12 November, 2013

Memakai Ukuran Konstitusi


Sebulan ini, publik Indonesia disajikan berbagai ukuran keberhasilan atau kemandekan pembangunan ekonomi nasional. World Economic Forum melaporkan bahwa indeks persaingan Indonesia pada 2013-2014 meningkat dari peringkat 50 ke 38. Membaiknya peringkat itu, tentu membanggakan bagi mereka yang berpaham persaingan-isme. Namun, tidak membanggakan jika peringkat itu dibandingkan dengan peringkat Thailand (37), Brunei (26), dan Malaysia (24). Juga merupakan prestasi yang biasa saja kalau melihat indeks kinerja logistik.

Untuk indeks itu, Indonesia di peringkat ke-59, membaik dari posisi 75, Thailand dari posisi 35 ke 38, dan Malaysia tetap di posisi 29. Bisa jadi angka-angka itu yang membuat anak usaha Bank Dunia, International Finance Corporation, memuji Indonesia.

Tetapi, belum juga angka-angka keberhasilan itu memberi makna mendalam, muncul penilaian Bank Dunia dalam Doing Business. Menurut ukuran Bank Dunia, dalam soal kemudahan berbisnis, peringkat Indonesia di posisi ke-120, Malaysia 6, Thailand 18, Brunei Darussalam 59, Vietnam 99, dan Filipina 108. Indonesia hanya lebih baik dari Kamboja (137).


Lalu ditambah lagi dengan indeks kesejahteraan menurut Legatum Institute yang memposisikan Indonesia di peringkat ke-69. Sementara Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Filipina masing-masing di posisi 43, 50, 54, dan 61. Yang menarik, Bank Dunia menilai bahwa kini jumlah kelas menengah Indonesia mencapai sekitar 114 juta orang dari total penduduk sekitar 240 juta.

Pada saat yang sama utang luar negeri Indonesia mencapai 2.274 miliar dolar AS, yang tahun 2014 jumlahnya diperkirakan bertambah 345 miliar dolar AS. Beriringan dengan hal itu, Gini Ratio, sebagai indikator ketimpangan juga terus meningkat menjadi 0,43. Beberapa ekonom bahkan memperkirakan rasio ketimpangan itu sudah mendekati 0,5 yang berarti bangsa Indonesia sudah berada di ambang pintu kerusuhan sosial.

Prediksi ini layak dipertimbangkan karena urbanisasi terus meningkat, penduduk perkotaan yang tinggal di daerah kumuh sudah mencapai 27 persen, lahan pertanian terus menyusut, jumlah petani gurem dalam 10 tahun terakhir bertambah 5 juta orang di tengah penguasaan lahan pertanian oleh korporasi yang terus bertambah. Yang juga mengkhawatirkan, Pulau Jawa tetap menguasai kue pertumbuhan ekonomi yang mencapai 57,8 persen dan dikuasai DKI sebesar 16,5 persen.

Alhasil, ukuran-ukuran keberhasilan Indonesia dihadang oleh fakta ketimpangan pendapatan, struktural, sektoral, regional, intelektual, dan ketimpangan sosial lainnya.


Dengan demikian, takaran keberhasilan ala ukuran Barat ternyata berbeda dengan takaran yang sebenarnya ada dalam konstitusi kita. Jika menggunakan ukuran konstitusi, misalnya Pasal 23 UUD 1945 (tentang APBN untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat), Pasal 27 ayat 2 (penghidupan dan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan), Pasal 28 (perumahan dan kesehatan), Pasal 31 (pendidikan guna mencerdaskan), Pasal 33 ayat 1, 2, dan 3 (perekonomian berbasis kepentingan nasional dan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat), dan Pasal 34 (fakir miskin dan anak terlantar) sebenarnya wajib digunakan sebagai ukuran apakah pembangunan ekonomi sudah sesuai dengan amanat konstitusi atau belum.

Saya jadi teringat bagaimana pemerintah menolak habis-habisan memasukkan sasaran penurunan kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pada indikator perekonomian makro sebagai sasaran APBN. Penolakan itu menunjukkan pemerintah tidak siap disebut gagal, atau dengan kata lain pemerintah belum mau melaksanakan amanat konstitusi.

Tentu saja, memang lebih lezat menggunakan ukuran keberhasilan menurut Barat, walaupun sebenarnya bagi rakyat akan lebih nikmat jika pemerintah mau menggunakan ukuran konstitusi.

Ichsanuddin Noorsy;
Ketua Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
SUARA KARYA, 6 November 2013