11 Desember, 2008

Perlu Langkah-langkah Luar Biasa


Ada dua tantangan besar yang menghadang bangsa Indonesia di pengujung tahun 2008 dan 2009, yakni bagaimana mengelola dampak krisis ekonomi global dan agenda pemilu dalam negeri tahun 2009. Keduanya menuntut respons dan penanganan yang bukan saja antisipatif, tetapi juga cepat, tegas, dan fokus.

Berdasarkan konsensus para panelis pada Diskusi Panel Ahli Ekonomi Kompas, kondisi ekonomi yang kita hadapi ke depan ini sangat serius. Tiga perekonomian terbesar negara maju seluruhnya melambat dan sudah resmi resesi.

Krisis yang dihadapi AS dan negara-negara maju lain sekarang ini ibaratnya sudah paripurna karena yang diserang adalah sektor keuangan sebagai jantung perekonomian yang berfungsi untuk memompakan darah ke seluruh perekonomian. Akibatnya terjadi malafungsi (kelumpuhan) seluruh sistem yang membuat pemerintah harus mem-bailout sektor perekonomian, mulai dari perbankan, keuangan, manufaktur, jasa, produsen, hingga konsumen.

Ibarat virus, krisis ini dengan cepat merembet ke seluruh sektor sehingga ekonomi AS paling cepat diperkirakan baru akan mulai bangkit secara gradual akhir tahun 2009.

Untuk pertama kali sejak tahun 1982, perdagangan global diperkirakan akan mengalami kontraksi. Investasi asing dan arus likuiditas jangka pendek juga mengering. Pasar saham dan nilai tukar mata uang banyak negara kolaps, inflasi di sejumlah negara melonjak.

Realitas baru
Ada beberapa hal yang bisa dicatat dari krisis sekarang ini. Pertama, krisis membuat kita dihadapkan pada suatu realitas baru (facing new realities). Salah satunya, pertumbuhan ekonomi 2009 dan 2010 kemungkinan tidak akan mencapai 6-7 persen seperti diprediksi pemerintah, tetapi hanya 4-5 persen atau paling tinggi 5 persen. Demikian pula, kecil kemungkinan kurs rupiah akan menguat kembali ke level sekitar Rp 9.000 per dollar AS dalam 1-2 tahun ke depan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui, ancaman pelambatan ekonomi itu riil, dengan pertumbuhan tahun 2009 berdasarkan skenario terburuk bisa hanya 4 persen. Dengan pertumbuhan sebesar itu, jelas bukan hanya sulit berharap lapangan kerja baru, tetapi akan semakin banyak pemutusan hubungan kerja terjadi.

Realitas baru ini menuntut pula cara berpikir (mindset) baru, terutama di kalangan pengambil kebijakan, terkait pilihan kebijakan dan urgensi langkah yang akan diambil. Hal yang paling sulit dilakukan sekarang ini adalah mengakui ekonomi dalam kondisi krisis. Belum semua pihak di tataran pemerintahan melihat krisis global ini sebagai sesuatu yang sangat serius.

Hal lainnya, banyak proyek pembangunan, terutama megaproyek infrastruktur, kemungkinan bakal terhambat dan mengakibatkan backlog dan bottleneck yang semakin parah dalam perekonomian, termasuk yang terancam adalah proyek listrik 10.000 megawatt, jalan pelabuhan, dan jalan tol.

Kedua, krisis juga menuntut tindakan cepat dan langkah-langkah yang tidak biasa untuk menggerakkan ekonomi. Beberapa langkah yang diusulkan adalah, pertama, segera menurunkan suku bunga.

Langkah BI menaikkan atau mempertahankan suku bunga yang dibarengi upaya pemerintah menekan defisit (karena mengkhawatirkan pembiayaannya) dianggap tak wajar karena pada kondisi resesi, yang diperlukan adalah pelonggaran kebijakan moneter dan stimulus ekonomi. Negara lain juga berlomba membuat stimulus untuk menggerakkan ekonominya.

Baru awal pekan ini BI akhirnya menurunkan BI Rate. Namun, sejumlah panelis meragukan penurunan BI Rate ini akan segera diikuti penurunan suku bunga kredit. Konservatisme berlebihan menghadapi krisis likuiditas membuat semua bank berusaha mengamankan basis deposito dengan menaikkan suku bunga deposito.

Meski sudah ditempuh beberapa langkah oleh BI untuk memperlonggar dan memperbaiki likuiditas perbankan, likuiditas masih cenderung terkonsentrasi di segelintir bank besar. Untuk mengatasi ini, diusulkan beberapa terobosan.

Selain itu, diusulkan agar bank BUMN menjadi market leader untuk menurunkan suku bunga deposito agar suku bunga kredit juga bisa ikut turun sehingga sektor riil bisa bergerak.

Persoalannya, kita dihadapkan dua kendala: lemahnya efektivitas belanja negara dan birokrasi pemerintahan serta problem sustainabilitas fiskal, terutama membengkaknya utang pemerintah dan menurunnya penerimaan negara (khususnya dari pajak) akibat krisis. Lemahnya efektivitas budget dan birokrasi sebagai pelaksanaannya ini membuat stimulasi fiskal berisiko tak mencapai sasaran seperti yang diharapkan.

Sampai di mana ketegaran perekonomian kita menghadapi tsunami krisis ekonomi global ini? Seperti dikatakan seorang panelis, kita memiliki beberapa faktor yang bisa memperkuat daya tahan. Salah satunya, perekonomian kita tak terlalu terkait erat dengan perekonomian AS dan sektor keuangan AS.

Ditambah upaya menjaga momentum kepercayaan terhadap ekonomi dalam negeri dan konsumsi domestik, keenam faktor itu bisa menjadi modal dasar yang baik untuk bisa bertahan dari krisis kendati ekonomi pasti tetap akan melambat. Yang menjadi persoalan, mampukah kita mengelola dan menjaga momentum kepercayaan ekonomi dalam negeri itu.

Sri Hartati Samhadi
KOMPAS, 11 Desember 2008