24 September, 2013

Demokrasi Kita


Berhubung demokrasi merupakan fondasi dari suatu pengalaman hidup bebas, di ranah sosio-politik ia terus-menerus berusaha menemukan suatu solusi problematis bagi pembentukan suatu komunitas dari manusia-manusia bebas. Problematis karena solusi tersebut tak kunjung henti dipersoalkan, termasuk kedemokrasian kita sekarang ini.

Betapa tidak. Demokrasi representatif yang diusung oleh kaum reformis justru mengesankan semakin tidak demokratis. Ini tecermin pada sikap publik yang semakin banyak bergairah menjadi golput berhadapan dengan euforia Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 yang berkembang di kalangan politikus berpartai. Ketidakpuasan terhadap kedemokrasian yang kini berlaku dinyatakan pula oleh gerakan yang semakin gencar menuntut pemekaran daerah dengan dalih perwujudan otonomi.

Prinsip politik tetap dinyatakan sebagai “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Sebagai realisasinya, rakyat dipersilakan untuk “berpesta demokrasi”, memilih wakilnya, yang notabene ditetapkan oleh parpol, lima tahun sekali. Sesudah itu rakyat tidak perlu lagi aktif berpolitik. Para wakil yang dipilihnya mengambil alih wewenang dan hak rakyat untuk membuat keputusan-keputusan politik. Mereka berbuat begitu “atas nama” rakyat.


Prinsip demokrasi katanya tetap dijunjung tinggi, tetapi pemerintahan yang dilahirkan oleh pesta demokrasi itu digunakan untuk melucuti kekuasaan rakyat dengan jalan mengorganisasi dan melegitimasi ucapan-ucapan dari para wakil rakyat, yang ujungnya berarti membungkam suara rakyat yang katanya berkuasa. Pembungkaman rakyat menjadi semakin luas dan semakin berlapis melalui praktik legislasi parlementer-trikameral, yaitu dengan keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, di samping Dewan Perwakilan Rakyat.

Maka kelihatan sekali betapa politikus berlomba-lomba menjadi “wakil rakyat yang terhormat”, berambisi berbicara “atas nama ...”. Kecenderungan ini, apa pun dalihnya, tentu tidak bisa dibiarkan berjalan begitu saja tanpa sanksi. Dan rakyat memang sudah semakin muak, lebih senang dan puas menjadi golput saja daripada diatasnamakan terus-menerus.

Para warga negara (citizens) yang menyebut dirinya “wakil rakyat” seharusnya tidak mengklaim membuat sendiri undang-undang. Mereka seharusnya tidak punya kehendak partikular untuk dipaksakan. Jika mereka tetap mendiktekan kehendak, memaksakan kemauan politik, Indonesia tidak lagi merupakan negara representatif. Dan hilanglah peluang Indonesia menjadi negara demokratis. Karena rakyat tidak bisa bicara, tidak dapat bertindak, kecuali melalui wakil-wakilnya.


Demokrasi kontinu
Namun, demokrasi dewasa ini tidak mungkin dibuat langsung seperti keadaan aslinya dulu di zaman Yunani Kuno, di mana setiap warga berbicara sendiri di Agora mengenai kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Jadi, persoalannya sekarang adalah bagaimana dalam sistem dan suasana demokrasi-tak-langsung, atau demokrasi representatif ini, warga negara masih mungkin dan dibenarkan aktif berpartisipasi langsung dalam pembuatan undang-undang dan pengambilan keputusan.

Anggapan bahwa pembahasan undang-undang akan lebih terjamin apabila dilaksanakan oleh orang-orang terpilih saja, adalah pendapat yang menyepelekan kemampuan rakyat. Apalagi rakyat saat ini, yang adalah juga warga negara yang punya kuasa, banyak yang menyatakan kemampuannya untuk melakukan sendiri pengambilan keputusan. Jadi, kebajikan hakiki demokrasi sudah saatnya ditransformasi dari “hak rakyat untuk memilih dan dipilih” menjadi “kebebasan rakyat berpartisipasi aktif setiap waktu dalam pengambilan keputusan”.

Dengan kata lain, yang menjadi masalah krusial dalam berdemokrasi adalah bagaimana membuat “demokrasi representatif” bisa berfungsi efektif sebagai suatu “demokrasi kontinu”. Artinya, rakyat bisa terlibat dalam pengambilan keputusan tidak hanya satu kali dalam lima tahun, tetapi terus-menerus sepanjang tahun.

Praktik demokrasi kontinu ingin memperhitungkan, selain “kebajikan hakiki” demokrasi, juga sebagai penggerak konfigurasi politik kontemporer, di mana setiap unsur mungkin dapat dianalisis sebagai suatu modernisasi dari sistem representatif yang sudah ada. Atau merupakan awal dari akibat kemerosotannya usaha kolektif yang terlepas dari masalah representasi sehingga dapat langsung terkait dengan upaya pengukuhan pembentukan bangsa kita yang, per definisi, masih serba rawan ini.


Jadi, demokrasi kontinu berbeda dengan demokrasi langsung karena ia bisa memupus distingsi antara yang mewakili dan yang mewakilkan. Ia juga berbeda dengan demokrasi representatif berhubung kerjanya memintasi (bypass) organ representatif. Ia berbuat begitu bukan hendak meniadakan representatif, melainkan karena kehendak mentransformasi dan memperluas ruang partisipasi langsung dari rakyat dengan menciptakan bentuk-bentuk partikular yang memungkinkan opini berkembang dan ditanggapi sebagai karya politis dalam arti positif. Dan berfungsi sebagai kontrol yang kontinu dan efektif terhadap kebijakan atau aksi pemerintahan, di luar momen-momen pemilihan umum atau pemberian suara.

Partisipasi langsung dari warga negara dalam pengambilan keputusan politik dapat merupakan instrumen yang memperkuat pendelegasian kekuasaan. Satu di antara instrumen itu adalah model pembangunan nasional dalam term “ruang sosial”, yang bertujuan menciptakan kebahagiaan bersama (a common happiness). Bukan hanya model pembangunan ekonomi dalam term produk nasional bruto (GNP), yang bertujuan meningkatkan kemakmuran bersama (a commonwealth), seperti yang dilakukan rezim Orde Baru dan kini dilanjutkan oleh rezim Reformasi.

Model pembangunan nasional itu sudah beberapa kali saya paparkan di harian ini dalam konteks yang berbeda. Kali ini saya hanya ingin mengingatkan betapa relevan model tersebut dengan kebajikan dari demokrasi kontinu begitu rupa hingga bahkan bisa menjadi mekanisme pengukuhan pembentukan negara-bangsa kita.


Ruang sosial
Kebahagiaan bersama adalah milik rakyat yang tak terpisahkan dari hak asasi manusia. Namun, rakyat ini bukanlah sembarang kumpulan makhluk manusia yang mengelompok dengan jalan apa saja. Rakyat adalah suatu konsentrasi sejumlah besar orang, yang berasosiasi dalam suatu persetujuan tentang keadilan dan kemitraan bagi kebaikan bersama. Asosiasi seperti ini bukanlah sekedar berkat dorongan dari kelemahan individual, tetapi karena dorongan spirit sosial tertentu yang sudah disuratkan Tuhan dalam diri manusia agar selaras dengan alam.

Asosiasi yang alami tersebut diharapkan terjadi di suatu ruang sosial. Ruang ini adalah ruang hidup rakyat yang konkret, diciptakan dalam konteks pembangunan suatu komunitas tertentu. Hubungan antara referen dan pembangunan diformulasikan sebagai suatu “gerakan komunitas”. Dan selama proses berlangsung, komunitas yang bersangkutan terasa menjadi lebih adil serta lebih akseptabel karena lebih manusiawi. Di sini setiap warga diajak merundingkan rasionalitas setiap proyek pembangunan, baik yang berasal dari pusat maupun atas inisiatif pemerintahan lokal.

Jadi, dalam model pembangunan dengan term “ruang sosial” ini, musyawarah –yang merupakan sila keempat Pancasila– antar-orang yang berkepentingan akan menjadi satu keniscayaan. Hal ini terlepas dari kedudukan formal, sosial, dan tingkat keterpelajaran individual masing-masing. Artinya, semua warga akan merasa “diuwongke”, dianggap bermartabat dan setara satu sama lain.


Berhubung terbuka kemungkinan untuk membahas tidak hanya ongkos finansial, tetapi juga opportunity costs dari suatu proyek, maka model pembangunan ini mendorong kebiasaan how men behave, sesuai dengan pesan-pesan implisit Pancasila selaku dasar filosofis berbangsa dan bernegara, bukan how markets behave yang sekedar aktualisasi dari homo economicus.

Dengan begitu, dalam politik akan tercipta participatory democracy, bukan spectator democracy dan pembangunan menjadi participatory development, bukan spectator development. Dan jika interaksi kewargaan dijalankan terus-menerus secara konsisten niscaya akan lahir budaya-budaya lain (hukum, ekonomi, artistik, pengetahuan) yang menjurus kepada pembentukan masyarakat pembelajar, yang merupakan dasar ideal bagi pembentukan masyarakat madani.

Ruang sosial yang dengan sadar dibina oleh konsep pembangunan nasional ini diharapkan menjadi atmosfer yang menghasilkan pengalaman eksternal. Pengalaman konstruktif ini bisa disimpulkan sebagai faktor sentripetal dari pikiran manusia dan karena itu menjadi state of mind, bahkan merupakan jalan pikiran (mindset). Dengan demikian, kerawanan dalam dasar-dasar pembentukan bangsa akan terkikis dan hingga akhirnya bisa pupus sama sekali.

Bangsa adalah the will to live together (Renan). Jadi “bangsa” bukan suatu entitas yang sudah jadi. Ia selalu in potentia, tidak pernah in actu, terus-menerus dalam status nascendi. Jadi, istilah “bangsa” bukan menarasikan kemapanan keadaan, tetapi suatu tekad, suatu usaha kolektif yang terarah, terpadu dan berkesinambungan. Yang secara pragmatis berupa pembangunan nasional dengan atmosfer demokrasi kontinu.


Filosofi politik
Di samping sebagai statecraft, demokrasi kontinu merupakan suatu filosofi politik mengenai the polity, yang jauh lebih luas daripada lembaga-lembaga pemerintahan. Ia meliputi semua lembaga, disposisi, kebiasaan, dan lain-lain faktor tempat pemerintah bergantung dan, karena itu, sudah seharusnya pemerintah berusaha membentuk pengaruh dan membangun opininya sebijak mungkin (politeness).

Dengan demikian, Indonesia bukan hanya sekadar “suatu lokalitas fisik” semacam hotel. Hotel adalah suatu lokalitas fisik (George F Will) yang berpenghuni. Penduduk Indonesia bukanlah sekedar penghuni, tetapi warga negara (citizens) yang selain berkontribusi melalui pajak juga masing-masing memiliki saham.

Maka, Pemerintah Indonesia yang demokratis seharusnya berperan sebagai “tutor” sekaligus “pelayan” bagi para warga negaranya. Sebab, “kewarganegaraan” (citizenship) merupakan suatu jalan pikiran (mindset). Mengingat setiap tindakan manusia berawal dari pemikiran, maka dalam benak pikiran manusia itu perlu dibangun mindset yang serba human dan konstruktif.

Daoed Joesoef;
Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
KOMPAS, 1 Juli 2013

15 September, 2013

Utang, Kemiskinan dan Keserakahan


Memasuki Ramadhan tahun ini, kehidupan mayoritas rakyat Indonesia makin susah. Bulan Ramadhan yang penuh berkah dan ditunggu-tunggu kedatangannya, ternyata muncul bersamaan dengan melambungnya harga kebutuhan pokok, barang-barang lain, dan biaya transportasi. Hal ini terjadi karena wacana kenaikan harga BBM sampai eksekusinya berlangsung terlalu lama sehingga pasar telah lebih dulu meresponsnya jauh sebelum kenaikan harga BBM itu sendiri.

Kenaikan harga kebutuhan hidup yang lebih dari 30 persen itu diantisipasi pemerintah dengan memberikan bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) yang jumlahnya Rp 150.000 per orang selama empat bulan. Kita bisa membayangkan: cukupkah nilai BLSM untuk menutupi kenaikan harga kebutuhan pokok itu? Persoalannya, sebandingkah BLSM dengan utang pemerintah sendiri untuk memenuhi kebutuhan gaji pegawai negeri (PNS), pembangunan infrastruktur (yang minim), dan belanja negara yang lain? Jawabannya: simak gambaran berikut ini.

Jumlah utang luar negeri Indonesia (pemerintah dan swasta) saat ini mencapai 243,18 miliar dolar AS atau Rp 2.371 triliun. Dari jumlah itu, Rp 2.023,72 triliun (85 persen) merupakan utang pemerintah. Jika mengacu pada APBN 2013, utang pemerintah menjadi Rp 2.160 triliun atau bertambah Rp 137 triliun. Komposisi utang pemerintah itu terdiri atas utang luar negeri, utang dalam negeri, dan surat berharga negara. Kalau kita hitung berapa utang pemerintah itu dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia (247 juta jiwa), maka tiap kepala orang Indonesia sesungguhnya sudah punya utang sekitar Rp 8,7 miliar. Lalu, apa artinya BLSM yang hanya Rp 150 ribu selama empat bulan itu?


Dengan utang per kapita rakyat Indonesia Rp 8,7 miliar, kapan utang itu terselesaikan? Boro-boro akan selesai, bahkan bisa jadi tiap tahun akan bertambah. Kenapa? Karena Indonesia sudah masuk negara yang terjebak dalam “lumpur utang”. Sehingga makin berusaha melepaskan diri dari jebakan lumpur, maka makin dalam lumpur itu menenggelamkannya. Patricia Adams mengistilahkan utang semacam ini sebagai odious debt atau utang najis. Mengapa utang itu menjadi najis? Ini terjadi, tulis Adams, karena utang luar negeri itu digunakan bukan untuk kepentingan negara yang sebenarnya, melainkan untuk memperkuat rezim yang sedang berkuasa.

Dalam konteks Indonesia, bisa juga untuk ‘menggelembungkan’ birokrasi dan memberikan fasilitas berlebihan kepada para pejabat negara, elite politik, dan pengusaha kroni. Utang najis semacam ini seharusnya bukan menjadi beban negara dan rakyat, melainkan beban dari rezim yang bersangkutan.

Di samping utang najis, menurut Adams, besarnya utang negara juga bisa terjadi karena utang kriminal. Utang najis berbeda dengan utang kriminal, walaupun semua utang kriminal dapat dikategorikan sebagai utang najis. Namun sebaliknya, tidak semua utang najis adalah utang kriminal. Perbedaan utamanya adalah utang najis hanya berhubungan dengan utang luar negeri suatu negara, sedangkan utang kriminal termasuk juga utang dalam negeri.


Dalam kaitan ini, Indonesia sudah terjebak pada kedua jenis utang ini. Utang luar negeri telah menjadi utang najis karena dihambur-hamburkan untuk berbagai pembiayaan program-program pemerintah yang boros dan penuh penyelewengan. Sedangkan utang kriminal, contohnya bisa dilihat dari kasus dana rekapitulasi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang jumlahnya mencapai sekitar Rp 1.400 triliun.

BLBI merupakan skema pinjaman yang diberikan Bank Indonesia pada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas ketika Indonesia diterpa krisis moneter tahun 1998. Skema tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian antara Indonesia dan IMF untuk mengatasi krisis. Indonesia saat itu menuruti saja segala petunjuk dan perintah IMF karena pemerintah banyak terkotori utang najis.

Selanjutnya, utang najis itu berubah menjadi utang kriminal yang jumlahnya amat sangat besar, yaitu Rp 1.400 triliun. Celakanya bank-bank yang mendapat bantuan likuiditas itu sebagian besar mengemplang atau merekayasa utang-utangnya sedemikian rupa sehingga seolah-olah utangnya menjadi lunas. Tragisnya, pemerintah pun tidak bisa berbuat apa-apa dalam menghadapi utang kriminal ini.

Akibat utang kriminal BLBI, maka setiap tahun pajak rakyat kita dipakai untuk mencicil utang BLBI sekitar Rp 60 triliun hingga Rp 80 triliun. Dan beban utang yang menyandera APBN inilah yang menyebabkan negara kehilangan kemampuan untuk mendanai dan membiayai sektor publik –terutama infrastruktur– untuk menciptakan kesejahteraan rakyat.


Jika kini pemerintah mengklaim kemiskinan dan pengangguran makin berkurang, klaim tersebut jelas harus dipertanyakan. Sebab, klaim itu hanya berdasarkan statistik yang amat mudah direkayasa. Salah satu tujuan ‘udang di balik batu’-nya BLSM adalah bisa dipakai untuk merekayasa statistik tersebut dalam rangka menampilkan postur palsu untuk memperlihatkan berkurangnya pengangguran dan kemiskinan. Padahal, apa arti uang Rp 150 ribu selama empat bulan untuk memperbaiki ekonomi rakyat bila dibandingkan dengan beban utang tiap penduduk yang jumlahnya rata-rata sekitar Rp 8,7 miliar per kepala?

Pertanyaannya: mengapa pemerintah mau berutang sedemikian besar untuk hal-hal yang tidak urgen? Jawabnya: keserakahan. Keserakahan telah menyebabkan manusia tidak mampu melihat dirinya sendiri. Akibatnya, manusia akan terjerat dan jatuh akibat keserakahannya. Keserakahan akan membunuh diri kita sendiri. Untuk itulah, pemerintah harus mencoba bangun dan berdiri pada kaki sendiri. Indonesia mempunyai sumber daya alam melimpah dan sumber daya manusia yang berkualitas sehingga menurut Bung Karno, Indonesia pantas untuk menjadi pemimpin dunia. Syaratnya, jangan terjebak pada utang, hindari pemborosan, dan keserakahan.

Dalam perspektif inilah, kita menghayati urgensi puasa. Puasa adalah sebuah pembelajaran manusia untuk menghindari keserakahan. Selama bulan Ramadhan, umat Islam dididik untuk belajar hidup sederhana, menahan nafsu, menahan lapar, dan menahan amarah untuk mencegah munculnya keserakahan dan perbuatan maksiat. Jika makna puasa Ramadhan ini bisa diinternalisasi kita semua, terutama para penguasa negeri, niscaya problem-problem yang bisa menghancurkan negara ini bisa segera teratasi.

Rokhmin Dahuri;
Ketua Umum Gerakan Nelayan dan Tani Indonesia (GANTI)
REPUBLIKA, 15 Juli 2013