20 Juni, 2017

Islam Madzhab Medsos


Dalam diskusi teologi Islam muncul perdebatan klasik terhadap sebuah pertanyaan, apakah manusia memiliki kebebasan memilih dan menentukan tindakannya sendiri, ataukah nasib manusia hanya seperti halnya wayang yang digerakkan Sang Dalang yaitu Tuhan semata? Kedua kutub itu masing-masing memiliki rujukan teks Al-Quran.

Lalu muncul pendapat di antara keduanya bahwa manusia memiliki kebebasan, tapi tetap dalam keterbatasan di bawah kekuasaan dan kehendak Tuhan. Ketiga madzhab teologi itu produk tafsir dan penalaran manusia atas teks Al-Quran yang kemudian berkembang dalam sejarah dan masing-masing madzhab memiliki pengikut. Berjilid-jilid kitab klasik membahas perdebatan itu. Dan akhirnya menjadi masalah sosial ketika perbedaan tafsir itu berkembang menjadi ideologi yang mematikan tradisi dialog kritis sehingga menimbulkan perpecahan serta percekcokan sesama umat Islam.


Perbedaan tafsir yang melahirkan perbedaan madzhab itu juga terjadi dalam pemikiran hukum Islam (fikih) dan pemikiran politik. Misalnya, adakah Islam mewajibkan untuk membentuk negara Islam ataukah tidak? Karena yang primer (paling pokok dan penting) itu bergerak pada tataran sosial-kemasyarakatan? Adakah umat harus membentuk sistem demokrasi yang sejalan dengan Islam, ataukah Islam mewajibkan sistem kekhalifahan? Itu semua tafsir dan produk sejarah sepeninggal Rasulullah. Karena merupakan hasil ijtihad para ulama dan sarjana Islam, maka sulit ditemukan kata sepakat mengingat tiap-tiap pemikir punya argumen serta tumbuh dalam konteks sosial yang berbeda.

Tantangannya berbeda, bacaan buku-bukunya berbeda, dan lingkungan sosial, politik, dan ekonominya juga berbeda. Namun, umumnya para pemikir kenegaraan memandang bahwa model kekhalifahan itu sudah berakhir. Sebatas wacana sah saja, tetapi pada tataran implementasi sangat sulit dilaksanakan. Kecuali ketika jumlah ummat Islam sedikit dan belum muncul negara bangsa.


Ustadz Google
Madzhab artinya jalan yang mengantarkan pada tujuan. Dalam konteks pemikiran keagamaan, madzhab berarti sebuah metode yang dirumuskan ulama atau pemikir ahli dalam rangka membantu umat beragama untuk mendekati dan meraih pemahaman Islam yang benar dan mudah yang bersumber pada Al-Quran dan Sunnah Rasul. Ibarat Al-Quran dan Sunnah Rasul itu mata air, maka madzhab adalah jalan menuju ke sana, untuk membantu umat mendekati ajaran agama secara benar. Ulama dan para ahli itu merumuskan metodenya setelah mendalami isi Al-Quran dan Hadits secara mendalam, disertai argumen yang sistematis untuk mendukung pemikirannya. Dengan demikian, orang yang setuju ataupun yang menolak bisa mengikuti argumen yang dibangun dengan jalan membaca karya-karya tulis mereka.

Madzhab itu sangat diperlukan agar orang awam yang tidak ahli agama mendapatkan bimbingan dan jalan yang mudah untuk memahami Islam. Bayangkan saja, bagi masyarakat awam, begitu membuka Al-Quran dan tafsirnya, pasti tidak mudah menangkap pesan Al-Quran yang kadang terkesan paradoksal antara statement ayat yang satu dan yang lain, misalnya mengenai kebebasan manusia.

Misalnya untuk menentukan awal Ramadhan, terdapat madzhab hisab dan rukyat. Bahkan sekarang ini muncul madzhab baru dalam memahami Islam, yaitu madzhab medsos. Sebuah jalan dan pembelajaran agama yang didapat dengan mudah, tanpa harus membaca kitab tebal-tebal serta berguru lama-lama pada kyai. Melainkan cukup memiliki handphone yang memiliki aplikasi Facebook (FB), Whatsapp (WA), Twitter, Instagram, Google, dan aplikasi lain yang berbasis internet.


Muncul sebuah jargon baru; Anda bertanya, ustadz Google menjawab. Baik untuk berdakwah maupun untuk mempelajari agama, cukup lewat WA atau FB, di sana bertebaran informasi agama. Bahkan mereka sering terlibat perdebatan dengan modal pengetahuan yang diperoleh melalui copas (copy-paste) dan forward yang beredar di medos, terutama WA.

Apakah kelebihan dan kelemahan madzhab medsos? Pertama, istilah madzhab medsos sendiri pasti mengundang pro-kontra. Kedua, bagi yang serius ingin melakukan riset kepustakaan, medsos menyediakan fasilitas untuk mengakses sumber informasi keilmuan yang amat kaya, seperti e-book atau e-journal sehingga perangkat handphone bisa berfungsi sebagai mobile-library. Ratusan ribu judul buku agama yang klasik dan kontemporer tersedia semuanya.

Ketiga, bagi mereka yang tidak sempat atau malas membaca buku, medsos menyajikan sekian banyak penggalan informasi keagamaan ibarat makanan cepat saji yang siap disantap. Keempat, wacana keagamaan di medsos bersifat sangat egaliter, siapa pun bisa memberi taushiyah, berbantahan, bahkan sampai pada sikap mencaci dan mengafirkan jika tidak sependapat.


Pembaca tidak tahu kualifikasi dan orisinalitas pendapat keagamaan yang di-posting, apakah itu sekadar forward dan copas, hasil baca buku, atau sekadar iseng. Atau sengaja ingin menciptakan perdebatan kontroversial.

Kelima, perdebatan emosional, sampai pada taraf caci maki, mudah muncul ketika paham keagamaan dikaitkan dengan sikap dan pilihan politik serta menyangkut isu madzhab dan keyakinan di luar mainstream, misalnya Syiah dan Ahmadiyah. Peristiwa pilkada DKI yang belum lama berlalu memberikan contoh dan temuan nyata bahwa paham keagamaan dan sikap politik saling berkaitan.

Namun, yang menonjol ialah sikap emosional yang didasari oleh like or dislike, bukan perdebatan argumentatif ilmiah layaknya perdebatan dalam madzhab tradisional. Sikap emosional ini cenderung menolak berpikir panjang dan detail, melainkan langsung pada kesimpulan setuju atau tidak setuju. Jadi, siapa pun yang bergabung dalam komunitas madzhab medsos sebaiknya bisa mengendalikan emosinya.


Eklektik dan Fragmentatif
Lontaran pemikiran dalam medsos biasanya fragmentatif karena keterbatasan ruang. Kalaupun panjang, orang enggan membacanya. Terlebih lagi, kebanyakan mereka adalah orang sibuk, tidak tertarik mengikuti argumen yang njelimet dan detail. Makanya madzhab medsos pemikirannya bersifat eklektik, campuran dari berbagai tulisan orang, sambung-menyambung, tidak solid, dan kadang tidak sistematis. Terserah pembaca untuk memilih, menimbang dan memutuskan sendiri, tak ada hubungan guru-murid secara langsung. Tak ada tokoh utama yang memimpin wacana publik dalam medsos. Yang muncul adalah tokoh fiktif semacam Mukidi.

Bahkan, orang pun bisa memalsukan identitas aslinya. Atau namanya dibajak. Makanya, setiap netizen yang bergabung dalam pemikiran Islam madzhab medsos, dalam waktu yang sama bisa berperan sebagai guru atau murid. Jika tidak setuju, bebas keluar dari jemaah netizen atau membantahnya, apakah dengan kalimat yang cerdas, halus, sopan, maupun dengan kalimat yang terkesan sarkastik, keras bahkan kasar.

Perkembangan sosial ke depan, komunitas Islam madzhab medsos diperkirakan semakin membesar terutama ketika bulan pilkada atau pemilu tiba. Lebih seru serta heboh manakala para politikus mengkapitalisasi isu agama untuk mendukung salah satu paslonnya dengan menggunakan sarana medsos sebagai ajang promosi dan kampanye, apakah kampanye putih, abu-abu, atau hitam. Kita lihat saja nanti, apakah prediksi ini sahih atau meleset. Namun saya kira, dan berharap, semakin cerdas dan dewasa masyarakat, ke depan Islam madzhab medsos kualitasnya akan semakin meningkat dan otomatis akan terjadi seleksi alamiah. Yang tidak bermutu tidak akan laku dalam pasar bebas.

Komaruddin Hidayat,
Yayasan Pendidikan Madania Indonesia
MEDIA INDONESIA, 31 Mei 2017