Pancasila dan negara kita. Nation, yang direpresentasikan dengan Weltanschauung Pancasila, adalah yang melahirkan negara. Bukan hanya ada asimetri mutlak di antara keduanya, negara bahkan lahir dari nation. Korespondensi antara Pancasila dan negara hanya bisa ada hingga tingkat tertentu jika pemerintah dan masyarakat bersama berjuang mewujudkannya secara kumulatif setahap demi setahap melalui kerja/bakti tegar serta konsisten dan jika semua hasil nyata yang sudah kita capai dalam perjuangan itu bisa terus kita pertahankan dan lipatgandakan.

Justru karena menyadari tiadanya korespondensi mutlak permanen itulah, kita perlu terus mengingatkan masyarakat bangsa kita, terutama para pelaksana negara agar tak pernah berhenti memperjuangkannya. Esensi Pancasila dan esensi negara kontras satu sama lain. Para Bapak Pendiri Bangsa kita merumuskan Pancasila sebagai lima patokan —panduan ideal murni dalam kerangka rasionalitas politik modern. Sebagai perangkat ideal murni, ia pada dirinya —an sich— mustahil dikorupsi ataupun dikompromikan.

Sebaliknya, hadir dan berkiprah di alam nyata, negara yang selamanya diwakili oleh sekelompok manusia selalu merupakan ajang pertandingan dari aneka kepentingan yang jumlahnya mustahil dihitung, yang sebagian besarnya tak hanya berbeda, tetapi juga bertentangan satu sama lain. Maka, sudah menjadi kodrat negara untuk selalu terombang-ambing dan berubah-ubah arah menurut kehendak atau kepentingan para penguasanya dari waktu ke waktu betapapun bagus konstitusinya.

Negara mustahil memiliki pedoman ultimat pada atau dari dirinya sendiri. Pedoman ultimat bagi negara haruslah sesuatu yang berada pada alam ideal atau apa yang disebut Aristoteles “prinsip-prinsip rasional” dalam sinar kebajikan yang tidak berubah-ubah. Pancasila adalah prinsip-prinsip demikian. Maka, ia harus terus dipertahankan sebagai obor pemandu arah, penentu atau pendesak agenda ekonomi, politik, dan kebudayaan, serta tolok ukur ultimat bagi setiap perilaku negara. Di dunia tak ada “negara paripurna” karena berkias pada “Kota Sempurna” Sokrates, negara paripurna “hanya ada di langit”.


Mewaspadai arah dan perilaku
Jauh sebelum Lord Acton dan para teoris demokrasi modern, Machiavelli dalam Discourses sudah mengingatkan kita tentang keniscayaan untuk terus mewaspadai arah dan perilaku kalangan penguasa di dalam negara jika kita ingin tetap mempertahankan kemerdekaan. Kita juga mewarisi peringatan terkenal John Curran (1790), hakim dan tokoh politik Irlandia, bahwa “syarat Tuhan memberikan kemerdekaan kepada manusia adalah kewaspadaan abadi”. Pancasila adalah medium nation —medium seluruh warga bangsa— untuk tetap mempertahankan kemerdekaan dan menegakkan kewaspadaan abadi atas negara dan konstitusi kita.

Di dalam Pancasila dan Demitologi (Prisma, Agustus, 1977), saya sudah mengutarakan empat peringatan setiap kali kita berwacana atau menetapkan sesuatu atas nama Pancasila. Tiga puluh enam tahun silam itu, keempat peringatan ini saya tujukan langsung ke jantung kekuasaan Orde Baru.

Pertama adalah keniscayaan untuk “memberikan pengertian yang relatif riil, jelas, dan benar dari setiap sebutan yang kita kenakan buat atau yang kita rangkaikan dengan Pancasila”. Kedua adalah keniscayaan kehati-hatian setiap kali kita hendak menggunakan “Pancasila sebagai alat”. Ketiga adalah keniscayaan “menukar penerapan doktriner yang cenderung tak mengenal batas, tertutup, dan monopolistis dari Pancasila dengan penerapan rasional, terbuka, dan demokratis”. Keempat adalah keniscayaan untuk “mengoreksi kecenderungan triumfalisme kita” setiap kali kita mengangkat Pancasila.

Indoktrinasi dan ketetapan perundangan bernama “empat pilar kebangsaan” itu secara telak melanggar atau menafikan keempat peringatan ini. Dan alangkah kental aroma Orde Baru padanya!

Mochtar Pabottingi,
Profesor Riset LIPI
KOMPAS,  6 Februari 2014