15 Januari, 2015

Karikatur

Leonardo da Vinci dan lukisan karyanya yang terkenal, Mona Lisa.

Tak seorang pun tahu pasti siapa yang menemukan —yang pertama kali membuat— karikatur. Itu kalimat pertama artikel “The History of Caricature” yang ditulis Douglas Wolk (The New York Times, 2 Desember 2011).

Pernyataan itu terasa relevan diajukan lagi saat ini setelah terjadi tragedi yang menimpa mingguan satire Charlie Hebdo, terbitan Paris, Perancis. Hari Rabu lalu, kantor mingguan itu diserang orang bersenjata, yang secara dingin menembak mati 12 orang, empat orang di antaranya adalah karikaturis.

Mungkin, penemunya adalah Leonardo da Vinci. Seniman, penulis, ahli matematika, dan penemu yang hidup di zaman Renaisans ini lahir pada 15 April 1452, di Vinci, Italia. Karya-karyanya sangat kondang. Dua di antaranya adalah “Mona Lisa” dan “The Last Supper”.

Benarkah Leonardo da Vinci? Yang pasti, kata karikatur (bahasa Indonesia) asal mulanya berasal dari bahasa Italia (caricatura, kata benda, dan kata kerjanya adalah caricare yang berarti memuat, memberati, melebih-lebihkan). Kedua kata itu berakar dari bahasa Latin, carricare. Itu menurut kamus Merriam-Webster dan baru digunakan dalam bahasa Inggris mulai tahun 1500-an.

Penyanyi kondang, Mick Jagger dan karikatur wajahnya.

Apabila seseorang digambar secara karikatural, sang karikaturis akan mengeksploitasi ciri lahiriah sang tokoh sedemikian rupa untuk menghasilkan efek komik atau fantastis, aneh sekali. Misalnya, seorang Mick Jagger yang dikenal sebagai penyanyi berbibir ndower, dibuat lebih ndower lagi; atau tokoh politik yang suka bohong, digambar dengan hidung yang panjang seperti pinokio.

Dalam bukunya, How to Draw Caricatures, Lenn Redman menulis bahwa esensi dari karikatur adalah pernyataan atau penggambaran yang dilebih-lebihkan, tetapi distorsi, pemutarbalikan. Ia menyarankan para karikaturis melebih-lebihkan demi kebenaran dan bukannya menyangkal kebenaran.

“Pendek kata, penggambaran wajah seseorang yang terkenal dengan cara melebih-lebihkan ciri lahiriahnya bertujuan untuk mengkritik, sekaligus mencerminkan perbuatannya. Bisa saja, misalnya, wajahnya dibuat seperti wajah binatang,” kata karikaturis kondang GM Sudarta.

Sekalipun demikian, orang akan dengan mudah mengenali siapa tokoh yang digambar secara karikatural itu. Di Perancis, pada awal tahun 1880-an, Charles Philipon yang sering disebut sebagai “bapak karikatur politik Perancis” menggambarkan kepala Raja Perancis Louis-Philippe seperti buah pir. Gambaran Louis-Philippe seperti itu segera diterima publik sebagai simbol Louis-Philippe dan rezimnya. Namun, sejak saat itu, diterbitkanlah undang-undang yang membatasi kebebasan pers dan akibatnya karikatur politik dilarang.

Charlie Hebdo, majalah yang paling "rajin" membuat karikatur Nabi Muhammad.

Karikatur, karena itu, dikatakan sebagai bagian dari kebebasan berekspresi, kebebasan mengemukakan pendapat, yang adalah batu sendi dari demokrasi. Akan tetapi, menurut Howard LaFranchi, (The Christian Science Monitor, 9/1/2015), karikatur di Charlie Hebdo, bĂȘte et mechant (bodoh dan ganas). Itu sangat berbeda dengan konsep jurnalisme, yakni “tidak melukai, mempermalukan, menghina, dan menghabisi pihak lain,” meskipun tetap mengkritik secara tajam.

Tragedi Charlie Hebdo memang tidak hanya menyisakan satu pertanyaan dengan kesedihan, tetapi bahkan bertumpuk-tumpuk pertanyaan dengan penuh keprihatinan menyangkut kebebasan berekspresi, kebebasan mengemukakan pendapat, demokrasi, terorisme, kesadisan, peradaban, dan tentang nilai-nilai kemanusiaan. Selain itu, tragedi di Paris itu menegaskan bahwa (ternyata) kekejaman, yakni kekejaman terhadap kemanusiaan, saat ini masih demikian banyak, terjadi di mana-mana, dan bisa menimpa siapa saja, karena alasan apa pun.

Para karikaturis, takutkah kalian setelah tragedi Charlie Hebdo? “Saya tidak takut,” jawab seorang karikaturis. Oh, ya? “Ya. Inilah hidup saya. Yang penting saya tidak berbuat jahat. Saya membela kebenaran,” katanya lagi.

Tentu, tidak perlu ditanya lagi, “Apa itu kebenaran?

Trias Kuncahyono,
Penulis kolom “Kredensial” Kompas Minggu
KOMPAS, 11 Januari 2015

12 Januari, 2015

Geopolitik Menyikapi Travel Warning AS


Kedutaan Besar (Kedubes) Amerika Serikat (AS) telah memberikan peringatan keamanan (travel warning) bagi warganya di Surabaya. Pernyataan itu dilansir di situs resmi kedubes Sabtu lalu (3/1). Alasan travel warning tidak dijelaskan secara terperinci. AS hanya menyebutkan, ada potensi ancaman terhadap hotel-hotel dan bank-bank AS di Surabaya. AS selanjutnya merekomendasikan peningkatan kewaspadaan dan kehati-hatian saat mengunjungi fasilitas yang berafiliasi dengan AS. Kedubes AS menyarankan semua warganya yang berada di Surabaya maupun luar Surabaya untuk mendaftarkan nomor ponsel ke 99388 sehingga bisa mendapatkan peringatan dini jika terjadi ancaman keamanan.

Apresiasi layak diberikan kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang merespons dingin travel waning itu. JK merasa Indonesia aman. Insiden yang terjadi hanyalah kecelakaan pesawat AirAsia. Pemerintah dan pihak keamanan penting menyikapi travel warning itu dengan tetap memprioritaskan harkat dan martabat bangsa. Salah satu pendekatan penyikapan melalui optimalisasi geopolitik atau geostrategi.

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) merespons dingin travel waning itu.

Geopolitik dan Geostrategi
Indonesia dalam kancah internasional memiliki daya tawar geopolitik yang kuat. Hal itu tidak lepas dari potensi besar sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki. Atas dasar itu, pemimpin wajib menampilkan diplomasi internasional yang memiliki posisi tawar kuat dan menempatkan Indonesia sebagai salah satu penentu kebijakan internasional. Pemimpin juga wajib melindungi rakyatnya dari efek ekspansi asing.

Friedrich Ratzel (1844–1904) sebagai salah satu tokoh pencetus teori geopolitik memaparkan bahwa negara harus mengambil dan menguasai satuan-satuan politik yang bernilai strategis serta ekonomis demi membuktikan keunggulannya. Hanya negara yang unggul, yang bisa bertahan hidup dan menjamin kelangsungan hidup warganya.

Bangsa Indonesia telah menegaskan manifestasi geopolitiknya melalui wawasan Nusantara. Wawasan Nusantara dimaknai sebagai cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, sesuai dengan geografi wilayah Nusantara yang menjiwai kehidupan bangsa dalam mencapai tujuan serta cita-cita nasionalnya (Kaelan, 2003). Dan pemimpin harus bertanggung jawab penuh atas terealisasikannya wawasan Nusantara yang mengarah kepada kuatnya eksistensi bangsa dan kesejahteraan rakyat itu.

Geopolitik Indonesia diaplikasikan dalam bentuk geostrategi melalui konsep ketahanan nasional (Kaelan, 2010). Suradinata (2005) mendefinisikan ketahanan nasional sebagai kondisi dinamis suatu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan, yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi serta mengatasi segala ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan, baik yang datang dari luar maupun dalam negeri, yang langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara, serta perjuangan dalam mengejar tujuan nasional Indonesia.

Travel Warning: "Dangerously Beautiful".

Rekomendasi Penyikapan
Indonesia mesti menunjukkan sikap terhormat atas travel warning AS itu. Kesan lemah dan ketergantungan hendaklah dibuang jauh. Banyak alternatif langkah yang bisa dilakukan dalam menyikapi hal itu dengan berbasis penguatan geopolitik dan aplikasi geostrategi.

Pertama, komunikasi dan diplomasi mesti dilakukan segera dengan pihak Kedutaan Besar AS. Polri penting proaktif mengonfirmasikan alasan terperinci penyebab keluarnya travel warning. Informasi mereka dibutuhkan demi antisipasi. Sekali lagi, hal itu tidak berarti mudah percaya dengan intelijen asing. Jika merasa tidak ada alasan kuat, pemerintah dapat mengambil keputusan yang sama dengan travel warning WNI ke AS.

Kedua, pemerintah penting mengambil langkah komplementer terkait dengan dampak ekonomi travel warning. Sektor yang paling merasakan efek travel warning adalah pariwisata dan bisnis. Sektor itu mesti mencari alternatif dengan melirik negara lain. Forum dan event internasional penting dioptimalkan, misalnya dengan menarik wisatawan serta mitra bisnis dari negara ASEAN, Eropa, Timur Tengah, Asia Timur, dan lainnya. Hal tersebut merupakan bagian dari geostrategi penyikapan.

Ketiga, untuk jangka panjang, peta jalan geopolitik dan geostrategi Indonesia penting disusun segera. Hal itu dilakukan untuk menghadapi derasnya arus globalisasi mendatang. Langkah konkret penting dijabarkan terkait dengan pemberlakuan pasar bebas ASEAN (MEA) 2015, keterbukaan tenaga kerja asing, globalisasi, dan lainnya. Semua itu sekaligus menjadi pembuktian janji Jokowi-JK sejak kampanye. Jokowi-JK selama kampanye menyodorkan janji dalam visi berdaulat dan mandiri. Jabaran misinya, antara lain, mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah, mewujudkan politik luar negeri bebas aktif, dan mewujudkan bangsa yang berdaya saing.


Keempat, pemerintah mesti menunjukkan sikap tegas dalam diplomasi internasional. Ketegasan itu menyangkut kedaulatan negara, perbatasan, dan penguasaan sumber daya alam. Selama pemerintahan SBY, kebijakan luar negeri disandarkan pada prinsip one thousand friend zero enemy. Tafsir prinsip tersebut terbukti tidak bisa menjaga kedaulatan Indonesia (Juwana, 2014). Penting bagi Jokowi, dengan percaya diri menampilkan tafsir baru yang dapat disebut sebagai “doktrin Jokowi”. Tafsir tersebut adalah all nations are friends until Indonesia's sovereignty is degraded and national interest is jeopardized atau semua negara adalah sahabat sampai kedaulatan Indonesia direndahkan dan kepentingan nasional dirugikan. Semua negara mesti tahu prinsip Indonesia tentang politik luar negeri bebas aktif dengan tafsir tersebut.

Travel warning merupakan hak bagi setiap negara dan hal itu menjadi fenomena yang biasa. Indonesia mesti menunjukkan sikap dengan kepala tegak. Upaya geopolitik dan geostrategi tersebut diharapkan mampu menjadi solusi untuk mengantisipasi efek travel warning yang dikeluarkan AS.

Ribut Lupiyanto,
Deputi direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration),
Pegiat di Forum Kolumnis Muda Jogja

JAWA POS, 7 Januari 2015