22 November, 2015

Jembatan


Setiap melakukan perjalanan melihat kota-kota besar dunia yang memiliki sungai dan jembatan yang indah dan kokoh, saya selalu terhenyak kagum dan iri.

Ketika mengunjungi Kota Budapest pertengahan November 2015, misalnya, Sungai Danube yang panjangnya 2.850 km dan melintasi 10 negara itu membuat Budapest menyajikan kehidupan dan keindahan yang amat mengesankan. Begitu pula Sungai Vitava yang menghiasi Kota Praha. Danube yang legendaris itu bak kalung mutiara yang mempercantik Budapest.

Atau bagaikan ibu yang selalu memberikan sumber kehidupan ekonomi bagi penduduk setempat serta sumber inspirasi bagi para seniman dan perancang kota sehingga bermunculan bangunan-bangunan indah menjulang, baik yang kuno maupun modern. Hubungan antara sungai, kreasi arsitektur jembatan, dan bangunan-bangunan megah nan indah akan ditemukan diberbagai kota dunia semisal Paris, San Fransisco, Sydney, Kairo, dll.


Yang fantastis tentu jembatan Selat Bosporus di Istanbul yang menghubungkan daratan Eropa dan Asia. Atau jembatan dan bendungan raksasa Sungai Yangtze yang digunakan untuk menjinakkan banjir yang merendam ribuan desa dan kini jadi sumber penggerak tenaga listrik. Saya iri karena Indonesia memiliki banyak sungai tetapi tidak dirawat dengan cerdas sehingga menjadi indah. Padahal di berbagai negara sungai itu menjadi sumber rezeki, tempat wisata warganya, dan ornamen kota dengan arsitektur jembatannya yang ikonik.

Setiap orang pasti senang melihat sungai dengan airnya yang jernih dengan ikan-ikannya yang berseliweran. Sikap masyarakat terhadap sungai dan jembatan sangat mungkin memiliki keterkaitan dengan budaya masyarakatnya. Mungkin karena kita adalah penduduk kepulauan. Bahkan di kampung-kampung, sungai itu bagaikan WC umum. Dan ketika urbanisasi ke kota, gaya hidup kampung masih terbawa.

Mereka tidak memiliki visi bahwa sungai itu bisa difungsikan sebagai hiasan kota, tempat rekreasi, dan pusat ekonomi. Di Jakarta sungai semakin sempit, dangkal, dan kotor oleh tingkah warganya yang tidak bisa merawat fungsi sungai dengan baik. Faktor lain karena masyarakat punya mental serobot dan selalu ingin jalan pintas, enggan melewati jembatan yang tersedia.

Jembatan Suramadu, penghubung Surabaya dan Madura.

Lebih dari itu, desain jembatan yang dibuat kurang memperhitungkan aspek estetika dan rekreatifnya. Di dekat kampus saya, UIN Syarif Hidayatullah yang berlokasi di Ciputat, jembatan penyeberangan dibangun hanya untuk melayani pemasang iklan. Sehingga tak pernah ada warga atau mahasiswa yang melintasinya karena letaknya yang sangat tidak familier.

Untuk meraih karier dan prestasi hidup yang otentik, setiap orang juga memerlukan jembatan, terutama pendidikan dan pelatihan diri agar tahan banting menghadapi ujian, apa pun bentuknya. Anak sekolah yang senang mencontek dan berburu bocoran soal ujian adalah awal dari tindakan main serobot dan suap pada perjalanan hidup selanjutnya. Baik dikala melamar kerja maupun mengejar jabatan, termasuk dalam kasus pilkada dan pemilu.

Alhasil, mereka miskin estetika dan etika dalam membangun kehidupannya. Tidak indah dan mengundang respek ketika catatan kariernya dibaca ulang. Kita sering lupa bahwa perjalanan hidup tak pernah lepas dari jembatan yang mesti kita seberangi. Ungkapan Inggris crossover atau abara dalam bahasa Arab berkembang menjadi i’tibar dan ibarat. Untuk menggapai tujuan dan makna yang benar, kita mesti menyeberang mengatasi rintangan.

Kalau ingin menikmati daging kelapa, mesti memecahkan dulu batoknya yang keras. Jika ingin berburu tambang emas atau minyak di perut bumi mesti melewati dulu bebatuan yang menutupinya. Dalam komunikasi dan pergaulan sehari-hari kita juga mesti mampu menangkap pesan dan makna sejati di balik ungkapan verbal yang disusun dengan kata-kata.

Anak-anak sekolah ini harus berjuang keras melalui jembatan lapuk yang hampir putus.

Inilah yang dimaksud dengan kata ibarat dan isyarat. Hanya mereka yang cerdas dan bijak yang mampu menangkap pesan yang tersembunyi di seberang jembatan kata dan isyarat. Oleh karenanya dalam studi keagamaan ada disiplin ilmu tafsir untuk menggali makna tersembunyi di dalam kitab suci.

Dalam narasi kitab suci banyak ditemukan perumpamaan, misal, ibarat, isyarat, serta kiasan sehingga hanya mereka yang bisa menyeberang, menggali, dan menangkap makna di baliknya yang akan paham. Bukan mereka yang berhenti dan terpenjara oleh jembatan penyeberangan berupa kata-kata verbal dan literal.

Sebab kalau makna mesti selalu melekat di permukaan kata, maka tak akan ada sastra. Tak akan ada puisi. Bahasa jadi datar, kering dan miskin imajinasi. Bukankah setiap saat kita berdiri dan berjalan di atas jembatan? Bukankah kehidupan dunia ini juga merupakan jembatan untuk meraih kehidupan yang lebih tinggi, lebih abadi dan lebih membahagiakan?

Jadi jangan pernah berhenti untuk menyeberang!

Komaruddin Hidayat,
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah @komar_hidayat

KORAN SINDO, 20 November 2015