24 Desember, 2017

Gaza dan Jerusalem Simbolis


Sejarah mengintai dalam bentuk baru: nasionalisme, yang kadang manusiawi, tetapi kerap juga menjadi monster pemangsa manusia.

Ketika televisi mempertontonkan onggokan-onggokan tanah, beton, dan potongan tubuh manusia yang “dihasilkan” oleh bom Israel di Gaza atas nama “hak membela diri”, aku —agar tak muak dan membenci— memanggil di benakku kenangan masa kecil tentang seorang tua yang kadang mengunjungi rumah kami untuk berdiskusi entah tentang seni ataupun sastra.

Orang itu, dr Seidel, mempunyai rahasia yang, pada suatu hari berawan gelap, dibisikkan serius oleh ibuku: “Jean, lihatlah di pergelangan tangannya, tertera satu nomor, nomor statistik Maut, yang tak pernah lupa ditato kaum Nazi pada orang yang bakal digasnya.” Ya! Dr Seidel adalah salah satu di antara sedikit sekali tawanan kamp Nazi yang berhasil luput dari maut. Al-Maut hampir-hampir merangkulnya hanya karena “ras”-nya sebagai seorang Yahudi.

Thomas Mann dan Goethe, sama-sama menulis tentang Doktor Faust.

Pada satu hari, saya lupa apakah usai membaca Thomas Mann atau Goethe, aku mendekatinya, ingin tahu: "Monsieur Seidel," tanyaku polos, "apakah Anda kini masih membenci orang Jerman?" Dia menatap aku lama, mengerutkan dahi, lalu berkata sedih, "Bagaimana bisa? Penderitaanku telah membawakanku ke medan derita dan kasih sesama, bukan ke ranah kebencian...." Aku tertegun, haru.

Kini dr Seidel bersemayam di bawah batu nisan berbintang David di pinggiran kota Paris. Jauh dari Tanah Suci yang konon dijanjikan Tuhan kepada kaumnya. Tanah Suci yang didambakannya sejatinya ialah negeri damai impian kaum humanis.

Di dalam sikapnya, dr Seidel, secara sadar ataupun tidak, bersikap sebagai pewaris dari tradisi Yahudi lama.

Selama 2.500 tahun, apakah di pengasingan di Babilonia (536 SM), di rantauan Lautan Tengah seusai dibantai tentara Romawi (tahun 76 M), atau di kota-kota Jerman di mana dijarah dan dibunuh tentara Perang Salib (abad ke-12); apakah sebagai patih di Cordoba atau tukang sepatu di Lithuania, tak ayal di mana pun orang Yahudi berada, di situ pun terdapat pula rabi (pendeta) dan yeshiva (sekolah agama) yang mendamba-dambakan suatu Jerusalem yang tak mungkin nyata: Tanah Suci mistis kaum kelana papa.

Yahudi tak bisa lepas dari Rabi dan Yeshiva.

Setelah Revolusi Prancis (1789), segala diskriminasi hukum perihal agama, etnisitas, dan status sosial dihapuskan. Serta-merta keluarlah orang-orang Yahudi dari ghetto-ghetto-nya untuk menjadi "warga negara" setara. Mereka sudah siap secara intelektual: di dalam tafsirnya atas Alkitab, yeshiva klasik telah mengembangkan retorik analitis dan logik yang tajam.

Maka tak mengherankan bila siswa yeshiva brilian, tapi bosan agama, kerap menjadi filsuf. Dari pertemuan mereka dengan pikiran zaman mengalirlah sumbangan-sumbangannya pada upaya humanistis "universal" modern —dengan tokoh-tokoh seperti Marx, Heine, Mandelssohn, Proust, Durkheim, Freud, dan Einstein.

Namun, sejarah mengintai dalam bentuk baru: nasionalisme, yang kadang manusiawi, tetapi kerap juga menjadi monster pemangsa manusia. Pada abad ke-19 muncullah kelompok Yahudi yang tidak lagi menginginkan Jerusalem yang simbolis, melainkan Jerusalem yang harfiah. Bukan lagi Tanah Suci Surgawi, tetapi tanah migrasi bernama Israel.

Deklarasi Balfour (1917) dan keruntuhan kuasa Ottoman atas Timur Tengah (1918) membuka peluang untuk itu. Sejarah kemudian berlalu: Holocaust dari jutaan orang Yahudi oleh kaum Nazi semasa Perang Dunia II (1939-1945), migrasi sisa orang Yahudi ke Palestina/Israel (1945), pendirian negara Israel (1947), perang yang mengganti perang, teror yang tak berkesudahan. Hingga tadi, ketika aku menonton di TV onggokan-onggokan adonan beton dan tubuh manusia.

Hitler dan para tokoh Yahudi yang masyhur; Karl Marx, Sigmund Freud, Einstein, dll.

Alhasil, kebanyakan orang Israel kini menganut ragam nasionalisme yang tak kurang mutlak daripada nasionalisme Jerman awal abad ke-20, yang harus dibayar sedemikian mahal oleh kaumnya. Tak kurang penting, tradisi spiritual-humanis universal yang dipegang selama 2.000 tahun oleh orang Yahudi —yaitu kepercayaan simbolis akan suatu Jerusalem ideal nan manusiawi— telah dikhianatinya dan terancam musnah. Buktinya di Gaza.

Sementara ini, tak jauh dari Jerusalem, terdapat kelompok yang tidak lagi menginginkan suatu khalifah simbolis, melainkan juga suatu khalifah yang "nyata!"

Tetapi mungkin itu terjadi karena nun jauh di sana, banyak warga Amerika meyakini negaranya sebagai wujud nyata dari Tanah Suci yang dijanjikan —Jerusalem yang baru. Astaghfirullah!

Jean Couteau
Kolumnis Surat Kabar KOMPAS
KOMPAS, 31 Agustus 2014

16 November, 2017

Prahara Kanisius: Sebuah 'Noda' Demokrasi


Di dalam psikoanalisis ada penyakit namanya “prolonged infantilism” yaitu masa kanak-kanak yang kelamaan. Virus ini dapat dikenali pada diri seseorang atau sekelompok orang yang sulit move on. Contoh misalnya, orang yang dari kecil hidup di keluarga kaya, lalu setelah menikah ia miskin.

Jika ia tetap berpola hidup seperti layaknya orang banyak uang, suka makan di restoran dan jalan-jalan ke tempat yang mahal, maka ia telah terjangkit virus “prolonged infantilism.” Orang ini susah beradaptasi terhadap realitas yang dihadapi.

Tidak saja kepada orang kaya yang jatuh miskin, virus ini juga sering menyerang para pejabat yang pensiun, atlet terkenal yang kalah bertanding, artis yang sudah tidak laku di pasaran. Banyak di antara mereka yang tidak mampu beradapatasi dan menerima realitas perubahan hidupnya. Pasalnya, mereka tidak pernah mengantisipasi dan punya kesiapan menghadapi suatu perubahan.

Everett Hagen menyebut orang-orang seperti ini sebagai orang-orang yang berkepribadian otoriter. Orang-orang yang berkepribadian otoriter umumnya tidak bisa menerima nilai-nilai baru dan keadaan yang berbeda dari apa yang dibayangkan oleh otak di kepalanya. Orang-orang macam ini oleh agama (Islam-red) disebut “jahiliyah”.

Ananda Sukarlan (kiri) dan Anies Rasyid Baswedan (kanan).

Dalam politik, penyakit ini sering juga menular kepada mereka yang kalah dalam kompetisi demokratis. Sejumlah kegaduhan pasca Pilpres, Pilkada dan Pileg akibat tidak bisa menerima hasil pemilu adalah indikator bahwa virus “prolonged infaltilism” telah merasuk ke otak mereka. Klinik konstitusional sebagai saluran hukum yang tersedia di MK (Mahkamah Konstitusi) seringkali tidak mampu meyembuhkan penyakit ini.

Keributan di Kemendagri oleh sekelompok orang yang tidak bisa terima hasil Pilkada beberapa waktu lalu adalah salah satu contoh masih terus adanya masyarakat yang terjangkit virus “prolonged infantilism”. Orang-orang seperti ini hampir selalu ada dan kemunculannya semakin banyak sejak pemilu digelar secara langsung.

Mereka mengaku bahwa apa yang mereka lakukan adalah bagian dari proses demokrasi. Mungkin mereka menganggap bahwa demokrasi adalah sarana kebebasan tanpa batas. Ini tentu salah kaprah. Mereka lalai bahwa demokrasi bukan “sarana bebas menghujat dan merusak”, tapi demokrasi adalah “ruang legal untuk berpendapat”. Demokrasi tidak menyediakan sarana menghalalkan semua cara untuk mengejar tujuan.

Banyak orang yang suka klaim dirinya sebagai penganut demokrasi sejati, tapi sikap dan perilakunya jauh dari nilai-nilai yang menunjukkan seorang yang menghormati demokrasi. Apa yang mereka katakan sebagai pejuang demokrasi tidak sesuai dengan apa yang mereka lakukan. Mereka adalah orang-orang “double talk”, ucapan dan sikapnya saling bertentangan. “What they say” berbeda dengan “what they do”.


Peristiwa yang sedang ramai dibicarakan publik di media dan medsos akhir-akhir ini terkait aksi walk out sejumlah orang yang diinisiasi oleh Ananda Sukarlan di acara ultah ke 90 Lembaga Pendidikan Kolese Kanisius juga merupakan “ironi demokrasi”.

Kemarahan terkait keabsahan Anies Baswedan sebagai gubernur mestinya sudah selesai setelah pelantikan. Aturan Pilkada yang mesti jadi acuan, bukan perasaan kecewa dan marah karena kekalahan. Aksi Ananda Sukarlan dan kawan-kawan itu, telah salah waktu dan tempat. Mestinya dilakukan sebelum penetapan KPUD dan di MK.

Secara sosial aksi tersebut sungguh menunjukkan sikap jauh dari etika pendidikan, politik, dan kebangsaan. Apalagi dilakukan di lembaga pendidikan sebesar Kanisius dan kepada tamu yang diundang secara resmi oleh pihak sekolah. Perlakuan secara tidak hormat ini merupakan tindakan anti toleransi dan kontra-demokrasi.

Apakah ini yang disebut sesuai dengan nilai-nilai Kanisius? Pasti tidak! Sekolah adalah tempat orang-orang beradab, bukan panggung kemarahan orang-orang yang sulit beranjak dewasa. Sebaliknya, sikap Ananda Sukarlan justru merupakan bentuk “kekerasaan budaya” kata Eros Djarot.


Aksi walk out saat Anies berpidato setidaknya telah menodai nama besar Kanisius yang selama ini telah berhasil melahirkan orang-orang sukses dan tokoh-tokoh bangsa. Tindakan ini juga telah mempermalukan para alumninya. Peristiwa ini tidak perlu terjadi jika mereka bisa berlapang dada untuk menerima kekalahan sebagai bagian dari “historical necessities”, keniscayaan sejarah.

Dalam sistem demokrasi, menang-kalah itu hal yang lumrah, biasa dan wajar. Menjadi tidak wajar jika pihak yang kalah terus memelihara permusuhan dan sibuk mencari kesalahan lawan. Jika ini yang terpelihara, maka energi bangsa akan banyak terbuang sia-sia.

Anies berhasil mengalahkan Ahok adalah fakta. Saat ini Anies sudah dilantik dan jadi gubernur Jakarta. Sejak dilantik, Anies adalah gubernur seluruh rakyat Jakarta, bukan gubernurnya para pendukung, apalagi timses. Ini suatu keputusan yang sudah ditakdirkan undang-undang. Sepahit apapun, semua pihak mesti terima.

Menyimpan rasa kecewa dan marah tidak akan merubah keputusan politik yang ada. Kecuali hanya akan buang energi. “The past can not be changed” kata Mary Pickford. Akan lebih produktif jika semua energi difokuskan bersama Anies-Sandi untuk membangun kota Jakarta dan bersama-sama menyelesaikan problem Jakarta.


Aksi yang hampir sama juga terjadi sebelumnya, saat Anies Baswedan hadir di acara mantu Presiden Jokowi di Solo. Kehadiran Anies disambut oleh sejumlah tamu undangan dengan ucapan “huuuuu ….” Suara dilontarkan sebagai pesan bahwa mereka belum bisa terima Anies menjadi gubernur DKI. Sikap semacam ini menunjukkan bahwa kita masih harus lebih serius untuk belajar bagaimana cara berdemokrasi yang lebih elegan. Acara pesta agung Presiden Jokowi harus menanggung aib atas ulah segelintir tamu undangan yang terjangkiti virus “prolonged infantilism”. Kata anak muda, mereka masih belum bisa “move on”.

Seorang pemimpin memang harus diuji, termasuk Anies. Peristiwa di atas telah menjadi ujian bagi Anies, sejauh mana ia punya kematangan mental dan kedewasaan bersikap dalam menghadapi dinamika sosial dan politik yang perkembangannya tidak sepenuhnya bisa diduga. Apa jawaban dan reaksi Anies atas “perlakuan kurang terhormat” itu, akan menjadi halaman pertama di mana masyarakat Jakarta siap menuliskan penilaiannya terhadap Anies.

Di satu sisi, sikap mereka memang layak dianggap telah menodai nilai-nilai demokrasi dan pantas mendapat kecaman publik sebagai “social punishment”. Namun di sisi lain, ini justru menjadi bonus politik bagi Anies untuk menunjukkan siapa dirinya.


Menanggapi “suara nyinyir” di pesta mantu presiden Anies terlihat hanya tersenyum. Seolah tidak ada beban di wajahnya, meski telah ditertawakan. Reaksi senyum ini menjadi point penting, sebab ini memberi kesan betapa Anies oleh publik akan dinilai sebagai pemimpin yang memiliki kematangan dalam berdemokrasi. Sikap “dewasa” yang ditunjukkan Anies kelak akan dimengerti sebagai investasi politik yang elegan.

Reaksi Anies ini membuktikan kelasnya sebagai pemimpin yang punya karakter. Pemimpin adalah sosok “eksepsional aktor” atau manusia di atas kemampuan rata-rata (ordinary people). Karena itu seorang pemimpin dituntut punya karakter yang kuat. Menurut Napoleon Bonaparte, tujuh puluh lima persen pengaruh seorang pemimpin ada di karakternya.

Jawaban Anies bahwa aksi walk out sejumlah orang di acara ulang tahun ke-90 Kolese Kanisius adalah hal biasa. Anies menegaskan bahwa tugasnya sebagai gubernur adalah menyapa dan mengayomi semua. Ini jawaban yang menunjukan kelasnya Anies sebagai negarawan, sekaligus menjadi garis tegas yang membedakan dirinya dari gubernur sebelumnya.

Tony Rosyid
Kumparan.com
15 November 2017


Tanggapan Alumni Kanisius Soal Aksi Walk Out Saat Anies Pidato

Aksi walk out oleh musisi Ananda Sukarlan dan beberapa orang lainnya saat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berpidato menjadi perbincangan. Perhimpunan Alumni Kolese Kanisius memberikan tanggapan resmi terkait aksi itu.

Aksi walk out itu terjadi saat Anies memberikan pidato dalam Perayaan 90 Tahun Kolese Kanisius di Jakarta International Expo Kemayoran. Ananda, merupakan alumni Kanisius, keluar dari ruangan dan diikuti oleh sejumlah orang lainnya.

Setelah aksi walk out usai, Ananda, yang mendapatkan penghargaan, lantas dipersilakan maju ke depan panggung. Dalam sambutannya, Ananda mengkritik panitia karena mengundang pejabat yang menurutnya ‘mendapatkan jabatan dengan cara yang tidak sesuai dengan nilai-nilai integritas yang diajarkan Kanisius’.

Kejadian tersebut lantas disorot. Sedangkan Anies memilih untuk tak mempersoalkannya.


Alumni Kanisius pun angkat bicara. Mereka menyayangkan pidato dan aksi walk out Ananda tersebut. Berikut ini pernyataan alumni Kanisius:

Hari ini Perhimpunan Alumni Kolese Kanisius Jakarta (PAKKJ) mengeluarkan pernyataan resmi mengenai komentar yang disampaikan oleh salah satu alumninya dalam Perayaan 90 Tahun Kolese Kanisius, pada tanggal 11 November 2017.

Kami menghargai kebebasan menyatakan pendapat, namun kami menyayangkan bahwa pernyataan tersebut disampaikan dalam momen yang tidak tepat,” ujar Sharief Natanegara, Ketua Umum PAKKJ.

Ia menjelaskan bahwa kehadiran Gubernur Anies Baswedan dalam acara tersebut justru mendapatkan perhatian dari pihak alumni dan tidak terjadi walk out secara beramai-ramai seperti yang diberitakan di media sosial.

Pesta Raya Kanisius Untuk Indonesia merupakan puncak acara dari rangkaian Perayaan 90 Tahun Kolese Kanisius. Perayaan yang terdiri dari 3 bagian utama: Pesta Anak Bangsa, Doa Bagi Bangsa, dan Simfoni Kanisius Untuk Indonesia, merupakan salah satu bentuk rasa syukur dan ungkapan komitmen dari seluruh Kanisian, Alumni, Para Pater dan Pendidik untuk membentang asa membangun bangsa di tengah keberagaman dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila.


Kolese Kanisius sudah berdiri dan menjadi bagian dari perjalanan sejarah Indonesia selama 90 tahun dan menghasilkan ribuan alumni dengan spirit “Man for Others” yang telah mendedikasikan karya mereka bagi Bangsa Indonesia tercinta.

Untuk itu Sharief meminta agar seluruh pihak tidak terprovokasi oleh hal-hal yang beredar di media sosial.

Ia juga menjelaskan bahwa pihak sekolah sebagai penyelengara yang mengundang Gubernur telah mengirimkan surat penjelasan kepada Bapak Gubenur.

Salah satu tradisi panjang di Kanisius adalah selalu mengutamakan dan menghargai setiap orang yang hadir di setiap kegiatan yang dilakukan.

Ini sudah menjadi bagian dari nilai-nilai seorang Kanisian yang telah tertanam sejak menjadi siswa di Kolese Kanisius,” tutup Sharief.

Ananda Sukarlan belum bisa dihubungi terkait aksi walk out-nya ini. Telepon dan pesan singkat ke nomor ponsel, yang diberikan langsung oleh Ananda via medsos, belum berbalas.

Repelita Online
14 November 2017
Repelita.com

26 Oktober, 2017

Beberapa Hal yang Luput dari Perhitungan Jenderal Gatot Nurmantyo


Sebagai seorang Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo nyaris ideal. Dia digambarkan dekat dengan anak buahnya. Berani bicara di depan publik. Gaya bicaranya tegas. Pemikirannya jelas. Dan dia punya nyali. Tapi publik juga tidak terlalu keliru jika menganggap semua manuver yang dilakukan oleh Sang Jenderal lebih didorong oleh keinginan pribadinya menjadi Presiden, atau setidaknya Wakil Presiden.

Apakah keinginan itu keliru? Jelas tidak. Di negara demokrasi, keinginan semacam itu tidak bisa dipersalahkan. Tapi menjadi keliru jika melanggar adab dan aturan main demokrasi. Salah satu hal yang dianggap melanggar adab itu dalam kasus Jenderal Gatot adalah merasa tidak di bawah ‘kendali’ Menteri Pertahanan dan Menkopolhukam.

Awalnya, Jenderal Gatot mendapatkan pujian dari berbagai pihak. Dan setiap pujian selalu menggembungkan rasa percaya diri. Namun rasa percaya diri yang berlebihan sering kali justru membuat orang bisa salah langkah.


Menjadi politikus di Indonesia tidak cukup hanya mengandalkan keberanian. Hal itu yang tampaknya kurang dipahami oleh Jenderal Gatot.

Di negeri ini, sudah terlalu banyak kisah tentara yang hendak menjadi politikus namun akhirnya gagal karena hanya mengandalkan keberanian. Terlebih lagi di era demokrasi langsung saat ini.

SBY mungkin bisa menjadi contoh. Dia tidak hanya mengandalkan keberanian dalam berpolitik. Dia bertarung, kalah, lalu memulai lagi dari awal dengan membangun Partai Demokrat. Cerita selanjutnya kita tahu sendiri apa yang terjadi.

Apa yang pernah dilakukan oleh SBY tampaknya tidak menjadi model bagi Jenderal Gatot. Dia mungkin berpikir, dalam situasi politik yang agak panas ini, manuver-manuvernya akan mendulang dukungan dari kelompok-kelompok yang berseberangan dengan Presiden Jokowi. Anggapannya, dukungan itu akan memberinya tiket premium untuk masuk ke gelanggang politik 2019.

Tapi dalam waktu singkat Jenderal Gatot sudah harus repot. Serangan kepadanya berhumbalang dari segala penjuru. Termasuk dari pihak-pihak yang semula dia anggap bakal mendukungnya.

Lalu apa yang lupa diperhitungkan oleh Jenderal Gatot? Beberapa poin berikut ini mungkin bisa dijadikan rujukan atau pertimbangan bagi Sang Jenderal.


Politikus dari Parpol
Pemilu 2019 adalah antrean orang menjadi Wakil Presiden. Sebab jelas, kemungkinan hanya ada dua kandidat kuat yang akan bertarung lagi di Pilpres 2019: Jokowi dan Prabowo Subianto.

Para elite politik lain masih harus berdiri di antrean menjadi Cawapres kedua sosok tersebut. Karena masing-masing hanya bisa didampingi satu Cawapres, maka pertarungan menjadi orang yang akan ditandemkan dengan Jokowi atau Prabowo, jelas sangat ketat.

Kehadiran Jenderal Gatot sudah tentu dianggap mengganggu konstelasi perebutan antrean ini. Sebab bagaimanapun, tiket politik di era sekarang ini dimiliki oleh partai politik. Para politikus tentu gerah dengan kehadiran Sang Jenderal yang tidak pernah mengalami jatuh-bangunnya pertarungan politik, dan terutama jatuh-bangunnya dalam membesarkan partai.

Jenderal Gatot mungkin lupa, Cak Imin dari PKB juga ingin jadi Cawapres. Bahkan Hary Tanoe dengan partai barunya pun juga pengin menjajal keberuntungan. Surya Paloh dari Nasdem sudah tentu tidak akan merelakan begitu saja jabatan Cawapres kepada sosok di luar partai. Hampir semua politikus partai hakulyakin tidak akan merelakan hal ini terjadi.

Bahkan jika kelak Sang Jenderal pensiun pun, lalu masuk ke salah satu Parpol, tidak bisa serta-merta didapuk jadi Cawapres.

Berpolitik memang tidak untuk mendapatkan jabatan, tapi kita tahu slogan itu hanyalah pepesan kosong. Sebab berpolitik ya memang untuk mendapatkan jabatan politik. Apakah dapat betulan atau tidak, itu soal belakangan.


Supremasi Sipil
Ketika Orde Reformasi terjadi, supremasi sipil jelas menjadi kaidah politik bersama. Tentara boleh berpolitik, tapi tunggu pensiun dulu. Kalau tentara aktif dianggap melakukan manuver politik, maka para politikus dari segala penjuru, akan bersatu.

Ada begitu banyak gagasan politik berbenturan di era pasca-Reformasi. Tapi tidak ada suara nyaring yang mendukung kembalinya Dwi Fungsi ABRI (sekarang TNI). TNI boleh punya nilai plus dalam berbagai jajak pendapat masyarakat dalam hal kelembagaan, tapi bukan berarti dipersilakan berpolitik seperti dulu lagi.

Aturan mainnya sudah jelas, dan sudah banyak pensiunan Jenderal yang mengikuti prosedur demokrasi ini.

Para intelektual dan aktivis memang tercerai-berai ketika menghadapi Pilpres 2014 silam, dan Pilkada DKI tahun ini. Tapi untuk urusan supremasi sipil di era demokrasi, tampaknya tak ada yang berbeda suara. Kalaupun ada yang berbeda, pastilah amat kecil jumlahnya.

Mungkin Jenderal Gatot juga lupa, AHY ‘disipilkan’ supaya bisa bertarung dalam Pilgub DKI. Dia taat aturan main dan mengambil keputusan yang tidak mudah. Kalau militer balik lagi ke gelanggang sipil, SBY dan AHY sudah pasti paling keberatan. Sudah keluar masak balik lagi?


Angkatan Lain Diuntungkan
Mungkin banyak orang bertanya-tanya, kenapa manuver Jenderal Gatot tidak mendapatkan sambutan positif bahkan dari kalangan tentara sendiri. Kenapa cuitan admin Twitter AU langsung menanggapi dengan nakal pernyataan Jenderal Gatot soal 5000 senjata yang dipesan secara gelap itu.

Mungkin banyak yang lupa bahwa salah satu buah Reformasi di tubuh militer telah dinikmati oleh angkatan lain. Angkatan Udara dan Angkatan Laut di era Orde Baru dianggap sebagai angkatan yang dipinggirkan perannya, dan di era Reformasi justru diberi perhatian yang lebih. Kepolisian memang ‘disipilkan’, tapi proses tersebut bukan dianggap penyingkiran melainkan sebuah berkah.

Maka tidak heran, manuver Jenderal Gatot mendapatkan perlawanan dan pembangkangan dari kedua angkatan. Terlebih pihak Kepolisian. Tidak usah dibilang bakal diserbu pun, Kepolisian bakal paling depan menghadang manuver Jenderal Gatot jika melebihi batas kewenangan dan di luar mekanisme Pemerintahan yang sah.


Norma Kepantasan
Bagaimanapun tegas dan beraninya Jenderal Gatot, belum tentu mendapatkan apresiasi yang baik dari publik. Masyarakat punya norma dan nilai kepantasannya sendiri.

Seorang pimpinan yang tidak patuh, atau dinilai tidak patuh kepada pimpinan yang lebih tinggi, sulit mendapatkan apresiasi. Keberanian itu ditujukan buat kewajiban dan tanggung jawab, bukan untuk berhadapan dengan atasan.

Menteri Susi Pudjiastuti, misalnya, mendapatkan apresiasi yang tinggi dari masyarakat karena keberaniannya memerangi pencurian ikan. Bukan karena Menteri Susi berani melawan Presiden.

Tentu saja Jenderal Gatot tidak secara eksplisit melawan Presiden Jokowi. Tapi pernyataannya terhadap Menhan, dan bantahan Menkopolhukam atas pernyataan-pernyataannya, bisa diresepsi oleh publik sebagai pembangkangan atas pimpinan.


Publik kita juga punya norma waktu, untuk tidak buru-buru. Tidak nggege mangsa karena toh semua akan pantas dilakukan jika Jenderal Gatot sudah pensiun atau tidak lagi menjadi Panglima TNI.

Citra membangkang terhadap atasan dan nggege mangsa inilah yang makin melemahkan daya dukung masyarakat terhadap Jenderal Gatot.

Politik memang bukan barang gampang. Karena itu perlu dipelajari. Namanya belajar, pasti melewati banyak kekeliruan. Masalahnya tinggal bagaimana kekeliruan itu diakui, sebagai perwujudan sikap berani yang sudah kadung menjadi label Sang Jenderal.

Kalau Jenderal Gatot berani mengaku keliru, publik mungkin akan cepat melupakan dan malah mengapresiasi hal itu. Sebab di mata masyarakat, berani mengakui kekeliruan dan meminta maaf adalah sikap kesatria. Sikap yang tidak mudah, tapi sungguh mulia.

Puthut  EA
26 SEPTEMBER 2017
https://mojok.co/puthut-ea/esai/gatot-nurmantyo/

10 September, 2017

Politik Paranoid


Orator dan demagog ulung Joseph Goebbels, menteri propaganda rezim Adolf Hitler, percaya bahwa kebohongan yang terus diulang-ulang dalam waktu lama akan menjadi fakta bagi kalangan yang picik dan tidak berpikir. Bahkan pembohongnya bisa jadi percaya pada kebohongannya sendiri.

Dia juga mengatakan bahwa untuk mengendalikan massa dengan mudah, kita hanya perlu menciptakan ketakutan. Dukungan publik akan dapat diraih apabila kemudian kita memproyeksikan diri sebagai orang kuat yang mampu memberi perlindungan. Contoh yang relatif baru ialah unggulnya Donald Trump dalam pencalonan dirinya oleh Partai Republik kemudian menang dengan mengejutkan sebagai presiden ke-45 Amerika Serikat.

Kemenangannya disebabkan oleh keberhasilannya dalam kampanye terencana dengan cara menciptakan, mengakomodasi, dan memanfaatkan rasa takut masyarakat terhadap imigran gelap, teroris "Islam", perdagangan bebas, dan hilangnya lapangan kerja yang disebabkan oleh barang murah China. Trump kemudian berjanji mengatasi dengan cara sederhana, yakni akan mengusir 11 juta imigran gelap, melarang Muslim masuk Amerika, dan akan memaksa China untuk tunduk pada tuntutan-tuntutan Amerika guna menjadikan Amerika Hebat Kembali (America Great Again).


Musuh bayangan Inilah jenis politik yang diberi nama politik paranoid. Istilah politik paranoid pertama kali diperkenalkan dalam sebuah esai oleh sejarawan Amerika, Richard J Hofstadter, pada 1964 saat politisi Republiken ekstrem kanan, Barry Goldwater, mencalonkan diri sebagai presiden Amerika. Dia menyebut politik paranoid bukan hal baru. Politik seperti ini telah berulang kali dilakukan oleh politisi pada masa lalu dalam rangka meraih kekuasaan.

Dalam istilah lain sering juga disebut sebagai politik rasa takut (politics of fear). Politik paranoid berbeda dengan politik populis. Yang belakang ini lebih memfokuskan kepada isu-isu nyata jangka pendek yang populer di masyarakat, tetapi belum tentu bermanfaat untuk kepentingan nasional jangka panjang. Sementara politik paranoid menciptakan musuh-musuh bayangan (imagined enemies) sambilmengeksploitasi status dan frustrasi sebagian masyarakat pemilih yang merasa terpinggirkan.


Apa sebenarnya yang dimaksud dengan paranoid atau paranoia? Paranoia adalah suatu jenis penyakit jiwa ketika penderitanya merasa atau berdelusi bahwa hidupnya terancam oleh berbagai hal di luar dirinya. Curiga kepada pihak lain tanpa memiliki alasan dan bukti yang jelas. Cenderung menciptakan teori konspirasi. Diliputi rasa takut bahwa dirinya akan disakiti atau menjadi korban dari perlakuan orang lain. Penderitanya disebut mengidap paranoid.

Berbeda dengan fobia yang juga perasaan rasa takut dan benci yang tak rasional, paranoia biasanya menyertakan tuduhan palsu kepada pihak lain sehingga suatu kejadian biasa yang kebetulan dan tak disengaja akan dianalisis menjadi sesuatu yang serius dan mengancam. Dalam kasus klinis yang akut, penderita akan mendengar bisikan di telinganya tentang berbagai ancaman yang datang dari luar terhadap dirinya.

Penyakit paranoia klinis menjangkiti orang per orang. Namun, kelompok atau masyarakat apabila terus-menerus dihujani dengan kebohongan secara sengaja agar mengikuti tujuan yang ingin dicapai pembohong, dapat pula terjangkit paranoid secara bersama. Ketika dia menjadi penyakit masyarakat, penderita merasa bangsanya atau budayanya atau agama yang diyakininya sedang dalam bahaya.


Paranoia ala Indonesia
Di negeri kita belakangan ini ada sejenis paranoia di kalangan tertentu bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) sedang bangkit kembali. Belum lama ini seorang petinggi Partai Gerindra menuduh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebagai partai berideologi komunis. Bahkan, Presiden kita tidak jarang menjadi korban fitnah sebagai orang dari keluarga PKI meski telah berkali-kali dibantah.

Apabila kepada mereka diminta membawa bukti-bukti bangkitnya PKI di negeri ini, mereka hanya akan menunjukkan beberapa foto orang berbaju kaus dengan gambar palu arit atau sekelompok keluarga korban pembasmian PKI pada tahun 1965 yang menuntut keadilan. Mereka lupa atau pura-pura lupa bahwa ideologi komunis di dunia sudah habis riwayatnya.

Satu-satunya negeri di dunia yang masih mempraktikkan ideologi itu dalam sistem pemerintahannya hanyalah Korea Utara. China, meski masih mempertahankan nama partainya yang berkuasa sebagai Partai Komunis, dalam praktiknya saat ini sistem ekonomi China sudah jauh dari ideologi komunis, bahkan bisa dibilang sebagai sistem kapitalis tingkat tinggi.

Akankah hubungan Indonesia dan China bermuara pada entitas baru IndoChina ???

Atau paranoid terhadap investasi China di sini yang dianggap sebagai bagian dari rancangan China untuk melakukan kolonisasi terhadap Indonesia. Ada video yang beredar yang menyatakan bahwa 200 juta warga Tiongkok akan berimigrasi kesini. Konon, proyek reklamasi Jakarta disiapkan untuk menampung 20 juta warga China. Dan, masih banyak lagi klaim yang sulit diterima oleh akal sehat.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan juga menjadi sasaran tembak dengan menganggapnya sebagai rancangan pemerintah untuk menyudutkan umat Islam. Padahal Perppu itu tidak menyebut agama apa pun dan ditujukan untuk menjaga persatuan dan keselamatan bangsa dari rongrongan kelompok radikal.

Begitu pula ada paranoia tentang keadaan negara yang katanya hampir bangkrut karena terus bertambahnya utang pemerintah. Padahal pemerintah belum melewati batas yang dibolehkan dalam undang-undang dan rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto masih jauh di bawah banyak negeri lain.


Yang sangat memprihatinkan, mereka yang termakan oleh isu-isu paranoid ini bukan sekadar orang awam, melainkan juga mereka yang bergelar sarjana, bahkan petinggi beberapa universitas dan akademi. Para sarjana ini pada umumnya spesialis yang wawasannya sangat sempit.

Internet dan media sosial juga memainkan peran yang besar dalam menggelembungkan isu-isu khayalan ini. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah adanya gejala yang mulai muncul kembali di permukaan yang memberi sinyal bahwa politik paranoid yang berpotensi memecah belah bangsa itu akan dihidupkan kembali untuk menghadapi persaingan pada pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden mendatang.

Partai-partai politik tertentu merasa bahwa sebagai taktik kampanye, politik paranoid telah terbukti sukses meraih kemenangan pada Pilkada DKI yang lalu. Sebuah pilkada yang menyisakan luka-luka sampai sekarang. Semoga kedepan tidak terjadi lagi.

Abdillah Toha,
Pemerhati Politik,
KOMPAS, 23 Agustus 2017

25 Agustus, 2017

Sardjito dan Jejak yang Hilang


Prof. Dr. dr. RM. Sardjito, M.D., M.P.H. (1889-1970), yang namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit umum pusat di Yogyakarta, adalah perintis, pendiri, sekaligus menjadi rektor (dulu disebut presiden universiteit) pertama Universitas Gadjah Mada (UGM).

Dari tulisan-tulisannya yang berhasil saya kumpulkan sejak masih di bangku kuliah dulu, ia bukan hanya seorang ilmuwan, namun juga seorang begawan. Lulusan terbaik STOVIA tahun 1915 ini bisa menulis perihal kebudayaan dan filsafat sama baiknya dengan ketika ia menulis tentang penyakit-penyakit tropis.

Dulu, setiap kali membaca tulisan atau mendengarkan ceramah Profesor Teuku Jacob, mantan Rektor UGM (1981-1986) yang juga berasal dari Fakultas Kedokteran, saya selalu membayangkan pastilah Profesor Sardjito secemerlang ––atau bahkan lebih dari–– muridnya itu. Tapi, ke mana lagi orang bisa mencari jejak pemikiran manusia Sardjito pada hari ini ?!


Atau, coba ganti nama Sardjito dengan nama lain. Misalnya saja Herman Johannes, ahli fisika nuklir yang juga menekuni teknologi madya atau teknologi pedesaan; atau Iman Soetiknjo, yang bersama Notonagoro telah menghidupkan dan menghidupi kajian agraria paling awal di Bulaksumur (baca kampus UGM), apakah kesulitannya menjadi lebih mudah?! Ternyata tidak! Dan ini adalah sebuah persoalan yang tak bisa disepelekan.

Saya mendengar UGM saat ini sedang membuat film dokumenter mengenai Profesor Notonagoro, salah satu begawannya yang tercatat dalam lembaran sejarah sebagai orang pertama yang telah membawa Pancasila ke wilayah kajian ilmu pengetahuan. Dan kesulitan pertama pembuatan film dokumenter itu adalah UGM kini tak lagi memiliki arsip-arsip otentik karya-karya Notonagoro. Nah!

Sejauh yang bisa saya catat, komitmen untuk melakukan riset dan pengarsipan yang serius atas karya-karya para sarjana terkemuka di Bulaksumur memang lemah sekali. Pejabat universitas ataupun fakultas di UGM hampir semuanya lebih menyukai membangun gedung atau sarana fisik di kampus daripada membangun kultur akademik atau hal-hal lainnya yang lebih sublim tapi mendasar.


Waktu Pak Pratikno awal menjadi rektor, dalam sebuah perbincangan saya pernah mengingatkan pentingnya UGM memulai kerja serius dan sistematis untuk menyusun karya lengkap para begawannya, mulai dari generasi Sardjito, Herman Johanes, Notonagoro, hingga ke generasi Umar Kayam, Mubyarto, dan Kuntowijoyo. Jika berhasil dilakukan, itu akan menjadi batu loncatan penting UGM menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan yang sebenar-benarnya, terutama di lapangan ilmu sosial dan humaniora, dan bukan hanya menjadi pabrik sarjana belaka.
Sebab, untuk apa riset, dan apa yang mau diriset, jika kita tak mempelajari dan gampang sekali kehilangan jejak atas riset-riset yang telah dilakukan oleh para sarjana sebelum kita?!

Sayangnya, meski antusias dalam perbincangan, obrolan itu tak pernah ditindaklanjuti. Sewaktu buku saya mengenai pemikiran Mubyarto mendapat hibah dari LPPM-UGM dan kemudian diterbitkan oleh Gadjah Mada University Press, Pak Tikno bahkan mengaku tak punya waktu untuk sekadar menulis kata sambutan sebagai rektor di buku tersebut. Sayapun segera tahu, ia tak akan punya waktu untuk hal yang lebih dari itu.


UGM boleh bangga menjadi perguruan tinggi nomor wahid. Tapi jika UGM sendiri gagal merawat dan memelihara karya dari putera-puteri terbaiknya, sebagai institusi UGM sebenarnya baru sekadar menjadi pabrik sarjana belaka, atau pabrik laporan ilmiah, belum menjadi sebuah akademia bahkan dalam pengertiannya yang paling klasik.

Tak heran, pada akhirnya Sardjito, atau nama-nama besar lainnya, hanya akan tinggal nama belaka, tanpa bekas dan tanpa jejak imajinasi apapun bagi generasi terkini atau generasi yang lebih kemudian.

Sumber:
Tarli Nugroho
https://www.facebook.com/tarli.nugroho/posts/10155808153703606?ref=notif&notif_t=close_friend_activity&notif_id=1503410872790421


Biografi Prof Dr Sardjito

Prof. Dr. dr. RM. Sardjito, M.D., M.P.H. adalah seorang dokter yang menjadi Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Beliau merupakan Rektor –kala itu disebut sebagai Presiden Universiteit– Universitas Gadjah Mada yang pertama kali sejak awal berdirinya UGM pada tahun 1949 hingga tahun 1961.

Sardjito lahir di Desa Purwodadi, Kec. Barat (dulu Kec. Karangmojo), Kab. Magetan, Jawa Timur, pada tanggal 13 Agustus 1889 dan meninggal di Yogyakarta pada tanggal 5 Mei 1970 pada umur 80 tahun. Atas jasa-jasa dan perjuangannya, beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara, Yogyakarta.

Sebagai anak sulung dari lima bersaudara, Sardjito memiliki ayah yang berprofesi sebagai guru. Sardjito mengawali jenjang pendidikan dasarnya pada usia 6 tahun di Sekolah Rakyat (SR), sekaligus mulai belajar mengaji di desanya tersebut. Namun pada tahun 1901, Sardjito menyelesaikan pendidikan dasarnya di Lumajang.

Tidak jelas benar setelah lulus SR, apakah Sardjito melanjutkan pendidikannya di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) dan kemudian AMS (Algemene Middelbare School), yang pasti sejak tahun 1907 Sardjito melanjutkan jejang pendidikannya ke pendidikan tinggi kedokteran STOVIA (School Toot Opleiding Voor Indische Artsen). Beliau lulus pada tahun 1915, serta meraih gelar dokter dengan predikat sebagai lulusan terbaik pada saat itu.

RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta.

Tanggal 20 Mei tahun 1908, Dr. Wahidin Sudirohusodo memotori lahirnya organisasi Boedi Oetomo. Sejak didirikannya organisasi itu, Sardjito masuk menjadi anggota karena minatnya di bidang pendidikan dan juga sambil belajar berpolitik dalam organisasi. Masuknya Sardjito sebagai anggota Boedi Oetomo menjadikannya memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Namun demikian, walaupun telah menjadi anggota organisasi Boedi Oetomo, Sardjito tidak meninggalkan tekadnya untuk selalu berkecimpung di dunia kesehatan.

Setelah lulus dari STOVIA, Sardjito bekerja di rumah sakit di Jakarta sebagai dokter hingga sekitar tahun 1920. Tetapi menjadi dokter biasa saja tak cukup bagi Sardjito. Beliau tetap mengembangkan kemampuan ilmu kedokterannya dengan sebuah penelitian. Penelitian pertamanya adalah tentang penyakit influenza.

Pada tahun 1922, Sardjito memperdalam ilmunya di fakultas kedokteran Universitas Amsterdam, Belanda. Setahun kemudian, Sardjito belajar lebih intens lagi tentang penyaki-penyakit tropis, karena hal ini, Sardjito harus pindah ke Universitas Leiden yang letaknya tidak jauh dari Amsterdam. Di Universitas Leiden, Sardjito memperoleh gelar Doctor pada tahun 1923. Setelah memperoleh gelar Doctor di Belanda, Sardjito pergi ke Amerika Serikat untuk mengukuti kursus hygiene di Baltimore, Maryland. Di sinilah, Sardjito memperoleh gelar M.P.H. dari John Hopkins University.

Sepulang dari Amerika, Sardjito mendapat kepercayaan untuk menjadi dokter di Laboratorium Pusat Jakarta pada tahun 1924. Setahun kemudian, Sardjito dipercaya untuk menjadi ketua Boedi Oetomo cabang Jakarta. Pada akhir masa jabatannya di Laboratorium Pusat Jakarta (1929), dia merangkap jabatan sebagai asisten kepala Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta. Dari Jakarta, Sardjito pindah ke Makassar untuk memegang jabatan kepala Laboratorium Makassar pada tahun 1930.


Kesempatan kedua datang bagi Sardjito untuk pergi ke luar negeri pada tahun 1931. Kali ini Sardjito pergi ke Berlin, Jerman, untuk memperdalam pengetahuannya tentang laboratorium. Sepulang dari Jerman, Sardjito kembali mengepalai sebuah laboratorium, kali ini laboratorium di Semarang selama 13 tahun hingga tahun 1945. Selama di Semarang ini pula, Sardjito membantu mengadakan penelitian tentang penyakit lepra di Indonesia kurang lebih selama sepuluh tahun. Di saat yang sama, Sardjito harus membagi tugasnya untuk memegang jabatan sebagai pemimpin redaksi Medische Bricthen (Berita Kesehatan), sebagai ketua Mardi Walujo Semarang serta ketua Izi Hokokai Semarang.

Antara tahun 1945-1946, Sardjito sempat memimpin perusahaan “Lembaga Pasteur” di Bandung, yang merupakan pemimpin Indonesia pertama. Pada saat kepemimpinan Sardjito inilah lokasi perusahaan sempat dipindahkan ke daerah Klaten.

Karier Sardjito terus menanjak, ketika pada tahun 1949 terpilih untuk menjadi rektor pertama Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, yang ketika itu disebut Presiden Universiteit Negeri Gadjah Mada. Pemegang penghargaan Bintang Mahaputera Tingkat III tahun 1960 ini, menjabat sebagai rektor UGM selama 12 tahun 9 bulan. Bahkan seusai menjabat sebagai rektor UGM, Sardjito terpilih sebagai rektor di UII (Universitas Islam Indonesia), Yogyakarta, menggantikan Prof. RHA. Kasmat Bahoewinangoen pada tahun 1963.

Pada saat di pimpim oleh Sardjito, UII membuka cabangnya di daerah-daerah, diantaranya Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, Fakultas Tarbiyah di Gorontalo, Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi di Cirebon, Fakultas Hukum dan Fakultas Syariah di Madiun, Fakultas Syariah di Bangil dan Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi di Klaten.


Mantan rektor UGM ini berperan besar dalam menjalin kerjasama antara UGM dan UII. Pada masa kepemimpinan beliau inilah terwujud kerja sama antara UGM dan UII dengan ditandatanganinya piagam kerjasama pada tanggal 23 Mei 1967 oleh Rektor UII, Prof. Dr. dr. Sardjito dan Rektor UGM drg. Nazir Alwi yang berisi:
1. Dalam bidang pendidikan dan pengajaran, UGM bersedia membimbing UII dalam hal-hal yang diperlukan.
2. Dalam bidang penelitian, UGM bersedia membimbing UII akan hal-hal yang diperlukannya dan biaya yang berhubungan dengan keperluan tersebut akan ditanggung oleh UII.

Pada masa kepimpinan Sardjito pula UII mendirikan Organisasi Pers Mahasiswa UII, tepatnya pada tanggal 11 Maret 1967. Profesor Sardjito mendukung penuh akan berdirinya Organisasi Pers mahasiswa UII. Hal ini ditandai dengan kata sambutan menjelang kehadiran majalah pertama Organisasi Pers Mahasiswa UII yaitu majalah Muhibbah.

Sardjito wafat ketika masih menjabat sebagai rektor UII pada tanggal 5 Mei 1970. Wafatnya beliau yang mendadak saat itu, sempat membuat pihak UII kesulitan untuk mencari seorang figur yang mampu menggantikan Sardjito sebagai rektor yang mumpuni.

Saat ini nama Prof. Dr. dr. RM Sardjito, M.D., M.P.H., diabadikan sebagai salah satu nama Gedung Kuliah Umum (GKU) yang berada di kampus terpadu Universitas Islam Indonesia, Sleman, Yogyakarta, serta sebagai nama Rumah Sakit Umum Pusat yang berada di dekat kampus UGM, Yogyakarta.

Sumber:
Wikipedia bahasa Indonesia: https://id.wikipedia.org/wiki/Sardjito
http://www.catatansibay.web.id/2010/01/biografi-singkat-prof-dr-sardjito.html

23 Juli, 2017

Mudik sebagai Perjalanan Suci


Tiap kali mendekati pekan mudik nasional, istri saya selalu bercerita tentang sahabatnya. Si sahabat asli Jogja, punya suami orang Lombok. Pasangan tersebut sama-sama kerja di Jogja, dan tiap Lebaran harus mudik ke Lombok. Nah, buat mudik sejauh itu bersama dua anak mereka, ongkos minimal 15 jutaan harus selalu mereka alokasikan. Untuk empat biji tiket pesawat PP, oleh-oleh, juga angpao Lebaran buat para keponakan.

Cerita semacam itu tentu lazim belaka. Namun ia selalu muncul sebagai dalil, sebelum kami memungkasi obrolan dengan mengucap syukur sembari meletakkan keluarga kami sendiri sebagai prototipe keluarga paling beruntung di muka bumi. “Alhamdulillah, kita nggak pernah perlu keluar duit sebanyak itu tiap Lebaran ....”

Kami memang nggak pernah mudik. Buat apa mudik? Lha wong dari kecil sampai beranak satu kami tinggal di udik terus, kok. Rumah kami di Bantul. Kalau mau ke rumah orangtua cukup naik motor 10 menit, mau ke rumah mertua cukup 25 menit. Peknggo saja, kalau istilah Jawa-nya. Ngepek tonggo, alias menikahi anak tetangga. (Tentu saja bukan tetangga beneran. Toh kami dulu kenal di kampus, bukan di pekarangan rumah waktu dia sedang menjemuri sarung bapaknya.)

Dengan situasi geografis seperti itu, momen Lebaran selalu sangat simpel buat kami sekeluarga. Ringkas, dan yang paling penting di atas segalanya: ekonomis.


Namun setelah saya pikir-pikir sambil nyeruput kopi selepas buka puasa, saya jadi malu sendiri. Betapa materialistisnya cara kami memandang sebuah prosesi akbar bernama pulang kampung. Suatu kemudahan hidup yang kami anggap sebagai berkah semata-mata karena kami merasa lebih irit dibanding orang-orang lain.

Padahal, hanya karena kami tak pernah repot mudik, apa lantas artinya tabungan kami tiba-tiba jadi menggelembung bertambah 15 juta? Duh, ternyata enggak hahaha ….

Saya jadi ingat peristiwa dua tahun silam, ketika seorang so-called intelektual melontarkan pandangan yang luar biasa cerdas tentang ibadah haji dan umroh. Dia mengatakan, “Biaya haji dan umroh yang 30 triliun per tahun itu bisa dipakai bikin 600 ribu rumah untuk orang miskin. Makanya mending nggak usah ke Mekah, tapi buat sosial saja.”

Gagasan itu jelas mulia, karena muatannya adalah keinginan untuk menolong fakir miskin. Di titik itu saya sendiri mendukungnya. Sayangnya, ada konstruksi logika yang terlalu matematis di situ. Akibatnya, sang intelektual malah jadi lupa bahwa yang sedang ia bicarakan bukan semata uang, melainkan juga manusia-manusia yang menggerakkan uang.


Begini maksud saya. Pernyataan tersebut mengandaikan bahwa di setiap dompet calon jamaah haji sudah teronggok duit, katakanlah masing-masing 40 juta rupiah. Maka, biar lebih bermanfaat, ibadah haji dihapus saja, sehingga untuk seterusnya setiap onggokan duit 40 juta per orang itu bisa disumbangkan untuk aksi sosial. Begitu, bukan?

Pertanyaan saya, memangnya dari mana datangnya duit 40 juta itu? Apakah waktu bangun tidur tahu-tahu mereka nemu buntelan di bawah bantal, yang isinya duit semua? Atau karena sejenis mukjizat tertentu, 168.000 orang itu (sesuai kuota tahun 2015) mendadak mendapati rekening mereka masing-masing menggembung dengan tambahan 40 juta entah dari mana?

Nah, sisi itu yang dilupakan oleh penggagas ide. Ia lupa bahwa ritual, dalam keyakinan apa pun, bukan sekadar tindakan fisik, namun juga aktivitas batin. Ritual bukan cuma memeras tenaga dan menyerap anggaran, namun juga menyalakan motivasi. Ritual bukan hanya melibatkan nota-nota pembayaran dan barang-barang belanjaan, melainkan juga spirit dan emosi.

Maka tak perlu heran ketika mendapati banyak orang menjadikan haji sebagai cita-cita ultimate mereka dalam hidup. Baju boleh kumal, rumah boleh reyot, tapi kepuasan hidup mereka diraih saat berhasil sowan ke Tanah Suci.

Naif? Irasional? Dari kacamata sekolahan mungkin iya. Tapi andai orang-orang itu tidak punya orientasi hidup untuk berhaji, apa lantas duit 40 juta bisa mereka dapatkan dari hasil kerja? Wo ya belum tentu …. Sebab sangat mungkin pembakar semangat mereka untuk bekerja keras ya impian haji itu!


Pendek kata, logika penghapusan ibadah haji seperti tergambar di atas adalah logika orang yang kepalanya hanya berisi kalkulator. Si so-called intelektual menafikan bahwa dalam hidup yang penuh misteri ini ada banyak sisi di luar kalkulasi rasional-mentahan yang mampu menggerakkan etos manusia.

Malang sekali, ternyata saya sendiri pun tak beda. Otak saya hanya berisi untaian biji-biji sempoa saat memahami ribuan orang yang berbondong-bondong pulang ke kampung halaman mereka. Padahal, mudik tak bedanya dengan haji.

Tunggu, tunggu. Jangan marah dulu dengan kalimat saya barusan. Tentu saya nyeletuk “mudik tak bedanya dengan haji” bukan dalam kerangka menyetarakan keduanya pada dimensi ibadah. Ini semata karena melihat kesamaan karakter pada dua ritual tersebut.

Dalam mudik, citra yang kasat mata adalah orang-orang pulang ke kampung, bertemu ayah-bunda dan sanak saudara. Namun di balik tampilan visual, yang bergerak adalah gairah untuk kembali ke akar, kerinduan, air mata, dan cinta.

Dalam mudik, tersedia momentum. Kita semestinya ingat Tuhan setiap saat, tapi agama menyediakan momentum sembahyang pada waktu-waktu khusus. Kita seharusnya senantiasa mengontrol naluri hewani kita agar menegaskan diri sebagai manusia, tapi agama menyediakan momentum bulan puasa. Begitu pula, kita sepantasnya tak henti mengasihi keluarga dan orang-orang tercinta, tapi ritual mudik menyediakan momentum agung untuk merayakan kerinduan kita.


Dalam mudik, biaya dihamburkan. Namun, tidak sempatkah terpikir bahwa sangat mungkin etos para lebah pekerja di kota-kota besar itu meluap-luap memang karena orientasi mudik? Mereka ingin pulang kampung setahun sekali sambil membawa kelimpahan kejayaan, membuat bangga orangtua mereka, membuat berdecak kagum kawan-kawan masa kecil mereka.

“Itu riya! Tradisi show off berpadu dengan konsumtivisme!”

Hoahmm, saya tidak sedang ingin pusing dengan hal-hal begituan. Memangnya kritik atas itu ngaruh seberapa jauh sih selama ini?

Biarlah soal-soal demikian diurus para ustaz dan pengamat sosial saja. Saya sendiri lebih suka melihat bahwa dalam pemborosan akibat mudik ada berkah bagi banyak orang. Ada anak-anak yang bahagia mendapat uang saku lebih, ada ibu-ibu yang dagangan kue nastar dan kastangelnya laris manis, ada sista-sista olshoper yang stok baju muslimnya ludes, dan entah ada berapa ribu orang lagi yang bahagia dengan perayaan pulang kampung nasional ini.

Akhir kata, selamat siap-siap mudik bagi yang merayakan. Sadari bahwa prosesi mudik Anda adalah rangkaian perjalanan suci. Maka, karena mudik ini sakral adanya, ada satu pesan penting dari saya: waktu syawalan di kampung, jangan merusak suasana dengan mengungkit keributan lama terkait perdebatan politik di grup-grup Whatsapp Anda. Itu.

Iqbal Aji Daryono,
Tinggal sementara di Perth, Australia,
Kadang-kadang mudik ke Bantul, Yogyakarta,
Sehari-hari bekerja sebagai sopir merangkap kurir
di sebuah perusahaan jasa pengiriman
DETIKNEWS, 20 Juni 2017

20 Juni, 2017

Islam Madzhab Medsos


Dalam diskusi teologi Islam muncul perdebatan klasik terhadap sebuah pertanyaan, apakah manusia memiliki kebebasan memilih dan menentukan tindakannya sendiri, ataukah nasib manusia hanya seperti halnya wayang yang digerakkan Sang Dalang yaitu Tuhan semata? Kedua kutub itu masing-masing memiliki rujukan teks Al-Quran.

Lalu muncul pendapat di antara keduanya bahwa manusia memiliki kebebasan, tapi tetap dalam keterbatasan di bawah kekuasaan dan kehendak Tuhan. Ketiga madzhab teologi itu produk tafsir dan penalaran manusia atas teks Al-Quran yang kemudian berkembang dalam sejarah dan masing-masing madzhab memiliki pengikut. Berjilid-jilid kitab klasik membahas perdebatan itu. Dan akhirnya menjadi masalah sosial ketika perbedaan tafsir itu berkembang menjadi ideologi yang mematikan tradisi dialog kritis sehingga menimbulkan perpecahan serta percekcokan sesama umat Islam.


Perbedaan tafsir yang melahirkan perbedaan madzhab itu juga terjadi dalam pemikiran hukum Islam (fikih) dan pemikiran politik. Misalnya, adakah Islam mewajibkan untuk membentuk negara Islam ataukah tidak? Karena yang primer (paling pokok dan penting) itu bergerak pada tataran sosial-kemasyarakatan? Adakah umat harus membentuk sistem demokrasi yang sejalan dengan Islam, ataukah Islam mewajibkan sistem kekhalifahan? Itu semua tafsir dan produk sejarah sepeninggal Rasulullah. Karena merupakan hasil ijtihad para ulama dan sarjana Islam, maka sulit ditemukan kata sepakat mengingat tiap-tiap pemikir punya argumen serta tumbuh dalam konteks sosial yang berbeda.

Tantangannya berbeda, bacaan buku-bukunya berbeda, dan lingkungan sosial, politik, dan ekonominya juga berbeda. Namun, umumnya para pemikir kenegaraan memandang bahwa model kekhalifahan itu sudah berakhir. Sebatas wacana sah saja, tetapi pada tataran implementasi sangat sulit dilaksanakan. Kecuali ketika jumlah ummat Islam sedikit dan belum muncul negara bangsa.


Ustadz Google
Madzhab artinya jalan yang mengantarkan pada tujuan. Dalam konteks pemikiran keagamaan, madzhab berarti sebuah metode yang dirumuskan ulama atau pemikir ahli dalam rangka membantu umat beragama untuk mendekati dan meraih pemahaman Islam yang benar dan mudah yang bersumber pada Al-Quran dan Sunnah Rasul. Ibarat Al-Quran dan Sunnah Rasul itu mata air, maka madzhab adalah jalan menuju ke sana, untuk membantu umat mendekati ajaran agama secara benar. Ulama dan para ahli itu merumuskan metodenya setelah mendalami isi Al-Quran dan Hadits secara mendalam, disertai argumen yang sistematis untuk mendukung pemikirannya. Dengan demikian, orang yang setuju ataupun yang menolak bisa mengikuti argumen yang dibangun dengan jalan membaca karya-karya tulis mereka.

Madzhab itu sangat diperlukan agar orang awam yang tidak ahli agama mendapatkan bimbingan dan jalan yang mudah untuk memahami Islam. Bayangkan saja, bagi masyarakat awam, begitu membuka Al-Quran dan tafsirnya, pasti tidak mudah menangkap pesan Al-Quran yang kadang terkesan paradoksal antara statement ayat yang satu dan yang lain, misalnya mengenai kebebasan manusia.

Misalnya untuk menentukan awal Ramadhan, terdapat madzhab hisab dan rukyat. Bahkan sekarang ini muncul madzhab baru dalam memahami Islam, yaitu madzhab medsos. Sebuah jalan dan pembelajaran agama yang didapat dengan mudah, tanpa harus membaca kitab tebal-tebal serta berguru lama-lama pada kyai. Melainkan cukup memiliki handphone yang memiliki aplikasi Facebook (FB), Whatsapp (WA), Twitter, Instagram, Google, dan aplikasi lain yang berbasis internet.


Muncul sebuah jargon baru; Anda bertanya, ustadz Google menjawab. Baik untuk berdakwah maupun untuk mempelajari agama, cukup lewat WA atau FB, di sana bertebaran informasi agama. Bahkan mereka sering terlibat perdebatan dengan modal pengetahuan yang diperoleh melalui copas (copy-paste) dan forward yang beredar di medos, terutama WA.

Apakah kelebihan dan kelemahan madzhab medsos? Pertama, istilah madzhab medsos sendiri pasti mengundang pro-kontra. Kedua, bagi yang serius ingin melakukan riset kepustakaan, medsos menyediakan fasilitas untuk mengakses sumber informasi keilmuan yang amat kaya, seperti e-book atau e-journal sehingga perangkat handphone bisa berfungsi sebagai mobile-library. Ratusan ribu judul buku agama yang klasik dan kontemporer tersedia semuanya.

Ketiga, bagi mereka yang tidak sempat atau malas membaca buku, medsos menyajikan sekian banyak penggalan informasi keagamaan ibarat makanan cepat saji yang siap disantap. Keempat, wacana keagamaan di medsos bersifat sangat egaliter, siapa pun bisa memberi taushiyah, berbantahan, bahkan sampai pada sikap mencaci dan mengafirkan jika tidak sependapat.


Pembaca tidak tahu kualifikasi dan orisinalitas pendapat keagamaan yang di-posting, apakah itu sekadar forward dan copas, hasil baca buku, atau sekadar iseng. Atau sengaja ingin menciptakan perdebatan kontroversial.

Kelima, perdebatan emosional, sampai pada taraf caci maki, mudah muncul ketika paham keagamaan dikaitkan dengan sikap dan pilihan politik serta menyangkut isu madzhab dan keyakinan di luar mainstream, misalnya Syiah dan Ahmadiyah. Peristiwa pilkada DKI yang belum lama berlalu memberikan contoh dan temuan nyata bahwa paham keagamaan dan sikap politik saling berkaitan.

Namun, yang menonjol ialah sikap emosional yang didasari oleh like or dislike, bukan perdebatan argumentatif ilmiah layaknya perdebatan dalam madzhab tradisional. Sikap emosional ini cenderung menolak berpikir panjang dan detail, melainkan langsung pada kesimpulan setuju atau tidak setuju. Jadi, siapa pun yang bergabung dalam komunitas madzhab medsos sebaiknya bisa mengendalikan emosinya.


Eklektik dan Fragmentatif
Lontaran pemikiran dalam medsos biasanya fragmentatif karena keterbatasan ruang. Kalaupun panjang, orang enggan membacanya. Terlebih lagi, kebanyakan mereka adalah orang sibuk, tidak tertarik mengikuti argumen yang njelimet dan detail. Makanya madzhab medsos pemikirannya bersifat eklektik, campuran dari berbagai tulisan orang, sambung-menyambung, tidak solid, dan kadang tidak sistematis. Terserah pembaca untuk memilih, menimbang dan memutuskan sendiri, tak ada hubungan guru-murid secara langsung. Tak ada tokoh utama yang memimpin wacana publik dalam medsos. Yang muncul adalah tokoh fiktif semacam Mukidi.

Bahkan, orang pun bisa memalsukan identitas aslinya. Atau namanya dibajak. Makanya, setiap netizen yang bergabung dalam pemikiran Islam madzhab medsos, dalam waktu yang sama bisa berperan sebagai guru atau murid. Jika tidak setuju, bebas keluar dari jemaah netizen atau membantahnya, apakah dengan kalimat yang cerdas, halus, sopan, maupun dengan kalimat yang terkesan sarkastik, keras bahkan kasar.

Perkembangan sosial ke depan, komunitas Islam madzhab medsos diperkirakan semakin membesar terutama ketika bulan pilkada atau pemilu tiba. Lebih seru serta heboh manakala para politikus mengkapitalisasi isu agama untuk mendukung salah satu paslonnya dengan menggunakan sarana medsos sebagai ajang promosi dan kampanye, apakah kampanye putih, abu-abu, atau hitam. Kita lihat saja nanti, apakah prediksi ini sahih atau meleset. Namun saya kira, dan berharap, semakin cerdas dan dewasa masyarakat, ke depan Islam madzhab medsos kualitasnya akan semakin meningkat dan otomatis akan terjadi seleksi alamiah. Yang tidak bermutu tidak akan laku dalam pasar bebas.

Komaruddin Hidayat,
Yayasan Pendidikan Madania Indonesia
MEDIA INDONESIA, 31 Mei 2017

20 Mei, 2017

Seribu Lilin Cinta Persembahan Buat Bangsa


1. Lega hatiku Pilkada Jakarta berlalu tanpa tetesan darah, meskipun masih tetap berlumur kebencian, dendam dan permusuhan. Rumahtangga Bangsa Indonesia sedang penuh hawa panas, demam dan amarah. Begitulah memang yang harus dilewati oleh semua keluarga yang sedang berproses memperbarui nikahnya, agar naik tingkat ke derajat kematangan baru dan kedewasaan yang lebih tangguh.

2. Aku ucapkan selamat kepada rakyat Jakarta yang memiliki Ahok dan Anies, juga kepada bangsa Indonesia yang memiliki Jokowi, Prabowo, Habib Rizieq, Gatot Nurmantyo, Ibu Begawan Megawati dan banyak lagi. Saudara-saudaraku hidup dengan pikiran mantap, hati tenang, mental tangguh dan tekad baja —karena serasa dipimpin langsung oleh “Nabi” mereka, dalam mengabdi kepada Ibu Pertiwi dan Bangsa Indonesia.


3. Saudara-saudaraku berhimpun di belakang idolanya masing-masing, tangan mengacung tinggi dengan teriakan “Merdeka!”. Mereka meyakini Kebenaran masing-masing. Sementara aku tidak berani dan dilarang menyatakan kebenaranku. Sebab Kebenaran adalah bekal masakanku yang letaknya di dapur. Sedangkan hidangan yang harus kusuguhkan adalah Kasih Sayang, Kebaikan, Keamanan dan Pengamanan, Kenyamanan dan Penggembiraan, serta ketepatan Nada dan Irama dalam Keseimbangan hidup bersama.

4. Tetapi aku bergembira saudara-saudaraku punya idola yang dikagumi dan tokoh yang ditakdzimi. Betapa bersinar hati bangsaku yang berpegangan pada Latta hari ini dan Uzza di masa depan. Siapapun pemimpin mereka hari ini, kemarin atau esok lusa, semua adalah representasi kuasa Tuhan buat rakyat Indonesia. Sebab tak ada yang ber-tajalli dan memanifestasi kecuali Dia. Itulah sebabnya hakekat itu dipasang sebagai Sila Pertama, meskipun tak perlu dipersoalkan dari mana pencipta Pancasila dulu kok bisa tahu bahwa Tuhan itu Maha Esa.


5. Sementara aku masih sibuk karena belum merdeka dari diriku sendiri. Aku sedih tidak memiliki mereka semua idola-idola itu. Aku juga punya Tuhan dan Nabi, tapi alamatnya nun jauh di seberang kerinduanku. Habis waktuku utuk bertengkar melawan kebenaran di dalam diriku sendiri, sebab kami berdua sama-sama tidak mutlak. Tuhan Yang Maha Absolut bilang “Sampaikan kebenaran dari-Ku, biarkan yang mau percaya, silahkan yang mau membangkang!” Sesekali aku menyampaikan Kebenaran dari Tuhan, tetapi tak kuat hatiku untuk dipercaya, dan masih muncul amarah di batinku jika aku diingkari dan dinista.

6. Aku turut berbahagia karena saudara-saudaraku aman sandaran dan harapan masa depannya. Aman hartanya dari korupsi, aman martabatnya dari penghinaan, dan aman nyawanya dari pembunuhan. Bahkan sinar cakrawala Demokrasi membuat siapa saja bisa menjadi apa saja. Setiap warga bisa menyiapkan biaya, persiapan jenis mental tertentu, serta mengemis kendaraan (politik), untuk berjuang menjadi Presiden, Menteri, Gubernur, Penguasa atau apapun. Sementara aku adalah penakut yang berjuang menjadi diri sendiripun belum pernah jelas hasilnya. Nabiku bilang “kalau engkau yang berinisiatif menjadi pemimpin, Allah tidak akan melindungimu dan tidak akan membantu mempertanggungjawabkan langkah-langkahmu”.


7. Puji Tuhan bangsaku bergelimang modernisme dan kemerdekaan, berlaga dalam kompetisi karier, persaingan jabatan, lomba kekayaan, turnamen pencitraan dan pertandingan keunggulan. Bangsaku sangat mampu menikmati kemegahan dunia, mengenyam kesementaraan dari hologram-hologram kemewahan. Sedangkan hidupku dirundung rasa takut untuk kalah, sekaligus tidak berani untuk menang, sebab diriku sendiri yang sangat rewel ini belum benar-benar mampu kukalahkan. Kami belum pernah benar-benar siap untuk memasuki babak berikut sesudah kehidupan yang ini. Kami sangat sibuk berlatih dan mensimulasi untuk bersiaga menjalani hidup kekal abadi, yang kami yakini tidak mungkin mengelak sama sekali.

8. Maha Esa Tuhan yang telah memperkenalkan bangsaku meneguhkan Bhinneka Tunggal Ika, pengakuan dan penerimaan bersama atas siapa saja penghuni Negeri Nusantara. Aku merasa aman, karena pasti termasuk di dalamnya, meskipun andaikan aku memeluk Agama yang tidak begitu disukai. Atau aku tidak sama dengan siapapun. Atau tidak bertempat tinggal di koordinat nilai manapun. Bahkan aku dilindungi oleh Bhinneka Tunggal Ika meskipun andaikan aku hanya seonggok batu, sehelai daun, setetes embun, Jin, Setan, Hantu, air ataupun angin.


9. Aku bersyukur saudara-saudaraku berjaya dengan kariernya masing-masing, duduk di kursi-kursi sejarah. Mereka adalah pejuang-pejuang nasional dan patriot-patriot bangsa. Sementara skala perjuanganku sangat sempit dan di dataran yang rendah, hanya berkaitan dengan sejumlah orang di seputarku. Aku mewajibkan diriku sekedar untuk mampu membesarkan hati siapapun di sekitarku, menjadi ruang kemerdekaan dari mereka, menyebarkan rasa nyaman dan teduh, dan bersama-sama berlatih untuk memiliki mental, akal dan batin yang tidak keder atau guncang ditimpa oleh keadaan macam apapun.

10. Hatiku berbinar-benar menyaksikan saudara-saudaraku hidup kokoh dengan kebenarannya masing-masing. Sementara aku mengalami Bumi adalah suatu tempat di mana kebenaran kabur wajahnya. Dunia adalah suatu bangunan kimia nilai-nilai di mana kebenaran bisa berwajah kebatilan, dan kebatilan sangat mudah menyamar tampil sebagai kebenaran. Di Dunia ini Sorga seseorang adalah Neraka bagi lainnya, sehingga batal fungsinya sebagai Sorga. Maka tak pernah berani aku mensorgakan diriku, karena khawatir menerakakan orang lainnya. Yang berani kulakukan hanyalah sedikit mencipratkan komponen-komponen kecil yang membuat orang di sekitarku merasakan Sorga Dunia dan bergerak menuju Sorga Sejati.


11. Lega hatiku saudara-saudaraku meneguhkan keyakinan bahwa “Ini Negara Pancasila, bukan Negara Agama”, “Ini Indonesia, bukan Jawa, Batak, Bugis, Sunda atau Madura.” Berdebar hatiku menantikan jalannya zaman di mana Indonesia akan menguburkan Agama, menumpas Jawa dan bukan-bukan yang lainnya. Kusimpan di lubuk hati kebenaran yang kudapatkan, bahwa Indonesia itu ya Bugis ya Tolaki ya Dayak dan semua kandungan sejarah yang membuat Indonesia ada. Bahwa Pancasila itu ya Hindu ya Budha ya Gatholoco ya Darmogandhul ya Islam ya Kristen dan semua yang menjadi sumber nilai sehingga Pancasila menjadi wujud nyata.

12. Aku persembahkan seribu lilin cinta kepada bangsa Indonesia di seluruh Nusantara. Aku sangat mencintai kalian, bukan sekedar cinta. Cinta hanya kondisi batin, tetapi Mencintai adalah komitmen, pembuktian dalam kerja, serta ketulusan dan kesetiaan. Jika kalian bergembira, aku meneteskan airmata bahagia. Apabila kalian menderita, sangat berat menusuk hatiku dan seluruh jiwaku dipenuhi rasa tidak tega. Sedemikian tunainya cintaku kepadamu, sehingga jika kalian sakit, aku tak berani mengemukakannya, sebab khawatir membuatmu lebih terluka.

Muhammad Ainun Nadjib
Tajuk CakNun.com
Yogyakarta, 19 Mei 2017