14 Desember, 2012

Lamunan Mas Dawam Tentang Ulumul Qur'an

Nurcholis Majid, Syafi'i Maarif, Amien Rais,
Yahya Muhaimin, Ichlasul Amal, Kuntowijoyo

Pada akhir dasawarsa 80-an, ketika teman-teman dekat saya dari Yogya seperti Amien Rais, Ichlasul Amal, Yahya Muhaimin dan Kuntowidjojo, demikian pula yang lebih senior ketika itu, Syafi’i Ma’arif dan Nurcholish Madjid, sedang belajar di luar negeri, saya masih asyik bergumul di dunia LSM bersama Hadimulyo dan Fachry Ali di LP3ES, sambil menulis esai-esai ekonomi-politik. Teman-teman dekat saya kala itu adalah Adi Sasono, Sugeng Saryadi, Fahmi Idris (Trio Bimbo) dan Sritua Arief.

Tapi saya membayangkan, bahwa pada pertengahan dasawarsa ’80-an Indonesia akan panen intelektual Muslim, yang akan menguasai dunia wacana. Maka sambil memimpin LP3ES, saya merancang pendirian lembaga-lembaga baru. Saya ikut membidani beberapa lembaga baru di luar LP3ES, yaitu LSP yang dipimpin oleh Adi Sasono, PPA, oleh M. Amin Azis dan juga Paramadina yang saya pimpin sendiri sebagai direktur eksekutif pertama. Hadimulyo menggerakkan HP2I di Ciputat. Polanya sama, mengkombinasikan gerakan sosial dan pemikiran.

Saya ingat betul, ketika itu saya mulai asyik mempelajari al-Quran karena dirangsang oleh Fanani, salah seorang murid Isa Bugis, yang namanya saya ketahui dari coretan-coretan di pagar madrasah al-Hayatul Islamiyah, di kampung saya, Cawang, sampai kemudian saya mengembara ke berbagai pesantren untuk menggerakkan diskusi al-Quran dengan para ustadz muda, seperti Habib Chirzin dari Pabelan.

Fanani, Isa Bugis dan Dawam Rahardjo

Tentang al-Quran saya  punya beberapa ide: menyelenggarakan Kongres al-Quran, komputerisasi al-Quran, menyusun Ensiklopedia al-Quran dan menerbitkan majalah yang diilhami oleh al-Quran. Karena itu majalah yang saya dorong terbit, bernama “Ulumul Qur’an”. Kongres al-Quran telah terselenggara di Hotel Sahid Yogya, bekerjasama dengan UII. Saya juga minta bantuan Pak Munawir untuk melakukan komputerisasi al-Quran, tapi saya hanya berhasil menyampaikan gagasan itu saat MTQ-di Lampung. Sebetulnya saya ingin agar Kongres al-Quran itu dilaksanakan pada setiap acara MTQ. Saya waktu itu minta bantuan Hery Ahmadi –Pakar komputer yang saya kenal pada waktu itu. Saya punya gagasan kongkret bagaimana mendigitalisasi al-Quran berdasar informasi mengenai kemampuan komputer dari Hery Ahmadi.Ternyata telah banyak orang lain yang melaksanakannya.

Dan alhamdulillah, terbitlah Ulumul Qur’an. Mula-mula saya berfikir, bahwa yang menyusun Ensiklopedia adalah para ahli tafsir. Tapi itu tidak terjadi, walaupun banyak ahli tafsir al-Quran, ternyata mereka tidak bisa membuat tafsir. Karena itu maka gagasan itu saya laksanakan sendiri, tanpa gentar terhadap kritik. Bondo nekad. Di UQ itulah saya nekad menulis rubrik Ensiklopedia al-Quran. Dan masih banyak ide yang ingin saya tulis.

Ketika akan menerbitkan Ulumul Qur’an, saya sering menulis makalah tentang tema-tema kajian Islam pada waktu itu. Saya temukan beberapa gagasan: Reaktualisasi Ajaran Islam, Pak Munawir Sadzali, Future Study atau Futurology oleh Ziauddin Sardar, Studi Peradaban, Malik bin Nabi, Pribumisasi Islam, Abdurrahman Wahid. Islamization of Knowledge, Ismail Faruqi dan Syed Naquib Alatas, Rethinking Islam, Mohammad Arkoun. Sedang saya sendiri punya gagasan mengenai studi al-Quran dan sastra religius (sebenarnya juga Ekonomi Islam). Dari situlah lahir rubrik-rubrik dalam Ulumul Qur’an waktu itu. Jadi UQ pada waktu itu dilatar belakangi oleh “proyek gagasan”, meminjam Hasan Hanafi (proyeknya sendiri adalah Islam al-Yasar). Di Mesir juga lahir gagasan al-mujtama’ al-madani, suatu gagasan yang tepat untuk Dunia Islam. Gagasan-gagasan seperti itulah yang bisa diproyekkan dalam UQ menjadi wacana ilmiah.


Hasil dan dampak gagasan UQ sudah sama-sama kita ketahui, telah membangkitkan wacana intelektual Islam di Indonesia. Saya ingin menggarisbawahi peran aktif teman-teman muda seperti, Pipip Rifai Hassan (guru besar al-Quran saya) , Hadimulyo, Ali Ihsan Fauzi, Saiful Mujani, Syafi’i Anwar, Edi Efendi (sastra), Budhy Munawar Rahman, Deden Ridwan, Arif Subhan pelukis Sri Widodo. Jasa mereka luar biasa. Di UQ mereka berkembang menjadi intelektual-intelektual handal. Mereka itu adalah generasi kedua. Generasi pertama adalah intelektual IAIN seperti Hadimulyo, Fahry Ali, Pipip, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Bachtiar Effendi, Iqbal Saimima, Mulyadi Kertanegara.

Akhirnya pada tahun 1998, UQ berhenti terbit karena kenaikan harga kertas. Saya depressed banget. Perasaan yang sama dialami oleh teman-teman yang lain. Tapi dari kalangan luas, timbul dorongan-dorongan untuk menerbitkan kembali UQ. Akhirnya alhamdulillah, berkat bantuan Herdi SRS saya dipertemukan dengan investor yang sudah berhasil di bidang penerbitan, “Inilah.com group”. Insya-Allah, dengan dukungan Anda semua, UQ akan segera terbit lagi, mungkin di bulan April 2012.

Tapi saya terlebih dahulu ingin tahu pendapat kawan-kawan, terutama para senior pimpinan UQ. Pertama kali saya hubungi Hadimulyo, Pemimpin Umum UQ waktu itu. Suatu pagi, dalam perjalanan menuju ke Yogya saya telepon dia. Mas Hadi menyambut sangat antusias, tetapi masih ragu bergabung aktif, katanya “sudah tua”. Emangnya umurnya sudah berapa? Ternyata ia ingin saounding dulu dengan teman-teman, lewat facebook. Hasilnya di luar dugaannya. Begitu antusias, kawan-kawan mengirim sambutan yang dikirimkian via email ke Mbak Mala. Saya baca, alhamdulillah, luar biasa. Dan Mas Hadi pun, menurut Mbak Mala merasa mantap untuk bergabung kembali. Ini merupakan dukungan moral yang besar.

Dawam Rahardjo dan Hadimulyo

Saya telepon yang lain-lain. Fachry Ali dan Deden Ridwan menanyakan apakah diperlukan konsep baru atau menghiduplan kembali yang sudah menemukan bentuknya (Rubrik: aktualisasi, tafsir, khasanah, futurologi dan seni-budaya)? Deden menyambut penerbitan baru. Cuma dia bilang, perlu penyempurnaan. “Bahasanya diperingan Mas, Jangan hanya bisa dibaca oleh orang-orang pinter saja.” Kawan di kantor LSAF, Solahuddin, punya pengalaman penerbitan di Kairo dan tahu jaringan,  lulusan Al-Azhar yang lagi menyiapkan proposal itu punya gagasan yang serupa: “Audience UQ hendaknya diarahkan ke kalangan menengah ke bawah”. Ini adalah aliran jurnalistik saat ini.

Respon saya: apa maunya UQ menjadi majalah dakwah semacam “Hidayatullah” atau “Gema Islam?” Ataukah menjadi majalah berita semacam “Umat” yang jurnalistik? Atau semacam Madina, yang ilmiah tapi agak diperingan bahasa maupun tema-temanya? Teman Andi Suruji dari grup “Inilah.Com” menginginkan majalah dengan artikel ringan dan popular yang terbit mingguan setebal 68 halaman. “Kita harus mengikuti trend, waktu membaca orang sekarang sedikit ”, katanya. “Di AS, jurnal-jurnal ilmiah sudah pada berguguran,” tandasnya.

Waduh, bagaimana ya? Apa kita harus mengikuti trend popular. Saya justru ingin melawan arus. Orang sekarang jangan terlalu sibuk rutin mengikuti run away world. Istirahat dong. Saya ingin menghidupkan kembali budaya baca sebagai cara rekreatif.  Minum kopi. santai pegang majalah. Pergunakan waktu luang untuk membaca. Untuk rekreatif, kontemplatif. Baca puisi, cerpen, dan esai, sungguh merangsang otak untuk berpikir. Kalau bisa menulis subuh-subuh dong. Mosok kerja terus, sebentar baca koran. Itupun headline-nya doang. Maka deliteralisasi dong nanti. Manusia jadi robot. Baca Ulumul Qur’an dong, yang mencerahkan pikiran dan rohani.


Saya berfikir, justru kecenderungan umum seperti itu harus dilawan. Kita harus mengembangkan lagu-lagu klasik. Dengarkan Jose Carera bernyanyi.

Jadi gagasan saya adalah:
1.    UQ harus menjadi jurnal pencerahan rohani dan akal-pikiran.
2.    UQ adalah jurnal pemikiran, yang mengundang pemikiran para pemikir.
3.    Artikel utamanya adalah analisis public issue dan public policy yang menjadi trend setter dan menjadi rujukan pengambil keputusan.
4.    Style bahasanya adalah literer, cerdas dan jernih, yang pasti enak dibaca. Tapi jernih kan tidak harus memakai bahasa jurnalistik. Bahasa ilmiah-lah, tapi yang jernih. Jika pikirannya jernih, tulisannya pun juga jernih. Kalau tulisannya ruwet, pikirannya yang sebenarnya ruwet. Bukankah al-Quran itu qaulan tsaqiila? Tapi kalau kita serius baca, ternyata enak juga kan?
5.    Tulisan yang dimuat dipilih di antara yang punya sudut pandangan lain, pandangan baru, pandangan dari luar. Misalnya pandangan Syi’ah yang lain. Karena itu corak pemikirannya adalah pluralis-liberal-progresif. Kalau lain, tentu menarik. Tak usah diperingan-ringan lewat bahasa. Nanti norak. Keindahan sastra itu bukan terletak pada kulitnya, tetapi isinya yang indah.
6.    Di bidang pengetahuan, berusaha menampilkan rediscovery, misalnya perekonomian atau pluraisme di Zaman Turki Usmani. Kalau aktual, menemukan temuan statistik yang mengejutkan. Coba kemukakan, misalnya, berapa luas perekonomian kita dikuasai asing?
7.    UQ berusaha membangkitkan pemikiraan Islam, walaupun dalam konteks perbandingannya dengan pemikiran lain.
8.    UQ bisa saja mempunyai suatu proyek pemikiran tertentu, misalnya “filsafat Nusantara”, “demokrasi Indonesia”, atau “civil economy”.
9.    UQ akan banyak meliput perkembangan Dunia Islam dan Muslim minoritas.
10.    Perwajahan luar dan dalam bersifat artistik, misalnya menampilkan ornamen, kaligrafi, lukisan, vignette, dan lain-lain.
11.    UQ akan meramaikan dunia sastra.
12.    UQ menampilkan berita-berita dan peristiwa budaya.
13.    Puisi dan cerpen adalah rubrik tetap yang menyegarkan dan romantic.
14.    UQ harus membawa angin segar, damai, saling menghargai, rukun walaupun bisa berbeda pendapat.
15.    UQ harus menjadi “Penyebar Semangat”  kebangkitan Islam yang damai, yang rahmatan lil ‘alamin.

Kongkretnya, saya usulkan 7 rubrik, walaupun satu nomor hanya bisa memuat 5 rubrik saja karena tergantung artikel yang masuk.
1.    Public issue, public policy. Teorisasi kondisi realitas dan perkembangan masyarakat, misalnya: No.1 berjudul “Korupsi, Demokrasi dan Kapitalisme” atau “Musim Semi Arab”, “Peta Pemikiran Islam Timur Tengah”.
2.    Dunia al-Quran, antara lain Ensiklopedia al-Quran.
3.    Dunia Islam. Laporan perkembangan di dunia Islam, artikel-artikel dari Timur Tengah yang lagi ngetrend. Atau dari Turki dan Iran. Kata teman-teman Kairo, banyak yang menarik dalam trend baru pemikiran Dunia Islam.
4.    Sastra dan kebudayaan; puisi, cerpen, esai kebudayaan.
5.    Khazanah atau Rediscovery zaman Klasik.
6.    Bumi Manusia. Berisi kehidupan beragama di Indonesia.
7.    Ekonomi Islam dan pembangunan.

Rubrik-rubrik itu disajikan dalam berbagai bentuk.
1.    Iftitah, membuka cakrawala pemikiran.
2.    Editorial redaksi. Pengantar isi.
3.    Dialog (bukan wawancara lho).
4.    Tokoh atau sosok. Bisa sosok sejarah atau pelaku sekarang.
5.    Liputan, bisa gagasan, tradisi, bumi wisata seperti kota-kota batik dan komunitas Cina di Lasem, masyarakat Tengger, masyarakat Badui dan semacamnya.

Tapi dipilih yang unik. Rediscovery.
1.    Pembahasan buku.
2.    Liputan seminar, konperensi, diskusi.
3.    Kelompok-kelompok epstemik.


Dalam Liputan dapat digali tema-tema sebagai berikut:
1.    DEMOKRASI
2.    EKONOMI KREATIF
3.    KEADILAN
4.    KEHIDUPAN BERAGAMA
5.    TRADISI
6.    BUDAYA PERUSAHAAN
7.    GENDER
8.    MINORITAS
9.    BIROKRASI
10.  TEKNOLOGI
11.  TOKOH-TOKOH
12.  KEMISKINAN
13.  HASIL PENELITIAN
14.  LAPORAN SEMINAR
15.  KRIMINALITAS
16.  TOKOH-TOKOH SUFI KEBANYAKAN
17.  SEMINAR KREATIF
18.  ILMUWAN
19.  TOKOH DAERAH
20.  KOMUNITAS

Bagaimana teman-teman, pandangan Anda? Tolong dong, komentar, kritik dan saran. Pokoknya saya akan mengelola UQ dengan perasaan, cinta, dan dengan rasa seni, penuh diskusi di kantor. Setiap nomor harus memuaskan. Pokoknya setiap artikel, kelak bisa dikumpulkan menjadi buku berseri. Para dosen dan mahasiswa harus bangga menenteng UQ. Biar UQ menjadi bahan diskusi di warung-warung kopi.

Jakarta, 23 Februari 2012
Sumber: Akun fb Dawam Rahardjo

07 Desember, 2012

Generasi Digital


Dalam sebuah tulisan yang memenangi sayembara penulisan esai Kompas pada 1980-an, saya membahas sebuah masalah yang tergambar dalam judulnya, “Generasi yang Hilang”. Sebuah istilah yang kemudian muncul pada dekade berikutnya di Amerika sebagai gambaran dari mereka yang lahir di pertengahan 1960-1970-an.

Itulah generasi yang digambarkan dengan bawaan mental yang apatis. Kelompok pemilih terendah dalam soal partisipasi politiknya karena skeptisitas tinggi terhadap realitas kontemporer mereka. “Generasi yang tersingkirkan dan tak pernah berhasil kembali pada isu-isu mutakhir,” tulis Newsweek.

Di Indonesia, kondisi itu sangat mudah dimafhumi. Sebagaimana saya jelaskan dalam esai 1980-an itu, generasi yang kemudian hari juga disebut sebagai “Generasi X” itu hidup dan berkembang dalam realitas politik, sosial, dan kultural yang penuh tekanan karena otoritarianisme rezim Orde Baru. Sebagaimana kerap juga saya nyatakan, bukan korupsi Rp 150 triliun atau kekerasan politik-militer Soeharto yang generasi ini sesalkan, melainkan hancur dan rusaknya daya khayal atau imajinasi remaja dan anak muda kala itu karena indoktrinasi dan teror mental yang dipraktikkan rezim.


Generasi yang Bertumbuh
Generasi X adalah segerombolan anak yang bukan hanya biaya sekolah, uang jajan, dan makan minumnya ditentukan orangtua, bahkan hingga warna sepatu atau profesi idaman tak bisa mereka tentukan sendiri. Inilah generasi yang duduk sendiri, di belakang rumah, di bawah pohon, membaca biografi tokoh-tokoh dunia dengan fantasi yang disembunyikan.

Maka, saya pun mengamati almarhum cendekiawan Wiratmo Soekito dalam diskusi-diskusi kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, mengikuti caranya membaca buku dengan hafal setiap kutipan, halaman, penerbit, hingga kredit bukunya. Namun, semua itu seperti tak berjejak pada generasi berikut, Generasi Y alias mereka yang lahir antara 1976 dan 1995. Barisan manusia muda yang rapi dan canggih, dengan kearifan teknologis yang tinggi, imun pada gaya-gaya propaganda dan intimidasi tradisional. Sebuah generasi yang menyebar dalam keragaman etnik dan ras, akrab dengan televisi multikanal, radio satelit serta internet generasi pertama.

Pada masa kanak-kanak dan remaja generasi ini, dunia mengalami pertumbuhan dan perubahan dengan percepatan bukan lagi kecepatan, membuat mereka menjadi lebih fashionable dan well-known dan loyalitasnya tinggi pada merek yang mereka anggap memberi identitas. Mereka turut menentukan apa yang keluarga harus konsumsi, memiliki kartu kredit dengan tanda tangan orangtua, dan mulai dapat merancang masa depannya sendiri.


Betapapun orangtua atau nenek-kakek mereka masih duduk manja di kursi kekuasaannya, tetapi di tingkat bawah sesungguhnya terjadi pergeseran serta pergerakan yang tak terbaca oleh suprastruktur, dan diselenggarakan oleh generasi kreatif ini. Jarak antara sains dan teknologi dengan realitas mutakhir —yang sebenarnya menjauh— masih dapat mereka jembatani, ide teraktualisasi, betapapun kadang sumir dan artifisial.

Namun, dunia tidak berhenti bergerak. Teknologi komunikasi dan informasi seperti menggenggam dunia dalam telapaknya, membuat manusia seperti berlari-lari kecil untuk mengelilingi bumi dan mengetahui setiap detail tubuh (persoalan)-nya. Media menjadi begitu canggih sehingga hidup superkompleks bisa diringkusnya dalam data, yang siapa pun mampu mengaksesnya dalam hitungan detik. Kini dunia juga dalam genggaman kita, manusia.

Pada masa inilah, pasca-1995, lahir sebuah generasi baru, “Generasi Z”, yang tak hanya diubah oleh percepatan teknologi di atas, tetapi juga mengubah hampir setiap dimensi hidup berbudaya kita. Bukan hanya gaya hidup, cara berpikir, kosmologi, hingga cara menatap waktu atau masa lalu dan masa depannya.

Mereka, yang kerap disebut sebagai iGeneration (i: Internet) atau NetGeneration atau Generation@, adalah gelombang manusia yang tumbuh bahkan menjadi digital: generasi digital!


Penuh Paradoks
Maka, semua jadi purba dalam soal bagaimana kita mengaktualisasi diri, meneguhkan eksistensi. Diri dibentuk oleh perjumpaan data dan kata yang diakses dari seluruh dunia, hingga sudut terkucilnya, lewat BBM, WWW, instant messaging, MP4, mobile phone, Skype, hingga Youtube. Hidup yang posmodernik, multikultural, dan global menjadi keniscayaan yang sesungguhnya memberi mereka paradoks: bebas meneguhkan atau menciptakan klaim tentang diri sendiri tetapi pada saat bersamaan mereka lenyap dalam riuh.

Jadilah kemudian mereka generasi yang diam karena dunia sudah terlalu (di) dalam dirinya. Generasi yang tidak terusik ketika berhadapan dengan monitor atau keypad di gadget-gadget terbarunya. Manusia-manusia yang sangat praktis, bahkan hiperpragmatis, dengan kantong yang tipis tetapi padat isi dan makna: ada dunia di dalam sakunya, dalam bentuk yang tidak lebih besar dari bungkus rokoknya.

Inilah generasi yang sangat berbeda dengan penulis yang mengeja semua huruf dan kata, menghafalkannya dengan bangga. Sementara generasi ini mengakses dan meresepsi data, kata, dan makna dengan cubitan di kotak screen. Dengan ujung telunjuknya mereka memindai semesta dalam kecepatan daya tangkap visual dan kognitif yang luar biasa. Mereka tahu banyak, bahkan terlalu banyak. Namun tetap dalam paradoks: mereka juga tak tahu banyak.


Generasi inilah yang akan menentukan bagaimana sebuah bangsa, negara, bahkan kebudayaan akan dikembangkan dan menjadi pada masa nanti. Mungkin sebagian kita tidak rela. Namun, betapa desisif mereka, tidak hanya membuat musik, tari, pertunjukan menjadi “Gangnam Style”, tetapi juga politik, hukum, agama bahkan lembaga internasional. Karena ratusan juta manusia mengamininya.

Lalu di mana James Joyce, Homerus, Hemingway, atau Chairil Anwar dan Ronggowarsito? Mereka adalah teman lama kutu-kutu yang menggerogoti buku-buku, monumen masa lalu. Peradaban dan kebudayaan sedang dibentuk ulang dengan perangkat keras dan lunak terbaru, yang bahkan generasi saya, X, merasa malu dan sungkan untuk mengakui, “Maaf, aku tidak paham itu.”

Lalu apa yang bisa kita lakukan? Mengingat generasi canggih ini sebenarnya juga terluka oleh krisis-krisis politik, moneter, hingga lingkungan yang diproduksi oleh sistem hasil ciptaan kakek dan buyutnya. Mereka yang begitu bernafsu ingin membeli iPad terbaru, tetapi ternyata ia sudah terlalu banyak utang. Apa dan bagaimana kondisi mental sosial itu memberi mereka alasan-alasan terbaik untuk membentuk diri, masyarakat, atau bangsanya?

Betapa tidak bertanggung jawabnya bila kita lebih peduli pada rebutan kursi kosong dan rezeki murahan ketimbang membantu generasi ini membentuk diri dan masa depannya. Atau kita siap menyambut generasi kosong, generasi katastropik yang tidak (mau) mengerti untuk apa mereka ada di atas tanah ini?

Radhar Panca Dahana
Budayawan
KOMPAS, 28 November 2012

12 November, 2012

Mengapa UU Bahasa Diabaikan?


Adakah undang-undang (UU) yang tidak mencantumkan ketentuan pidana? Apa yang bisa memaksa orang mematuhi sebuah UU bila di dalamnya tak tercantum pasal-pasal tentang sanksi bagi pelanggarnya? Untuk apa dibuat UU bila tidak untuk dipatuhi atau dilaksanakan?

Hingga kini tampaknya hanya UU Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan yang benar-benar aneh (tapi nyata). UU "4 dalam 1" ini jelas mengandung diskriminasi. Siapa saja yang melanggar pasal-pasal yang menyangkut bendera, lambang negara, dan lagu kebangsaan dihukum Rp 100 juta hingga Rp 500 juta atau pidana penjara setahun hingga lima tahun. Anehnya, tak satu pasal pun menjelaskan sanksi bagi pelanggar pasal-pasal tentang bahasa.

Pantaslah ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berpidato resmi dengan bahasa Inggris beberapa waktu lalu tak bisa dituntut secara hukum. UU yang disahkan Presiden SBY pada 9 Juli 2009 ini menyatakan, bahasa Indonesia berfungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu bangsa, serta sarana komunikasi antar daerah dan antar budaya daerah. Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi melalui media massa. Media massa dapat menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing yang mempunyai tujuan atau sasaran khusus.

UU ini mewajibkan pemerintah mengembangkan, membina, melindungi bahasa dan sastra Indonesia. Pengembangan, pembinaan, dan pelindungan dilakukan secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan oleh lembaga kebahasaan. Pemerintah juga wajib meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan.

Tentang bahasa negara yang diatur dalam Bab III Pasal 25-45, penuh dengan kata wajib (ada 18 kata wajib dalam 17 pasal). Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam peraturan perundang-undangan, dokumen resmi negara, dan pidato resmi presiden, wakil presiden, dan pejabat negara lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri.


Bahasa ini juga wajib digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional, pelayanan administrasi publik di instansi pemerintahan, dan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Indonesia, lembaga swasta Indonesia, atau perseorangan warga negara Indonesia.

Bahasa Indonesia juga wajib dipakai dalam forum yang bersifat nasional atau bersifat internasional di Indonesia, komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta, laporan setiap lembaga atau perseorangan kepada instansi pemerintah, penulisan dan publikasi karya ilmiah di Indonesia, nama geografi di Indonesia, nama-nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.

Bahasa nasional ini pun wajib digunakan pada rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum, seperti informasi melalui media massa, dan informasi tentang produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia.

Semua kata wajib dalam UU ini sama sekali tak berpengaruh karena tidak mengikat, tanpa sanksi hukum. Dalam kehidupan sehari-hari sangat mudah kita menemukan berbagai pelanggaran terhadap kata wajib dalam UU ini. Dan tentu saja tak pernah ada seorang pun yang terkena hukuman. Lihatlah nama-nama pusat pertokoan, kompleks perumahan, lembaga-lembaga pendidikan, judul-judul buku, film, sinetron, nama-nama program radio dan televisi swasta, serta nama-nama rubrik di media massa cetak, dan dalam jaringan. Mereka telah melanggar UU tersebut secara terang-terangan tanpa merasa bersalah, apalagi takut.


Memang, pemerintah, menurut UU tersebut, wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa Indonesia. Pengembangan bahasa ini meliputi upaya memoderenkan bahasa melalui memperkaya kosakata, pemantapan dan pembakuan sistem bahasa, pengembangan laras bahasa, serta mengupayakan peningkatan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional.

Pembinaan meliputi peningkatan mutu berbahasa melalui pembelajaran bahasa di semua jenis dan jenjang pendidikan serta pemasyarakatan bahasa ke berbagai lapisan masyarakat. Selain itu, pembinaan juga untuk meningkatkan kedisiplinan, keteladanan, dan sikap positif masyarakat terhadap bahasa Indonesia. Perlindungan bahasa meliputi upaya menjaga dan memelihara kelestarian bahasa lewat penelitian, pengembangan, pembinaan, dan pengajarannya.

Melalui media ini kita mengusulkan agar pemerintah (presiden) dan DPR segera merevisi UU tersebut. Khususnya Bab III tentang Bahasa Negara harus diatur secara normal, tidak diskriminatif, dan ada sanksi hukum bagi para pelanggar yang tak melaksanakan kewajibannya.

Namun, bila soal perilaku berbahasa dianggap tak perlu diatur oleh UU, mohon dicabut saja segera Bab III (Bahasa Negara) dari UU tersebut. Jadi, UU itu cukup mengatur bendera, lambang negara, dan lagu kebangsaan saja. Biarkanlah setiap warga negara ini berperilaku berbahasa sesuka hati. Biarlah setiap orang bertanggung jawab secara moral dan sosial belaka dalam hal berbahasa Indonesia.

S Sagala Tua Saragih
Dosen Program Studi Jurnalistik
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung

REPUBLIKA, 1 November 2012

03 November, 2012

Mimpi Perlindungan TKI


Kalau sampai hari ini masih ada yang berpikir bangsa Indonesia telah berada pada trek yang benar sebagai negara maju dan tak mungkin tersesat ke arah negara yang gagal, mungkin itu hanya para pemimpi di siang hari.

Begitu juga jika masih ada yang berbuih-buih mulutnya mengatakan pemerintah telah melakukan pelindungan yang optimal terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, itu mungkin karena mereka memang tak hendak bangkit dari tidur panjangnya. Tak usah dibangunkan, sudah terlalu boros bangsa ini membuang energi untuk membuka lebar-lebar mata mereka yang pejam permanen.

Tak aneh karenanya ketika TKI dilecehkan, mengalami berbagai macam kekerasan hingga nyawa dan kehormatan sekalipun tak mampu dipertahankan, tak pernah tebersit bahwa mereka itu saudara kita, sebangsa dan setanah air. Berasal dan memijak bumi yang sama, bumi pertiwi yang sama-sama kita cintai.

Beberapa hari terakhir, masyarakat Indonesia terenyak dengan terkuaknya iklan yang tersebar di Malaysia dengan judul “Indonesian Maids Now on Sale”. Sungguh sebuah iklan pelecehan dan penghinaan tak hanya kepada bangsa Indonesia, tetapi juga terhadap nilai-nilai kemanusiaan pada era ketika perbudakan terhadap manusia menjadi musuh bersama dalam kehidupan ini.


Diobral dengan diskon 40 persen, siapa saja di Malaysia bisa mendapatkan pekerja rumah tangga (PRT) migran Indonesia. Namun, ironisnya, tidak semua warga Indonesia terkejut dengan adanya iklan ini. Dengan mekanisme penempatan dan perlindungan TKI yang karut-marut, mestinya sudah dapat diprediksi gejala-gejala bisnis semacam itu di Malaysia, khususnya selama moratorium. Terlebih, perspektif TKI sebagai komoditas untuk menghasilkan devisa secara instan tak kunjung berubah di kalangan elite pemerintah ini.

Munculnya iklan yang mengobral TKI di Malaysia sebenarnya hanya puncak dari fenomena gunung es dari paradigma komodifikasi oleh Pemerintah Indonesia yang memberikan bobot bisnis penempatan TKI lebih dominan daripada perlindungannya. Besarnya peran swasta (Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta/PPTKIS) dalam pengiriman TKI yang dilegalisasi dalam UU Nomor 39 Tahun 2004 telah memperkuat skema migrasi dengan biaya tinggi yang mengakibatkan TKI terjerat utang secara sistematis.

Situasi ini secara perlahan menggeser dimensi HAM dalam penempatan buruh migran sehingga penempatan TKI menjadi industri dan kerajaan bisnis. Sementara, Pemerintah Indonesia cenderung membiarkan praktik tersebut dengan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum. Untuk itu, sikap dan langkah cepat Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa yang memprotes keras iklan tersebut kepada Menlu Malaysia patut diapresiasi. Begitu juga langkah tanggap Pemerintah Indonesia yang telah mengirimkan nota protes diplomatik kepada Pemerintah Malaysia.


Sindikat “Trafficking
Menganggap iklan ini hanya sebagai kreativitas orang-orang iseng dan berujung pada kedai potong rambut sungguh sangat memprihatinkan dan patut disayangkan. Apalagi itu diucapkan oleh seorang menteri yang semestinya berada pada garda terdepan untuk melindungi TKI. Selugu inikah bangsa ini berhadapan dengan mafia dan sindikat trafficking yang menghalalkan berbagai macam cara untuk mendapatkan keuntungan?

Atau, jangan-jangan memang ada yang tak ingin sindikat perdagangan PRT migran Indonesia di Malaysia ini benar-benar terbongkar. Kecurigaan ini wajar karena hal ini sangat berkaitan dengan nilai ekonomi yang sangat tinggi. Sejak 29 Juni 2009, Pemerintah Indonesia memutuskan kebijakan moratorium ke Malaysia, hingga moratorium dicabut pada Desember 2011, dan penempatan PRT migran di Malaysia dibuka pada Maret 2012.

Sesungguhnya praktik penempatan tidak berhenti sama sekali. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa semasa moratorium, sekitar 22.000 permit kerja untuk PRT Indonesia diterbitkan oleh Malaysia. Dan pasca-moratorium, bulan Juli hingga September 2012, pemerintah mengaku hanya menempatkan 64 PRT migran Indonesia di Malaysia, tetapi nyatanya sekitar 14.000 permit kerja dan Job Performance Visa sudah diterbitkan oleh Pemerintah Malaysia.

Sekadar gambaran, biaya penempatan (cost structure) PRT migran Indonesia di Malaysia adalah 12.000 ringgit (sekitar Rp 38.400.000) yang harus dibayar oleh majikan di Malaysia dan 3.850 ringgit (sekitar Rp 12.320.000) yang harus dibayar PRT migran Indonesia dengan cara potong gaji selama 7 bulan. Hal ini berbanding terbalik dengan gaji PRT migran di Malaysia yang hanya 550 ringgit atau sekitar Rp 1.760.000.

Oleh karena itu, dengan menganggap fiktif iklan ini, sama saja dengan menutup mata terhadap kejahatan trafficking yang jelas-jelas berada di depan mata. Atau memang sengaja menutup kasus ini agar borok dan kobobrokan yang terjadi selama moratorium tak terungkap sehingga mereka dapat terus melanjutkan mimpi-mimpinya di atas singgasana penderitaan para pekerja.


Bertepuk Sebelah Tangan
Tiga tahun moratorium yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia tak ditanggapi secara serius oleh Pemerintah Malaysia. Karena fakta di lapangan menunjukkan Pemerintah Malaysia senantiasa mengeluarkan permit kerja kepada PRT migran asal Indonesia. Hal ini sungguh sangat melecehkan kewibawaan bangsa ini.

Posisi setara antara Pemerintah Malaysia dan Indonesia yang selalu didengungkan para pemimpi itu tampak hanya bualan dan imajinasi fiktif. Faktanya, Pemerintah Indonesia hanya bertepuk sebelah tangan selama moratorium. Oleh karena itu, wajar kiranya jika moratorium selama ini tidak banyak meninggalkan jejak yang berarti bagi perbaikan perlindungan untuk TKI.

Nota kesepahaman (MOU) yang direvisi dengan dua klausul baru, yakni paspor dipegang oleh TKI dan adanya hari libur bagi PRT migran, secara normatif menjanjikan masa depan baru bagi buruh migran. Namun, hal ini belum dapat menjamin perlindungan mereka selama komodifikasi TKI terus dilanggengkan.

Akhirnya, sudah terlalu sering bangsa Indonesia disakiti, baik oleh sikap maupun kebijakan Pemerintah Malaysia kepada para TKI di sana. Bukan rahasia lagi bila banyak TKI yang menjadi korban kekerasan di Malaysia, baik oleh majikan maupun oleh sindikat trafficking yang menggurita hampir di setiap sel dalam institusi yang legal dan ilegal. Bahkan, tidak sedikit para TKI yang tewas dan menjadi korban kesewenang-wenangan polisi di Malaysia.

Untuk itu, bila bangsa ini, yang dimotori oleh presiden sebagai kepala negara, tak mau mengambil sikap tegas dan menganggap remeh pelecehan terhadap harkat dan martabat PRT migran Indonesia yang bekerja di Malaysia, sesungguhnya kita memang sedang diajak bermimpi.

Anis Hidayah
Direktur Eksekutif Migrant Care
KOMPAS, 2 November 2012

30 Oktober, 2012

Bahasa Indonesia yang Malang


Sejak Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, bangsa Indonesia sudah berjanji sepenuh hati menjunjung bahasa Indonesia. Lantaran penjunjungan itu sudah berlangsung 84 tahun, boleh diyakini bahwa seluruh rakyat Indonesia sudah mahir menggunakan bahasa resmi bangsanya sendiri ini.

Namun keyakinan itu segera jadi kekagetan. Sebab, menurut penelitian Krisanjaya, M. Hum, ahli linguistik Universitas Negeri Jakarta, orang Indonesia yang mampu berbahasa Indonesia secara benar cuma 16,77 persen. Selebihnya berbahasa daerah, seperti yang dilakukan oleh masyarakat jelata berpendidikan rendah. Atau berbahasa Indonesia pasar, bagai yang digunakan oleh masyarakat kelas menengah berpendidikan cukup.

Yang ganjil, dalam keterbatasan berbahasa Indonesia itu kontaminasi bahasa Inggris tampak begitu riuh, dalam tutur maupun dalam karya tulis. Bahkan dalam pidato resmi di depan publik Indonesia, bagai yang kerap dilakukan sejumlah tokoh masyarakat, pejabat tinggi, bahkan Presiden, pada tahun-tahun terakhir. Realitas ini menjadi unik dan aneh ketika disandingkan dengan kenyataan lain yang menyebutkan: penguasaan bahasa Inggris orang Indonesia justru terbilang sangat rendah! Setidaknya menurut lembaga English First.

Lembaga ini sejak 2007 melakukan penelitian lewat tes secara online atas 2 juta orang dewasa di 44 negara yang tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu. Hasilnya, Indonesia menduduki nomor 34 dengan meraih nilai cuma 44,78. Sementara Norwegia yang meraih nilai 69,09 masuk kategori "very high proficiency", Indonesia "very low proficiency".


Bangsa Mengambang
Sastrawan Sutan Takdir Alisjahbana pernah berkata bahwa, apabila sebuah bangsa "kurang berkehendak" menguasai bahasa asing, bangsa itu harus menguasai sebaik-baiknya dan sebangga-bangganya bahasanya sendiri. Kampiun bahasa Indonesia (yang pemuja Barat) ini menunjuk Spanyol, Portugal, Tiongkok, dan Jepang sebagai contohnya. Dan bangsa Indonesia diindikasikan sebagai bagian dari yang "kurang berkehendak".

Meski "kurang berkehendak", gegar budaya bahasa Inggris ternyata sudah kuat berjangkit di benak bangsa Indonesia sejak (sangat) lama. Bahasa buku Tuanku Rao karangan Mangaraja Onggang Parlindungan, yang terbit dan populer puluhan tahun lalu, adalah buktinya. Mari kita baca satu alinea tulisannya yang tampak antusias dan beringgris-inggris itu.


"Dibandingkan kepada itu, asal usul dari suku bangsa Batak di sekitar danau Toba malahan relatively paling simple dapat re-constructed. How?? Dengan emparing Ethnology, Philology, Mythology, and Folklore. Why?? Suku bangsa Batak hingga abad ke-XIX secara sukarela berkurung in splendid isolation di pegunungan Bukit Barisan, selama 3000 tahun, selama lebih kurang 100 generations. Very strange custom untuk sesuatu Suku Bangsa yang hidup di atas sesuatu pulau. How come??"

Gaya bahasa Indonesia model begini pernah dikritik kencang oleh budayawan Remy Sylado dalam Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta, medio Oktober 2003. Dan jauh hari sebelumnya, kecenderungan seperti itu dikecam oleh Presiden Sukarno lewat pidato "Manipol Usdek" pada 17 Agustus 1959. Sukarno menyebutkan bahwa bahasa semacam itu adalah presentasi anak bangsa yang tidak berkepribadian, mengambang, dan kurang berharkat.

Pada tahun-tahun terakhir, kecenderungan menggulirkan bahasa Inggris juga dilakukan di RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional) di Indonesia. Celakanya, usaha penerapan itu cenderung dipaksakan, lantaran dilakukan oleh guru-guru yang kurang menguasai bahasa Inggris.


Cuma Sofistikasi
Penyakit Inggris ini pada sepuluh tahun terakhir semakin merasuki segala sisi. Sektor pariwisata tak hentinya mencetak brosur berbahasa Inggris, bahkan ditambah juga Jepang dan Mandarin, dengan tak sedikit pun menyentuh bahasa Indonesia. Padahal wisatawan domestik yang membutuhkan brosur berkali-kali lipat banyaknya dibanding wisatawan asing.

Bahasa Inggris juga menggelitik dunia kebudayaan Indonesia, dengan presentasi yang kentara pada kesenian, seperti seni rupa dan seni lainnya. Padahal seni adalah sebuah wilayah profesi yang sejak dulu dikenal membumi. Dari sekitar 850 pameran seni rupa yang relatif penting sejak 2001, tak kurang dari 450 judul yang menggunakan bahasa Inggris. Padahal judul pameran yang dipampang-pampang di ruang publik Indonesia itu adalah bendera yang mengibarkan roh pameran seni Indonesia. Simak secuplik contoh judul ini, "Watching Information through Pressure & Pleasure", pameran bersama (Jakarta, 2005); "Return to Innocence, Return to Yourself", pameran foto Ve Dhanito (Jakarta 2011). Bahkan tak sedikit katalogus pameran yang hanya mencantumkan bahasa Inggris, meski yang menonton seratus persen orang Buleleng, Rogojampi, sampai Tasikmalaya.


Judul-judul di atas bukan hasil penerjemahan dari judul berbahasa Indonesia, lantaran semua memang dibikin dengan hasrat meninggalkan sama sekali bahasa negerinya. Pesta "Inggris-ria" ini juga diikuti oleh banyak kitab susunan orang Indonesia yang bicara tentang seni budaya Indonesia. Kitab yang samasekali tidak menyertakan bahasa Indonesia itu dicetak di Indonesia, diterbitkan di Indonesia, diedarkan di Indonesia, untuk orang Indonesia.

Hasrat mereduksi kedaulatan bahasa Indonesia seperti di atas menimbulkan tafsir berbagai-bagai. Ada yang mengatakan itu adalah hal wajar dan niscaya di tengah pergaulan global. Ada yang mengira itu cuma tren sofistikasi, intelektualisasi, untuk menggapai elitisme. Ada yang menyebut itu bagian dari strategi pemasaran dan internasionalisasi, agar "orang Inggris" tertarik. Padahal alangkah cantik apabila para pelaku budaya membuat judul dalam bahasa Indonesia (yang tak kalah gagah apabila diolah) untuk forum Indonesia. Dan versi Inggrisnya didampingkan atau baru dimunculkan ketika memasuki ajang internasional.

Orang Indonesia tentu sah untuk memakai bahasa bangsa lain dengan bangga, apalagi bahasa internasional seperti bahasa Inggris. Tapi tidak elok apabila tindakan itu menyebabkan bahasa Indonesia kesepian, bagai ibu yang tidak diakui anak-anaknya yang menjelma menjadi Malin Kundang. Sejauh ini kita tetap beranggapan, ikrar Sumpah Pemuda bukan cuma ornamentasi sejarah kebangsaan.

Agus Dermawan T
Kritikus, Penulis Buku-Buku Berbasis Sosial, Seni, dan Budaya
KORAN TEMPO, 25 Oktober 2012

22 Oktober, 2012

Idealisme: Kuburan Massal Kaum Jurnalis

 
(Catatan untuk Ignatius Haryanto)

Idealisme selalu saja jadi tameng kaum jurnalis. Seolah-olah dengan mengusung idealisme, ia bisa bicara apa saja soal kabar dunia. Tapi benarkah dalam arus hidup yang penuh gejolak saat ini, idealisme masih dipegang teguh kaum jurnalis?

Idealisme bersandar pada ide, dunia di dalam jiwa. Pikiran ini meletakkan hal-hal yang bersifat ide dan menempatkan pernik-pernik yang bersifat materi, fisik, ke dalam kasta terendah. Idealisme menganggap semua realitas yang terdiri dari ruh, jiwa, ide, pikiran-pikiran, menjadi konstanta yang agung dalam orkestra hidup manusia. Sebagai konstanta, sebuah ketetapan yang tetap, di dalamnya dibingkai satu nilai yang bernama moralitas. Seluruh gerak jurnalis sebagai pewarta harusnya berpijak pada tataran ini. Tataran moralitas.

Pikiran ini mengandaikan bahwa jurnalis harus bertumpu pada kehendak kalbu, kehendak yang melihat fakta sebagai sebuah berita. Maknanya, berita yang dilansir ke publik melalui layar kaca bernama televisi atau media cetak itu menyandarkan diri pada kaidah-kaidah moralitas. Moralitas selalu saja menguar sisi baik dan sisi kebenaran, bukan sisi rekayasa.

Sayangnya, dalam arus pergerakan berita, jurnalis tak berdiri sendiri. Ia ditopang satu instrumen yang bernama institusi media. Institusi media ini memiliki akar kepentingan beraneka ragam dan aneka ragam kepentingan itu terkait erat dalam bisnis media. Institusi media sudah jadi industri, di mana kepentingan pemilik modal bisa mengerangkeng idealisme jurnalis. Pada titik ini, idealisme menjadi kuburan massal kaum jurnalis.


Peran Kenabian
Ketika idealisme menjadi kuburan massal kaum jurnalis, maka pertanyaan Ignatius Haryanto, Sosok Jurnalis di Layar Kaca (Kompas, 30/9/2012), apakah profesi kewartawanan masih relevan untuk masyarakat zaman sekarang, menjadi pertanyaan urgen untuk dijawab.

Kaum jurnalis, pewarta, sebenarnya memerankan peran kenabian. Para nabi dan para santo selalu membawa kabar berita berisi soal fakta-fakta hidup yang dibingkai aura kebenaran. Kabar berita para nabi dan santo itu bukan saja menjadi magnet publik, melainkan sekaligus menjadi panutan warga dalam menjalani laku hidup sehari-hari.

Dalam pusaran hidup para nabi dan orang suci yang disebut santo itu tak ubahnya menjalankan peran sebagai pewarta. Mereka menyuplai beberapa fakta hidup agar ada perubahan mendasar dalam konstelasi kehidupan masyarakat.

Kaum jurnalis atau pewarta sejatinya memerankan lakon kenabian, di mana fakta-fakta obyektif di lapangan diungkap, dibedah, dan diberdayakan untuk konsumsi publik. Publik sebagai konsumen berhak menerima fakta-fakta obyektif itu sebagai menu kehidupan. Maka, ketika Ignatius menyitir perilaku negatif pewarta yang menyalahgunakan fungsi dan kekuasaan yang mereka miliki, klaim dan stigma jurnalis sebagai penjahat tak bisa dihindari.


Jurnalis dengan kekuasaannya mampu mendikte, membentuk opini dan menggiring publik masuk dalam perangkap berita yang disebar. Dan jika berita yang disebar penuh kebohongan dan rekayasa, publik pun akan hanyut dalam perangkap berita sang jurnalis itu.

Sayangnya, contoh yang kurang baik ini diperagakan banyak kaum jurnalis dalam berbagai segmen berita di layar kaca. Dengan kekuasaannya, ia mampu mendikte acara-acara talkshow, dialog soal hukum dan politik, berbincang soal peradaban. Sebuah dialog atau talkshow yang sudah dibangun dan didesain sedemikian rupa untuk membentuk opini publik.

Dengan demikian, pertanyaan Ignatius menemukan jawabannya, profesi kewartawanan tak lagi menjadi relevan dalam konteks zaman sekarang jika di dalamnya bertebaran berita rekayasa. Berita yang direkayasa hanya untuk mencari sensasi, menebar berita eksklusif semu. Kita sudah pernah mendengar, melihat, dan membaca berita tentang penculikan yang ternyata telah direkayasa hanya untuk menaikkan pamor (rating) sebuah stasiun televisi tertentu. Kita juga pernah melihat fakta gambar penyerbuan teroris yang ternyata telah “dimainkan”. Namun publik saat ini juga tak bodoh melihat fakta sebuah acara dialog yang telah dikemas atas permintaan partai politik tertentu.

Partai politik sudah mengerangkeng begitu jauh program televisi. Inilah risiko jika para pemodal, pemilik stasiun televisi sekaligus menjadi kamerad partai politik. Televisi menjadi banal karena berbagai kepentingan masuk di dalamnya. Kepentingan yang tak punya tali temali dengan segmen berita.


Maka, jangan berharap bisa menemukan kembali para pewarta melakukan peran kenabian dan peran para santo. Kita merindukan sosok santo seperti Ignatius yang hidup di zaman Kaisar Trajan. Santo Ignatius dihukum mati karena dianggap memprovokasi warga untuk melawan penguasa Trajan. Tetapi, sejatinya, pamor Santo Ignatius sudah membuat kecut para elite penguasa waktu itu. Sebagai Uskup Antiokia selama 40 tahun, dapat dipastikan bahwa pada masa akhir hidupnya, Santo Ignatius telah menjalankan peran sebagai pewarta dengan baik. Peran yang seharusnya diambil alih para pewarta dalam mengibarkan bendera kebenaran.

Lantas, apa yang bisa diharapkan dari posisi pewarta jika sudah direduksi oleh kekuasaan di luar pagar dirinya? Reduksi selalu mengambil alih hak pribadi, ruang privat ke dalam ruang kolektif. Mungkinkah ruang kolektif itu masih bisa mengambil peran bersama soal hak publik?

Antara pernyataan yang dilansir media massa, baik televisi, media cetak atau portal berita online, acapkali jauh dari kenyataan yang sesungguhnya terjadi. Jean Baudrillard, pakar media asal Perancis, meyakini bahwa media merupakan perangkat untuk mengacaukan hakikat dan kenyataan beragam persoalan.

Baudrillard melihat apa yang kita anggap sebagai realitas sejatinya adalah pandangan media terhadap isu tersebut. Bisa dikatakan, realitas bisa terwujud dalam berbagai bentuk sesuai dengan banyaknya media dan gambar. Dengan kata lain, simbol realitas telah menggantikan realitas itu sendiri.

Mengikuti jejak pikiran Baudrillard, di mana media merupakan perangkat untuk mengacaukan hakikat dan kenyataan beragam persoalan, maka sebagai penikmat, pembaca dan penonton akan sangat sulit menemukan kenyataan yang hakiki.


Beragam kepentingan yang menelikung para pewarta telah membuat model produksi berita menjadi absurd. Kepentingan para pemodal mampu merangsek idealisme jurnalis sebagai sosok yang dipuja, diagungkan oleh sebagian orang. Inilah gambaran kasar, di mana hubungan produksi berita dan kekuatan-kekuatan produksi pemodal saling tumpang tindih.

Menurut Karl Marx, dalam situasi seperti ini, media bisa dilihat sebagai suatu institusi yang sangat memungkinkan berbagai ideologi kelas bertarung. Bahkan, ekonomi dianggap berhubungan erat dengan determinasi teknologi, sementara budaya industri berada dalam suatu determinasi ekonomi. Asumsi yang ingin dikembangkan Marx adalah pergeseran model the capitalist mode of production dalam siklus media massa.

Jika demikian, dunia televisi, media cetak dan portal berita online, kehilangan keindahan, tebaran pesona (totally disenchanted) serta tidak tahu malu (almost shameful) terhadap kenyataan yang bergemuruh di ranah publik. Mereka telah memutarbalikkan fakta, menjungkirbalikkan obyek berita, dan terutama telah mengubur etika dan nilai-nilai luhur di masyarakat.

Dalam situasi demikian, masihkah kita percaya kepada para jurnalis yang berperan sebagai broker berita? Masihkah kita menaruh hormat terhadap sosok pewarta yang memosisikan dirinya sebagai Don, bos besar, yang mampu mendikte arus berita publik?

Di tengah karut-marut sosok pewarta yang kabur, absurd, tak teridentifikasi itu, masih ada sebagian pewarta yang menjadi pemeluk teguh keimanan bertajuk idealisme itu. Mereka para pewarta yang menulis dari dasar kalbu, dari kedalaman jiwa, dari lorong rahim bahasa ibu bernama kebenaran.

Edy A Effendi
Penulis Puisi dan Pewarta yang Bergiat di Padepokan Thaha
KOMPAS, 7 Oktober 2012

Sosok Jurnalis di Layar Kaca


Bagaimana wajah jurnalis sebagaimana ditampilkan di layar kaca? Apakah ia menjadi sosok yang dipuja atau dicaci oleh mereka yang kerap bersentuhan dengannya? Jurnalis dicaci oleh mereka yang menjadi koruptor, politisi, dan para artis yang dibuntuti paparazi. Sebaliknya, jurnalis dipuja oleh mereka yang mencari kebenaran dan keadilan serta mereka yang ingin mengetahui sesuatu yang disembunyikan dari publik.

Brian McNair, Guru Besar Jurnalistik Universitas Strathclyde, Inggris, belum lama ini menulis buku Journalists in Film: Heroes and Villains (2010). Dalam buku ini, McNair menggambarkan bagaimana sosok jurnalis dari 72 film yang diproduksi tahun 1997-2008. McNair mengatakan, secara umum ada dua karakter yang sangat bertolak belakang dari film-film yang menggambarkan para wartawan tersebut: wartawan sebagai pahlawan (hero), atau wartawan sebagai penjahat (villain).


Wartawan sebagai Pahlawan
Sebagai pahlawan, ada empat tipologi lebih jauh terhadap diri wartawan, yaitu dalam rupa sebagai ‘anjing penjaga’ (watchdog), sebagai saksi peristiwa (witness), sebagai sosok pemberani dalam masyarakat, dan sebagai tokoh dalam masyarakat.

Tipologi wartawan sebagai pengontrol kekuasaan umumnya menunjuk pada karya wartawan yang kemudian menjatuhkan kekuasaan korup dan membongkar kecurangan yang tersembunyi. Film dalam tipe ini adalah All The President’s Men, The Insider, dan Good Night and Good Luck.

Film klasik All the President’s Men mengambil kisah nyata perjuangan dua wartawan The Washington Post yang menemukan keterlibatan Presiden Nixon dalam penyadapan terhadap kantor Partai Demokrat. Film The Insider menggambarkan perjuangan produser televisi CBS, Lowell Bergman, untuk bisa menghadirkan wawancara dengan Jeff Wygan, bekas kepala penelitian dari perusahaan rokok Brown & Brown. Wawancara bisa dilakukan, tetapi menayangkan utuh hasil wawancara tersebut adalah perjuangan tersendiri, di bawah bayang-bayang tuntutan dari perusahaan rokok tempat Wygan pernah bekerja.


Sementara itu film Good Night and Good Luck menggambarkan bagaimana tokoh masyhur dalam dunia pertelevisian di Amerika Serikat, Edward R Murrow, harus berhadapan dengan senator McCarthy yang pada dekade 1950-an dikenal sebagai senator yang gemar memburu orang-orang yang dituduh komunis.

Sosok wartawan sebagai saksi menunjukkan bagaimana kegigihan wartawan untuk menjadi pewarta tentang satu peristiwa atau tragedi di suatu tempat ke dunia luar. Umumnya mereka adalah para koresponden di luar negeri atau koresponden perang. Film-film dengan tema ini misalnya Salvador, Welcome to Sarajevo, The Hunting Party, dan A Mighty Heart.

Wartawan sebagai sosok pemberani hadir dalam sejumlah film seperti Veronica Guerin, Lions for Lamb, dan The Life of David Gale. Veronica Guerin mengambil kisah nyata wartawati asal Irlandia yang gigih menggempur kekuasaan kartel narkoba. Namun, keberanian yang ia miliki ini harus ditebus dengan kematiannya.

Sementara wartawan yang digambarkan sebagai tokoh dalam masyarakat dan menjurus menjadi selebritas tergambar dalam film Capote dan Infamous. Kedua film ini menggambarkan sosok Truman Capote, jurnalis, bersama dengan Tom Wolfe dikenal sebagai jurnalis yang merintis cara penulisan jurnalistik dengan gaya baru (new journalism).


Wartawan sebagai Penjahat
Di luar segala puja-puji tersebut, sosok wartawan di layar kaca juga dilihat dari kacamata negatif, terutama ketika wartawan tersebut menyalahgunakan fungsi dan kekuasaan yang mereka miliki. Perilaku negatif ini muncul dalam rupa mereka yang menurunkan kualitas jurnalisme, berbohong, dan membesar-besarkan fakta serta mereka yang memiliki pengaruh besar dalam masyarakat (king maker).

Representasi negatif juga bisa dilihat pada film Paparazzi yang dibuat oleh Mel Gibson. Paparazzi dibuat dalam suasana ketika media tengah meratapi ataupun diam-diam merasa bersalah karena kematian Putri Diana ataupun pengadilan OJ Simpon di Amerika Serikat.

Wartawan yang penipu atau manipulator bisa dilihat pada film Shattered Glass. Film ini diambil dari kisah nyata Stephen Glass, wartawan muda dari New Republic yang membuat laporan bohong atas sejumlah tulisannya.

Sebuah film klasik berjudul Citizen Kane menggambarkan sosok wartawan sebagai king maker, yaitu wartawan yang memiliki pengaruh kuat dalam masyarakat hingga dapat memengaruhi politik yang ada dalam masyarakat. Sosok Charles Foster Kane dalam film itu adalah sosok fiktif, tetapi sejumlah pihak mengasosiasikan diri Kane dengan William Randolph Hearst, seorang pionir penerbitan tabloid di Amerika Serikat.


Refleksi Diri 
Film-film di Indonesia masih sedikit membahas masalah wartawan atau memasukkan unsur wartawan. Meskipun demikian, dari buku yang ditulis Brian McNair ini, kita akan melihat betapa banyak problem dalam dunia kewartawanan yang telah dipotret (hingga problem aktual: media cetak vs media online) dalam puluhan hingga ratusan film yang telah dibuat di Barat.

Karya McNair ini bisa menjadi cermin diri para wartawan di mana pun atas problem yang mereka rasakan dan hadapi: apakah wartawan masih merupakan saksi yang baik untuk masyarakat? Apakah wartawan zaman sekarang tidak kerap memanipulasi fakta? Apakah wartawan tidak terlalu dekat dengan dunia politik sehingga kehilangan kekritisan? Ataukah para wartawan memang adalah sosok arogan yang kerap jatuh dalam kesalahan saat menjalani profesinya?

Salah satu film terakhir yang menunjukkan problem dunia kewartawanan adalah film Contagion (tak disebut dalam daftar McNair) yang menggambarkan bagaimana dilema penyebaran informasi dalam era internet sekarang: seorang blogger yang menulis soal merebaknya virus satu penyakit telah menghasilkan kepanikan luar biasa dalam masyarakat. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan, di manakah sebenarnya fungsi wartawan, tatkala situasi “informasi” demikian cepat dihasilkan dan dikonsumsikan, tetapi isinya terkadang perlu dipertanyakan.

Lepas dari keasyikan menyusuri aneka film yang menggambarkan profesi kewartawanan, kita diajak terus merefleksikan diri: apakah profesi kewartawanan masih relevan untuk masyarakat zaman sekarang? Mengapa dan bagaimana relevansi masih bisa terjadi?

Ignatius Haryanto
Pemerhati Media
KOMPAS, 30 September 2012

15 Oktober, 2012

Pelajaran dari Maybrat


Sejak pendidikan menjadi komoditas perdagangan dan lembaga pendidikan beralih fungsi dari sosial menjadi komersial, pendidikan —apalagi yang bermutu— semakin jauh dari kelompok miskin.

Kian mahalnya biaya pendidikan membuat keluarga miskin sering harus menyerah betapapun berprestasinya anak-anak mereka. Bahkan sekadar bermimpi menyekolahkan anak sampai setingkat SMA saja, mereka tak berani lagi.

Ada anak lulusan SMP yang berprestasi —bahkan pernah mengikuti olimpiade sains di daerahnya— terpaksa menjadi TKI. Ada lagi anak yang nekat mengikuti tes dan diterima di perguruan tinggi negeri, akhirnya mengundurkan diri. Alasannya sama, tak ada biaya lagi.

Di negeri ini ternyata tengah berlangsung proses pemiskinan yang jauh lebih buruk dari yang kita bayangkan. Dulu masih terbuka peluang bagi anak-anak keluarga miskin untuk mewujudkan mimpi mereka. Tidak heran kalau dulu banyak mobilisasi vertikal lewat pendidikan. Sekarang, biaya jadi kendala utama.


Namun fenomena yang tidak biasa terkait kemiskinan dan akses atas pendidikan kami temukan di pedalaman Papua, tepatnya di Kabupaten Maybrat. Di kalangan masyarakat Papua, Maybrat dikenal sebagai daerah yang warganya banyak menjadi sarjana. Bahkan tidak sedikit pejabat tinggi di kabupaten lain di Papua yang berasal dari Maybrat.

Padahal, kondisi warga Maybrat sama miskinnya dengan warga di kabupaten lain. Namun, masyarakat Maybrat bersemangat tinggi untuk memperoleh pendidikan. Apa yang membedakan Maybrat dengan masyarakat lain di Papua?

Pertanyaan ini muncul ketika mendata keluarga miskin di kampung-kampung. Ternyata banyak anak-anak mereka yang mengenyam pendidikan sampai ke jenjang perguruan tinggi. Tidak sedikit anak dari keluarga miskin di daerah ini yang mampu menyelesaikan pendidikan tinggi. Bahkan, banyak pula yang menempuh pendidikan tinggi di Jawa.

Jawabannya kami temukan dalam diskusi bersama komunitas-komunitas kampung di Kabupaten Maybrat. Meski berbeda kadarnya, ada semacam spirit gotong royong yang berlaku umum dan dipelihara oleh masyarakat kampung di Maybrat. Spirit ini dalam bahasa setempat disebut anu beta tubat, yang artinya bersama kami mengangkat.


Spirit yang Menyatukan
Spirit anu beta tubat menyatukan masyarakat Maybrat untuk memprioritaskan pendidikan. Ibarat lidi yang bila disatukan sulit dipatahkan, demikian pula kekuatan spirit anu beta tubat bagi keluarga-keluarga miskin di Maybrat. Betapa pun miskinnya, mereka tidak menyerah dalam memperjuangkan pendidikan anak-anak mereka. Berbagai hambatan diatasi bersama.

Spirit anu beta tubat semakin menguat setelah masyarakat memetik dan merasakan buahnya. Melihat perubahan positif pada karakter anak-anak mereka yang mendapatkan pendidikan, para orangtua tidak ragu lagi mengirim anak mereka ke sekolah. Melihat anak-anak yang berpendidikan mudah memperoleh pekerjaan, masyarakat berlomba menyekolahkan anak-anaknya.

Mereka bergotong royong dan berjibaku bersama membiayai pendidikan anak. Dulu untuk mengirimkan anak ke sekolah saja para orangtua harus didorong-dorong. Kini, pendidikan telah mereka tempatkan sebagai prioritas dan spirit anu beta tubat menjadi kekuatan untuk mengatasi berbagai hambatan.

Spirit gotong royong untuk pendidikan itu bisa ditemukan di kampung-kampung untuk berbagai tingkatan pendidikan. Di tingkat sekolah dasar, spirit itu mewujud dalam upaya masyarakat menjaga keberlangsungan pendidikan di kampung mereka.


Untuk membuat guru betah mengajar di kampung, di antaranya mereka bergotong royong membuatkan kebun, membangun tempat tinggal, dan menyokong bahan makanan bagi guru yang baru ditempatkan di kampung mereka.

Masyarakat juga bergotong royong membangun atau memperbaiki bangunan sekolah, membantu pengadaan mebel, membayar gaji guru honorer, membeli buku-buku pelajaran, dan membantu biaya ujian.

Untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi, baik SMP atau SMA, kebanyakan anak di Maybrat harus keluar dari kampungnya dan bersekolah di kota kecamatan, di kota kabupaten atau di kota provinsi. Mereka tinggal di asrama atau menumpang pada keluarga-keluarga di kota. Baru tingkat SMP saja orangtua sudah harus mengirimkan uang tunai setiap bulan. Padahal, penghasilan mereka sebagai petani tidaklah menentu.

Untuk menghemat biaya, masyarakat kampung membangun asrama atau rumah tinggal bersama bagi anak-anak yang bersekolah di kota. Salah satu atau beberapa warga ditunjuk untuk mengurus asrama dan mengawasi anak-anak dalam belajar. Sistem “asrama” atau “rumah tinggal bersama” ini sangat membantu para orangtua yang tidak memiliki keluarga di kota.

Pada tingkat perguruan tinggi, anu beta tubat diwujudkan dalam bentuk dukungan untuk meringankan beban biaya pendidikan. Orangtua biasanya menanggung biaya bersekolah di SMP dan SMA, sementara biaya hidup anak selama belajar di kota dibantu oleh masyarakat kampung atau keluarga di kota.


Dukungan Keluarga Besar
Bentuk dukungan masyarakat kampung bagi keluarga yang anaknya menempuh pendidikan tinggi bermacam-macam. Ada yang bergotong royong menanggung biaya pendaftaran, pembelian sarana-prasarana, membayari biaya skripsi, biaya wisuda, dan lainnya. Dukungan paling besar datang dari keluarga besar orangtua masing-masing.

Anak-anak yang berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi akan menjadi kekuatan dan modal bagi masyarakat kampung dalam menjalankan dan memperkuat spirit anu beta tubat. Mereka punya tanggung jawab lebih dalam mengangkat anak-anak lain. Kalau tanggung jawab itu tidak mereka jalankan, masyarakat akan menempatkan mereka dalam barisan orang yang tidak berguna.

Spirit anu beta tubat memberi inspirasi tentang bagaimana kemiskinan dan lemahnya akses kaum miskin atas pendidikan dapat diatasi. Pada saat negara tidak lagi menempatkan pendidikan sebagai hak asasi —sehingga pemerintah kurang serius dalam menjalankan komitmen untuk mewujudkan pendidikan bagi semua— masyarakat dapat bahu-membahu mengembalikan pendidikan sebagai prioritas.


Saat negara kehilangan daya dalam memenuhi hak warga atas pendidikan, masyarakat dapat berjibaku untuk secara bersama-sama mencerdaskan kehidupan bangsa. Kehidupan bangsa yang cerdas tidak akan dapat dicapai selama kaum miskin masih sulit mengakses pendidikan.

Kami membayangkan banyaknya kemajuan yang bisa kita capai sebagai bangsa seandainya satu warga yang mampu secara ekonomi berkomitmen menyekolahkan satu anak keluarga miskin. Kami yakin, sumber daya warga yang terbatas apabila disatukan akan menjadi kekuatan yang dapat mengembalikan bangsa ini sebagai bangsa yang punya masa depan. Masyarakat Maybrat di Papua Barat telah membuktikannya.

Sri Palupi
Ketua Institute for Ecosoc Rights
KOMPAS, 9 Oktober 2012