27 Juni, 2020

Siapa Yang Membutuhkan RUU HIP?


Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) sangat menarik menjadi kajian dan pembahasan publik. Mengingat Pancasila milik bersama seluruh bangsa Indonesia, bukan milik satu golongan tertentu. Karenanya, siapapun itu lapisan masyarakat, berhak untuk menanggapi dan memberikan sumbangsih pemikirannya terhadap RUU HIP.

Baru dua bulan kurang, sejak beredarnya file draf Naskah Akademik dan RUU HIP tertanggal 26 April 2020 melalui sosial media, telah menuai reaksi besar dari masyarakat berupa penolakan dan tanggapan serius, bahkan di bulan Juni telah banyak kegiatan-kegiatan ilmiah dan diskusi membedah RUU HIP secara online. Fenomena ini memecahkan rekor kontroversial suatu RUU dengan tanggapan yang sangat cepat dari masyarakat, hanya kurang dari dua bulan.

Mengapa RUU HIP menjadi perhatian serius bagi masyarakat? Hal ini dapat diurai berdasar isu-isu besar dan sensitif dari kandungan RUU HIP, yaitu: 1) isu motivasi dan kebutuhan atas RUU HIP, 2) isu akomodasi komunisme dalam RUU HIP, 3) isu distorsi konsep Ketuhanan, 4) menjatuhkan derajat Pancasila. Masing-masing isu tersebut akan penulis jelaskan berdasarkan Naskah Akademik dan pasal terkait.


Isu Motivasi dan Kebutuhan atas RUU HIP
Dengan pertanyaan, apakah motivasi pembentukan RUU HIP? Apakah masyarakat membutuhkan RUU HIP? Jawaban ini tentunya dapat kita temukan dari Naskah Akademiknya pada halaman 58 yang dinyatakan sebagai berikut:

“Secara aktual dalam konteks kekinian, penjabaran dan implementasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa menerima tantangan yang bersumber dari situasi global maupun situasi nasional. Penerimaan Pancasila dalam berkehidupan bernegara itu sekarang sering dipermasalahkan oleh elemen-elemen tertentu dalam masyarakat. Dengan demikian tantangan-tantangan faktual yang dihadapi dalam implementasikan ideologi Pancasila di era kekinian bisa diindetifikasi sebagai berikut: 1. menguatnya kepentingan individualisme; 2. fundamentalisme pasar; 3. radikalisme; 4. dominasi sistem hukum modern, yang menegasikan makna nasionalisme di era globalisasi. Memperhatikan hal tersebut di atas, maka diperlukan campur tangan negara untuk memelopori mengimplementasikan ideologi Pancasila sesuai tantangan zaman masa kini. Apabila negara tidak mengambil prakarsa, maka nilai-nilai Pancasila terus-menerus akan bersifat debatable, dan ditafsirkan berdasarkan kepentingan masing-masing”.


Berdasarkan latar belakang dibentuknya RUU HIP, maka dapat diketahui bawah motivasi pembentukan RUU HIP adalah pandangan subjektif legislatif atau DPR RI atas kondisi kekinian bangsa Indonesia. Sehingga dinyatakan secara jelas, "maka diperlukan campur tangan negara untuk memelopori mengimplementasikan ideologi Pancasila sesuai tantangan zaman masa kini". Ini menunjukkan bahwa RUU HIP tidak berangkat dari kebutuhan nasional dan masyarakat Indonesia, melainkan DPR RI “memaksakan kehendaknya” agar negara untuk terlibat dalam kepentingan politik praktis yang sangat subjektif dan bernuansa tendensius. Isi Naskah Akademik cenderung menghakimi bangsanya sendiri sebagai masyarakat yang menafsirkan Pancasila secara “suka-suka”.

Bukankah negara sudah campur tangan secara langsung menjaga ideologi Pancasila? seperti contoh kasus; membubarkan PKI dan melarang penyebaran paham komunis melalui TAP MPRS XXV/1966, membentuk UU Ormas yang mengatur tentang asas ormas dan norma larangannya, mencabut izin dan pendirian Ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), menindak pelaku tindak pidana terorisme, menindak kelompok kriminal bersenjata (KKB), mengangkat kedudukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang semula dari unit khusus kepresidenan, dan lain sebagainya.

Bukankah negara sejatinya sudah ikut campur membina Pancasila? Maka, sangat wajar bila masyarakat menaruh curiga atas lahirnya RUU HIP yang tidak didasarkan pada kebutuhan masyarakat dan partisipasi masyarakat. Sejatinya DPR RI sebagai wakil rakyat harus menyerap aspirasi dan nilai yang berkembang di tengah masyarakat, bukan justru menghakimi masyarakat dan menjadikannya sebagai alasan pembenar dibentuknya RUU HIP.


Akomodasi Komunisme Dalam RUU HIP
Isu berikutnya menyangkut akomodasi paham komunisme dalam RUU HIP. Hal ini dapat dianalisis dari bagian Pembukaan RUU HIP mengenai dasar hukum, yang tidak menyantumkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme (disebut: TAP MPRS XXV/1966).

Bahwa judul RUU HIP adalah menyangkut ideologi, maka secara normatif, diharuskan menyantumkan dasar hukum mengenai ideologi yang dilarang. Apabila tidak dicantumkan dasar hukum yang melarang ideologi lain selain Pancasila, maka RUU HIP sangat kental kepentingan akomodasi politik untuk mengkompromikan ideologi komunis dalam berbangsa dan bernegara. Dan dasar hukum Pasal 2 UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang dinyatakan “Asas Ormas tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Jo. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan yang telah diundangkan pada Pasal 59 ayat (4) huruf c, “Ormas dilarang: menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila”.

Negara dalam hal ini telah membatasi ruang gerak tersebarnya paham yang bertentangan dengan ideologi Pancasila dalam konteks Ormas. Karena itu, RUU HIP yang secara terang benderang menyantumkan ideologi Pancasila harus menegaskan dirinya bahwa seluruh dasar hukum yang mengatur tentang ideologi terlarang haruslah dimasukkan ke dalam dasar hukum bagian Pembukaan RUU HIP.


Distorsi Makna Ketuhanan
Di dalam RUU HIP terdapat empat konsep “Tuhan”, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”, “ketuhanan”, “ketuhanan yang berkebudayaan”, dan “berketuhanan”.

Di dalam Pasal 1 butir 2 RUU HIP, pengertian ideologi Pancasila masih mendasarkan pada frasa Ketuhanan Yang Maha Esa. Tetapi pada Pasal 1 butir 10 yang mendefinisikan Masyarakat Pancasila, frasa Yang Maha Esa menjadi hilang, hanya tertulis Pancasila yang berketuhanan. Pada pasal-pasal selanjutnya seluruh makna Ketuhanan Yang Maha Esa hanya dapat ditemukan dalam Pasal 8 huruf f, Pasal 12 ayat (3) huruf a, huruf d, selebihnya hanya frasa “ketuhanan”, “berketuhanan” dan “ketuhanan yang berkebudayaan”, sebagaimana yang bisa kita cermati pada Pasal 3 ayat 1 huruf a, Pasal 4 huruf b, Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (2) “ketuhanan yang berkebudayaan”.

Penyusun RUU HIP nampak jelas memiliki kepentingan lain untuk dapat menyisipkan keyakinan ketuhanan yang di luar dari maksud Pancasila. Jika konsep ketuhanan itu bersifat abstrak, maka RUU HIP mengakomodasi berbagai jenis tuhan yang juga termasuk tuhan bersifat materil atau nampak. Di sinilah letak masalah miskonsepsi ketuhanan versi RUU HIP yang sudah jauh melenceng dari Pancasila tanggal 18 Agustus 1945 itu sendiri, sebagai konsensus nasional bangsa Indonesia.


Menjatuhkan Derajat Pancasila
Kontradiksi Naskah Akademik dengan RUU-nya nampak sangat jelas. Penulis menilai RUU HIP bukanlah RUU “yang diharapkan kelahirannya” oleh Nya. Mengapa? Karena penyusun RUU HIP sudah menyadari bahwa Pancasila itu sumber dari segala sumber hukum negara. Tetapi karena ada kepentingan politik di belakangnya, Pancasila dipaksakan diturunkan derajatnya menjadi UU. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa UU bersifat dinamis, sedangkan Pancasila bersifat statis. UU seperti area terbuka untuk diuji, dicabut, diubah, dan dibatalkan. Sedangkan Pancasila yang ada sekarang sudah berada pada tempatnya yang luhur.

Naskah Akademiknya pada halaman 11-12 telah mengutip secara jelas Putusan Mahkamah Konstitusi, “Mendasarkan pada alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 100/PUU-XI/2013, menyatakan bahwa secara konstitusional Pembukaan UUD 1945 tersebut mendudukkan apa yang terkandung di dalam Pancasila adalah sebagai dasar negara. Sebagai dasar negara, Pancasila secara normatif harus menjadi fundamen penyelenggaraan Pemerintahan Negara Indonesia yang berfungsi memberikan perlindungan, penyejahteraan, pencerdasan, dan berpartisipasi dalam ketertiban dunia.”


Disisi lain Mahkamah Konstitusi melalui Putusan yang sama menyatakan bahwa “Pancasila memiliki kedudukan yang tersendiri dalam kerangka berpikir bangsa dan negara Indonesia berdasarkan konstitusi yaitu di samping sebagai dasar negara, juga sebagai dasar filosofi negara, norma fundamental negara, ideologi negara, cita hukum negara.”

Maka, sejatinya Pancasila haruslah tetap menjadi sumber segala sumber hukum negara, tanpa perlu dijadikan UU. Karena sebagai dasar negara, penafsiran Pancasila telah dijabarkan dalam batang tubuh UUD NRI 1945 (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia). Sehingga Pembukaan UUD NRI 1945 dan batang tubuh UUD NRI 1945 adalah haluan negara, haluan berbangsa dan bernegara, haluan seluruh pemerintahan dalam mengambil kebijakan. Pancasila jelas memiliki kedudukan lebih tinggi dari batang tubuh UUD NRI 1945.

Mengapa Pancasila harus diuraikan secara rinci lagi ke dalam RUU HIP? DPR RI telah dengan sengaja menjatuhkan derajat Pancasila dari kedudukannya yang luhur, sebagai sumber nilai, pedoman, haluan dan dasar negara. Karena Pembukaan UUD NRI 1945 ––yang mengandung Pancasila di dalamnya–– tidak bisa diamandemen, hanya batang tubuhnya saja yang dapat diamandemen.

Anton Hariyadi, S.H.
Advokat dan Konsultan Hukum
SINDONEWS.COM, 15 Juni 2020