25 Juli, 2019

Antara Oposisi dan Koalisi


Kata "oposisi" mulai marak diperbincangkan oleh masyarakat kita setelah penetapan presiden dan wakil presiden terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum pada 29 Juni lalu. Dalam konteks ini, oposisi diartikan sebagai pihak yang tidak berada di lingkaran kekuasaan. Sesungguhnya, oposisi lazim ada di negara yang menjalankan pemerintahan parlementer. Terlebih yang kepartaiannya menggunakan sistem dwipartai.

Demikian halnya dengan istilah "koalisi". Koalisi pun lazim berada di negara dengan sistem pemerintahan parlementer. Koalisi terjadi ketika dalam pemilihan umum legislatif, tidak ada satu pun partai yang menguasai kursi parlemen secara mayoritas, sehingga tidak ada partai politik peserta pemilu yang dapat membentuk pemerintahan sendirian. Karena itu, beberapa partai bergabung untuk membentuk pemerintahan. Pemerintahan inilah yang disebut pemerintahan koalisi, sedangkan partai politik yang tidak ikut dalam pemerintah dinamai oposisi.


Kelemahan sistem parlementer yang pemerintahannya dibangun atas dasar koalisi adalah mudah retaknya gabungan partai politik dalam koalisi. Begitu ada partai anggota koalisi pemerintahan melepaskan diri, pemerintahan dinyatakan bubar dan harus dibentuk pemerintahan baru atas dasar koalisi baru di antara partai politik di parlemen.

Negara Indonesia pernah berada dalam situasi seperti itu saat tidak ada partai politik yang memperoleh kursi mayoritas di parlemen melalui Pemilihan Umum 1955. Pemerintahan kemudian dibentuk oleh koalisi empat partai yang memperoleh suara empat besar, yakni Partai Nasional Indonesia dengan 22,3 persen suara (57 kursi), Masyumi dengan 20,9 persen (57 kursi), Nahdlatul Ulama dengan 18,4 persen (45 kursi), dan Partai Komunis Indonesia dengan 16,4 persen (39 kursi). Dengan demikian, partai politik sisanya menempatkan diri sebagai oposisi.

Seperti halnya kelemahan pada sistem parlementer dengan pemerintahan koalisi, pemerintahan koalisi di Indonesia pada waktu itu pun sangat lemah. Pemerintah kerap kali jatuh-bangun sehingga terjadi perubahan kabinet.

Beberapa Kabinet pada era Orde Lama (Kabinet Natsir, Wilopo, Ampera, dll.)

Kerugian dari seringnya pergantian pemerintahan melalui mosi tidak percaya itu mengakibatkan program pembangunan tidak bisa segera direalisasi. Bahkan yang terjadi adalah partai politik mengalami disorientasi, yakni terlalu fokus pada bagaimana pemerintah dapat jatuh. Inilah yang menjadi salah satu alasan lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sehingga penyelenggaraan negara kembali berdasar pada UUD 1945 dengan sistem pemerintahan presidensial.

Pada saat pemilihan presiden dan wakil presiden 17 April 2019, terdapat dua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dua pasang kandidat itu tidak diajukan oleh satu partai politik, melainkan oleh gabungan partai politik, seperti yang diatur dalam Pasal 6 ayat 2 UUD 1945. Hanya, dalam keseharian, gabungan partai politik itu menyebut dan disebut sebagai koalisi partai politik.

Setelah Joko Widodo-Ma’ruf Amin ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih, ada yang berharap Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno tetap berdiri sebagai oposisi meskipun ada partai politik yang semula bergabung mendukung mereka telah bergeser ke pemerintahan. Di sini, oposisi dimaknai sebatas tidak terlibat dalam pemerintahan. Bila demikian, siapa pun bisa mengklaim sebagai pihak yang berada di barisan oposisi saat tidak berada di lingkaran pemerintahan.

Dari Seteru menjadi Sekutu. Mungkinkah ???

Perlu dicermati bahwa negara kita adalah negara dengan sistem pemerintahan presidensial. Maka, pembentukan pemerintahan pun tidak berada di koalisi partai politik, melainkan sepenuhnya berada di tangan presiden sebagai hak prerogatif presiden. Hal ini tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun.

Boleh-boleh saja partai politik yang tergabung ke pemerintahan berharap mendapat bagian kursi kekuasaan dari presiden. Faktanya, presiden membagi-bagi kekuasaan itu kepada para pendukungnya. Hal ini menimbulkan kesan bahwa presiden bagi-bagi kekuasaan kepada partai politik yang telah mendukungnya dan siapa saja yang telah "berkeringat" untuk memenangkannya menjadi presiden.

Kekuasaan yang dibagi oleh presiden tidak hanya terbatas pada saat pengisian kabinet, tapi hingga di relung-relung yang paling dalam di pilar kekuasaan lainnya, seperti posisi direktur jenderal, lembaga-lembaga independen, dan komisaris badan usaha milik negara.

Sulardi
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Malang
TEMPO, 4 Juli 2019