16 Desember, 2018

Sekelumit Sejarah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Papua


Sudah pasti rakyat Indonesia yang berada di luar Papua bingung dan terus bertanya: mengapa banyak penduduk asli Papua yang tidak pernah mengakui dan menerima Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, tetapi sebaliknya melakukan perlawanan terhadap sejarah integrasi Papua Barat ke dalam wilayah Indonesia? Apakah rakyat dan bangsa Papua Barat yang beretnis Melanesia ini keliru dalam memahami sejarah?

Pertanyaan-pertanyaan ini tidaklah mudah untuk dijawab tapi dibutuhkan pergumulan dan perjalanan panjang. Istilah LIPI adalah Papua Road Map atau Peta Perjalanan Papua. Buku yang diterbitkan LIPI dengan judul: Papua Road Map: Negotiating the Past, improving the Present and Securing the Future adalah penemuan-penemuan akar masalah yang sesungguhnya dialami dan dipertanyakan rakyat dan bangsa Papua Barat selama ini.

Buku ini menemukan dan merumuskan empat masalah pokok di Papua, yaitu: (1) sejarah dan status politik Papua; (2) kekerasan Negara dan pelanggaran HAM; (3) marjinalisasi; (4) pembangunan yang diskriminatif.  Rumusan ini telah  memberikan ruang dan kesempatan kepada rakyat Papua dan pemerintah Indonesia duduk bersama-sama untuk negosiasi, mediasi dan komunikasi serta dialog dengan tujuan memberikan pilihan-pilihan jawaban yang elegan, bermartabat dan setara bagi semua.

Tetapi, menurut saya, keempat masalah yang ditemukan oleh Tim LIPI sesungguhnya bersumber dari satu akar masalah saja yaitu: sejarah diintegrasikannya Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui proses Pepera 1969. Pepera 1969 telah dilaksanakan di Tanah Papua Barat sesuai dengan sistem Indonesia, yaitu musyawarah. Pelaksanaan dengan cara Indonesia ini sangat berlawanan dengan isi Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang disetujui oleh PBB, Amerika, Belanda dan Indonesia bahwa Pepera 1969 dilaksanakan dengan sistem dan mekanisme internasional, yaitu one man one vote. Tetapi itu benar-benar diabaikan bahkan dihancurkan oleh Pemerintah Indonesia melalui kekuatan militernya.


Keterlibatan Militer Indonesia Dalam Pepera 1969
Dalam proses dimasukkannya Papua ke dalam wilayah Indonesia, militer Indonesia memainkan peran sangat besar dan penting, sebelum maupun dalam proses pelaksanaan dan sesudah Pepera 1969. Berbagai dokumen militer telah menunjukkan hal ini. Salah satunya adalah Surat Telegram Resmi Kol. Inf. Soepomo, Komando Daerah Militer XVII Tjenderawasih, Nomor: TR-20/PS/PSAD/196, tertanggal 20-2-1967, berdasarkan Radio Gram MEN/PANGAD No.: TR-228/1967 TBT tertanggal 7-2-1967, perihal: menghadapi referendum di IRBA tahun 1969.

Dikatakan di sana, “Mempergiatkan segala aktivitas di masing-masing bidang dengan mempergunakan semua kekuatan material dan personil yang organik maupun yang B/P-kan baik dari Angkatan darat maupun dari lain angkatan. Berpegang teguh pada pedoman. Referendum di IRBA tahun 1969 harus dimenangkan, harus dimenangkan. Bahan-bahan strategis vital yang ada harus diamankan. Memperkecil kekalahan pasukan kita dengan mengurangi pos-pos yang statis. Surat ini sebagai perintah OPS untuk dilaksanakan. Masing-masing koordinasi sebaik-baiknya. Pangdam 17/PANG OPSADAR.

Surat Rahasia Kolonel Infateri Soemarto yang diterbitkan Surat Kabar Nasional Belanda, NRC Handdelsblad, 4 Maret 2000. “Pada tahun 1969 Pemerintah Indonesia memanipulasi Pepera (Act of Free Choice) tentang status resmi Dutch New Guinea (Irian Jaya). Dengan seluruhnya berarti, wajar atau tidak wajar, Jakarta menginginkan untuk menghalangi orang-orang asli Papua dalam pemilihan melawan bergabung dengan Indonesia. Ini tampak dari yang disebut dengan ‘perintah rahasia’ dalam bulan Mei 1969 yang diberikan oleh Soemarto, Komandan orang Indonesia di Merauke, bupati daerah itu .…” (Sumber: Dutch National Newspaper: NRC Handdelsblad, March 4, 2000).

Rakyat mendengar pidato Bung Karno soal merebut Irian Barat.

Berbagai dokumen lain bisa disebutkan termasuk pernyataan saksi mata Christofelt L. Korua, Purnawirawan Polisi (Wawancara Penulis: Jayapura, 11 Desember 2002), Laporan resmi PBB: Annex 1, paragraph 189-200, seruan Carmel Budiardjo, Direktur TAPOL, the Indonesia Human Rigths Campaign, pada 26 Maret 2002  kepada Kofi Annan Sekjen PBB dan banyak lagi.

Laporan Hugh Lunn, wartawan Australia, menyatakan, “Di Manokwari, sementara dewan memberikan suara, pemuda-pemuda Papua dari luar ruang pertemuan bernyanyi lagu gereja sendiri-sendiri”. Untuk menangani ini tentara orang-orang Indonesia menangkap dan melemparkan mereka dalam mobil dan membawa mereka pergi pada satu bak mobil. Hugh Lunn, wartawan asing yang hadir, diancam dengan senjata oleh orang Indonesia sementara dia mengambil foto demonstrasi orang Papua. (Dr. John Saltford: Irian Jaya: United Nations Involment With The Act of Self-Determination In West Papua (Indonesia West New Guinea) 1968-1969 mengutip laporan Hugh Lunn, seorang wartawan Australia, August 21, 1999).

Kebanyakan anggota Pepera 1969 ialah orang-orang pendatang terbukti dengan 59 pernyataan pro-Indonesia yang ada dalam dokumen PBB. Duta Besar Amerika untuk Indonesia tahun 1969 menyatakan: “95% orang asli Papua berpikiran mau merdeka” dan Sudjarwo mengakui: “banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia.

Pertanyaannya ialah bagaimana mungkin pada saat orang asli Papua berkeinginan kuat untuk merdeka 95% dan sekaligus membuat pernyataan yang bertolak belakang? Jawabnya ialah tidak diragukan bahwa 59 pernyataan itu hanya rekayasa militer bersama orang-orang pendatang.


Penyesalan Perwakilan PBB, Dr. Fernando Ortiz Sanz
Ortiz Sanz melaporkan: “… pandangan dan keinginan politik orang-orang Papua telah disampaikan melalui berbagai saluran media: pernyataan-pernyataan dan komunikasi lain disampaikan kepada saya secara tertulis atau lisan, demonstrasi-demonstrasi damai, dan dalam beberapa masalah menyatakan kegelisahan atau ketidakamanan, termasuk peristiwa-perstiwa sepanjang perbatasan antara Irian Barat dan wilayah Papua New Guinea yang diurus oleh Australia.” (Sumber resmi: UNGA, Annex I A/7723, 6 November 1969, paragraph 138, p. 45).

Pernyataan-pernyataan (petisi-petisi) tentang pencaplokan Indonesia, peristiwa-peristiwa ketegangan di Manokwari, Enarotali, dan Waghete, perjuangan-perjuangan rakyat bagian pedalaman yang dikuasasi oleh pemerintah Australia, dan keberadaan tahanan politik, lebih dari 300 orang yang dibebaskan atas permintaan saya, menunjukkan bahwa tanpa ragu-ragu unsur-unsur penduduk Irian Barat memegang teguh berkeinginan untuk merdeka. Namun demikian, jawaban yang diberikan oleh anggota dewan musyawarah atas pertanyaan yang disampaikan kepada mereka adalah sepakat tinggal dengan Indonesia.” (Sumber resmi: UNGA Annex IA/7723, paragraph 250, hal. 70).


Berhubungan dengan pelaksanaan Pepera 1969 yang manipulatif dan penuh pembohongan itu, Dr. Fenando Ortiz Sanz, perwakilan PBB, yang mengawasi pelaksanaan Pepera 1969 melaporkan sebagai berikut.

Saya harus menyatakan pada permulaan laporan ini, ketika saya tiba di Irian Barat pada bulan Agustus 1968, saya diperhadapkan dengan masalah-masalah yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian New York Pasal XVI. Ahli-ahli PBB yang lebih dulu ada dan tinggal di Irian Barat pada saat peralihan tanggungjawab administrasi secara penuh kepada Indonesia ditiadakan, dengan alasan mereka tidak mengenal keadaan secara baik, hingga mempersingkat tugas-tugas mereka.

Akibatnya, fungsi-fungsi dasar mereka untuk menasihati dan membantu dalam persiapan untuk mengadakan ketentuan-ketentuan Penentuan Nasib Sendiri tidak didukung selama masa 1 Mei 1963 hingga 23 Agustus 1968. Atas kehadiran saya di Irian Barat, untuk tujuan misi saya, saya telah memulai dengan mengumpulkan, mencoba untuk memenuhi dalam beberapa bulan dengan staf yang terbatas dan tidak seimbang dengan wilayah yang luas, fungsi-fungsi penting dan kompleks di bawah Perjanjian New York XVI hendaknya dilaksanakan selama 5 (lima) tahun dengan sejumlah ahli.” (Sumber resmi: UN Doc. Annex I A/7723, paragraph 23, p.4)

Saya dengan menyesal harus menyatakan pengamatan-pengamatan saya tentang pelaksanaan Pasal XXII (22) Perjanjian New York, yang berhubungan dengan hak-hak termasuk hak-hak kebebasan berbicara, kebebasan bergerak, kebebasan berkumpul, penduduk asli. Dalam melakukan usaha-usaha yang tetap, syarat-syarat yang penting ini tidak sepenuhnya dilaksanakan dan pelaksanaan administrasi dalam setiap kesempatan diadakan pengawasan politik yang ketat terhadap penduduk pribumi.” (Sumber: Laporan Resmi Hasil Pepera 1969 Dalam Sidang Umum PBB, Paragraf 164, 260).

Dr. Fernando Ortiz Sanz dalam laporan resminya pada Sidang Umum PBB tahun 1969 menyatakan: “Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka.” (Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph, 243, p.47).


Protes Anggota PBB Dalam Sidang Umum Tahun 1969
Yang jelas dan pasti, telah diketahui bahwa hasil Pepera 1969 itu menuai hujan kritik dan protes yang keras dalam Sidang Umum PBB pada tahun 1969 oleh anggota resmi PBB. Mereka (anggota PBB) mempersoalkan pelaksanaan Pepera yang dianggap penuh dengan kebohongan dan kejahatan kemanusiaan yang melanggar hukum internasional. Karena, hasil Pepera 1969 itu dianggap melanggar hukum internasional, maka Sidang Umum PBB hanya mencatat “take note”.  Istilah “take note” itu tidak sama dengan disahkan. Hanya dicatat karena masih ada masalah yang serius dalam pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat.

Hasil Pepera 1969 tidak disahkan tapi hanya dicatat karena perlawanan sengit dari beberapa negara anggota PBB yang dimotori oleh pemerintah Ghana. Hal itu terbukti dalam arsip resmi di kantor PBB, New York, Amerika Serikat: “… 156 dari 179 pernyataan yang masih tersimpan, sesuai dengan semua yang diterima sampai tanggal 30 April 1969, dari pernyataan-pernyataan ini, 95 pernyataan anti Indonesia, 59 pernyataan pro Indonesia, dan 2 pernyataan adalah netral.” (Sumber resmi: Dok PBB di New York: Six lists of summaries of political communications from unidentified Papuans to Ortiz Sanz, August 1968 to April 1969: UN Series 100, Box 1, File 5).

Duta Besar pemerintah Ghana, Mr. Akwei, memprotes dalam Sidang Umum PBB, dengan mengutip laporan Dr. Fernando Ortiz Sanz tentang sikap Menteri Dalam Negeri Indonesia yang tidak terpuji yang ditunjukkan kepada peserta Pepera di Papua Barat. “yang dilaporkan oleh perwakilan Sekretaris Umum bahwa bukti-bukti peristiwa keputusan pelaksanaan pemilihan bebas adalah fenomena asing dimana Menteri Dalam Negeri naik di mimbar dan benar-benar kampanye. Dia, Menteri Dalam Negeri Indonesia meminta anggota-anggota dewan musyawarah untuk menentukan masa depan mereka dengan mengajak bahwa mereka satu ideology, Pancasila, satu bendera, satu pemerintah, satu Negara dari sabang sampai Merauke .…

Sedangkan Duta Besar pemerintah Gabon, Mr. Davin, mengkritik sebagai berikut: “Setelah kami mempelajari laporan ini, utusan pemerintah Gabon menemukan kebingungan yang luar biasa, itu sangat sulit bagi kami menyatakan pendapat tentang metode dan prosedur yang dipakai untuk musyawarah rakyat Irian Barat. Kami dibingungkan luar biasa dengan keberatan-keberatan yang dirumuskan oleh Mr. Ortiz  Sanz dalam kata-kata terakhir pada penutupan laporannya.


Protes Sejarawan
J.P. Drooglever menemukan dalam penelitiannya: “Laporan akhir Sekjen PBB seluruhnya didasarkan pada laporan Ortiz Sanz tentang peranannya dalam pelaksanaan Kegiatan Pemilihan Bebas. Laporan ini hanya berisi kritik yang lemah terhadap oposisi dari pihak Indonesia. Atas dasar ini, U. Thant tidak bisa berbuat lain kecuali menyimpulkan bahwa suatu (an) Kegiatan Pemilihan Bebas telah dilaksanakan. Ia (U Thant) tidak bisa menggunakan kata depan yang tegas (the), karena nilai-nilai proses itu jauh di bawah standar yang diatur dalam Persetujuan New York. Walaupun dapat ditafsirkan sebagai suatu penilaian yang mencibir, tetapi pihak-pihak yang justru mengabaikan pengkalimatan yang tidak jelas dalam persetujuan New York itu.” (hal.784). (Sumber: Tindakan Pilihan Bebas, Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri).

Drooglever mengatakan, “menurut pendapat para pengamat Barat dan orang-orang Papua yang bersuara mengenai hal ini, tindakan Pilihan Bebas berakhir dengan kepalsuan, sementara sekelompok pemilih yang berada di bawah tekanan luar biasa tampaknya memilih secara mutlak untuk mendukung Indonesia.” (hal. 783).

Dr. Hans Meijer, Sejarawan Belanda dalam penelitiannya yang berhubungan dengan hasil Pepera 1969 di Papua Barat menyatakan bahwa “Pepera 1969 di Papua Barat benar-benar tidak demokratis.


Protes Akademisi
Dr. John Saltford, Akademisi Inggris yang menyelidiki hasil pelaksanaan Pepera 1969 menyatakan: “tidak ada kebebasan dan kesempatan dalam perundingan-perundingan atau proses pengambilan keputusan orang-orang Papua Barat dilibatkan. Jadi, PBB, Belanda dan Indonesia gagal dan sengaja sejak dalam penandatanganan tidak pernah melibatkan orang-orang Papua untuk menentukan nasib sendiri secara jujur.” {John Saltford: United Nations Involvement With the Act of Free Self-Determination in West Papua (Indonesia West New Guinea) 1968 to 1969}.

Dr. George Junus Aditjondro mengatakan, “Dari kacamata yang lebih netral, hal-hal apa saja yang dapat membuat klaim Indonesia atas daerah Papua Barat ini pantas untuk dipertanyakan kembali.” (2000: hal.8).

Robin Osborn mengungkapkan, “… bahwa penggabungan daerah bekas jajahan Belanda itu ke dalam wilayah Indonesia didasarkan pada premis yang keliru. Yaitu ketika 1.025 orang delegasi yang dipilih pemerintah Indonesia memberikan suara mereka dibawah pengawasan PBB diartikan sebagai aspirasi politik dari seluruh masyarakat Papua Barat. Kini, premis ini diragukan keabsahannya berdasarkan hukum internasional.” (Juli 2000: hal. xxx).

Pada hari Sabtu, 16 Januari 2010 di studio Media Indonesia pada acara Kick Andy, dalam menyikapi pelarangan lima buku oleh Kejaksaan Agung, Ikrar Nusa Bhakti dalam menanggapi kementar saya (Socratez) tentang pelaksanaan Pepera 1969 di Papua Barat yang tidak demokratis dan lebih dimenangkan oleh aparat keamanan Indonesia, Ikrar berkomentar: “memang apa yang dikatakan Pak Socratez tentang pelaksanaan Pepera 1969 yang tidak demokratis itu ada benarnya.

Pdt. Dr. Phil Karel Erari menyatakan: “Rakyat Papua merasa bahwa Pepera adalah rekayasa Pemerintah RI, Belanda, Amerika Serikat dan PBB, di mana rakyat Papua tidak dilibatkan sebagai subyek Hukum Internasional dan pelaksanaannya tidak dilakukan secara demokratis sesuai dengan kebiasaan dan praktik yang berlaku dalam masyarakat internasional.” (hal. 23).

Erari menambahkan, “Sejarah Integrasi Papua ke dalam Indonesia adalah suatu sejarah berdarah. Pelanggaran HAM yang diwarnai oleh pembunuhan kilat, penculikan, penghilangan, perkosaan, pembantaian, dan kecurigaan.” Karel Erari dengan tegas mengatakan, “secara hukum, integrasi Papua dalam NKRI bermasalah.” (2006: hal. 182).


Pengakuan Pemerintah Amerika, Inggris dan Indonesia
Pada bulan Juni 1969, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia mengakui kepada anggota Tim PBB, Ortiz Sanz, secara tertutup (rahasia): “bahwa 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua.” (Sumber: Summary of Jack W. Lydman’s report, July 18, 1969, in NAA, Extracts given to author by Anthony Bamain).

Diakui oleh Pemerintah Inggris melalui Jurubicara House of Lord, Symon Baroness pada tanggal 13 Desember 2004. Symon Baroness mengatakan bahwa, “Papua dimasukkan dengan paksa ke dalam wilayah Indonesia melalui rekayasa Pepera 1969 dan akibatnya bagaimana keadaan orang Papua dan kelangsungan hidup masa depan orang-orang Papua sekarang?


Protes Anggota Kongres Amerika, Parlemen  Inggris, Uni Eropa, Irlandia
Berbagai protes telah disurakan para anggota parlemen dari berbagai penjuru dunia. Di antaranya pada 17 Februari 2005, oleh Eni F.H. Faleomavaega yang  berkirim surat kepada Pemerintah Amerika. Ia juga pada 14 Februari 2008, bersama Donald Payne, Anggota Kongres Amerika, melayangkan surat kepada Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Ban Ki-Moon,  “… Referendum (Pepera 1969) bagi orang asli Papua itu dengan jelas menunjukkan bahwa tidak pernah dilaksanakan. Faktanya, sebanyak 37 (tiga puluh tujuh) Anggota Kongres Amerika telah menulis surat, pada tahun 2006, kepada Tuan Annan meminta PBB untuk meninjau kembali penerimaan pelaksanaan ‘Pepera 1969’ itu.

Pada 19 Juli 2002, 34 Anggota Parlemen Uni Eropa menyerukan kepada Komisi dan Parlemen Uni Eropa untuk mendesak Sekjen PBB, Kofi Annan, mempertimbangkan kembali penentuan nasib sendiri Papua. (baca: Laporan Komisi Uni Eropa, the EC Conflict Prevention Assessment Mission: Indonesia, March, 2002, on unrest in West Papua).

Pada 31 Januari 1996, Parlemen Irlandia mengeluarkan resolusi tentang West Papua. Yang menyebut ketidakjujuran pelaksanaan Pepera 1969.

Pada 1 Desember 2008, di gedung Parlemen Inggris, London, Hon. Andrew Smith, MP, dan The Rt. Revd. Lord Harries of Pentregarth dan 50 anggota Parlemen dari berbagai Negara menyatakan: “kami yang bertandatangan di bawah ini dengan jujur dan benar mengakui penduduk asli Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri ( Self-Determination), karena masa depan mereka dihancurkan melalui Pepera 1969 ….

Pada 1 Desember 2009 di Gedung Parlemen Inggris, London, para Ahli Hukum Internasional Untuk Papua Barat, “International Lawyers for West Papua” (ILWP) pada saat peluncuran buku Prof. Pieter Drooglever, menyatakan bahwa Pepera 1969 adalah skandal aneksasi illegal.


Dialog yang Diinginkan Rakyat Papua
Melihat akar permasalahan sejarah diintegrasikannya Papua ke dalam wilayah Indonesia yang tampaknya penuh rekayasa dan kepalsuan seperti ini, jalan penyelesaian yang berprospek damai,  bermartabat dan manusiawi harus ditemukan antara penduduk asli Papua dengan pemerintah Indonesia.

Oleh karena itu, gagasan dialog Jakarta-Papua antara Pemerintah Indonesia dan penduduk asli Papua harus didukung semua komponen. Dialog damai yang dimaksud penulis adalah dialog tanpa syarat dan dimediasi oleh pihak ketiga yang netral seperti dialog Jakarta-Aceh. Maksud penulis dialog tanpa syarat ialah dalam dialog tidak berbicara Papua Merdeka dan juga tidak dalam bingkai NKRI. Artinya dialog jujur dan setara dan harus dalam kerangka baru yaitu di luar konstruksi Papua Merdeka dan NKRI.

Tanpa  kerangka baru seperti ini, yakinlah bahwa paradoks ini tidak akan pernah menemukan jalan penyelesaian yang menyeluruh dan bermartabat. Karena itu, diharapkan dalam dialog harus melihat masalah Papua dengan nurani yang suci dan pikiran jernih dalam rangka mencari penyelesaian untuk mewujudkan perdamaian permanen demi masa depan Indonesia dan juga masa depan masyarakat asli Papua.

Pdt Socratez Sofyan Yoman
Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua, tinggal di Jayapura.
Satuharapan.Com;
Anginselatan.Com;
Bennyw10.wordpress.Com

15 November, 2018

Prabowo Itu Bukan Politisi


Dari sudut pandang politik, apa yang dilakukan Prabowo sungguh naif. Dia mengabaikan kemungkinan besar elektabilitasnya akan ambruk, demi sebuah prinsip yang sangat dibela: Boleh salah. Tapi tidak boleh berbohong!

Ada yang menyatakan, politisi itu adalah orang yang sering membuat kebohongan, dan dia percaya dengan kebohongannya. Presiden AS Donald Trump bahkan mengaku, “It’s okay to lie, since people agree with me.”  Bagi Trump berbohong tidak masalah, asal rakyat tetap memilihnya. Tak mengherankan aktor dan komedian AS Robin William menggambarkannya dengan sangat sinis. Politik, berasal dari: “Poli” kata Latin yang berarti “banyak” dan “tics” yang berarti “makhluk pengisap darah”.

Dengan banyaknya stempel buruk seperti itu, tidak mengherankan bila pelawak terkenal Charlie Chaplin berani menggambarkan posisinya jauh-jauh lebih tinggi dibanding para politisi manapun. “I remain just one thing, and one thing only, and that is a clown. It places me on a far higher plane than any politician.


Bagi siapapun yang menyaksikan pidato permintaan maaf Prabowo yang disiarkan secara langsung sejumlah stasiun televisi, Rabu (3/10/2018) malam, pasti sepakat pada satu kesimpulan: Prabowo itu bukan politisi!

Bagaimana mungkin seorang politisi bersedia menyampaikan permintaan maaf secara terbuka. Apalagi kesalahan tersebut tidak sepenuhnya bisa dinisbahkan kepadanya?

Dia menyampaikan berita yang salah, karena mendapat info yang salah. Jadi Prabowo dibohongi, bukan berbohong! Itupun Prabowo juga tetap minta maaf. “Saya mengakui kadang grasa-grusu (ceroboh), maklumlah tim saya baru, sedang belajar,” ujarnya dengan ringan.

Berbohong dan dibohongi itu dua hal yang sangat berbeda. Yang pertama pelaku, dan yang kedua adalah korban. Berbohong, membuat janji, tapi tidak ditepati, jelas sangat berbeda dengan orang yang dibohongi.


Dalam terminologi agama, janji yang tidak ditepati masuk dalam salah satu kriteria ciri-ciri orang munafik. Mumpung menjelang pileg dan pilpres, silakan buka-buka file kembali, siapa yang paling banyak mengobral janji, dan siapa yang tidak menepati.

Sama seperti halnya prinsip dalam intelijen, ketika menghadapi persoalan yang akan merugikan, politisi biasanya menerapkan tiga prinsip utama: admit nothing, deny anything, make counter accusations.

Jangan pernah buat pengakuan apapun, bantah semuanya, dan buat sebanyak mungkin tuduhan balasan. Setelah itu bersikaplah seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Mantra sakti itu juga menjadi rumus baku yang selalu digunakan oleh jagoan konsultan politik asal AS Roger J Stone Jr. Salah satu sentuhan tangan sakti Stone adalah membantu pemerintah Israel menghadapi kelompok perlawanan Palestina, Hamas.


Suatu ketika seorang kameraman televisi berhasil menangkap gambar pesawat helikopter Israel menembaki sekumpulan anak-anak. “Lihat! Hamas memaksa kami menembaki anak-anak yang tidak bersalah. Inilah tepatnya yang diinginkan Hamas,” ujar juru bicara militer Israel.

Suatu kali di bulan Juni tahun 2010 pasukan Israel menyerbu kapal berbendera Turki Mavi Marmara. Kapal yang membawa aktivis perdamaian dari 50 negara itu mencoba menembus blokade Israel atas wilayah Gaza. Selain aktivis, ada 19 wartawan dari beberapa negara, termasuk Indonesia. 10 warga sipil tewas, kebanyakan berasal dari Turki.

Lantas apa yang disampaikan militer Israel? “Pasukan kami terpaksa menembak, untuk membela diri.” Bayangkan disaksikan puluhan wartawan, namun militer Israel bisa tanpa berkedip memutar balikkan fakta. Itulah perang informasi yang dilakukan tanpa mengenal ampun.

Tidak selamanya seorang konsultan menyarankan untuk menyatakan yang hitam itu putih. Terkadang mereka juga menyarankan untuk mengatakan bahwa yang hitam itu kemungkinan bisa saja putih. Atau setelah dilakukan penyelidikan yang mendalam, ternyata yang hitam itu terbukti putih.


Tidak berlaku bagi Prabowo
Prinsip baku seorang politisi, maupun saran para jagoan konsultan politik itu pasti tidak laku bagi Prabowo. Dia tampaknya memilih prinsip seorang prajurit sesuai Sapta Marga: Kami Kesatria Indonesia yang Bertaqwa Kepada Tuhan yang Maha Esa Serta Membela Kejujuran Kebenaran dan Keadilan.

Prabowo tidak mencoba menutup fakta bahwa secara pribadi dia sangat dekat dengan Ratna Sarumpaet (RS). “Saya sangat menghormati, saya sayang  beliau.” ujarnya. Latar belakang RS sebagai aktivis yang membela kepentingan rakyat kecil membuatnya menaruh hormat yang tinggi.

Keputusan Prabowo untuk meminta RS mengundurkan diri, bukan memecatnya, juga menunjukkan sikapnya konsisten tetap menjaga kehormatan RS secara pribadi maupun keluarganya.

Melihat latar belakangnya sebagai seorang prajurit, tampaknya masih sulit bagi Prabowo untuk larut dan bermetamorfosa menjadi seorang politisi sungguhan. Dalam pidato permintaan maafnya, sebagai pemimpin dia mengambil alih tanggung jawab. Dalam militer dikenal sebuah prinsip “Tidak ada anak buah yang salah. Bila terjadi kesalahan, maka yang salah adalah komandannya.


Dari sudut pandang politik, apa yang dilakukan Prabowo sungguh naif. Dia mengabaikan kemungkinan besar elektabilitasnya akan ambruk, demi sebuah prinsip yang sangat dibela: Boleh salah. Tapi tidak boleh berbohong!

Waktu yang akan menjawab, apakah prinsip-prinsip seorang kesatria seperti yang dipilih Prabowo masih laku dan dihargai pemilih Indonesia?

Yang perlu dicatat, seorang penulis dan theolog terkenal dari AS James F Clarke pernah mengingatkan. “The difference between a politician and a statesman is that a politician thinks about the next election while the statesman think about the next generation.

Politisi hanya berpikir bagaimana memenangkan pemilu berikutnya, sementara negarawan berpikir apa yang akan dia wariskan untuk generasi berikutnya. Sikap kesatria, jujur, berani mengakui kesalahan, jauh lebih berharga dari hanya sekedar memenangkan Pilpres.

Hersubeno Arief
Wartawan Senior
https://www.hersubenoarief.com/artikel/prabowo-itu-bukan-politisi/

19 Oktober, 2018

I Don’t Trust Him Anymore


(Sesungguhnya tulisan ini di-publish di Group tertutup FB Kampung UGM. Hanya ada yang mem-forward keluar sehingga viral seluruh nusantara. Yang pasrah saja, saya anggap ini “Tangan Allah” agar kritik saya ke Pak Jokowi dibaca oleh orang se-Nusantara secara viral. Oleh karena itu, saya postingkan saja di Blog saya bahwa betul itu tulisan saya tapi sesunguhnya awalnya tidak dimaksudkan untuk didiskusikan di ruang publik terbuka. Awalnya itu hanya ingin didiskusikan secara internal di Group Diskusi Politik Paseduluran Kampung UGM. Ini link Group FB-nya: https://www.facebook.com/groups/kampungugm2/ )

Satu yang hilang dari Jokowi pada aku pribadi .… “I don’t trust him anymore!


Aku kecewa secara nyata bahwa Jokowi bukan orang yang serius mewujudkan apa yang dikatakan. 3 hal ini aku bersaksi bahwa Jokowi tidak pernah mewujudkan janjinya. 2 diantaranya malah aku serius membantu.

1. Saat bicara Esemka sebagai Mobnas.
Aku sebagai Tim Ahli IASI (Ikatan Ahli dan Sarjana Indonesia di Jerman) sampai meminta audiensi Jokowi yang saat itu masih sebagai Walikota Solo. Ku-koordinasikan para Tim Pakar Otomotif Jerman, bahkan pihak VW sudah siap bantu, lalu melalui sahabatku anggota DPRD Solo disampaikan dukungan riil kita. Gratis tanpa dibayar!

Jokowi karena setelah itu dia sibuk kampanye di DKI untuk jadi Gubernur maka lupa. Kupikir setelah jadi Gubernur akan mewujudkannya, tapi dia pun sibuk untuk jadi Presiden. Kupikir setelah jadi Presiden akan mewujudkannya, ternyata dia terbiasa untuk tidak pernah mewujudkan janji-janjinya.

Enough is enough, I don’t trust him anymore.


2. Saat mau memajukan Sekolah Vokasi.
Ini pengorbananku buat Program Jokowi tak terhingga. Waktu cutiku 1 bulan kubuang demi mewujudkan Program Sekolah Vokasi. Plus selama lebih 1 tahun aku fokus bantu ini secara gratis!

Kudesain bersama teman-teman IASI dari “Nol” karena jujur, tidak banyak orang Indonesia yang tahu apa itu Program Vokasi acuan dunia seperti Dual-System Jerman. Sebagai Ketua Umum IASI saat itu semua sumber daya serta network yang kumiliki difokuskan untuk mewujudkan program yang visioner ini.

Ku-arrange konsepnya, kubantu Kemendikbud! Dapat komitmen dari pemerintah Jerman akan bantu kirimkan 650 ahli Jerman secara “gratis” untuk mendidikkan para ahli vokasi Indonesia.

Menteri berganti, aku tetap konsisten bantu. Tapi kelak aku tahu rupanya Jokowi cuma basa-basi di sini. Tidak ada komitmen serius mewujudkannya. Kita yang trust padanya, berkorban jiwa raga, jebule dia cuma mau main pencitraan belaka.

Enough is enough, I don’t trust him anymore.


3. Saat di KBRI Berlin beberapa tahun yang lalu. Jokowi dengan gagah berani bilang gedung KBRI Berlin seperti rumah toko (ruko) dan dalam waktu 3 bulan akan dibuat gedung baru. Malu punya gedung KBRI jelek. Kita sambut dengan tepuk tangan gegap gempita luar biasa.

Tapi ternyata seperti biasa, lidah tak bertulang. Ternyata setelah hampir 3 tahun berlalu, itu gedung KBRI tidak terwujud juga.

Enough is enough, I don’t trust him anymore.


Jangan lagi Anda tambahkan dengan janji-janji yang lain. Believe me he has no intention to fulfill his promise. He focuses to keep his chair only, that’s all!

Aku memutuskan mengkritisi Jokowi sebagai tanggung jawab moralku pribadi bahwa aku kecewa dengan cara dia yang belum sepenuhnya bertanggung-jawab dengan janji-janjinya.

#dariTepianLembahSungaiIsar
#MusimSemiNanIndah
#DiPostingPertamaKaliDiGrupFBKampungUGM

Ferizal Ramli
Vorsitzender/Chairman
IASI eV 2014-2016
1 April, 2018

https://ferizalramli.wordpress.com/2018/04/01/i-dont-trust-him-anymore/


Biografi Singkat Ferizal Ramli

Ferizal Ramli adalah ekspatriat, konsultan manajemen korporasi dan IT yang berdomisili di Hamburg, Jerman. Pernah menjadi chairman IASI (Ikatan Ahli Sarjana Indonesia) di Jerman, tahun 2014 – 2016.

Ferizal Ramli adalah seorang Unternehmensberater/ Corporate Consultant for Management, System Integration and SAP Standard Software yang saat ini berdomisili di Hamburg, Jerman. Kompetensi utama Ferizal adalah Business Intelligent Warehouse as well as Project System, Strategic Enterprise Management; Enterprise Performance Management; Business Process Design with ARIS and Proforma Toolset; SAP Financial Moduls: FI-Accounting, CO-Controlling, TR-Treasury, IM-Investment Management, EC-Enterprise Controlling; dan Accounting Concepts: US GAAP, IFRS dan HGB.

Ferizal Ramli lahir di Jakarta, 2 September 1971, dari Ayah Ramli Zulkifli dan Ibu Rosnani Amazy. Dibesarkan dalam tradisi keluarga Islam Minangkabau yang kuat, atau dalam kata lain gabungan dari tiga sikap: fundamental dalam berprinsip, moderat dalam bersikap, dan liberal dalam berpikir.


Ferizal menghabiskan seluruh masa kanak-kanaknya hingga pasca remaja di Banten. Hingga saat ini setia mengidentifikasikan diri sebagai “Wong Banten”. Ferizal menyelesaikan studinya di Jurusan Manajemen di kampus UPN “Veteran” Yogyakarta serta Jurusan Akuntansi di Universitas Gadjah Mada.

Saat berkuliah di Yogya dulu, Ferizal tercatat pernah menjadi Ketua/Pimpinan Senat Mahasiswa Universitas Gadjah Mada dan Ketua Umum Koperasi Mahasiswa UPN “Veteran” Yogyakarta.

Di Yogyakarta lah Ferizal bertemu Nanik Dwi Haryani yang menjadi pasangan serta pendamping hidupnya. Pernikahannya dengan Nanik dikaruni dua orang putri, yaitu Nawwara Zahra Ferizal dan Naura Zhafira Ferizal.

Setelah menyelesaikan sarjana, studi selanjutnya ia lakukan di Jerman pada Program Master of Computer Science in Business Consulting, Hochschule, Furtwangen dan Program Master of Arts in Daten und Informations Management di Universität Hamburg. Di kedua universitas tersebut Ferizal mempelajari secara mendalam Standard Software SAP.


Ferizal Ramli tercatat pernah berada di berbagai institusi baik di universitas maupun multinasional coporation. Sebagai instruktur/trainer, peneliti, maupun dosen, Ferizal pernah berbagi ilmu di Hochschule Furtwangen, Abhiseka College, AMA Yogyakarta, STIE YKPN, STIMIK Amikom, dan FE UGM.

Sedangkan sebagai seorang praktisi, Ferizal pernah bergabung di Mitsubishi Heavy Industries, Ltd., T-Systems International GmbH, Otto Versandt GmbH & Co. KG., Acent AG, Cirquent GmbH a company of NTT Data and BMW Group, Benteler International AG, Clariant SE dan juga merintis usaha membangun SAP Consultant di Jerman.

Ferizal suka kegiatan tulis menulis. Selain aktif di blog pribadinya, ferizalramli.wordpress.com, ia juga pernah menjadi kontributor internasional pada harian Jurnal Nasional.

Sumber: https://tirto.id/m/ferizal-ramli-jf

27 September, 2018

Mengenal Sandiaga Salahuddin Uno (Bagian II)


Dengan cara pembayaran diakhir inilah akhirnya banyak perusahaan yang memilih menjadi klien PT Recapital Advisor. Namun, ternyata cara pembayaran diakhir ini ada efek sampingnya, yaitu ada juga perusahaan klien yang sudah sukses direstrukturisasi oleh Recapital tapi menolak membayar jasa Sandiaga Uno. Mereka maunya dihutang lagi dan minta didiskon separuh (50%), atau dibayar dengan saham yang saat itu nilainya sedang turun tajam. Bahkan sebagian lagi ada yang dibayar dengan stationery bekas dan mobil bekas.

Namun daripada tidak dibayar akhirnya Sandi pun mau menerima saja pembayaran dengan saham yang nilainya sedang turun tersebut, lalu ditambah mobil bekas dan stationery bekas. Tentu saja Sandi mau menerima ini tapi dengan perasaan dongkol.

Mobil bekas itupun dijualnya, stationery bekas ia gunakan untuk menyimpan dokumen perusahaan, dan saham yang tidak bernilai itu ia simpan di loker.

Seminggu, dua minggu, tiga minggu, saham yang tadinya dianggap tak berguna itu ternyata meningkat nilainya. Bahkan melebihi total invoice yang harusnya dulu dibayar cash. Begitu girangnya Sandi kemudian ia memutuskan untuk menjual saham tersebut.

Setelah Jawa Pos Group sebagai klien pertama Sandi, mereka dapat klien dari Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI). Namun, Sandi dan Rosan tidak menerima bayaran dalam bentuk uang dari GKBI tetapi mendapatkan ruangan kantor di wisma GKBI.

Sandi Uno mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan keluarga William Soeryadjaya.

Private Equity dan Saratoga
Sejak kembali ke Jakarta, Sandi meminta kesediaan William Soeryadjaya untuk jadi mentor bisnisnya. William Soeryadjaya menyediakan waktu satu jam setiap minggunya saat makan siang hari Sabtu. Intensitas pertemuan dengan William Soeryadjaya di kantornya Jalan Teluk Betung membuat Sandi juga banyak bertukar pikiran dengan putra William, Edwin Soeryadjaya.

Dipicu oleh jebolan Astra bernama Kiki Sutantyo yang kemudian sukses membangun bisnis sendiri, Edwin mulai “menggoda” Sandi untuk menggarap bisnis bersama. Pertengahan tahun 1998, Sandi mulai terlibat bersama Edwin dalam rencana pengambilalihan Astra Microtronics.

Selama enam bulan berikutnya Sandi menyiapkan skema pembiayaan dengan investor-investor asing untuk mendapatkan dana yang cukup. Sandi mengingat dengan jelas tanggal 2 Desember saat putri keduanya, Amyra Atheefa Uno lahir di rumah sakit Medistra. Dari rumah sakit itu Sandi terhubung dengan investor-investor luar negeri via teleconference dan berhasil mengunci “deal” untuk pendanaan.

Walaupun kemudian pengambilalihan itu gagal membesarkan Astra Microtronics, tetapi Sandi mendapatkan pengalaman dan ilmu yang sangat berharga tentang apa yang kemudian dikenal sebagai Private Equity.


Memasuki Januari tahun 1999, Recapital mulai bisa berjalan dengan bisnis konsultannya. Edwin menawarkan Sandi untuk bergabung dengan Saratoga. Tidak terlalu sulit bagi Sandi membagi waktu antara Saratoga dan Recapital, apalagi saat itu kedua perusahaan tersebut bergerak dalam bisnis yang berbeda tetapi tetap dalam satu kerangka ilmu yang sangat dikuasai Sandi, finansial. Saratoga adalah perusahaan private equity sementara Recapital, konsultan keuangan.

Pada tahun 1999, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dalam upaya penyehatan perbankan, penyelesaian aset bermasalah dan mengembalikan uang negara yang tersalurkan ke sektor perbankan. Setelah melewati proses panjang, aset-aset yang diambil alih itu kemudian dilepas lagi oleh BPPN. Momentum ini dimanfaatkan dengan baik oleh Saratoga. Termasuk pada saat BPPN melego kepemilikan Astra, Saratoga seperti mendapatkan kesempatan emas untuk kembali menguasai perusahaan yang dulu sempat lepas dari tangan keluarga Soeryadjaya. Sayang upaya itu kandas, karena lelang dimenangkan oleh Jardine Group dari Singapura.

Namun demikian, Saratoga terus berkembang jadi salah satu perusahaan private equity terbesar di Indonesia. Pembelian Adaro Energy dan banyak perusahaan lainnya yang kemudian dikelola dengan baik membuktikan kapasitas Saratoga dalam dunia bisnis nasional. Sementara Recapital pun ketika berhasil mendapatkan akses modal dan investasi juga berevolusi dari konsultan keuangan jadi private equity dengan banyak bidang usaha di bawahnya.

Sampai saat ini ada lebih dari 10 perusahaan dibawah naungan PT Saratoga Investama dan semuanya itu perusahaan besar semua. Di antara perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh Sandiaga Uno, baik itu sebagai pribadi ataupun dibawah PT Saratoga Investama, adalah: PT Adaro Indonesia, PT Indonesia Bulk Terminal, PT Mitra Global Telekomunikasi Indonesia, Interra Resources Limited, PT. iFORTE Solusi Infotek, PT Mitra Pinasthika Mustika Tbk, PT Gilang Agung Persada, PT Lintas Marga Sedaya, PT Tower Bersama Infrastructure Tbk. Dan lain-lain.


Memperdalam Islam
Sandi dibesarkan dalam lingkungan keluarga Islam “formal”. Orang tuanya melaksanakan kewajiban shalat lima waktu dan Sandi belajar mengaji di luar. Walaupun kemudian Sandi sekolah di SD Kristen dan kemudian di SMA Katholik, Sandi tetap masih rutin melaksanakan kewajiban shalat. Tetapi upaya memperdalam agama belum muncul pada saat itu bahkan dia belum terlalu lancar baca Al-Qurān.

Upaya memperdalam agama muncul ketika dia kembali dari studi di WSU (Wichita State University). Nur Asiah mengajak Sandi untuk mulai ikut dalam acara pengajian dan tadarusan. Sayangnya pada saat itu, Sandi lebih banyak memanfaatkan pengajian itu sebagai ajang untuk bisa lebih sering bertemu dengan Nur Asiah. Haji Azis, orang tua Nur sebenarnya punya keinginan besar untuk mendorong pacar anaknya itu untuk lebih serius mendalami agama. Harapannya itu lebih banyak disampaikan lewat Nur.

Kemudian ketika sudah kuliah S2 di GWU (George Washington University), Sandi ikut mendirikan pengajian di kalangan mahasiswa S2 di DC. Pengajian itu dimulai dari 5 orang, berkembang jadi 10 orang, dan ketika Sandi meninggalkan DC, pengajian itu sudah berkembang hingga diikuti oleh 300 orang peserta. Kedutaan dan Islamic Center memfasilitasi kebutuhan ustad dan pengisi ceramah. Bahkan saat itu Sandi bersama teman-temannya ikut jadi pengurus ICMI cabang DC.

Sandi mulai serius mempelajari Al-Qurān pada tahun 1999, bersama dengan Rosan. Guru ngaji mereka berasal dari Lombok. Sandi belajar membaca Al-Qurān dengan tajwid hingga pada tahun yang sama itu dia bisa khatam Al-Qurān untuk pertama kalinya. Setelah itu minimal satu kali dalam setahun dia khatam membaca Al-Qurān. Ibadah Sandi pun tidak lagi sekedar shalat 5 waktu tetapi juga sholat sunnah dan puasa sunnah Senin – Kamis. Jadi penampilan relijius Sandi yang dilihat oleh publik saat ini sebenarnya berasal dari perjalanan panjang dalam hidupnya. Sama sekali bukan sekedar pencitraan.

Muhammad Lutfi, salah seorang sobat dekat Sandi Uno.

Kenal Politik Lewat HIPMI
Kalau ditanyakan pada Sandi Uno, siapa orang yang berperan besar dalam karir organisasinya di HIPMI maka jawabannya adalah Muhammad Lutfi. Sebaliknya apabila diajukan pertanyaan pada Lutfi tentang siapa orang yang berhasil menjadikan HIPMI jadi organisasi sebagaimana impiannya maka jawabannya pasti Sandiaga Uno.

Pada tahun 1999, HIPMI yang merupakan wadah para pengusaha muda Indonesia yang didirikan pada tahun 1972 itu, kondisinya nyaris hancur lebur. Tahun 1998, Lutfi ditunjuk jadi ketua HIPMI Jaya. Saat itu Sandi baru mulai lagi membangun bisnis bersama Rosan di Recapital dan juga bersama Edwin di Saratoga.

Lutfi berusaha menarik Sandi untuk ikut membantunya di HIPMI. Sandi skeptis dengan HIPMI dan dirinya sendiri. Pertama HIPMI nyaris sudah tidak terdengar lagi eksistensinya. Dan kedua, Sandi merasa pengalamannya di organisasi kemasyarakatan sangat minim. Tetapi Lutfi berhasil “memaksa” Sandi untuk ikut bergabung.

Sandi mengenang pelantikan anggota HIPMI Jaya waktu itu sangat “mengenaskan”. Anggota yang dilantik hanya 9 orang dan dilakukan di sekretariat HIPMI. Bahkan dia masih ingat betul ketika Rosan dilantik pada saat itu hanya mengenakan celana pendek. Setelah pelantikan itu Sandi mengakui tidak banyak yang dilakukannya sebagai anggota HIPMI Jaya periode 1998-2001.

Kemudian, pada tahun 2001 itu juga, Lutfi mencalonkan diri sebagai Ketua Umum HIPMI Pusat, lalu dia kembali mendorong Sandi untuk terlibat sebagai tim sukses. Sadar bahwa dia tidak berkontribusi terlalu banyak di HIPMI Jaya, Sandi enggan menerima tawaran itu. Tetapi seperti biasa, Lutfi berhasil memaksanya. Tetapi justru keterlibatannya dalam tim sukses Lutfi lah yang pertama kali memberikan kesadaran politik pada Sandi.


Bagaimana kampanye darat, udara hingga door to door campaign. Termasuk bagaimana cara menyentuh elit tanpa meninggalkan grass root. Belum lagi deal-deal di belakang layar. Sandi diminta untuk jadi LO HIPMI Gorontalo yang baru terbentuk. Lewat cara ini Sandi kembali terhubung dengan tanah kelahiran ayahnya. Hingga akhirnya di hotel Grand Melia Jogja, Lutfi terpilih jadi Ketua Umum HIPMI. Sandi diminta untuk jadi ketua kompartemen jasa dan keuangan.

Penunjukan langsung oleh Lutfi itu menimbulkan gosip tidak sedap. Ada yang beranggapan Sandi tidak pantas masuk jajaran pimpinan karena belum pernah jadi pengurus HIPMI daerah. Disitulah Sandi melihat bahwa di dalam organisasi seperti HIPMI, politik tidak akan pernah selesai walaupun pemilihan sudah terjadi. Di dalam AD/ART HIPMI memang tercantum syarat untuk jadi pengurus pusat harus terlebih dahulu pernah jadi pengurus di daerah. Lutfi berusaha mempertahankan posisi Sandi dengan menggunakan legitimasi sebagai Ketua Umum terpilih, tetapi suara tidak puas terus bermunculan. Hingga kemudian Arifin Akuba, Ketua HIPMI Gorontalo, pasang badan dengan menyatakan bahwa Sandi adalah pengurus HIPMI Gorontalo. Dari peristiwa inilah, Sandi banyak belajar tentang pentingnya membina jaringan hingga tingkat daerah.

Selama jadi pengurus pusat HIPMI pada masa Lutfi, Sandi mengakui keterlibatannya masih sebatas kewajiban formal organisasi. Tidak saja karena HIPMI adalah dunia yang baru tetapi juga karena pada saat itu bisnisnya sedang mendaki puncak. Itu sebabnya ketika jelang akhir kepengurusannya Lutfi bertanya pada Sandi mengenai masa depan HIPMI. Dia agak heran, suara dukungan untuk Sandi maju menggantikan Lutfi pada pengurusan berikutnya bermunculan, dimulai dari HIPMI Gorontalo yang menyatakan kebulatan tekad mendukung Sandi. Awalnya Sandi benar-benar enggan dan tidak mau untuk maju jadi calon Ketua Umum HIPMI. Jadi pengurus saja dia tidak begitu antusias, apalagi ketua. Lutfi pun mulai meng-endorse Sandi dengan menyebut Sandi sebagai salah satu kader terbaik yang berpeluang meneruskan kepemimpinannya di HIPMI.

Munas HIPMI tertunda dua kali pada tahun 2004, pertama karena pemilu presiden dan kedua karena bencana tsunami yang melanda Aceh. Memasuki tahun 2005 Sandi sudah merasa settle di bisnis dan jadi pengurus KADIN, tidak ada rencana melanjutkan kiprah di HIPMI. Tetapi Lutfi terus mendorong Sandi untuk maju. Hingga Sandi akhirnya menanyakan pendapat istrinya. Dengan intuisinya Nur Asiah mengatakan bahwa Sandi perlu suasana baru dan HIPMI bisa jadi salah satu solusinya. Sandi kemudian balik bertanya pada Lutfi berapa waktu yang dihabiskannya untuk mengurus HIPMI. Lutfi menjawab santai, hanya 30% waktunya habis untuk HIPMI sementara 70% lainnya tetap untuk bisnis. Dengan dalih itu, Sandi meminta izin pada Rosan partnernya di Recapital dan Edwin partner di Saratoga untuk bisa menyisihkan waktu 30% nantinya bila terpilih jadi Ketua Umum HIPMI. Keduanya memberikan dukungan pada Sandi.


Ketum HIPMI dan Inspirator Generasi Baru
Kampanye Ketum HIPMI membuka jalan bagi Sandi untuk mengenal Indonesia. Saat berkampanye di Sumatera, dia fasih menyatakan diri sebagai putra kelahiran Rumbai Sumatera. Begitu berkampanye di Kalimantan, dia menjelaskan tentang Adaro sebagai salah satu pilar ekonomi di pulau itu. Sementara untuk Sulawesi, dia pilih Manado yang terletak tidak jauh dari daerah kelahiran ayahnya, Gorontalo. Tidak lupa Sandi mengumpulkan segenap pengurus HIPMI Indonesia Timur di Bali. Dari tiga kandidat yang maju, akhirnya Sandi memenangkan voting secara mutlak dengan capaian suara 138 banding 9 dan 3.

Terpilihnya Sandi sebagai Ketua Umum HIPMI, tidak hanya melambungkan namanya tetapi juga memberi nilai lebih pada HIPMI. Setelah memimpin HIPMI, Sandi baru sadar bahwa dia telah “dikelabui” oleh Lutfi. Waktu yang dihabiskan untuk organisasi ternyata 70% sementara 30% sisanya untuk bisnis.

Penyelesaian masalah Aceh, stabilitas nasional yang semakin kukuh dan pembangunan ekonomi yang gencar dilakukan oleh Presiden SBY dan Wapres JK membuat peran HIPMI jauh lebih besar dibandingkan periode sebelumnya. Dan sejak upaya pembelian Astra dan BCA, Sandi yang masih berusia awal 30-an jadi fenomena baru di dunia usaha Indonesia. Tak pelak lagi, Sandi yang tidak pernah memproyeksikan dirinya memimpin organisasi di luar bisnis, justru muncul sebagai figur muda yang penting di Indonesia.

Kalau Lutfi bisa “memaksa” orang lain untuk menerima gagasannya, maka Sandi adalah figur yang mudah diterima oleh semua kalangan. Lutfi berhasil meletakkan pondasi yang kuat untuk HIPMI tetapi Sandi-lah kemudian yang menjadikan organisasi ini penting dan jauh lebih prestisius dibanding kepengurusan di organisasi lain mana pun. HIPMI telah memberikan ruang yang cukup bagi pemikiran-pemikiran Sandi untuk publik.

Jurus Bangau dari Sandi Uno yang terkenal.

Berkaca pada krisis ekonomi 1997, Sandi melihat bahwa sektor UMKM yang sebagian besar bergerak di sektor informal justru mampu bertahan terhadap krisis. Maka Sandi mulai menggaungkan pentingnya peran UMKM dalam menghasilkan pengusaha-pengusaha baru di Indonesia. Dia rajin datang ke kampus-kampus menginspirasi para mahasiswa untuk jadi pengusaha. Munculnya anak-anak muda pengusaha dalam 10 tahun terakhir di Indonesia adalah buah dari inspirasi tiada henti yang dilakukan Sandi.

Sandi bukanlah seorang orator yang ulung tetapi seorang pekerja keras yang setiap tindakannya memberikan inspirasi dan implikasi luas. Saat pengusaha generasinya masih bangga menggunakan jas dan dasi, Sandi memulai trend baru pemakaian batik. Dampaknya batik jadi baju wajib untuk acara-acara resmi hingga saat ini.

Kecintaannya pada lari kemudian melahirkan komunitas berlari untuk berbagi dan beragam komunitas lari lainnya di Jakarta dan Indonesia. Sementara gagasannya tentang entrepreneurship melahirkan begitu banyak pengusaha baru dan komunitas-komunitas yang memayunginya. Selama tiga tahun memimpin HIPMI, Sandi tidak hanya membesarkan organisasi itu tetapi juga mampu menjadikan dirinya sebagai panutan generasi baru di Indonesia.


KADIN dan Pelajaran Kegagalan
Sandi memulai kiprah dalam KADIN saat kepengurusan MS Hidayat pada tahun 2003. Ketika itu Sandi ditunjuk menjadi Ketua Komite Tetap Bidang UKM. Pada periode kedua kepemimpinan MS Hidayat tahun 2008, Sandi naik jadi Wakil Ketua Umum KADIN bidang UKM. Pada kabinet SBY Boediono tahun 2009, MS Hidayat ditunjuk menjadi menteri perindustrian. Kekosongan sementara jabatan Ketum KADIN saat itu diisi oleh pejabat sementara Adi Tahir. Dan pada tahun 2010 diselenggarakan kongres KADIN untuk memilih Ketua Umum baru.

Dua tahun setelah lengser dari jabatan Ketua HIPMI, nama Sandi masih terhitung fenomenal di Indonesia. Nama Sandi sering disandingkan dengan Anas Urbaningrum di politik dan Anies Baswedan dari dunia intelektual sebagai calon pemimpin masa depan Indonesia. Undangan untuk menghadiri forum nasional dan internasional pun masih banyak diterima. Malah pada April 2010, Sandi mewakili Indonesia dalam The Presidential Summit on Entrepreneurship dimana Presiden Barack Obama bertemu dengan para pemimpin dan pengusaha muslim seluruh dunia. Tetapi di sisi lain, Sandi juga memendam sedikit kekecewaan karena namanya tidak masuk dalam anggota kabinet SBY Boediono. Padahal namanya banyak digadang-gadang untuk mengisi posisi Menteri Koperasi dan UKM.

Kombinasi antara optimisme karena keberhasilannya memimpin HIPMI dan perannya yang semakin besar dalam dunia usaha nasional dengan sedikit kekecewaan di atas membuat Sandi memutuskan maju dalam kontestasi Ketua Umum KADIN. Apalagi dia sudah berkiprah cukup lama di KADIN. Pada awalnya sepertinya Sandi akan melenggang mulus untuk meraih kursi Ketum KADIN. Sandi kemudian muncul mengusung kampanye Indonesia Setara. Sandi menjabarkannya sebagai gerakan untuk membangun mindset percaya diri bahwa rakyat Indonesia mampu berprestasi untuk mendorong kemajuan bangsa terutama di bidang ekonomi. Sayangnya pada saat pemilihan, justru Suryo Bambang Sulisto yang terpilih menjadi Ketua Umum KADIN.


Kegagalan Sandi untuk memimpin KADIN dipengaruhi oleh banyak faktor. Pertama, KADIN adalah organisasi status quo yang sejak zaman Orde Baru erat kaitannya dengan Golkar. Sementara, Sandi tidak pernah secara terbuka menyatakan dukungannya pada Golkar. Kedua, pengaruh Aburizal Bakrie sangat kuat di KADIN dan ditambah lagi dengan posisinya sebagai Ketua Umum Partai Golkar, sehingga “restu” Ical sangat diperlukan dalam kontestasi ini. Dalam hal ini, sepertinya Ical lebih merestui Bambang Sulisto. Ketiga, permainan uang sangat dominan dalam percaturan politik KADIN. Sandi tidak mau masuk dalam permainan itu. Akibatnya banyak daerah-daerah yang mengalihkan dukungannya dari Sandi.

Saat voting dilakukan, Sandi hanya menempati peringkat ketiga dari lima kandidat dengan 22 suara. Sementara Suryo Bambang Sulisto dapat 51 suara dan Wisnu Wardhana 30 suara, sehingga berhak maju pada putaran kedua yang kemudian dimenangkan oleh Suryo Bambang Sulisto. Kegagalan Sandi ini mengejutkan publik yang tidak begitu mengerti “permainan politik” di KADIN. Beberapa pihak mengatakan sejak kegagalan kontestasi itu, Sandi mulai menarik diri dari kegiatan organisasi dan kembali ke habitat awalnya di dunia bisnis.

Sulaiman Saladdin Uno, putra bungsu keluarga Sandiaga Salahuddin Uno.

Menuju Politik Praktis
Pada tanggal 2 Desember 2011, Nur Asiah Uno melahirkan anak ketiga dan merupakan anak lelaki satu-satunya hingga saat ini, bernama Sulaiman Saladdin Uno. Kelahiran Sulaiman menumbuhkan gairah baru bagi Sandi yang usianya sudah menanjak 43 tahun. Di dunia bisnis, baik Saratoga maupun Recapital masih terus berkibar. Ada beberapa kegagalan bisnis seperti Dipasena, Mandala dan terakhir Bloomberg TV Indonesia, tetapi tidak sebesar keberhasilan yang telah dicapai oleh puluhan perusahaan di bawah dua bendera itu.

Sejak tahun 2007 sebenarnya Sandi sudah menarik diri secara aktif dari Recapital. Tetapi dia masih rutin meluangkan waktu di Recapital, minimal setiap hari Jumat. Dan di tahun 2013, tepatnya pada tanggal 27 Juni, tepat sehari sebelum dirinya menginjak usia ke 44 tahun, Sandi berhasil membawa Saratoga untuk melantai di Bursa. Saratoga adalah perusahaan private equity pertama di Indonesia yang melakukan IPO setelah lima belas tahun beroperasi. Ketika itu IPO yang dilakukan oleh Saratoga mencatat transaksi terbesar di bursa Indonesia pada tahun 2013 itu, yakni senilai $ 150 milyar. Pada tahun 2015 yang lalu, Saratoga mengumumkan laba bersih usaha senilai Rp 803 milyar.

Atas dorongan Edwin dan Rosan, Sandi mulai memikirkan terjun ke politik praktis secara full time di awal tahun 2014. Atas perbincangan Rosan dan Onny Hardjanto serta Edwin dan Hashim, Sandi mulai serius berdiskusi dengan Prabowo yang berujung permintaan kesediaan bergabung dengan Partai Gerindra.


Sebelum Sandi menjatuhkan pilihan, beberapa partai telah melakukan pendekatan jelang pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2012. Salah satu tawaran yang diberikan pada Sandi adalah untuk mendampingi walikota Solo Joko Widodo sebagai calon wakil gubernur DKI Jakarta. Dengan berbagai pertimbangan, Sandi menolak tawaran tersebut. Pada awalnya sebelum tawaran itu datang, Sandi pernah coba menjajaki peluang dirinya untuk maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta dengan bantuan konsultan Aditya C Wardhana yang membawa Hasan Nasbi. Tetapi tidak ada follow up dari hasil riset tersebut.

Secara luas publik baru mulai membaca arah politik Sandi pada saat pemilihan presiden tahun 2014. Sandi muncul sebagai juru bicara pasangan Prabowo-Hatta Rajasa. Awalnya publik cukup terkejut dengan kemunculan Sandi di kubu Koalisi Merah Putih yang mengusung pasangan tersebut. Publik memandang Sandi sebagai tokoh muda pembaharu yang sukses karena kerja keras dan bukan karena KKN. Di sisi lain, persepsi publik masih menilai Prabowo sebagai tokoh status quo yang belum bersih betul dari dosa-dosa masa lalu (Pak Harto dan Orde Baru). Pemilihan presiden akhirnya dimenangkan oleh pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, jalan untuk partisipasi politik melalui kabinet tertutup rapat untuk Sandi. Pilihan yang tersedia hanyalah dengan benar-benar masuk ke Partai Politik.

Munas Partai Gerindra pada bulan April 2015 akhirnya menjawab tanda tanya soal arah politik Sandiaga Uno. Tanggal 8 April 2015, Sandi ditetapkan sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra mendampingi Letjen. TNI (Purn.) Prabowo Subianto. Satu bulan kemudian, Rapat Umum Pemegang Saham PT Saratoga Investama Sedaya pada 10 Juni 2015 memutuskan menerima pengunduran diri Sandiaga Uno sebagai Direktur Utama. Secara otomatis Sandi juga melepas 16 jabatan Direktur lainnya di bawah Saratoga termasuk di Adaro Energy. Sandi menyatakan pengunduran diri itu dilakukan karena dirinya ingin fokus terjun ke dunia politik.


Gagasan Ekonomi
William Soeryadjaya adalah mentor bisnis Sandi. Penyelesaian masalah bank Summa dengan cara melepas kepemilikannya di Astra adalah bentuk tanggung jawab William Soeryadjaya yang sulit ditemukan Sandi pada pengusaha lain. Integritas dan tanggung jawab bisnis seperti William Soeryadjaya itulah yang kemudian jadi patokan moral bagi Sandi dalam mengelola bisnisnya.

Sandi menolak dirinya disebut sebagai Investor “Burung Bangkai” yaitu investor yang sengaja membeli perusahaan sakit, yang bangkrut untuk kemudian diperbaiki dan lalu dijual kembali. Sebagai salah satu Dealmaker terbaik di Indonesia, dalam setiap aksi beli perusahaan, Sandi senantiasa berpatokan pada kebutuhan jangka menengah dan jangka panjang. Tidak semua perusahaan yang berhasil diperbaiki dijual kembali oleh Sandi. Sebagian perusahaan tetap dipertahankan, tidak dijual karena memberikan keuntungan jangka panjang.

Dalam melakukan restrukturisasi perusahan-perusahaan bermasalah, Sandi berprinsip sedapat mungkin untuk tidak mengorbankan kepentingan para karyawan hanya demi menyelamatkan pemilik modal. Itu sebabnya hampir tidak pernah terdengar gejolak karyawan dari perusahaan-perusahaan yang diambil alih olehnya.


Sandi memandang kewirausahaan sebagai pola pikir, bukan sekedar tindakan ekonomi. Kreatifitas dan inovasi adalah dorongan utama untuk berwirausaha. Kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas dan kerja ikhlas merupakan “Etos Kerja 4 As” yang harus dibangun untuk mencapai keberhasilan dalam berbagai bidang kehidupan. Untuk membangun landasan dan etos kerja itu dibutuhkan pendidikan formal yang memadai. Dalam hal ini Sandi berseberang pandangan dengan Bob Sadino yang menganggap sekolah tidak penting dalam membentuk seorang wirausaha. Sandi tidak percaya kenekatan yang berujung keberuntungan bagi pemula. Dia lebih percaya pada kerja keras yang didukung oleh kapasitas intelektual yang memadai sebagai hasil dari pendidikan formal.

Energi besar yang dicurahkannya pada UMKM bersumber pada keyakinan Sandi bahwa sektor ini terbukti mampu bertahan melawan krisis dan jadi pintu masuk bagi sebagian besar wirausahawan pemula dalam mengawali bisnis. Masalah utama yang dihadapi oleh UMKM adalah akses modal, akses pasar dan ketersediaan sumber daya manusia. Sandi rajin menggali pemikiran UMKM dari tokoh-tokoh seperti Muhammad Yunus, penggagas Grameen Bank dari Bangladesh, Bambang Ismawan tokoh LSM Bina Swadaya, Tri Mumpuni, penggagas pembangkit listrik mikro hidro dan banyak tokoh lainnya.


Gagasan Politik
Buku Man of The House karya Tip O’Neill banyak berpengaruh dalam membentuk cara pandang Sandi terhadap politik. Memoir politik Thomas Philip “Tip” O’Neill Jr yang pernah menjabat Speaker of US House Representatives itu menginspirasi Sandi dalam banyak hal. Beberapa poin penting yang didapatkan dari buku setebal lebih dari 800 halaman itu antara lain: Actually everything we do, we will always dance with the one who bring us in. (Sebenarnya semua yang kami lakukan, kami akan selalu menari dengan orang yang membawa kami masuk). Bagi Sandi itu erat kaitannya dengan loyalitas, nilai yang sepanjang hidup selalu dipertahankannya. Dia tidak akan melupakan peran Andreas Tjahyadi yang mempertemukannya kembali dengan Edwin atau peran Muhammad Lutfi yang “memaksa”-nya bergabung dalam HIPMI. Sayangnya realitas politik praktis di Indonesia lebih banyak diwarnai oleh manuver-manuver pengkhianatan para Brutus dan atau perilaku menusuk dari belakang.

Dalam bukunya, Tip O’Neill juga menyinggung soal Lyndon Johnson yang dianggap sebagai presiden paling gagal dalam sejarah Amerika hingga saat itu, akan tetapi sebagai politisi dia adalah tokoh yang dianggap paling berhasil. Dari situ Sandi menyadari, politisi yang cemerlang tidak selamanya akan mampu jadi negarawan yang berhasil. Atau negarawan yang berhasil tidak selamanya harus dikenal sebagai seorang politisi yang cemerlang. Dan hal terakhir yang selalu diingat Sandi dari buku Tip O’Neill adalah bahwa politik itu senantiasa bersifat retail dan lokal. Artinya sebesar apapun dana kampanye untuk iklan dan lain-lain apabila tidak diimbangi dengan upaya mendatangi konstituen satu persatu maka akan jadi usaha yang sia-sia. Sandi langsung mempraktekkan gagasan ini ketika maju sebagai kandidat Ketua Umum HIPMI 2005 dan Ketua Umum KADIN 2010.

Walaupun aliran politik di Indonesia tidak pernah jelas karena senantiasa terkait figur, Sandi memiliki kecenderungan Sosial Demokrat dan ini konsisten dengan gagasan dan tindakan yang dilakukannya selama ini. Dia mengakui peran negara diperlukan dalam rangka menegakkan keadilan sosial dan distribusi ekonomi. Tetapi di sisi lain, negara juga harus memberi ruang gerak yang luas kepada setiap individu untuk mewujudkan kesejahteraan masing-masing dalam struktur masyarakat kapitalis. Dalam tatanan sejarah politik Indonesia, pemikiran Sandi lebih condong cocok dengan Bung Hatta ketimbang Bung Karno. Munculnya visi Indonesia Setara sedikit banyak dipengaruhi oleh kecenderungan politik di atas.


Pengaruh Lainnya
Sandi mendapat predikat “Indonesian entrepreneur of the year” pada tahun 2008 dan tercatat sebagai Asia 21 fellow dari Asia Society tahun 2009. Kecintaannya pada olah raga lari jarak jauh, membawanya keliling dunia dan berpartisipasi di 6 world major marathons, New York (2011), Berlin (2012), Tokyo (2014), Chicago (2014), Boston (2015) dan London (2015) untuk mengumpulkan dana sosial di bawah gerakan “Berlari untuk Berbagi.”

Tahun 2005 Sandi ditunjuk menjadi Manajer Tim Nasional Basket Putri Indonesia untuk SEA Games Manila. Tahun 2015, Sandi diangkat sebagai Ketua Umum Persatuan Renang Seluruh Indonesia menggantikan Hilmi Panigoro.

Di bawah naungan Mien R Uno Foundation, Yayasan Inotek dan Yayasan Indonesia Setara, Sandi Uno terus konsisten menggarap dan mensosialisasikan pentingnya inovasi dan kreativitas dalam upaya mencetak wirausaha-wirausaha baru di Indonesia. Kegiatan yang dilakukan oleh yayasan-yayasan di atas antara lain: pelatihan, bantuan modal, dukungan produk inovasi, beasiswa hingga ceramah di kampus-kampus dan komunitas.

Pada tahun 2015, Sandi diangkat menjadi Ketua Umum Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) menggantikan Prabowo Subianto. Organisasi ini menghimpun para pedagang di pasar-pasar tradisional yang terdapat di seluruh Indonesia.

Setelah memutuskan maju bersama Anies Baswedan pada Pilkada DKI 2017. Anies-Sandi berhasil memenangkan pemilihan dan memimpin DKI Jakarta periode 2017-2022 dengan diusung oleh dua partai politik, Gerindra dan PKS. Mulai saat itu, Sandi menjabat sebagai Wakil Gubernur mendampingi Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Di kepengurusan Gerindra, Sandi menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina. Kini, setelah hampir 10 bulan menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandi digandeng Prabowo Subianto sebagai cawapres untuk Pilpres 2019.

Sebagai penutup, pada tahun 2013, Sandi telah dinobatkan sebagai Orang No. 47 Terkaya di Indonesia oleh majalah Forbes. Tapi bagi Sandiaga Uno, predikat sebagai orang terkaya itu tak memberikan pengaruh apa-apa bagi dirinya. Ia mengatakan bahwa itu hanya memberi inspirasi saja bagi para pengusaha untuk memacu usahanya, hanya itu saja.

Sumber:
http://inspirasi-sandii.blogspot.com/2016/06/profil-sandiaga-salahuddin-uno.html
http://biodatakubiografiku.blogspot.com/2016/09/biodata-dan-biografi-sandiaga-uno.html
https://nasional.kompas.com/read/2018/08/09/23583031/infografik-profil-sandiaga-uno
https://id.wikipedia.org/wiki/Sandiaga_Uno

25 September, 2018

Mengenal Sandiaga Salahuddin Uno (Bagian I)


Nama Sandi Uno selama ini dikenal sebagai pengusaha muda yang cukup sukses dengan berbagai lini bisnisnya. Ia semakin dikenal sebagai pejabat publik setelah memenangkan Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 yang lalu sebagai Wakil Gubernur bersama Anies Rasyid Baswedan yang menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Pria bernama lengkap Sandiaga Salahuddin Uno ini dinilai sebagai sosok muda yang dinamis sekaligus relijius. Kursi DKI 2 merupakan awal karier Sandi di kancah perpolitikan. Kini, ia semakin menancapkan jejaknya di ranah politik setelah digandeng oleh Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto sebagai bakal calon Wakil Presiden Republik Indonesia yang akan bertarung pada Pilpres 2019.

Sandiaga Salahuddin Uno, B.B.A., M.B.A., lahir di Rumbai, Riau, pada tanggal 28 Juni 1969 (kini berusia 49 tahun) adalah seorang wirausahawan muda nasional dan juga politisi Indonesia.
Sandi adalah bungsu dari dua bersaudara, putra dari pasangan Razif Halik Uno (Henk) dan Rachmini Rachman (Mien). Sandi memiliki seorang kakak, namanya Indra Cahya Uno yang lahir dua tahun sebelum Sandi.

Ibunda Sandi, Rachmini Rachman atau lebih dikenal dengan nama Mien Uno adalah lulusan IKIP Bandung. Dia berasal dari keluarga pendidik di Cirebon. Sementara Sang Ayah, Henk Uno adalah insinyur lulusan ITB Bandung dan berasal dari keluarga relijius di Gorontalo, Sulawesi.

Rumbai adalah sebuah lokasi penambangan minyak di Riau, Sumatera. Saat itu ayahanda Sandi, Henk Uno bekerja di perusahaan minyak Amerika Caltex. Perumahan pegawai Caltex, biasa disebut Camp diisi oleh para pegawai lokal dan ekspatriat dari Amerika. Mengenang masa kecilnya Sandi pernah mengungkapkan, bahwa mereka biasa mengundang para ekspatriat ketika mengadakan acara di rumahnya walaupun para ekspatriat sangat jarang mengundang pekerja lokal.

Sandiaga Uno dan teman-temannya saat kuliah di Amerika. Nampak diantaranya adalah Erick Thohir (kini jadi Ketua Timses Jokowi-Ma'ruf), Nur Asiah (akhirnya jadi istrinya), dkk.

Masa Kecil Sandiaga Uno
Sejak kelahiran kedua putra mereka, Henk dan Mien Uno bertekad untuk menjadikan anak-anak mereka sebagai generasi yang lebih baik. Henk meletakkan gagasan, Mien memastikan gagasan itu terinternalisasi setiap hari. Mien Uno menegakkan disiplin dengan cara yang keras di rumah. Hukuman fisik, sebagaimana kehidupan anak-anak pada masa itu, rutin diterima oleh Sandi.

Kesuksesan Sandiaga Uno saat ini sepertinya memang telah dipersiapkan oleh orangtuanya. Sosok ibundanya yaitu ibu Mien Uno adalah ibu yang sangat disiplin pada anaknya, bahkan cenderung keras. Sandiaga dan sang kakak sejak kecil sudah dibiasakan untuk membuat jadwal sehari-hari dan harus mematuhinya.

Misalkan jadwal bangun jam berapa, mandi, ke sekolah, belajar, bermain dan lain-lain. Jika Sandiaga dan sang kakak melanggar jadwal yang sudah dibuat, tak segan-segan ia mendapat hukuman dari ibunda. Tak tanggung-tanggung hukumannya bisa berupa ikat pinggang (gasper) yang mendarat di pantat.

Ketika Sandiaga ditanya, bagaimana seorang Ibunda Mien Uno mendidik Sandi kecil. Sandiaga Uno menjawab dengan diplomatis, jika itu diceritakan saat ini maka akan masuk kategori KDRT, begitu jawabannya. Namun hasil didikan orangtuanya terutama ibundanya itulah yang saat ini dirasakan manfaatnya oleh Sandiaga Uno. Ia benar-benar telah ditempa menjadi pribadi yang disiplin, tangguh dan pantang menyerah.

Sandiaga Salahuddin Uno (paling kanan), bersama Indra Cahya Uno (kakak Sandi), Razif Halik "Henk" Uno (ayah) dan Rachmini Rachman "Mien" Uno (ibu).

Anak Sumatera
Dalam tahun-tahun pertama kehidupannya, Sandi tumbuh sebagai anak Sumatera. Tinggal di kompleks pertambangan, dididik dengan disiplin yang keras serta tumbuh, belajar dan bermain bersama-sama anak Sumatera.

Henk Uno menjelaskan bahwa kepindahan mereka ke Jakarta dilatarbelakangi oleh keinginan Mien Uno untuk menekuni karir di dunia pendidikan. Hal ini wajar mengingat latar belakang pendidikan keguruannya dan kenyataan bahwa kedua puteranya sudah mulai tumbuh besar. Henk yang tidak ingin terpisah dengan keluarga, mencoba segala cara untuk bisa ikut pindah ke Jakarta termasuk diam-diam melamar ke perusahaan lain. Atasannya di Caltex akhirnya bisa mencarikan satu posisi di kantor Caltex Jakarta untuk Henk Uno.

Saat keluarga Henk Uno pindah ke Jakarta, rumah mereka di daerah Kebayoran Baru masih dalam proses pembangunan. Oleh sebab itu Caltex memberikan fasilitas pada keluarga kecil itu untuk tinggal selama tiga bulan di Hotel Indonesia, sambil menunggu selesainya rumah mereka. Saat itu, di pertengahan tahun 1970-an Hotel Indonesia masih merupakan hotel yang paling prestisius di Jakarta.


SD PSKD dan Basket
Mien Uno punya prinsip sederhana dalam memilih sekolah untuk anak-anaknya. Sekolah harus dekat dengan rumah. Itu sebabnya Sandi dimasukkan ke SD PSKD Bulungan yang tidak jauh dari Kebayoran baru. PSKD adalah singkatan dari Perkumpulan Sekolah Kristen Djakarta.

Sandi mengenang, prestasi belajarnya pada waktu itu biasa-biasa saja. Sebagai siswa baru yang berasal dari daerah dia lebih banyak fokus dalam menyesuaikan diri dengan teman-teman barunya di Jakarta.

Saat kelas lima SD Sandi mulai menekuni olahraga bola basket. Sebelum menekuni basket sebenarnya Henk Uno sudah mengenalkan olahraga renang kepada putranya itu. Namun, Sandi ternyata lebih menekuni bola basket dan bergabung dengan klub basket Chirasthyta (Citra Satria Tunas).

Setelah lulus SD, Sandi melanjutkan pendidikan di SMPN 12 Wijaya yang terletak juga tidak jauh dari rumahnya. Karena lokasi rumah yang dekat dengan sekolah itu maka rumah Sandi jadi basecamp bagi teman-temannya, bahkan ada yang sampai sebulan menginap di rumahnya.

Nur Asiah dengan background gedung sekolah SMP Islam Al-Azhar.

Hal ini bertolak belakang dengan kakak Sandi, Indra Uno yang pada saat itu cenderung sedikit lebih tertutup. Indra Uno bercerita bahwa kecenderungan sifat yang bertolak belakang antara dia dan Sandi pada saat itu sebenarnya bawaan dari kedua orang tua mereka. Mien Uno lahir di tengah-tengah keluarga besar delapan bersaudara yang senang berkumpul. Sementara dalam keluarga besar Henk Uno, mereka bersifat independen satu sama lain dan hidup sendiri-sendiri.

Prestasi dan kepemimpinan Sandi mulai muncul saat SMP ini. Dia ditunjuk sebagai Kapten Tim basket SMPN 12 dan kemudian memimpin tim itu menjuarai kejuaraan basket antar SMP se Jakarta. Di bidang akademik, Sandi juga mengalami peningkatan luar biasa. Kelas satu dia mulai masuk lima besar dan selanjutnya kelas dua dan tiga selalu jadi juara kelas.

Tidak hanya itu, pada saat SMP itu pula lewat temannya Achmad Jaelani dia berkenalan dengan adik dari teman mereka bernama Ali. Gadis itu bernama Nur Asiah yang saat itu sekolah di SMP Al-Azhar. Nur Asiah pun jadi pacar pertama dan satu-satunya yang kelak menjadi istri yang mendampingi Sandi Uno sepanjang hidupnya.

Rosan Perkasa Roeslani, teman sebangku Sandiaga Salahuddin Uno ketika sama-sama bersekolah di SMA Pangudi Luhur, Jakarta.

SMA Pangudi Luhur
Pangudi Luhur (PL) adalah salah satu SMA Katholik terbaik di Jakarta. Banyak lulusan dari SMA tersebut yang menjadi birokrat dan pengusaha sukses, termasuk beberapa orang menteri. Sandi yang cemerlang pada saat sekolah di SMP Negeri terpaksa harus menyesuaikan diri lagi dengan pendidikan di sekolah Katholik itu. Tidak mudah untuk meraih lima besar apalagi juara kelas.

Di SMA PL, Sandi memiliki dua orang sahabat Rosan dan Panji. Rosan, putra dari seorang dokter Betawi jadi teman sebangku Sandi selama tiga tahun. Buah dari persahabatan panjang mereka akan terlihat nantinya dengan lahirnya PT Recapital. Selama tiga tahun SMA itu, Rosan senantiasa kukuh mendukung Sandi. Bahkan untuk hal yang paling tidak masuk akal, seperti ketika Rosan mencalonkan Sandi untuk jadi Ketua Persatuan Pelajar Sekolah Katholik PL. Sandi tidak terpilih karena hanya dapat satu suara dan itu dari Rosan.

Di dunia basket, Sandi mengalami puncak sekaligus titik balik karir olahraganya. Sandi akhirnya bergabung dengan klub semi profesional Citra Satria yang bermain di kompetisi Pra Kobatama. Saat SMA, Sandi masih mengangankan kuliah di Universitas Indonesia dan melanjutkan karir basket di kompetisi mahasiswa. Sayangnya dua impian itu tidak tercapai. Karir basket Sandi terhenti karena cedera engkel yang dialaminya. Sementara dia juga tidak jadi melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia.

Nilai akademik Sandi di SMA membaik setelah dia berhenti total dari basket. Pada saat penjurusan, gurunya memasukkan Sandi ke jurusan IPA. Sandi menyadari dia tidak begitu menyukai pelajaran Matematika dan Eksakta lainnya dan cenderung menyenangi pelajaran Ekonomi dan Ilmu Sosial. Dia meminta izin untuk memilih sendiri jurusan IPS. Pilihan itulah yang kemudian jadi jalan hidup Sandiaga Uno.


Wichita State University
Pendidikan kedua anaknya adalah prioritas utama Henk dan Mien Uno. Indra yang bersekolah SMA di Australia telah melanjutkan pendidikan Aeronautical di Wichita State University lewat program beasiswa Habibie (IPTN). Saat lulus SMA, Sandi sempat mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru) dengan pilihan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Tetapi sebelum pengumuman kelulusan keluar, Henk sudah menawarkan tiket ke Amerika. Sandi diminta menyusul kakaknya, kuliah di Wichita State University (WSU). Baru kemudian ketika sudah mulai kuliah di sana, Sandi menerima kabar bahwa dia diterima di Fakultas Ekonomi UI.

Konsisten dengan ketertarikannya pada Ekonomi, Sandi mengambil jurusan Akuntansi di W Frank Barton School of Business, Wichita State University. Karena alokasi budget orang tua dan beasiswa yang terbatas, Sandi berusaha keras agar dia bisa lulus tepat waktu.

Selain nilai akademisnya yang di atas rata-rata, banyak hal lain yang didapatkan Sandi selama kuliah di sana. Salah satunya, di kampus WSU lah Sandi pertama kali mengenal kata Enterpreneurship.

Saat Sandi kuliah, di kampus WSU tengah dibangun gedung Devlin Hall yang diperuntukkan sebagai Center for Enterpreneurship WSU. Sandi juga terlatih menulis karena saat itu hubungan paling murah dengan orang-orang di tanah air adalah lewat surat menyurat. Rosan, sahabat Sandi kemudian juga kuliah di Stillwater Oklahoma. Begitu juga dengan Nur Asiah yang setahun kemudian juga melanjutkan kuliah di Stillwater. Restoran Eskimo Joes di Stillwater jadi tempat kencan Favorit Sandi dan Nur Asiah.

Ketika kuliah di WSU, Amerika Serikat itulah, Sandiaga sangat merasakan manfaat disiplin yang dulu telah ditanamkan sang ibunda, Mien Uno. Bangun pagi dan membaca materi kuliah seminggu sebelum kuliah berlangsung sudah jadi kebiasaannya di sana.

Tak pelak lagi, Sandi tidak hanya lulus tepat waktu di WSU tetapi juga lulus dengan predikat Summa Cumlaude. Dunia Entrepreneurship masih jauh dari pikiran Sandi pada saat itu. Dengan titel sarjana, Sandi pulang ke tanah air dan ingin memulai karir di dunia profesional.


Bank Summa
Sejak menekuni karirnya di bidang pendidikan karakter, nama Mien Uno meroket di Jakarta. Mulai pertengahan tahun 1970-an, Mien punya program di TVRI, menekuni berbagai organisasi hingga kemudian mendirikan sekolah kepribadian Duta Bangsa. Mien Uno pun memiliki jaringan yang luas termasuk dengan orang-orang di dunia bisnis seperti keluarga Soeryadjaya pemilik Astra.

Jelang tahun 1990-an PT Astra Internasional tumbuh jadi raksasa lokal. Tidak hanya itu, Astra juga jadi tempat menempa profesional muda yang menghasilkan eksekutif dan entrepreneur hebat. Lewat hubungan baik Mien Uno, Sandi dikenalkan kepada keluarga Soeryadjaya. Edward, anak sulung William Soeryadjaya menawari Sandi untuk bergabung dengan Bank Summa.

Bank Summa pada saat itu merupakan salah satu bank swasta yang tengah tumbuh dengan pesat. Sandi menempati posisi finance and accounting officer di Bank Summa. Layaknya seorang pekerja junior di bank, Sandi mengikuti keseluruhan proses kerja sesuai dengan posisinya. Mulai dari pelatihan, bimbingan dari senior hingga melakukan pekerjaan remeh temeh seperti foto copy dokumen dan lain sebagainya.

Proses belajar dari bawah ini membuat Sandi jadi seorang yang teliti, penuh perhitungan dan loyal terhadap apapun bidang yang dikerjakannya. Tidak lama setelah bekerja, Bank Summa menawari Sandi beasiswa S2 di Amerika.


George Washington University
Sandi melanjutkan pendidikan Master of Business Administration di George Washington University (GWU), Washington DC. Suasana DC jauh lebih nyaman dibanding Wichita karena lebih banyak pemukim Indonesia tinggal di sana. Satu tahun pertama pendidikan di GWU berjalan dengan lancar. Sandi mulai aktif dalam perkumpulan mahasiswa Indonesia di Amerika (PERMIAS).

Tiba-tiba Bank Summa mengalami kesulitan likuiditas yang berujung pada kasus kredit macet. William Soeryadjaya turun tangan mengambil alih kepemilikan Bank Summa hingga kemudian menjaminkan kepemilikan sahamnya di aset paling berharga keluarga Soeryadjaya, Astra. Tetapi semua usaha yang dilakukan oleh William Soeryadjaya, yang akhirnya bahkan kehilangan kepemilikan di Astra, tidak bisa menyelamatkan Bank Summa.

Dampaknya, beasiswa S2 Sandi pun berhenti di tengah jalan. Sandi mengakui, saat itu dia enggan untuk menanyakan kelanjutan beasiswanya karena merasa tidak etis apabila dilakukan di tengah krisis itu. Dia juga tidak mau berbagi dengan siapapun soal beasiswa yang terhenti itu. Sementara tabungannya dari hasil bekerja di Bank Summa pun tidak banyak.

Untunglah, dengan prestasi akademik di atas rata-rata pada saat itu, Sandi bisa melamar pekerjaan menjadi asisten lab di GWU dengan bayaran US$ 3 perjam. Pekerjaan itu tidak lama  ditekuninya, karena kemudian terbuka kesempatan untuk pekerjaan dengan gaji lebih tinggi menjadi Tutor dengan gaji US$ 6 perjam. Akhirnya Sandi tidak sekedar berhasil menyelesaikan studi di GWU, tetapi kembali lulus dengan predikat Summa Cumlaude.


Puncak Karir Profesional
Di tengah krisis yang menimpa Bank Summa, banyak tawaran kerja di luar negeri kepada Sandi. Tetapi Sandi memutuskan untuk kembali ke Indonesia, tetap dengan status sebagai karyawan Bank Summa. Pada tanggal 14 Desember 1992, Bank Summa dilikuidasi oleh Bank Indonesia. Sandi kehilangan pekerjaan. Walaupun begitu, loyalitas Sandi membuat dia semakin dekat dengan William Soeryadjaya. Dalam banyak kesempatan, Sandi mengakui bahwa William Soeryadjaya adalah mentor bisnisnya. Saat itulah Sandi melihat langsung bagaimana William Soeryadjaya mengelola krisis, bertanggung jawab dengan semua yang terjadi dan bahkan kemudian kehilangan Astra Internasional.

Sandi Uno dari kecil memang bercita-cita ingin jadi professional, ia ingin hasil yang sempurna di bidang akademis dan kemudian bekerja di perusahaan multinasional yang bonafide dan merintis jenjang karier di sana. Bagi Sandi yang memiliki prestasi akademis demikian cemerlang, untuk mendapatkan pekerjaan yang ia impikan tidaklah sulit.

Edward Soeryadjaya kemudian mengajak Sandi untuk pindah bekerja ke Singapura. Sandi bekerja sebagai finance and investment analist di Seapower Asia Investment Limited. Setahun kemudian, karirnya menanjak ketika bergabung dengan MP Holding Limited Group sebagai Investment Manager. Pada tahun 1995, ketika menginjak usia dua puluh enam tahun, Sandi bergabung dengan NTI Resources Ltd, Kanada sebagai Executive Vice President. Pekerjaan ini membawanya kembali ke tanah Amerika Utara, tepatnya di Calgary Canada. Di usia yang masih muda itu, Sandi sudah bisa menghasilkan satu juta dollar. Saat sedang mendaki puncak karir itulah Sandi memutuskan untuk menikahi Nur Asiah.


Pernikahan
Melalui Achmad Jaelani, teman saat SMP, Sandi dikenalkan kepada Nur Asiah. Nur bersekolah di SMP Al-Azhar, saat itu satu tahun di bawah Sandi. Seperti halnya hobby dan pekerjaan, Sandi juga loyal dengan satu perempuan saja yang sudah dikenalnya sejak usia belia.

Menurut cerita temannya, Rosan, selama tiga tahun di SMA, hubungan Sandi dan Nur sering putus sambung. Beberapa kali Rosan berusaha mengenalkan Sandi kepada gadis-gadis lain pada saat putus itu tetapi tidak pernah berhasil. Akhirnya Rosan pun terlibat membantu Sandi untuk memperbaiki hubungan Sandi dengan Nur kembali.

Cerita berlanjut saat berada di Amerika, diawali dengan surat-suratan hingga akhirnya Nur juga kuliah di Amerika. Tepatnya di Stillwater Oklahoma yang berjarak sekitar dua jam perjalanan dari Wichita. Setiap akhir pekan, Sandi meluangkan waktunya pergi ke Stillwater untuk bertemu dengan Nur Asiah.

Sandi bersama istri (Nur Asiah) dan ketiga anaknya, Amyra Atheefa Uno, Sulaiman Saladdin Uno, dan Aneesha Atheera Uno.

Nur Asiah adalah putri dari Haji Abdul Azis Marzuki, asli keluarga Betawi yang menguasai tanah luas di daerah Jakarta Selatan. Seiring perkembangan Jakarta yang pesat, kebutuhan lahan untuk perkantoran dan lain-lain yang meningkat, keluarga Haji Abdul Azis Marzuki menikmati harga tanah yang terus membubung tinggi. Sehingga Nur Asiah sudah terlebih dahulu menikmati kehidupan yang sangat berkecukupan sebelum menikah dengan Sandi.

Menurut Sandi, dia nyaris tidak memiliki persamaan dengan Nur. Kepribadian mereka banyak yang bertolak belakang. Nur cenderung bicara apa adanya, terkadang ceplas ceplos. Sementara Sandi suka menahan diri, senantiasa berusaha terlihat tenang tanpa emosi. Dalam mengambil keputusan, Sandi selalu mengedepankan logika dan rasionalitas sementara Nur banyak menggunakan perasaan dan intuisi. Perbedaan-perbedaan ini menurut Sandi, justru merupakan hal yang sangat mengikat erat dirinya dengan Nur. Terbukti kemudian dalam banyak keputusan penting dalam hidupnya, termasuk keputusan bisnis, intuisi Nur banyak membantu Sandi.

Sandi dan Nur Asiah menikah di Singapura pada tahun 1996 dengan mengundang keluarga dan sahabat dekat. Tidak ada acara mewah berlebihan sebagaimana pernikahan keluarga-keluarga pesohor lainnya pada saat itu. Pasangan muda itu kemudian tinggal di Singapura mengikuti karir Sandi yang tengah menapaki puncak kesuksesan. Kebahagiaan bertambah karena tidak lama kemudian, Nur Asiah hamil dan melahirkan putri pertama mereka Aneesha Atheera Uno pada tahun 1997. Kini (tahun 2018), keluarga Sandi telah dikaruniai 3 buah hati, 2 putri bernama Aneesha Atheera Uno dan Amyra Atheefa Uno, serta 1 putra bernama Sulaiman Saladdin Uno.


Recapital
Sebagai manajer investasi yang karirnya melesat tinggi, Sandi pun kadang terlalu percaya diri dalam mengambil keputusan-keputusan investasi. Termasuk ketika menginvestasikan sebagian besar tabungannya. Saat krisis moneter melanda negara Asia, perusahaan tempat Sandi bekerja ikut terkena dampak yang buruk. Selama beberapa bulan Sandi bekerja tanpa digaji. Lebih buruk lagi, dia nyaris tidak punya tabungan lagi, sebab semua uangnya sudah diinvestasikan. Sementara Atheera baru saja lahir. Tanpa gaji dan tabungan, Sandi memutuskan untuk pulang bersama keluarga kecilnya ke Jakarta.

Sejak kecil Sandi terbiasa independen, hampir tidak pernah minta bantuan pada orang lain. Bahkan dalam keadaan paling sulit pun dia tidak mau orang lain mengetahui kesulitannya. Tetapi kali ini, Sandi tidak punya pilihan lain. Tanpa tabungan dan tempat tinggal di Jakarta, akhirnya Sandi membawa Nur dan Atheera tinggal bersama orang tuanya.

Saat itu, Indonesia mengalami dampak terparah dari krisis moneter (krismon). Banyak perusahaan yang gulung tikar dan PHK massal pun terjadi. Gagasan Entrepreneurship yang dulu hanya selintas dilihat Sandi pada bangunan Devlin Hall yang belum jadi, sekarang jadi satu-satunya pilihan untuk bertahan hidup. Kebetulan pada tahun 1997 itu, Rosan juga baru saja berhenti dari pekerjaannya. Maka, keduanya sepakat untuk mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang konsultasi keuangan.

Sandi dan Rosan mengenang kenekatan mereka itu. Dua anak muda berusia 28 tahun dengan pengalaman singkat di dunia keuangan menawarkan jasa konsultan keuangan di tengah-tengah krisis ekonomi yang hebat. Kenekatan itu jadi cikal bakal berdirinya PT Recapital.


Di tengah kekacauan akibat krismon itu, Sandiaga akhirnya memutuskan untuk berbisnis sendiri bersama teman SMA nya yaitu Rosan Perkasa Roeslani. Sandi berpikir, saat itu ada banyak sekali perusahaan yang gulung tikar karena krismon, tentu banyak pula dari perusahaan itu yang memerlukan konsultan keuangan demi untuk menyelamatkan perusahaan mereka.

Sandi dan Rosan kemudian mendirikan PT Recapital Advisor, yaitu perusahaan jasa konsultasi bisnis dan keuangan. Sandi harus berusaha mendapatkan klien untuk bisnisnya. Sangat susah sekali mendapat klien saat itu, karena mereka semua menganggap Sandi masih belum berpengalaman dan masih terlalu muda untuk menjadi konsultan bisnis.

Kantor pertama mereka adalah sebuah ruangan bekas salon dengan cat warna pink. Tidak nyaman dengan kantor itu, Sandi dan Rosan selalu bertemu dengan klien di luar kantor dengan beragam alasan yang mereka kemukakan pada klien.

Untuk menunjang operasional, keduanya menggunakan mobil Suzuki Katana pinjaman dari orang tua yang sedapat mungkin juga kalau bisa, tidak dilihat oleh klien yang high profile. Bukan pekerjaan yang mudah untuk mendapatkan klien. Bolak-balik meeting hingga uang di kantong pun menipis. Pernah suatu kali Sandi hendak meminjam uang untuk beli susu anaknya pada Rosan tapi ternyata pada saat yang sama, Rosan juga sedang tidak punya uang dan juga berniat hendak meminjam uang pada Sandi.

Di tengah-tengah krisis yang semakin hebat itulah, dua sahabat itu, Sandi dan Rosan, memulai Recapital sebagai perusahaan konsultan bisnis dan keuangan.


Klien pertama Rosan adalah Ramako. Dan klien pertama Sandi adalah Jawa Pos Group. Pengalaman berkesan menangani Jawa Pos Group adalah ketika Sandi harus menunggu Dahlan Iskan (CEO Jawa Pos Group) selama berjam-jam di lobby. Namun ketika Dahlan keluar ruangan, ternyata dia tidak punya cukup waktu untuk mendengar penawaran Sandi secara lengkap. Maka jadilah Sandi menyampaikan penawarannya secara singkat di dalam elevator (The power of elevator pitch) selama tidak lebih dari tiga menit, yang hebatnya, penawaran Sandi tersebut akhirnya disetujui oleh Dahlan Iskan.

Sandi akhirnya sukses dengan klien pertamanya, Jawa Pos Group, dan mendapatkan uang jasa Rp 10 juta. Saking gembiranya, ia sampai melaminating invoice-nya itu. Jika ia mengalami kendala dalam bisnisnya, maka ia pandangi invoice dari hasil pendapatan pertama bisnisnya itu agar tak berputus asa.

Karena memang tidak mudah untuk mendapatkan klien, Sandi akhirnya memutuskan untuk menggratiskan advice yang diberikan jika restrukturisasi yang dilakukan perusahaan kliennya gagal. Padahal kebiasaan saat itu seorang konsultan sudah dibayar sebelum melakukan kerja. Jadi, Sandi memiliki pola pikir yang dibalik, ia hanya mengirim invoice penagihan apabila jasa konsultasinya telah berhasil merestrukturisasi perusahaan yang menjadi kliennya.

(Bersambung ....)

Sumber:
http://inspirasi-sandii.blogspot.com/2016/06/profil-sandiaga-salahuddin-uno.html
http://biodatakubiografiku.blogspot.com/2016/09/biodata-dan-biografi-sandiaga-uno.html
https://nasional.kompas.com/read/2018/08/09/23583031/infografik-profil-sandiaga-uno
https://id.wikipedia.org/wiki/Sandiaga_Uno