22 Desember, 2019

Kandasnya Arus Demokrasi di Dunia Arab


Aljazair, Kamis (12/12/2019), menggelar pemilu presiden demokratis pertama sejak aksi kudeta militer yang dipimpin Menteri Pertahanan Houari Boumediene atas pemerintah sipil Presiden Ben Bella pada 1965.

Pemilu presiden demokratis pertama setelah 44 tahun ini berkat unjuk rasa rakyat yang berhasil menggulingkan Presiden Abdelaziz Bouteflika pada 2 April lalu.

Sangat diharapkan penyelenggaraan pemilu di Aljazair itu segera mengantarkan negara Arab di Afrika utara tersebut bisa mengikuti jejak Tunisia. Tunisia saat ini menjadi satu-satunya negara Arab yang berhasil membangun sistem demokrasi pascagerakan Musim Semi Arab (Arab Spring) tahun 2011.

Negara Arab lain yang dilanda gerakan Musim Semi Arab tidak hanya gagal membangun sistem demokrasi, tetapi malah terjerumus ke dalam perang saudara, seperti Suriah, Libya, dan Yaman. Adapun Mesir kembali dikontrol militer setelah gagal membangun sistem demokrasi.


Sementara rakyat Lebanon dan Irak kini sedang berjuang membangun sistem demokrasi yang lebih modern. Ini setelah model demokrasi pembagian kekuasaan berdasarkan latar belakang sekte dan mazhab agama gagal membawa kemajuan, keadilan, dan kesejahteraan rakyat.

Belum lagi bicara tentang sistem monarki mutlak yang bercokol sangat kuat di dunia Arab, seperti negara-negara Arab kaya di Teluk, plus Jordania dan Maroko. Padahal, di negara-negara maju, sistem monarki mutlak sudah ditinggal lama dan diganti dengan sistem monarki konstitusional yang lebih demokratis, seperti di Inggris, Belanda, dan negara-negara Eropa Skandinavia.

Akibat gagalnya semua negara Arab yang dilanda gerakan Musim Semi Arab, kecuali Tunisia, membangun sistem demokrasi dan juga masih bercokolnya sistem monarki mutlak di dunia Arab, diskursus tentang hubungan Arab dan demokrasi tidak henti-hentinya menjadi polemik di kalangan cendekiawan Arab dan internasional.

Di kalangan cendekiawan kini muncul stigma cukup kuat bahwa demokrasi bertentangan dengan kultur bangsa Arab atau antara demokrasi dan bangsa Arab ibarat minyak dan air yang tidak bisa bercampur.


Bahkan, beberapa tahun lalu pernah sempat santer juga diskursus tentang pertentangan hubungan Islam dan demokrasi. Namun, dengan keberhasilan proses demokrasi di negara-negara besar berpenduduk mayoritas Muslim, seperti Indonesia, Malaysia, Pakistan, Turki, Nigeria, dan Senegal, terpatahkan stigma mempertentangkan hubungan Islam dan demokrasi.

Akan tetapi, diskursus yang mempertentangkan hubungan Arab dan demokrasi masih cukup kuat sampai saat ini. Bangsa Arab pun kini disebut bangsa paling terbelakang dalam konteks budaya kehidupan politik dan demokrasi.

Negara-negara Afrika yang selama ini sering disebut paling terbelakang justru memiliki budaya kehidupan politik dan demokrasi lebih maju daripada dunia Arab yang pernah menjadi bangsa paling maju pada abad ke-7 Masehi hingga abad ke-14 Masehi. Banyak negara Afrika saat ini yang proses kehidupan demokrasinya berjalan sangat mulus, seperti Tanzania, Uganda, Kenya, Senegal, Nigeria, Afrika Selatan, Niger, Mali, Angola, Zimbabwe, Zambia, Etiopia, dan Namibia.

Banyak pakar terus mencari faktor mengapa demokrasi sulit diterapkan di dunia Arab sehingga muncul stigma kuat bahwa Arab dan demokrasi bertentangan.


Pakar pada pusat Al-Ahram untuk kajian politik dan strategis yang bermarkas di Kairo, Mesir, Dr Atef Saadawi, mengatakan, gagalnya demokrasi di dunia Arab disebabkan banyak faktor, yang meliputi politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama. Menurut Saadawi, yang utama sebagai penyebab gagalnya demokrasi di dunia Arab dari sekian faktor tersebut adalah sosial, budaya, dan ekonomi.

Ia menyebut, ada negara Arab yang diterpa Musim Semi Arab dan kemudian berhasil membangun demokrasi, tetapi proses demokrasi itu segera ambruk akibat lemahnya budaya demokrasi para pemimpin dan rakyat negara Arab tersebut.

Saadawi menawarkan solusi agar dilakukan reformasi komprehensif yang meliputi ekonomi, politik, sosial, budaya, dan agama supaya secara bertahap lahir generasi yang menerima atau berkultur demokratis.


Pakar urusan gerakan Islam politik asal Mesir, Dr Ahmed Abou al-Ata, mengatakan, problem besar yang dihadapi arus demokrasi di dunia Arab adalah banyaknya gerakan Islam politik yang belum beradaptasi dengan dunia modern.

Menurut Ata, hanya Partai Ennahda di Tunisia dari gerakan Islam politik di dunia Arab yang sudah sangat modern sehingga berandil besar bagi suksesnya proses demokrasi di Tunisia.

Adapun gerakan Islam politik lain, selain Partai Ennahda, masih kuat membawa pandangan politik yang jauh dari semangat modern dan kekinian. Sebaliknya, gerakan itu mengusung paham radikalisme dan pada gilirannya berandil menggagalkan proses demokrasi di negara-negara Arab yang dilanda Musim Semi Arab tahun 2011.

Ata menyebut, solusi utama untuk mengatasi problem gagalnya demokrasi di dunia Arab adalah mengatasi problem ekonomi sebagai pintu masuk atau menciptakan kesejahteraan dan keadilan dahulu. Setelah problem ekonomi terselesaikan, akan mudah masuk ke pintu penyelesaian isu politik dan agama.

Ata menekankan, penyebab meledaknya unjuk rasa rakyat di dunia Arab sejak tahun 2011 sampai 2019 saat ini sesungguhnya ekonomi karena semua rezim di dunia Arab, kecuali negara Arab kaya Teluk, gagal mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya. Dari problem ekonomi segera menular dengan mudah dan cepat ke isu politik.


Baik Saadawi maupun Ata menyebut, problem dunia Arab tidak bisa diselesaikan dalam waktu dekat, tetapi butuh paket program solusi jangka menengah dan panjang yang meliputi ekonomi, politik, sosial, budaya, dan agama untuk mengatasi problem dunia Arab saat ini.

Selain itu, menurut dua pakar politik asal Mesir itu, reformasi komprehensif di dunia Arab harus berasal dari inisiatif dan kehendak elite dan rakyat sekaligus atau menjadi program nasional yang disepakati bersama.

Tanpa ada kehendak dari kedua belah pihak atau kehendak rakyat saja, hal itu hanya akan membawa perang saudara, seperti yang terjadi di Suriah, Libya, dan Yaman saat ini.

Oleh karena itu, jalan masih panjang menuju tertanamnya budaya demokrasi di dunia Arab dan proses itu harus dimulai dari sekarang. Jika tidak segera mulai melakukan proses penanaman budaya demokrasi dengan segala syarat-syaratnya, bangsa Arab bisa semakin tertinggal, bahkan lebih tertinggal dibandingkan sejumlah bangsa di Afrika.

Musthafa Abd Rahman,
Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 13 Desember 2019

25 November, 2019

Etika Politik: “Ambyar”


Seribu kota sudah kulewati. Seribu hati sudah kutanyai. Tapi tak seorang pun mengerti, ke mana kau pergi. Bertahun-tahun aku mencari, belum kutemukan kau juga sampai hari ini. Seandainya kau sudah hidup bahagia, aku sungguh rela. Namun hanya satu permohonanku, aku ingin bertemu denganmu. Walau hanya sekejap mata, sekadar untuk obat rindu di dalam dada.

Itulah sepenggal lagu di antara sekian lagu Didi Kempot yang akhir-akhir ini telah mengharu biru penggemarnya. Lagu-lagu Didi Kempot tercipta dalam bahasa Jawa. Dan sudah lama ia menyanyikannya. Namun, baru akhir-akhir ini lagu-lagunya meledak. Penggemarnya meluas, tak terbatas mereka yang mengerti bahasa Jawa. Bukan hanya orangtua yang gemar lagu campur sari, melainkan juga anak-anak muda bergaya hidup modern dan jauh dari tradisi.

Mengapa lagu-lagu Didi Kempot bisa memeluk demikian banyak penggemar? Karena lagu-lagunya mendendangkan patah hati, cinta yang dikhianati, dan janji yang mudah diingkari. Luka-luka hati itu banyak dialami orang zaman ini. Dan Didi Kempot dirasa bisa mewakili dan menumpahkan perasaan mereka.


Maka kaum patah hati itu berkelompok. Yang laki-laki menamai diri Sad Bois, yang perempuan Sad Gerls. Keduanya berhimpun di bawah nama Sobat Ambyar. Dan pujaan mereka, Didi Kempot, digelari The Godfather of  The Broken-Heart alias The Lord of Ambyar.

Ambyar, kata ini sudah jelas dengan sendirinya. Namun, mengapa kata itu tiba-tiba bisa demikian populer? Lebih-lebih kenapa ambyar itu bisa mewakili perasaan demikian banyak orang? Adakah kata itu hanya menyangkut romantisisme orang di sekitar kesedihan patah hati? Kalau kita bisa bertanya demikian, berarti suatu makna yang dalam ada di dalam kata ambyar. Dan ambyar itu tak bisa hanya dikembalikan ke pengalaman patah hati belaka.

Ambyar seakan adalah kata yang diberikan oleh keadaan zaman agar kita merasakannya secara lebih luas dan mendalam. Ambyar tak cukup dikembalikan pada Didi Kempot lagi. Zaman hanya meminjam ambyar-nya Didi Kempot untuk mengungkapkan gejala dan warta sejarah yang sedang kita alami kini.


Petaka kemajuan
Dalam khazanah Jawa, sebagai gejala sejarah, ambyar membuka kembali apa yang tersimpan dalam ramalan pujangga Ranggawarsita seperti tertulis dalam Serat Sabda Jati: Para djanma sadjroning djaman pekewuh, kasudranira andadi, dahurune saja darung, keh tyas mirong murang margi, kasetyan wus nora katon— di zaman serba susah dan salah ini, nista budi manusia makin menjadi-jadi, ruwetnya hidup terus terjadi, orang-orang sengaja menempuh jalan yang salah, kesetiaan tiada lagi bisa dilihat mata.

Rupanya ramalan Serat Sabda Jati tentang datangnya zaman pekewuh, zaman ruwet, zaman ambyar sedang kita alami sekarang. Di zaman ambyar ini manusia jadi serba salah. Dan seakan ada sebuah kekuatan tersembunyi yang sedang menjerat manusia untuk jadi serba salah.

Zaman ambyar itu bukanlah ramalan akan masa mendatang. Ambyar itu petaka di zaman sekarang. Dan ambyar itulah yang menentukan apa yang akan terjadi di masa depan, termasuk cita-cita manusia tentang kemajuan.

Maka, kata filsuf Sekolah Frankfurt, Walter Benjamin: pengertian kemajuan itu dasar dan titik berangkatnya adalah petaka. Apa yang terus berjalan maju adalah petaka itu. Dan petaka itu bukan apa yang akan datang, melainkan apa yang terjadi sekarang. Kalau kita bicara penyelamatan, ini hanyalah lompatan-lompatan kecil dari petaka yang terus berkesinambungan itu.

Menurut garis pemikiran itu, masa depan yang gemilang hanyalah utopia. Yang akan terjadi adalah masa depan sebagai petaka. Atau dalam khazanah Jawa, masa depan itu zaman ewuh-pekewuh, zaman ambyar.


Dalam literatur Barat, tulisan mengenai petaka atau ambyar itu dengan mudah ditemukan, mulai dari tulisan-tulisan filsafat, sosiologi kritis, politik, ekologis, sampai analisis psikologis, sastra, dan refleksi teologis. Jadi, bencana atau ambyar itu tak hanya mengenai alam dan lingkungan hidup, tetapi juga mengenai manusia, pemikiran, rasionalitas, dan kondisi psikisnya.

Petaka atau ambyar dibahas dengan tajam, misalnya, oleh Pankaj Mishra, sarjana keturunan India, dalam bukunya yang terkenal Age of Anger: a History of the Present (2017). Ia menunjukkan, akar dari chaos, petaka dan ambyar-nya zaman ini adalah utopia enlightenment masyarakat Barat. Utopia itu impian indah yang akhirnya mendarat sebagai realitas mimpi buruk di zaman sekarang.

Enlightenment dengan buahnya kapitalisme dan demokrasi liberal ditanamkan ke negara-negara yang tak punya akar tradisi enlightenment Barat. Penanamannya sering dengan tindakan paksa: invasi militer, yang percaya, setelah itu demokrasi akan mekar dengan sendirinya.

Utopia enlightenment mendambakan kemajuan dan kemodernan. Namun, sebaliknyalah yang terjadi: anti-kemodernan. Di banyak negara, anti-kemodernan ini berhimpun menjadi aksi radikalisme agama, kekerasan, dan teror.


Menurut Mishra, aksi-aksi itu bukan pertama-tama bertujuan merusak kemapanan yang dimiliki kemajuan dan kemodernan. Sebaliknya, aksi-aksi itu ingin menikmati kemapanan itu. Namun, alam semesta sebagai sumber daya yang terbatas ini pasti tak bisa memberikan apa yang ingin mereka nikmati, apalagi semuanya itu sudah berada di tangan mereka yang maju dan modern.

Akibatnya adalah ressentiment, kebencian. Maka, Mishra mengetengahkan pentingnya kita memahami kembali pemikiran filsuf Rousseau dan Nietzsche. Keduanya berpendapat, ressentiment terjadi karena pengalaman inferior, yang kemudian mengecamukkan perasaan iri hati. Maunya meniru, tetapi tak mampu.

Hasrat meniru itu terus meninggi, sementara kemampuan diri kian tertinggal jauh. Janji-janji kemodernan tentang pemerataan akhirnya hanya mimpi. Si pemimpi kemudian menjumpai realitasnya tak sejalan dengan impiannya.

Hidupnya merana, dalam hal keadilan, pendidikan, status, kekuasaan, dan kesejahteraan. Hidupnya ternyata ambyar. Siapa yang mau ambyar? Maka mereka yang dikecewakan ini frustrasi. Karena frustrasi, mereka lalu marah, protes, jadi radikal, dan tak segan menjalankan aksinya dengan kekerasan. Itulah kemarahan kaum ambyar dalam the age of anger ini.


Lunturnya kesetiaan
Di zaman ini, ambyar tak hanya menyambar politik, ekonomi, ataupun lingkungan. Hubungan personal pun ikut ambyar. Dalam hal personal itu, lagu-lagu mellow Didi Kempot tentang patah hati seakan membahasakan dan melokalkan krisis kesetiaan yang kini tengah menyebar di mana-mana.

Seperti dilaporkan Stephanie Schramm (die Zeit, 7/4/2011), sebuah studi dari Hamburg dan Leipzig, Jerman, pernah memperlihatkan, 90 persen responden menyatakan ingin tetap setia ke pasangan, tetapi 50 persen mengaku setidaknya sekali pernah melanggar kesetiaan itu. Dewasa ini masuknya "orang ketiga" jauh lebih mudah daripada dulu.

Setia dianggap bukan hanya setia pada seorang pasangan seumur hidup. Orang juga bisa merasa setia terhadap "orang lain" yang sedang jadi pasangannya pada suatu saat. Kesetiaan itu bisa menjadi serial, kesetiaan pada pasangan yang berganti-ganti.


Monogami tampaknya kian dirasakan sebagai upaya kultural yang berlawanan dengan kodrat alami dan manusiawi, yang sulit bersetia pada seorang saja.

Karena itu kesetiaan monogami itu sulit dihayati. Juga di kalangan anak muda melebarlah jurang pemisah antara keinginan dan kenyataan di sekitar kesetiaan. Mereka menjunjung tinggi kesetiaan. Namun, praktiknya, dengan mudah mereka berganti pacar atau pasangan.

Fakta ini mengungkapkan sebuah ironi: anak muda ingin berpegang sungguh pada kesetiaan dan mengidealkan kesetiaan sebagai pegangan, justru karena dalam realitas kesetiaan itu sedang ambyar dan sulit dialami.

Studi itu juga memperlihatkan, perselingkuhan terjadi kebanyakan karena si pelaku tertarik akan yang baru. Hubungan dengan pasangannya bisa memuaskan, juga secara seksual. Namun, itu tak menjamin bahwa orang tak bisa tertarik dan kemudian puas dan nikmat dengan yang baru lagi.


Lunturnya kesetiaan semacam ini sering disebabkan oleh sebuah kebetulan, bukan karena disengaja atau direncanakan. Sementara kesempatan untuk jatuh dalam kebetulan itu sekarang tersedia banyak. Sebab, dewasa ini manusia lebih mobile, berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan amat cepat, dan dapat berjumpa dengan "orang baru" dalam waktu amat singkat.

Lewat internet, orang juga mudah menemukan rangsangan akan yang baru, yang sangat bervariasi dan menarik. Dan itu bisa dialaminya dalam ruang paling privat, bahkan di saat ketika orang berada dekat dengan keluarga atau pasangannya.

Menurut banyak penelitian, psikologi, sosiologi atau antropologi, ketidaksetiaan itu ditentukan banyak faktor. Dan sulitlah memastikan manakah faktor yang paling menentukan.

Kata seorang pakar terapi keluarga, Guy Bodenmann, kesetiaan adalah proses kognitif di mana orang menghasratkan sebuah eksklusivitas. Dan itu mengandaikan bahwa orang mau secara total memberikan komitmennya, emosional dan seksual.

Komitmen demikian butuh kehendak yang kuat dan bulat. Itu artinya untuk menjadi setia, orang harus bersedia dan rela berkorban untuk memberikan dirinya. Justru pengorbanan macam inilah yang sekarang sedang luntur. Tak heran jika kini banyak kesetiaan yang ambyar.


Sinetron politik "ambyar"
Seperti dalam cinta, kesetiaan juga merupakan nilai dalam politik. Maka dalam ilmu politik, kesetiaan disebut sebagai keutamaan politik. Politik yang baik tercipta jika politikusnya setia pada janji politiknya, setia pada konstituennya, dan setia pada mitra koalisinya dalam mengejar cita-cita yang disepakati bersama.

Jelas, politik yang baik mengandaikan kesetiaan. Apabila menjunjung tinggi nilai itu, politik serta-merta akan mewujudkan kesetiaan dalam komitmen, serta pemberian dan pengorbanan diri yang jujur dan tulus. Namun, justru dalam politik, orang dengan amat mudah mengkhianati kesetiaan, mengingkari komitmen, dan menjerumuskan diri dalam perselingkuhan politik yang baru.

Jadi, persis seperti atau melebihi perkara cinta, kesetiaan dalam politik itu mudah terjangkiti virus ambyar. Cuma kadar akutnya saja berbeda-beda. Kadang akutnya tak seberapa, kadang menggila. Celakanya, ada gejala, berbarengan dengan merebaknya virus ambyar bersama Didi Kempot, akhir-akhir ini politik kita kelihatan juga terkena virus ambyar dengan sangat akut.

Maka, kalau orang percaya pada kawruh Jawa, mewabahnya Sobat Ambyar Didi Kempot itu juga sasmita yang memperbolehkan kita bertanya, jangan-jangan situasi sosial-politik kita juga sedang ambyar.


Dengan mudah, ambyar itu kita temukan dalam tingkah laku politik kita akhir-akhir ini. Kita boleh lega melihat Prabowo Subianto dan Presiden Jokowi bersatu, dan Gerindra masuk dalam Kabinet Indonesia Maju (KIM).

Namun, pertanyaan kritis tetap boleh muncul: sebegitu mudahkah politikus lupa akan pengorbanan pendukungnya. Di manakah kesetiaan dan komitmen politik mereka pada harapan pendukungnya?

Maklum, sebelum Pilpres 2019, pendukung kedua kubu demikian terbelah, sampai tak terbayangkan sama sekali bahwa pemimpin mereka mau menjalin sebuah koalisi politik.

Politik memang punya 1001 alasan untuk membenarkan diri. Namun, dalam fenomena politik di atas tetaplah terbukti, politik itu tak setia pada janji. Tepatlah jika para pendukungnya merasakan pahitnya lagu "Cidra", Didi Kempot: “Wis samesthine ati iki nelangsa/ wong sing tak tresnani mblenjani janji/ Gek apa salah awakku iki, kowe nganti tego mblenjani janji/ .…” (Sudah semestinya hati ini merana karena yang aku cintai mengingkari janji .… Apa salahku, sampai kamu tega mengingkari janji).


Sinetron ambyar di panggung politik itu terus berlanjut. Baru saja menyatakan janji setia pada koalisi, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh berpelukan mesra dengan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Sohibul Iman.

Media pun ramai dengan adegan itu. Presiden Jokowi pun menyindir, Surya Paloh kelihatan lebih cerah dari biasanya sehabis berpelukan dengan Sohibul.

Dan Presiden Jokowi masih memberi komentar, "Saya tidak tahu maknanya apa. Tetapi rangkulan itu tidak seperti biasanya. Tidak pernah saya dirangkul oleh Bang Surya Paloh seerat dengan Pak Sohibul Iman."

Belakangan, pada perayaan HUT ke-8 Parta Nasdem, bahasa pelukan itu masih berlanjut. Berulang kali Presiden menegaskan, pelukan itu tak ada salahnya. Toh, Presiden masih menyindir juga, pelukan itu hanya masalah kecemburuan.


Begitulah, diskursus politik kita diturunkan derajatnya menjadi masalah pelukan. Sebagian waktu politik kita disita untuk berspekulasi tentang pelukan. Bahasa politik kita menjadi bahasa Sobat Ambyar. Surya Paloh menyatakan "sayang" kepada para tokoh. "Dan jangan ragukan lagi, betapa saya masih sayang kepada Mbak Mega." Megawati memperlihatkan senyumnya yang tertahan mendengar sapaan itu.

Namun, orang tahu ini sinetron politik, senyum itu boleh ditafsir sebagai senyum sinis tak percaya. Di mata banyak pemirsa, senyum itu seakan mau bilang,"mbel". Atau dalam bahasa Sobat Ambyar, senyum itu adalah lagu: Jebule janjimu jebule sumpahmu, ra biso digugu (Janjimu, sumpahmu, ternyata palsu). Jika bersama dengan fenomena ambyar, kita mau diingatkan akan sasmita zaman ewuh-pekewuh kita haruslah waspada, kepalsuan dan ketaksetiaan akan janji kelihatannya akan menjadi warna dari politik kita.

Lihat saja, Pemilu dan Pilpres 2019 baru saja berlalu. Tokoh-tokoh politik sama sekali belum membuktikan diri apakah mereka bisa memenuhi janjinya dari kampanye lalu. Kabinet Indonesia Maju juga belum terbukti kerjanya. Di tengah keadaan demikian sudah terbaca bagaimana politik membuat manuver-manuver agar mereka bisa mempertahankan atau meraih kekuasaan di 2024.

Buat politikus kita, demokrasi seakan hanyalah alat mengejar kekuasaan. Ini sungguh politik ambyar. Ambyar karena politik itu menghilangkan jejak dan dasar kelahirannya. Seperti dikatakan filsuf Richard David Precht, politik itu tak lahir dengan sendirinya. Politik itu lahir dari kepercayaan dan kejujuran rakyat.


Rakyat lalu mengharap agar berdasarkan kepercayaan itu politik bertindak bijak, setia, dan tahu diri. Politik yang hanya mengejar kekuasaan berarti menyapu habis dasar kelahirannya itu. Tak peduli dengan kepercayaan dan kejujuran rakyat, prek dengan kesetiaan dan kebijaksanaan. Yang penting, pokoknya, bagaimana meraih kekuasaan.

Politik tak lagi berpikir apa yang terbaik untuk rakyat yang memercayai dan menumpahkan harapan padanya. Yang dipikirkannya hanyalah apa yang terbaik bagi dirinya dan itu adalah semakin besarnya kekuasaan.

Politik demikian adalah politik yang tak setia janji. Itulah politik yang sekarang kira rasakan. Maka terhadap politik demikian, bersama Sobat Ambyar, rakyat kiranya boleh memaki: Tak tandur pari, jebul tukule malah suket teki (Padi yang kutanam, ternyata tumbuhnya malah alang-alang).

Ya, terhadap politik kita sekarang, rakyat kiranya boleh merasa patah hati. Rasanya, kita memang sedang hidup di zaman ewuh-pekewuh, di mana banyak hal jadi serba salah, apalagi politiknya, yang wr-wr-wr, ambyar.

Sindhunata
Mantan wartawan KOMPAS,
Redaktur majalah kebudayaan "BASIS",
Imam Katolik, anggota Yesuit,
Tinggal di Kolese Santo Ignatius, Kotabaru, Yogyakarta.
KOMPAS, 20 November 2019

13 Oktober, 2019

Muslim United, Gelaran Super “Radikal”


Diawali di Masjid Gedhe Kauman. Rencana dipindah ke UAD. Hingga berlabuh di Masjid Jogokariyan. Inilah lika-liku perjalanan Muslim United #2 (MU kedua). Yang berlangsung 11, 12, 13 Oktober 2019 di Yogyakarta.

Beberapa hari sebelum digelar pun, batu sandungan telah datang.

Tersebar kabar jika Ngarso Dalem selaku pemilik Masjid Gedhe tidak berkenan apabila Masjid Kagungan Dalem tersebut dipergunakan. Meski takmir dan masyarakat sekitar tidak mempermasalahkan.

Bahkan putri bungsu Raja dalam akun Instagram beliau, menghimbau warga Jogja agar tidak hadir di MU karena “kelihatannya ada unsur kesengajaan dan provokasi.” Di bawahnya diberi tagar #jogjacintadamai #jogjatoleran.


Meski tidak clear alasan pihak keraton tidak mengizinkan penggunaan masjid, namun menurut panitia pelaksana dari presidium Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI) DIY, bapak Syukri Fadholi menduga penolakan itu karena pihak keraton menerima informasi salah.

Sebab banyak beredar informasi yang menyebutkan bahwa kegiatan MU diisi oleh orang-orang berpaham radikal. Bahkan ada beberapa ustadz yang diminta untuk tidak tampil karena dianggap radikal.

Hmm .... Radikal lagi. Lagi-lagi radikal. Ada kelompok Islam radikal. Ustadz radikal. Masjid radikal. Dosen radikal. Guru besar radikal. Mahasiswa radikal. Universitas radikal. Opo maneh?


Tapi, okelah. Jika dipandang radikal, gelaran MU memang super "radikal" kok. Gimana nggak "radikal" coba?

1. Peserta hadir dari berbagai penjuru Nusantara.

Ada yang jauh hari sudah booking hotel. Ada yang menginap di tempat saudara, dll. Perjalanan jauh lewat darat dan udara tak mengapa demi bersua saudara.

Sedulur saklawase. Saudara selamanya. Seperti judul taushiyah Ustadz Oemar Mita: Bertemu di Dunia, Bertetangga di Surga. Maa syaa Allah.

2. Kajian nonstop dari ba'da Subuh hingga malam pukul sepuluh.

Ada sekitar sepuluh forum kajian berturut-turut digelar setiap harinya. Bagi pecinta ilmu, gimana nggak serasa dimanjakan coba? Asyiknya, bisa bersua lama dengan taman surga.


3. Panitia yang tangguh dan solid.

Gimana nggak tangguh? Beberapa waktu sebelum hari H, isu MU batal kian santer. Izin masih menggantung. Panitia berupaya terus meyakinkan masyarakat, bahwa apapun yang terjadi, MU tetap berlangsung. Silakan tetap hadir. Takbir !!!

Di hari pertama MU, sejumlah insiden terjadi. Travo meledak, air wudlu menipis, tekanan aparat kian kritis. Tapi, the show must go on, Gaes! Demi satu tujuan, tegaknya syiar Islam dan hukum Allah. Apapun diupayakan.

4. Peserta pecah! Tumplek bleg. Tumpah ruah!

Di hari pertama, membludak dari Masjid Gedhe hingga Alun-alun Utara. Dan hebatnya, jamaah putra terus diupayakan terpisah dengan putri. Agar tidak terjadi campur-baur.

Pindah ke Masjid Jogokariyan ternyata tak memadamkan hasrat untuk hadir. Bahkan antusiasme peserta lebih tinggi. Ratusan meter sebelum masjid, jalan dari berbagai arah penuh peserta. Hingga masuk ke gang-gang dan halaman rumah penduduk sekitar masjid. Maa syaa Allah, terharuuu ....


5. Apapun harokahmu, kau tetap saudaraku.

Adeemm! Seluruh elemen umat bersatu. Bahu-membahu saling membantu. Petugas keamanan saja dari berbagai kelompok: Kokam, Harokah Islamiyah, FUI, FPI, FJI, hingga santri Hidayatullah.

Panitia bidang lain juga gabungan dari berbagai lembaga, komunitas, dan kelompok Islam. Tanpa melihat latar belakang dan perbedaan masing-masing. Pokoknya, Islam bersatu tak bisa dikalahkan, bukan sekadar slogan deh!

6. Manis dan kentalnya nuansa ukhuwah ngalahin teh nasgithelmu (panas, legi, kenthel) wis.

Berbagi senyum, berbagi tempat duduk, memberi akses jalan. Jamaah mudah sekali diarahkan panitia. Para pedagang juga legawa, lapaknya berhimpit dengan tempat duduk peserta.


Yah, gimana nggak radikal coba, suasana romantisme ukhuwah kayak gini nih. Nggak salah, jika umat Islam sebagai umat terbaik, memiliki karakter “Radikal” (RAmah, terdiDIk, dan beraKAL). Atau radikalis. Ada manis-manISnya gituh.

Jika RADIKAL bermakna amelioratif (positif) ini ditanyakan ke Antum. Siapa pengin jadi Muslim radikal? Pasti Antum sambil tunjuk satu jari ke atas akan katakan, "Saya!"

So, lawan narasi radikal yang bermakna peyoratif (buruk) ala rezim dan segenap kroninya dengan lisan kita. Sampaikan bahwa itu hanyalah narasi basi dan ngapusi, untuk membasmi kalangan Islam (politik) yang amat mereka takuti.

Pun, perlawanan secara efektif kita lakukan dengan pembuktian melalui tindakan. Terselenggaranya MU dengan indah tanpa kekerasan, sejatinya telah menjadi bukti bahwa Islam bukanlah ajaran radikal bermakna kekerasan. Umat Islam pun bukanlah kelompok radikal bermakna kekerasan.


Alhamdulillah ‘alaa kulli haal. Allah telah beri ujian untuk kita, agar kita mau dan bisa untuk saling menguatkan. Berbagai tekanan dari sana-sini, justru kian menyulut bara semangat umat. Pun, umat kian paham di mana dia akan berdiri dan memberikan dukungan.

Akhir kata, selamat untuk seluruh panitia dan peserta Muslim United #2. Baarokallaahu fii kum. Kalian juara!

Puspita Satyawati
https://www.facebook.com/puspita.satyawati/posts/2939084756105904

11 September, 2019

Urgensi Pemindahan Ibu Kota


Hari Senin, 26 Agustus 2019, Presiden Joko Widodo mengumumkan lokasi baru ibu kota RI. Lokasi itu sebagian di Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Wacana pemindahan ibu kota sejatinya telah menjadi isu yang sudah cukup lama, bahkan sejak era pemerintahan Presiden Soekarno (1957). Saat itu, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, dipilih dengan alasan lokasinya tepat di tengah-tengah Indonesia. Presiden Soeharto (1997) juga menyiapkan lahan sekitar 30 hektar di Jonggol, Jawa Barat, untuk pemindahan ibu kota. Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2009) juga telah membentuk tim pemindahan ibu kota meski belum menentukan lokasinya.

Tidak ingin terus menjadi wacana, kini Presiden Joko Widodo langsung mengeksekusi dengan menetapkan ibu kota akan dipindahkan ke Kalimantan pada 2024. Pusat pemerintahan baru akan pindah ke Kalimantan Timur, sedangkan DKI Jakarta akan menjadi pusat ekonomi dan bisnis. Bappenas menaksir biaya pemindahan ibu kota mencapai Rp 485 triliun, dengan Rp 93 triliun di antaranya dari APBN. Sisanya diharapkan bersumber dari hasil pemanfaatan aset pemerintah dan  kerja sama dengan swasta.


Pemindahan ibu kota negara sebenarnya merupakan hal yang biasa dan wajar. Beberapa negara pernah melakukannya, misalnya Amerika Serikat dari New York ke Washington DC, Brasil dari Rio de Janeiro ke Brasilia, Australia dari Sydney ke Canberra, serta Turki dari Istanbul ke Ankara. Harus dipahami, dari pengalaman beberapa negara tersebut, pemindahan ibu kota tidak serta-merta diikuti pemindahan pusat bisnis atau kegiatan ekonomi.

Jika melihat permasalahan yang mendera Jakarta, wacana pemindahan ibu kota bisa jadi cukup rasional. Posisi Jakarta memang terlalu sentris dan menjadi barometer semua kegiatan, yakni sebagai pusat pemerintahan, politik, bisnis, dan budaya. Daya tampung Jakarta semakin tidak memadai, menimbulkan berbagai permasalahan yang pelik dan kompleks, mulai dari kemacetan, banjir, hingga potensi bencana lingkungan. Berdasarkan hitungan Bappenas, kerugian akibat kemacetan di Jakarta mencapai Rp 100 triliun dan 50 persen wilayah Jakarta termasuk kategori rawan banjir. Banjir tidak hanya berasal dari hulu, tetapi juga dari penurunan tanah di pantai utara dan kenaikan permukaan air laut.

Selain penurunan daya dukung, alasan lain yang selalu mengemuka adalah keadilan ekonomi. Pembangunan ekonomi dinilai terlalu Jawa-sentris sehingga menimbulkan gap lebar antara Indonesia bagian barat dan timur. Sampai dengan triwulan II-2019, distribusi pertumbuhan ekonomi masih didominasi Jawa, yakni 59,11 persen. Sementara Sumatera 21,31 persen, Kalimantan 8,01 persen, Sulawesi 6,34 persen, Maluku dan Papua 2,17 persen, serta Bali dan Nusa Tenggara 3,06 persen.

Salah satu pemandangan di kota Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Pemindahan aktivitas pusat pemerintahan ke Kalimantan secara langsung akan meningkatkan aktivitas di sekitar lokasi ibu kota baru. Namun, belum tentu secara otomatis berdampak luas mengakselerasi kegiatan ekonomi di seluruh pulau Kalimantan. Apalagi, jika diasumsikan otomatis menyebar ke wilayah sekitar, seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku, dan kawasan timur lainnya. Sebab, instrumen utama untuk menggerakkan ekonomi lebih ditentukan infrastruktur ekonomi, baik berupa kebijakan maupun infrastruktur dasar dan konektivitas. Apalagi di era otonomi daerah, ujung tombaknya adalah kebijakan daerah yang ramah investasi, terutama kebijakan yang tidak menghambat dan memberi kepastian realisasi investasi.

Di samping itu, sumber utama ketimpangan pembangunan ekonomi adalah kesenjangan pembangunan sumber daya manusia (SDM). Tanpa kesiapan peningkatan SDM lokal yang terampil dan berkualitas, niscaya potensi kesenjangan ekonomi justru akan semakin melebar. Sebab, nilai tambah atas peningkatan produktivitas justru akan lebih banyak dinikmati pendatang.

Sebenarnya, sudah tepat visi pemerintahan Presiden Joko Widodo jilid II adalah menciptakan SDM unggul. Mestinya pemerintah tidak boleh gagal fokus, artinya prioritas yang mendesak untuk memangkas kesenjangan adalah pemerataan investasi SDM dan pembangunan infrastruktur di wilayah Indonesia bagian timur. Hampir semua negara maju di Asia, seperti Jepang, China, dan Korea Selatan, dimulai dari membangun SDM. Untuk mengejar ketertinggalan, tak hanya perlu komitmen, tetapi juga program konkret yang fokus.

Masjid Agung Penajam Paser Utara.

Sementara wacana atau kebutuhan pemindahan ibu kota masih bisa diagendakan menjadi isu penting, tetapi tidak mendesak. Setidaknya, tidak harus dipaksakan selesai pada 2024. Di tengah tekanan dampak perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan perang dagang, dibutuhkan mitigasi risiko.

Diperlukan juga konsentrasi kerja pemerintah agar perekonomian domestik mampu keluar dari tekanan pertumbuhan di level 5 persen. Apalagi, dampak tekanan defisit neraca perdagangan telah mengakibatkan deindustrialisasi. Jika respons pemerintah lambat, potensi ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) massal akan tidak terhindarkan.

Oleh karena itu, rencana pemindahan ibu kota tidak perlu menjadi polemik yang menguras energi bangsa. Apalagi, jika keputusan tersebut harus dibayar dengan ongkos politik yang mahal. Rencana pemindahan ibu kota perlu dilakukan secara gradual dan sistematis.

Tahap pertama dimulai dari keputusan bersama antara pemerintah dan DPR tentang urgensi pemindahan ibu kota. Jika urgensinya tinggi, harus dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Ibu kota Negara. Selanjutnya, membahas RUU Rencana Pemindahan Ibu Kota yang disertai naskah akademik dan kajian yang komprehensif dan matang mengenai urgensi pemindahan ibu kota. Jika telah ditetapkan sebagai UU, maka menjadi keputusan negara yang bersifat mengikat, kecuali di kemudian hari terjadi amendemen terhadap UU tersebut.


Dengan payung hukum tersebut, pemerintah (Bappenas) barulah memiliki mandat untuk melakukan kajian yang benar-benar obyektif dan komprehensif. Bappenas dapat memasukkan agenda rencana pemindahan ibu kota tersebut ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Dalam perencanaan itu, disusun detail dan rincian pentahapan dan rencana induk (masterplan) pemindahan ibu kota.

Dokumen resmi tersebut tidak hanya menjadi panduan kerja pemerintah, tetapi juga akan menjadi acuan pelibatan pihak swasta. Asumsi sumber pembiayaan di luar APBN atau dukungan pihak swasta hanya akan terjadi jika ada kepastian hukum tersebut.

Jadi, rencana pemindahan ibu kota tidak perlu dilakukan secara tergesa-gesa, apalagi harus selesai pada 2024. Pasalnya, jika pemindahan ibu kota dilakukan serampangan dan tidak memiliki kepastian hukum, justru akan menambah ketidakpastian iklim investasi di Indonesia.

Enny Sri Hartati,
Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance
KOMPAS, 27 Agustus 2019

12 Agustus, 2019

Prabowo: “Bermain Catur itu Harus Benar dan Bersih”


Saudara-saudara, para pendukungku, Pilpres sudah berlalu dua bulan yang lalu dengan berakhirnya sidang MK. Hasilnya sudah kita tahu semua —walaupun terasa banyak yang ganjil, walaupun terasa masih jauh dari azas jujur dan adil— tapi ini realitas politik yang kita hadapi dan mau tidak mau kita harus terima. Dari sana kita belajar bahwa begitu banyak aturan yang dibuat semau-maunya, yang membuat negeri ini menjadi semrawut, termasuk aturan Pemilihan Umum dan Aturan Penyelesaian Perselisihan Pemilihan Umum.

Bukannya saya tidak mau mengambil jalan pintas melawan kecurangan. Bukan !!!

Bukannya saya tidak bisa melakukan gerakan seperti yang saudara-saudara katakan sebagai people power. Bukan !!!

Bukannya saya tidak mau melakukan protes massal terhadap indikasi ketidak jurdilan proses Pilpres kemarin. Bukan !!!

Tapi saya sangat mengetahui akibat yang akan timbul bila hal itu kita lakukan bersama. Darah saudara-saudara akan tertumpah di mana-mana. Mayat-mayat bisa berserakan, banyak nyawa akan dikorbankan. Bukan itu yang saya mau.


Dan yang paling celakanya, negeri ini akan terkoyak-koyak, tercerai-berai ....

Keadaan inilah yang memang dikehendaki oleh pihak asing yang memang ingin menguasai negeri kita sejak lama. Ini yang harus kita hindarkan!

Biarlah saya korbankan apa yang menjadi hak kemenangan saya, hak kemenangan kita semua. Biarlah pada tahap ini kita ditempatkan pada posisi yang kalah dan dikalahkan.

Semua saya lakukan untuk tetap menjaga keadaan saudara-saudara.

Apa artinya sebuah jabatan dibandingkan dengan nyawa saudara-saudara semua ???


Saudara-saudaraku, adik-adikku, anak-anakku generasi muda masa depan ....

Biar saya cari cara yang lebih baik agar cita-cita dan tujuan kita bersama dapat tercapai sebaik-baiknya.

Lebih mudah melawan penjajah asing ketimbang harus berperang dengan bangsa sendiri.

Mungkin langkah-langkah yang saya lakukan tidak sesuai dengan keinginan saudara-saudara. Tidak sesuai dengan jerih payah yang telah dilakukan. Tidak pula populer di mata saudara-saudara.


Saya pun tidak akan pernah melupakan seluruh pengorbanan saudara. Tenaga, waktu, pikiran, bahkan juga pengorbanan uang.

Kalau sikap kooperatif saya saat ini, saudara-saudara anggap hendak mengejar kekuasaan dan jabatan, saya tidak butuh jabatan! Kalau hanya sekadar jabatan, maka hal itu  sudah saya dapatkan sejak lama.

Bukan !!! Saya tidak butuh jabatan !!!

Saya butuh wadah yang dapat saya gunakan untuk melakukan perubahan terhadap kondisi bangsa yang saat ini demikian carut-marut.

Saya butuh wadah yang dapat mengubah nasib bangsa ini ke arah yang lebih baik, yang lebih adil dan sejahtera.

Mari kita bersatu dan jangan berpecah belah !!!

Prabowo bersama anaknya, Didiet dan mantan isterinya, Titiek Soeharto.

Mungkin kalimat-kalimat seperti ini yang ada di hati sanubari Prabowo yang tak pernah terucapkan secara lisan maupun tulisan, untuk disampaikan kepada para pendukungnya, setelah dia dikalahkan.

Semua disimpan di dalam hati sanubarinya.

Prabowo, seorang Jenderal yang hampir seluruh hidup dan kariernya dihabiskan di medan perang atau medan konflik.

Ia beberapa kali merasakan panasnya ledakan granat yang serpihannya menghunjam di kakinya. Dan hal ini terus terbawa sampai sekarang, baik ketika ia berjalan maupun duduk. Bahkan sangat terasa setiap dia dalam posisi duduk ketika menunaikan ibadah shalat.

Ia pun begitu sering menyaksikan darah tertumpah. Ketika komandannya luka parah akibat tertembak, ia coba selamatkan dengan menggendongnya sambil berlari sepanjang lebih dari 3 km, di tengah hutan belantara, agar sang komandan dapat terselamatkan.

Ia pun sering melihat darah tertumpah ketika anak buahnya tertembak dan meregang nyawa sampai tarikan nafas terakhir, persis di hadapannya.


Prabowo tetap Prabowo, yang selalu pasang badan untuk membela orang lain.

Prabowo tetap Prabowo yang tidak mau mengorbankan orang lain hanya sekadar mengejar sebuah kepentingan untuk keuntungan dirinya.

Bahkan ia pun difitnah ketika harus menyelamatkan negeri ini. Ketika Jakarta dilanda huru-hara, ia mendatangkan pasukan dari daerah dengan mencarter sendiri pesawat, untuk membantu Pangdam Jaya ketika itu, yang pontang panting kekurangan pasukan dalam rangka pengamanan ibukota dan meredam huru-hara, setelah permohonannya mendatangkan pasukan dari luar kota ditolak oleh Panglima ketika itu. Sementara keadaan ibukota yang rusuh, sang panglima malah meninggalkan ibukota untuk urusan yang kurang penting.

Niat baik Prabowo untuk membantu Pangdam Jaya mengamankan ibukota itu malah disalah artikan oleh atasannya. Ia dituduh hendak melakukan kudeta.


Prabowo sangat paham arti sebuah nyawa. Ia pun sangat paham betapa berharganya satu tetes darah yang tertumpah. Itu sebabnya dia tidak memilih jalan kekerasan setelah ia dikalahkan oleh sistem pemilu yang jauh dari nilai kejujuran dan keadilan.

Berkali-kali dia dihalangi dan dicegah untuk melaksanakan kampanye di banyak daerah, dia tetap diam, bukannya tidak mau melawan, karena bila melawan pasti dia akan didukung penuh oleh para pendukungnya.

Saat ini Prabowo didekati oleh pihak seberang, dan dia terima pendekatan tersebut. Pertemuan telah berlangsung, mungkin akan dilakukan pertemuan lanjutan.

Apakah Prabowo sedang mencari cara agar ia juga kebagian “kue kekuasaan” yang direnggut oleh lawan politiknya? Bukan !!!

Ia tengah mencari jalan mendapatkan wadah agar dapat memiliki keleluasaan untuk melakukan perubahan bagi negeri yang dia cintai. Ia tengah mencari cara agar cita-citanya membangun masyarakat yang lebih baik, masyarakat yang lebih adil dan lebih sejahtera, dapat terwujud.


Prabowo tidak butuh kekuasaan. Bila hanya butuh kekuasaan, ia sudah bisa dapatkan sejak jauh-jauh hari, ketika dia masih menguasai lebih dari 30% kekuatan tentara yang ada di negeri ini, yang seluruhnya merupakan pasukan tempur.

Prabowo sudah melakukan langkah pembuka, biarkanlah ia memainkan biji caturnya. Ia masih tetap seorang maestro, seperti Fischer, atau Kasparov atau pun Karpov. Walau sudah pensiun tetap pemain catur yang sangat handal, permainan yang menuntut langkah-langkah yang bersih, jauh dari kecurangan, kemunafikan dan keculasan.

Baginya, politik itu pun ibarat permainan catur.

Prabowo ibarat maestro catur yang tetap bermain bersih. Ia bukan jenis politisi yang culas, munafik apalagi menghalalkan segala cara. Ia tetap ingin bermain bersih.

Ini pesan yang ingin disampaikannya, walaupun berat, dia beri contoh bahwa politik itu bisa dijalankan secara jujur dan bersih.

Ini keteladanan yang ingin disampaikannya kepada publik. Walaupun cara ini sering tidak disukai dan tidak populer di tengah publik, termasuk di kalangan sebahagian pendukungnya.

“Tetaplah berpegang kepada kebenaran !!!”

Darby Jusbar Salim,
NKS Consult
Jum'at, 26 Juli 2019

25 Juli, 2019

Antara Oposisi dan Koalisi


Kata "oposisi" mulai marak diperbincangkan oleh masyarakat kita setelah penetapan presiden dan wakil presiden terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum pada 29 Juni lalu. Dalam konteks ini, oposisi diartikan sebagai pihak yang tidak berada di lingkaran kekuasaan. Sesungguhnya, oposisi lazim ada di negara yang menjalankan pemerintahan parlementer. Terlebih yang kepartaiannya menggunakan sistem dwipartai.

Demikian halnya dengan istilah "koalisi". Koalisi pun lazim berada di negara dengan sistem pemerintahan parlementer. Koalisi terjadi ketika dalam pemilihan umum legislatif, tidak ada satu pun partai yang menguasai kursi parlemen secara mayoritas, sehingga tidak ada partai politik peserta pemilu yang dapat membentuk pemerintahan sendirian. Karena itu, beberapa partai bergabung untuk membentuk pemerintahan. Pemerintahan inilah yang disebut pemerintahan koalisi, sedangkan partai politik yang tidak ikut dalam pemerintah dinamai oposisi.


Kelemahan sistem parlementer yang pemerintahannya dibangun atas dasar koalisi adalah mudah retaknya gabungan partai politik dalam koalisi. Begitu ada partai anggota koalisi pemerintahan melepaskan diri, pemerintahan dinyatakan bubar dan harus dibentuk pemerintahan baru atas dasar koalisi baru di antara partai politik di parlemen.

Negara Indonesia pernah berada dalam situasi seperti itu saat tidak ada partai politik yang memperoleh kursi mayoritas di parlemen melalui Pemilihan Umum 1955. Pemerintahan kemudian dibentuk oleh koalisi empat partai yang memperoleh suara empat besar, yakni Partai Nasional Indonesia dengan 22,3 persen suara (57 kursi), Masyumi dengan 20,9 persen (57 kursi), Nahdlatul Ulama dengan 18,4 persen (45 kursi), dan Partai Komunis Indonesia dengan 16,4 persen (39 kursi). Dengan demikian, partai politik sisanya menempatkan diri sebagai oposisi.

Seperti halnya kelemahan pada sistem parlementer dengan pemerintahan koalisi, pemerintahan koalisi di Indonesia pada waktu itu pun sangat lemah. Pemerintah kerap kali jatuh-bangun sehingga terjadi perubahan kabinet.

Beberapa Kabinet pada era Orde Lama (Kabinet Natsir, Wilopo, Ampera, dll.)

Kerugian dari seringnya pergantian pemerintahan melalui mosi tidak percaya itu mengakibatkan program pembangunan tidak bisa segera direalisasi. Bahkan yang terjadi adalah partai politik mengalami disorientasi, yakni terlalu fokus pada bagaimana pemerintah dapat jatuh. Inilah yang menjadi salah satu alasan lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sehingga penyelenggaraan negara kembali berdasar pada UUD 1945 dengan sistem pemerintahan presidensial.

Pada saat pemilihan presiden dan wakil presiden 17 April 2019, terdapat dua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dua pasang kandidat itu tidak diajukan oleh satu partai politik, melainkan oleh gabungan partai politik, seperti yang diatur dalam Pasal 6 ayat 2 UUD 1945. Hanya, dalam keseharian, gabungan partai politik itu menyebut dan disebut sebagai koalisi partai politik.

Setelah Joko Widodo-Ma’ruf Amin ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih, ada yang berharap Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno tetap berdiri sebagai oposisi meskipun ada partai politik yang semula bergabung mendukung mereka telah bergeser ke pemerintahan. Di sini, oposisi dimaknai sebatas tidak terlibat dalam pemerintahan. Bila demikian, siapa pun bisa mengklaim sebagai pihak yang berada di barisan oposisi saat tidak berada di lingkaran pemerintahan.

Dari Seteru menjadi Sekutu. Mungkinkah ???

Perlu dicermati bahwa negara kita adalah negara dengan sistem pemerintahan presidensial. Maka, pembentukan pemerintahan pun tidak berada di koalisi partai politik, melainkan sepenuhnya berada di tangan presiden sebagai hak prerogatif presiden. Hal ini tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun.

Boleh-boleh saja partai politik yang tergabung ke pemerintahan berharap mendapat bagian kursi kekuasaan dari presiden. Faktanya, presiden membagi-bagi kekuasaan itu kepada para pendukungnya. Hal ini menimbulkan kesan bahwa presiden bagi-bagi kekuasaan kepada partai politik yang telah mendukungnya dan siapa saja yang telah "berkeringat" untuk memenangkannya menjadi presiden.

Kekuasaan yang dibagi oleh presiden tidak hanya terbatas pada saat pengisian kabinet, tapi hingga di relung-relung yang paling dalam di pilar kekuasaan lainnya, seperti posisi direktur jenderal, lembaga-lembaga independen, dan komisaris badan usaha milik negara.

Sulardi
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Malang
TEMPO, 4 Juli 2019

16 Mei, 2019

Jebakan Pertumbuhan 5 Persen


Yang paling sulit bukanlah melahirkan ide baru, melainkan bagaimana meninggalkan ide lama yang telah terpatri dalam setiap sudut benak kita.” Kalimat itu ditulis oleh John Maynard Keynes dalam pengantar buku seminalnya, The General Theory of Employment, Interest and Money.

Kalimat tua itu terasa kebenarannya sampai hari ini, terutama ketika kita seperti terjebak dalam pertumbuhan ekonomi di kisaran 5 persen. Tentu kita perlu mencatat, tak mudah untuk dapat tumbuh 5 persen di tengah dunia yang bergejolak ini. Namun, kita juga harus mengakui: itu tak cukup. Kita perlu memacu pertumbuhan agar terhindar dari risiko “tua sebelum kaya”. Sayangnya, hari-hari ini kita seperti terjebak dalam dilema antara stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.


Tengok saja, Badan Pusat Statistik (BPS) baru mengumumkan ekonomi Indonesia tumbuh 5,07 persen pada triwulan I-2019. Investasi hanya tumbuh 5 persen pada triwulan I-2019. Ini lebih rendah ketimbang pertumbuhan triwulan III-2018 (7 persen) dan triwulan IV-2018 (6 persen). Hal yang sama kita lihat pada pengeluaran pemerintah. Mengapa? Upaya pemerintah untuk melakukan stabilisasi rupiah akibat defisit transaksi berjalan yang tinggi dan kenaikan bunga The Fed telah menekan investasi dan pengeluaran pemerintah.

Langkah ini tentu patut diapresiasi. Indonesia mampu melalui situasi ini dengan baik, bahkan lebih baik dibandingkan dengan Turki, Argentina, dan India. Tentu, harus diakui, nasib baik juga bersama kita: The Fed memutuskan untuk “bersabar” dalam menaikkan tingkat bunganya.

Kombinasi dua hal ini telah mengembalikan kestabilan rupiah dan meredakan tekanan di pasar keuangan Indonesia. Kita mencatat, arus modal kembali mengalir ke emerging markets (EM), termasuk Indonesia. Namun, saya ingin mengingatkan sejak dini: kita masih rentan. Satu hari nanti, jika The Fed menaikkan tingkat suku bunga, tekanan terhadap rupiah akan terulang. Defisit transaksi berjalan dituding sebagai biang keladi. Lalu, kita berteriak dengan nada cemas: defisit transaksi berjalan harus diturunkan! Ini tentu benar, tetapi kita harus hati-hati.


Dilema pertumbuhan dan stabilitas
Menurunkan defisit transaksi berjalan dengan menekan impor dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi. Mengapa? Data menunjukkan, lebih dari 90 persen impor kita adalah barang modal dan bahan baku. Ini sebenarnya impor yang produktif. Lalu, apakah untuk menjaga agar rupiah terkendali, impor untuk melakukan produksi dan pembangunan infrastruktur harus diperlambat atau dihentikan? Apabila tak hati-hati, kita bisa terjebak dalam dilema antara pertumbuhan ekonomi dengan stabilitas ekonomi makro dan nilai tukar. Dan, itulah yang terjadi sekarang.

Mengapa? Tengok saja angka-angka yang pernah saya tulis di surat kabar ini tahun lalu. Incremental Output Ratio (ICOR) saat ini sekitar 6,3. Artinya, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi 1 persen, dibutuhkan rasio investasi/produk domestik bruto (PDB) sekitar 6,3 persen. Jika kita ingin tumbuh 6 persen, kita membutuhkan rasio investasi/PDB 37,8 persen. Investasi ini tentu harus dibiayai oleh tabungan domestik. Data Dana Moneter Internasional (IMF) menunjukkan, rasio tabungan domestik/ PDB saat ini hanya 33-34 persen dari PDB. Artinya, ada selisih antara kebutuhan pembiayaan investasi yang 37-38 persen dan kemampuan pembiayaan domestik yang 33-34 persen. Selisih ini mencerminkan defisit dalam transaksi berjalan.


Dengan kata lain, jika kita memacu pertumbuhan ekonomi sampai 6 persen, defisit transaksi berjalan akan meningkat menjadi 4-5 persen. Apabila itu terjadi, investor akan memindahkan investasi portofolionya. Akibatnya, rupiah melemah. Di sini kita seperti terjebak antara masalah defisit transaksi berjalan dan pertumbuhan. Maka, pertanyaan penting yang harus dijawab adalah bagaimana Indonesia bisa tumbuh lebih dari 6 persen, tetapi rupiah dan pasar keuangan terjaga? Ada tiga cara di sini.

Pertama, menurunkan ICOR dengan cara meningkatkan produktivitas. Namun, ini membutuhkan waktu panjang. Dengan produktivitas yang tinggi, maka dengan input yang sama akan dihasilkan output yang lebih tinggi (menaikkan marginal product). Mitali Das (2018) menulis sebuah risalah yang menarik tentang produktivitas di Indonesia. Ia menunjukkan, perbaikan kualitas sumber daya manusia (SDM), peningkatan ekspor dan arus investasi asing melalui modal langsung (PMA) akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia ke 7 persen. Untuk itu produk ekspor harus didiversifikasi, baik jenis maupun negara tujuannya. Kita butuh inovasi.

Untuk inovasi wiraswasta perlu mengadopsi teknologi dari luar bagi keperluan lokal. Masalahnya, teknologi tak bisa begitu saja diperoleh dari negara maju. Di sisi lain, inovasi adalah barang mewah. Ekonom Dani Rodrik menunjukkan, jika pengusaha gagal dalam eksperimen ini, ia akan menanggung seluruh kerugiannya. Sementara jika ia berhasil, produsen lain akan menirunya dan masuk dalam aktivitas ini. Akibatnya, praktis tak ada yang berminat untuk self-discovery. Inovasi butuh SDM yang baik. Itu sebabnya fokus untuk memperbaiki kualitas SDM adalah langkah tepat. Masalahnya: bagaimana caranya? Bukankah setiap tahun 20 persen dari APBN kita telah dialokasikan untuk dana pendidikan?


Hasilnya? Sampai saat ini, Programme for International Student Assessment (skor PISA) kita untuk bidang matematika, sains, dan kemampuan membaca masih termasuk paling rendah di dunia. Artinya, persoalannya bukan pada uang, melainkan desain kebijakan. Data BPS menunjukkan, peningkatan penganggur muda terjadi di kelompok tamatan SMK. Ini mungkin karena apa yang dipelajari di SMK tak cocok dengan kebutuhan perusahaan. Jika itu soalnya, berikan potongan pajak berganda jika perusahaan melakukan pelatihan untuk perbaikan kualitas SDM-nya. Lakukan juga ini untuk industri manufaktur.

Kedua, meningkatkan tabungan domestik. Dengan ini investasi dapat dibiayai oleh sumber pembiayaan lokal. Bagaimana caranya? Lakukan pendalaman pasar (financial deepening) dengan mendorong lebih banyak sumber pembiayaan dari investor lokal agar porsi pembiayaan eksternal menurun. Berikan insentif agar BUMN, dana pensiun, asuransi, dan Dana Haji menempatkan investasinya dalam obligasi pemerintah dan sukuk. Saya pernah usulkan agar pemerintah menerapkan reverse Tobin Tax. Data menunjukkan, repatriasi keuntungan dari investasi PMA di Indonesia sekitar 16 miliar dollar AS, lebih dari separuh defisit transaksi berjalan kita 2018. Artinya, jika pemerintah memberikan insentif pajak agar investor tak merepatriasi keuntungannya tapi melakukan reinvestasi keuntungannya, maka tekanan dalam defisit transaksi berjalan akan menurun.

Selain itu, ciptakan instrumen atau produk pasar keuangan agar orang Indonesia atau eksportir Indonesia memiliki opsi menempatkan investasi portofolio dalam mata uang asingnya di Indonesia (onshore). Tentu kita perlu mencatat untuk meningkatkan tabungan domestik kita perlu waktu.


Defisit hal normal
Ketiga, defisit transaksi berjalan sebenarnya sesuatu yang normal di tahap awal pembangunan sebuah negara, terutama negara berkembang. Di awal pembangunannya, negara berkembang —karena keterbatasan modal— harus mengimpor barang modal untuk proses produksi. Singapura, China, Korea Selatan, dan Vietnam pernah mengalami defisit transaksi berjalan yang tinggi di awal pembangunannya. Yang jadi persoalan sebenarnya bukanlah defisit transaksi berjalan itu sendiri, melainkan pembiayaannya. Selama defisit transaksi berjalan dibiayai oleh penanaman modal langsung di sektor yang berorientasi ekspor —bukan portofolio— maka defisit transaksi berjalan bukan sebuah masalah. Apa bedanya?

Pabrik yang dibangun melalui modal langsung tak mudah berpindah tempat. Sebaliknya, investasi portofolio dapat bergerak keluar-masuk dengan mudah. Akibatnya, terjadilah gejolak di pasar keuangan. Mengapa PMA di sektor ekspor? Karena ekspor menghasilkan devisa sehingga ketika repatriasi keuntungan dilakukan, tak ada tekanan dalam neraca pembayaran akibat ketaksesuaian mata uang (currency mismatch). Jika pertumbuhan ekonomi ingin didorong, tanpa perlu khawatir akan stabilitas rupiah, PMA harus didorong. Ini adalah opsi jangka pendek dan dapat segera dilakukan. Lakukan reformasi struktural, khususnya dalam UU Ketenagakerjaan (revisi pesangon), revisi daftar negatif investasi, dan permudah perizinan.


Selain itu, untuk memastikan pemda juga menjaga iklim investasi, ciptakan instrumen insentif atau penalti. Misalnya, meningkatkan dana alokasi khusus (DAK). Berikan DAK ini bagi daerah yang menjalankan perbaikan iklim investasi. Atau sebaliknya, tarik DAK dari daerah yang tak mampu menjaga iklim investasi.

Sudah saatnya kita melangkah lebih dari sekadar stabilitas makro ekonomi. Ada limitasi dari kebijakan moneter dan fiskal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Yang kita butuhkan adalah reformasi struktural. Tanpa itu kita akan terjebak dalam pertumbuhan ekonomi 5 persen. Tanpa itu kita akan terjebak dalam ide lama, persis seperti yang ditulis oleh Keynes lebih dari 80 tahun lalu.

Muhamad Chatib Basri,
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
KOMPAS, 14 Mei 2019