26 Oktober, 2009

KPK


Semua bermula di Hong Kong, kurang-lebih. Seorang teman yang telah menonton film baru sutradara Wong Jing mengingatkan: film I Corrupt All Cops (produksi 2009) menunjukkan bahwa bentrok antara komisi pemberantasan korupsi dan pejabat polisi bukan hanya cerita Indonesia.

Tentu saja I Corrupt All Cops bukan cukilan sejarah. Film ini menceritakan pergulatan beberapa petugas Independent Commission Against Corruption (ICAC) melawan sejumlah perwira polisi Hong Kong yang korup. Wong Jin berusaha untuk tak norak, kata teman itu, tapi filmnya akhirnya hanya menyajikan sepotong kisah yang disederhanakan.

Sejarah ICAC, yang didirikan pemerintah Hong Kong pada 1974, dan akhirnya jadi sebuah ikhtiar yang berhasil (dan dicontoh oleh Indonesia untuk membentuk KPK), memang bukan potongan-potongan cerita yang lurus.

ICAC mencatat prestasi ketika lembaga baru ini memenjarakan Peter Fitzroy Godber, perwira tinggi polisi yang tak bisa menjelaskan dari mana uang US$ 600 ribu ada di rekening banknya. Godber melarikan diri ke Inggris dengan bantuan rekan-rekannya. Dengan gigih, ICAC berhasil mengekstradisi sang buaya kembali ke Hong Kong. Ke dalam kurungan.

Tapi dengan segera HKPF, angkatan kepolisian kota itu, merasa terancam. Pada 28 Oktober 1977, beberapa puluh anggotanya menyerbu memasuki kantor ICAC. Ketegangan terjadi. Akhirnya kepala pemerintahan Hong Kong (dulu disebut ”Governor”) memutuskan untuk memberikan amnesti kepada hampir semua anggota polisi yang korup yang melakukan kejahatannya sebelum 1977. Wibawa ICAC pun merosot.


Tapi kemudian terbukti, kebijakan pemerintah berbuah. Sejak amnesti itu polisi Hong Kong memperbaiki diri. Bahkan HKPF membiarkan pembersihan besar-besaran dalam dirinya oleh ICAC pada 2008. Dari sini tampak, kekuasaan -apa pun asal-usulnya- tak pernah berada di sebuah ruang politik yang konstan.

Kekuasaan ICAC yang luas dan dijamin hukum tak dengan sendirinya lepas dari gugatan hukum. Wewenangnya untuk menyadap pembicaraan telepon tak selamanya direstui peradilan. April 2005, seorang hakim pengadilan distrik tak mau menganggap rekaman yang dihasilkan ICAC sebagai barang bukti. Alasan: tak ada prosedur yang legal yang mengatur penyadapan itu. Tiga bulan kemudian, seorang wakil hakim pengadilan distrik menganggap ICAC telah melanggar ”secara terang-terangan” hak empat terdakwa, dengan memberikan tugas kepada seorang bekas tertuduh merekam percakapan mereka.

ICAC, sebagaimana KPK, tentu bisa mengatakan, dirinya adalah tanda keadaan genting. Ia tak akan ada seandainya polisi, jaksa, dan pengadilan bekerja penuh, sesuai dengan tugas mereka, seandainya mereka membangun sebuah situasi yang disebut ”normal”.


Tapi di Hong Kong sebelum 1980-an, sebagaimana di Indonesia sampai sekarang, korupsi menyakiti tubuh masyarakat di tiap sudut. Ada korupsi model Godber, yang mempergunakan kekuasaannya yang tinggi; ada yang dilakukan pemadam kebakaran yang memungut uang sebelum bertugas mematikan api; ada pula para pelayan rumah sakit yang di tiap sudut, dari ruang ke ruang, meminta uang.

Dalam situasi itu, kejahatan terbesar korupsi adalah menghancurkan ”modal sosial -sebuah sikap masyarakat yang percaya bahwa orang lain bukanlah buaya. Korupsi menyebabkan kepercayaan itu rusak. Ejekan yang memelesetkan singkatan ICAC (jadi ”I can accept cash”, atau ”I corrupt all cops”) adalah indikasi hancurnya ”modal sosial”. Negeri telah jadi sederet labirin yang membusuk.

Maka ICAC, terlebih lagi KPK, lahir dengan kekuasaan yang abnormal: ia mekanisme penyembuhan yang juga sebuah perkecualian. Kekuasaannya lain dari yang lain. Wewenang KPK bahkan lebih besar ketimbang ICAC. Di Hong Kong komisi itu tak punya wewenang menuntut. Di sini, KPK mempunyainya.

KPK juga tak hanya harus bebas penuh dari dikte kekuasaan mana pun. Di Hong Kong, ICAC bekerja secara independen namun bertanggung jawab kepada ”Chief Executive”, yang dulu disebut ”Governor”. Di Indonesia, KPK tak bertanggung jawab kepada Presiden.

Keluarbiasaan itu mungkin kini tak hendak dibicarakan. Tapi mungkin tak bisa dilupakan: keadaan yang melahirkan kekuasaan sebesar itu ibarat (untuk memakai kata-kata Agamben) ”daerah tak bertuan antara hukum publik dan fakta politik”. Dengan kata lain, kekuasaan itu lahir dari kehendak subyektif yang menegaskan kedaulatan.


Tapi pada akhirnya kedaulatan itu bertopang pada legitimasi yang contingent. Tak ada dasar yang a priori yang membuat kedaulatan itu, dan para pemegang kekuasaan istimewa itu, datang begitu saja.

Dengan kata lain, di ”daerah tak bertuan”, kekuasaan justru semakin perlu pembenaran. Apalagi kekuasaan yang diperoleh ICAC dan KPK bersifat derivatif: bukan datang dari pilihan rakyat —sumber mandat sebuah demokrasi— melainkan dari badan-badan yang dipilih rakyat. Ia terus-menerus butuh pihak di luar dirinya. Ia butuh sekutu, dengan segala risikonya. Bahwa tugas ICAC maupun KPK merupakan tugas luhur yang mengatasi kepentingan sepihak, tak berarti politik (”the political”) berhenti. Kekuasaan selalu ada bersama resistansi terhadap dirinya.

Maka konflik bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Sengketa bahkan bisa lebih panjang ketimbang sebuah cerita film Hong Kong. Adegannya mungkin kurang brutal dan dramatis, tapi akan ada korban manusia yang bersalah atau tak bersalah. Sebab, di ”daerah tak bertuan”, perjuangan melawan korupsi adalah perebutan tiap jengkal ruang strategis yang tersedia. Tiap benteng harus dikuasai, bukan dikosongkan. Tiap langkah adalah kesetiaan, dengan kegemasan, tapi juga dengan organisasi yang dipersiapkan untuk perang 100 tahun.

Goenawan Mohamad
MBM TEMPO, 5 Oktober 2009

20 Oktober, 2009

Terkait Kasus Bank Century, Boediono dan Sri Mulyani Diminta Mengundurkan Diri


Wakil presiden terpilih Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani didesak untuk mengundurkan diri dari jabatannya karena diduga terlibat dalam kasus Bank Century. “Saya menyarankan supaya Boediono dan Sri Mulyani jangan menduduki jabatan dulu. Sampai urusan ini selesai pertanggungjawabannya secara hukum,” ujar ekonom Fuad Bawazier, di sela-sela diskusi, Skandal Century, di Hotel Sahid, Jakarta, Kamis (8/10).

Jika keduanya masih tetap menjabat sebagai wakil presiden dan menteri, lanjutnya, dikhawatirkan upaya hukum untuk mengusut kasus Bank Century akan mandek.

Fuad lantas membandingkan dengan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah, yang langsung dinonaktifkan oleh Presiden begitu terlibat suatu kasus. Padahal, menurutnya, kasus Bank Century terbilang lebih berat jika dibandingkan dengan kasus yang menjerat kedua pimpinan KPK tersebut.

Itu, Candra dan Bibit, karena ada masalah begitu saja, kan mereka juga dinonaktifkan. Ini kan kasusnya lebih besar lagi, sampai Rp 6,7 triliun. Jadi harus nonaktif atau mengundurkan diri dulu,” tandasnya.

Fuad juga memprediksi bahwa Boediono tidak akan lolos dari jeratan hukum atas kasus ini. Dirinya menyebut, masyarakat justru akan mempertanyakan jika ternyata Boediono dapat lolos nantinya. “Kalau akal sehat saya, tidak mungkin lolos kecuali diloloskan. Itu soal lain lagi,” ucapnya.

SURYA Online, 8 Oktober 2009

Keterlibatan Boediono dan Sri Mulyani dalam Kasus Bank Century Harus Dilihat Secara Objektif


Adanya dugaan keterlibatan Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam kucuran dana Rp 6,7 triliun kepada Bank Century, tidak lagi terkait sistem perekonomian melainkan masuk dalam ranah hukum pidana. Dalam konferensi PBB anti Korupsi yang telah diratifikasi Indonesia, disebutkan penyalahgunaan dana publik masuk dalam korupsi negara.

Menurut analis ekonomi Yanuar, meski keterlibatan dua pejabat negara Boediono dan Sri Mulyani dalam aliran dana Rp 6,7 trilyun kepada Bank Century harus ditindak lanjuti, dirinya berharap kepada Badan Pengawas Keuangan, Kejaksaan Agung termasuk KPK harus transparan dalam menyampaikan hasil pemeriksaan dua pejabat tersebut.

Sementara itu pengamat ekonomi sekaligus anggota DPR RI Hadi Negoro mengatakan, isu Bank Century merupakan isu sensitif, karena di dalamnya terkait dana publik, sehingga semua pihak diminta memandang masalah ini dengan objektif tanpa tendensi untuk menyudutkan siapa saja yang kebetulan menjabat pada lembaga itu. Justru karena itu kasus Bank Century harus dilihat secara mendalam agar persoalannya dapat terlihat jernih.

Ia mensinyalir karena kesibukannya, Boediono dan Sri Mulyani saat itu, maka dimanfaatkan bawahannya untuk menandatangani surat keputusan guna meminta dana talangan pada KSSK. Bahkan lebih jauh dirinya menduga Boediono dan Sri Mulyani dijebak oleh laporan tidak lengkap pejabat Bank Indonesia.

Senada dengan Hadi, pengamat ekonomi dari Universitas Gajah Mada Sri Adiningsih mengatakan, bahwa pengambilan keputusan Bank Century melibatkan banyak pejabat. Menurut Sri, banyak hal dapat terjadi dalam proses pengerjaannya, misalkan data-data yang disodorkan kepada Boediono dan Sri Mulyani kemungkinan ada yang salah. Jika dilihat secara objektif, keputusan ini jangan hanya dilihat dalam level atas tetapi perlu juga dilihat dari level bawah.

Sri Adiningsih juga menyatakan, kasus Bank Century ini juga memiliki nilai politis dan ekonomi yang tinggi sehingga sangat rentan ditunggangi kepentingan berbagai pihak. Untuk itu dirinya mengajak seluruh masyarakat dalam menanggapi masalah ini dengan kepala dingin dan jernih.

Radio Republik Indonesia, 15 Oktober 2009
http://www.rri.co.id/

Informasi BI Tak Jelas Akibatkan Pembengkakan “Bailout” Bank Century


Laporan sementara hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap dana penyehatan Bank Century mengungkapkan adanya ketidakjelasan dan ketidaklengkapan informasi Bank Indonesia (BI) terhadap sejumlah risiko sehingga terjadi pembengkakan dana penyehatan. Demikian inti laporan sementara audit investigasi BPK Rabu (30/9) pagi ini.

Biaya penyelamatan Bank Century membengkak dari yang semula hanya Rp 632 miliar menjadi Rp 6,76 triliun. Penilaian adanya ketidaklengkapan dan ketidakjelasan informasi BI itu menurut laporan BPK dapat diketahui dari surat Gubernur Bank Indonesia nomor 10/232/GBI/Rahasia tertanggal 20 November 2008 kepada Menteri Keuangan.

“Peningkatan biaya penyelamatan Bank Century sebagaimana surat BI tersebut tidak memberikan informasi mengenai beberapa risiko penurunan CAR. Informasi yang tak diberikan adalah tentang penurunan kualitas aset yang seharusnya diketahui BI. Yaitu antara lain dugaan rekayasa akuntansi yang selama ini dilakukan Bank Century dengan tidak menerapkan PPAP (Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif) secara benar, dugaan letter of credit (LC), dan kredit fiktif, serta penyimpangan lainnya yang dilakukan oleh pengurus Bank Century sebelum diambil alih LPS,” demikian laporan BPK menyebutkan.

Dilaporkan juga, setelah ditetapkan sebagai bank gagal berdampak sistemik pada tanggal 21 November 2008, BI mengajukan data baru mengenai kebutuhan dana untuk Penyertaan Modal Sementara (PMS) LPS untuk penyelamatan Bank Century sehingga kebutuhan dana membengkak dari Rp 632 miliar menjadi Rp 6,67 triliun.

Secara rinci, penyaluran dana tersebut dilakukan bertahap berdasarkan Rapat Dewan Komisioner (RDK) LPS. Tahap pertama, 24 November hingga 1 Desember 2008 disalurkan dana Rp 2,7 triliun. Dasar penyalurannya adalah surat RDK Nomor 043/RDK-LPS/2008 tanggal 23 November 2008. Tahap kedua dikucurkan pada tanggal 9-30 Desember 2008 senilai Rp 2,2 triliun. Dengan dasar surat RDK nomor 050/RDK-LPS/2008 tanggal 5 Desember 2008. Tahap ketiga 4-24 Februari 2009 dikucurkan Rp 1,15 triliun berdasarkan surat RDK Nomor 008/RDK-LPS/2008 tanggal 3 Februari 2009. Tahap keempat 24 Juli 2009 senilai Rp 630, 22 miliar berdasarkan RDK nomor 039 tanggal 30 Juli 2009.

SURYA Online, 30 September 2009

Demi Bank Century, Boediono dan Sri Mulyani Rapat Sampai Subuh


Demi menyelamatkan Bank Century, Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan rela rapat maraton hingga subuh. Hal tersebut dapat diketahui dari salinan laporan sementara audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap dana penyehatan Bank Century yang diterima Kompas, Rabu (30/9) pagi.

Dari laporan tersebut dijelaskan bahwa persoalan Bank Century sudah dibahas dalam rapat konsultasi antara pihak Bank Indonesia, Departemen Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) selama empat kali yakni tanggal 14, 17, 18, dan 19 November 2008.

Begitu keluar surat Gubernur Bank Indonesia yang saat itu dijabat Boediono nomor 10/232/GBI/Rahasia pada tanggal 20 November 2008, rapat digelar secara maraton. Rapat tanggal 20 diketahui mulai dilakukan pukul 23.00 namun tak berhasil memutuskan kata sepakat.

Karenanya, rapat pun dilanjutkan pagi harinya pukul 04.25-06.00. Rapat tersebut dihadiri oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati selaku Ketua KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan), Gubernur Bank Indonesia Boediono selaku anggota KSSK, dan Sekretaris KSSK Raden Pardede. Inti rapat tersebut memutuskan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik yang harus diselamatkan sebagaimana analisis Bank Indonesia.

Namun, rapat Jumat pagi subuh itu belum memutuskan cara penyelamatan Bank Century. KSSK baru memutuskan persoalan Bank Century diserahkan kepada LPS pada pertemuan lanjutan sore harinya.

Laporan wartawan KOMPAS Suhartono
KOMPAS, 30 September 2009

Boediono dan Sri Mulyani Bisa Terimbas Century


Dari hasil audit BPK ditemukan banyak indikasi yang mengarah ke penilaian yang salah.

Seluruh anggota Komite Stabilisasi Sistem Keuangan (KSSK) yang terlibat dalam pengambilan keputusan penyelamatan Bank Century bisa saja terlibat dan ikut terseret dalam kasus penyelamatan ini. Pasalnya dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ditemukan banyak indikasi yang mengarah ke error adjustment (penilaian yang salah) dalam penyelamatan.

Penilaian ini disimpulkan oleh Komisi Keuangan dan Perbankan setelah membaca hasil laporan BPK."Kesimpulan kami bahwa ada error adjusment di situ," ujar Ahmad Hafiz Zawawi usai rapat tertutup membahas laporan BPK, Selasa malam, 29 September 2009.

Dradjad H Wibowo memisalkan keputusan ini sama seperti saat keputusan dua orang akan menikah. Sebelum menikah atau pada saat akan menikah maka semua anggota KSSK harus melakukan penilaian secara detail terhadap semua informasi yang ada, dan ini harus transparan. "Di sini kesalahan penilaian terjadi pada semua unsur anggota KSSK," ujar Dradjad.

Anggota KSSK dipimpin oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dan beranggotakan Gubernur BI yang saat itu dipegang oleh Boediono. Meski demikian DPR mengatakan bahwa dalam penilaian ini, anggota sangat berhati-hati karena sifat penilaiannya adalah kualitatif.

"Ini adalah error adjustment, jadi sangat tergantung polisi. Apakah kesalahan penilain itu kesalahan yang tidak disengaja atau disengaja, atau ada juga karena intervensi, silakan polisi yang lebih tahu," ujar dia.

Tapi memang benar bahwa sebagian ada yang sudah termasuk tindak pidana perbankan, saat ini sudah ada yang ditahan, yakni pihak manajemen yang lama. Tapi banyak dugaan, masih ada lagi yang kemungkinan jadi tersangka.

"Ini disimpulkan dari hasil investigasi itu, kami sudah melihat secara jelas tentang hal itu, misal soal penyalahgunaan wewenang," katanya.

Heri Susanto, Agus Dwi Darmawan
VIVAnews, 30 September 2009

Ada Aliran Dana Keluar Pasca "Bailout" Bank Century


Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Drajad Wibowo menyebut adanya dugaan aliran dana yang keluar pascapemberian dana talangan untuk upaya penyelamatan Bank Century yang mencapai Rp 6,76 triliun.

Hal ini disampaikannya seusai rapat tertutup yang dilakukan Komisi XI secara internal untuk membahas hasil audit interim Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait upaya penyelamatan Bank Century, Selasa (29/9) malam.

"Di sini ada penarikan dana yang mencurigakan, itu setelah bailout. Dana itu perlu dipertanyakan," kata Drajad, di gedung DPR, Jakarta.

Penarikan dana tersebut, tambah Dradjad, berjumlah hingga triliunan rupiah. Namun, Dradjad enggan menyebut secara rinci siapakah oknum atau deposan yang melakukan penarikan dana secara besar-besaran tersebut. Dirinya mengaku, pihaknya sendiri juga belum mengetahui hal ini secara detail karena laporan audit yang disampaikan BPK belum menyertakan laporan tentang aliran dana.

"Nah siapa, kita belum tahu. Hasil audit juga belum ke aliran dana. Tetapi ini bisa lebih gawat dari kasus Bank Bali," tuturnya.

Hal senada juga diakui Anggota Komisi XI Harry Azhar Aziz. Di tempat yang sama, Harry menuturkan ada indikasi aliran dana yang keluar dan digunakan untuk kepentingan tertentu. "Ada indikasi aliran yang kita anggap, misalnya kemudian menggunakan dana pembiayaan darurat itu untuk kepentingan apa itu," tuturnya.


Pembiayaan darurat yang dimaksud adalah sejumlah dana yang diminta untuk pembiayaan darurat di dalam Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) yang dikucurkan kepada Bank Century. Seharusnya, dana ini tidak bisa mengalir keluar, namun dalam laporan audit BPK menyebut dana ini mengalir keluar.

"Nah, itu kita minta untuk dipertegas supaya bila dianggap ada pelanggaran pidana harus ditindaklanjuti. Yang kita lihat alirannya, kemudian penggunaannya juga mencurigakan. Kita minta supaya diperiksa, dianalisis," bebernya.

Berbeda dengan Dradjad yang mengaku tidak mengetahui siapakah yang diduga melakukan penarikan dana tersebut, Harry mengaku pihaknya telah mengantongi sejumlah nama yang diperoleh dari hasil laporan audit BPK. Nama-nama inilah yang diduga telah melakukan tindak pidana tersebut. Namun, Harry juga enggan membeberkannya kepada wartawan dengan alasan laporan audit BPK masih bersifat sementara dan merupakan rahasia.

Menurut Harry, BPK sendiri telah meminta DPR untuk menjaga kerahasiaan laporan interim ini hingga bersifat final nantinya. "Ada disebut nama-namanya tetapi kita tidak bisa menyebutkannya. Kita sudah sepakat untuk tidak memberitahukan. Di laporannya sendiri ada dugaan tindak pidana," tandasnya.

KOMPAS, 30 September 2009

DPR: Pejabat BI Diduga Menyalahgunakan Wewenang


Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengatakan ada indikasi Pejabat Bank Indonesia (BI) melakukan penyalahgunaan wewenang terkait kasus upaya penyelamatan Bank Century dengan pengucuran dana Rp 6,7 triliun. Hal tersebut terungkap dalam laporan investigasi interim yang telah disampaikan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait bailout Bank Century kepada DPR, Senin (28/9) kemarin.

"Ada indikasi bahkan kita tadi menyebut semacam adanya abuse of power. Penyalahgunaan wewenang oleh pejabat BI, ada indikasi seperti itu," ujar Anggota Komisi XI DPR Harry Azhar Aziz, di sela-sela rapat pembahasan laporan investigasi BPK, di gedung DPR, Selasa (29/9) malam.

Di tempat yang sama, Anggota Komisi XI Drajad Wibowo menjelaskan ada manipulasi ketentuan pengucuran Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek (FPJP) untuk bank umum dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang keluar dari Bank Indonesia (BI) pada saat penalangan dana Bank Century.


Manipulasi tersebut, tambah dia, terdapat perubahan kebijakan mengenai FPJP yakni batas rasio kecukupan modal (Capital Adequate Ratio/CAR) yang semula dibatasi 2 persen berubah menjadi hanya positif saja."PBI yang lama CAR-nya dibatasi 2 persen, namun setelah tanggal 14 November 2008, PBI dirubah menjadi CAR positif saja bisa dapat FPJP," jelasnya.

Hal ini mengakibatkan terjadinya pembengkakan dana talangan yang dikucurkan ke Bank Century dari sebelumnya Rp 632 miliar menjadi Rp 6,76 triliun. Disamping itu, Harry Azhar mengatakan pihaknya juga menilai adanya indikasi pelanggaran yang dilakukan Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Sri Mulyani Indrawati, yang dalam kasus ini terkait pengambilan keputusan untuk melakukan pengucuran dana talangan.

Ketua KSSK dinilai lalai dalam pengucuran dana tersebut. "Menyebut secara spesifik tidak ada. Tetapi beberapa indikasi menunjukkan itu. Ada kaitannya ke arah situ," tandas Harry.

KOMPAS, 29 September 2009

12 Oktober, 2009

Penulis Jerman Raih Nobel Sastra


Karyanya Kerap Disensor Pemerintah

Herta Mueller (56), penulis asal Jerman, meraih hadiah Nobel Sastra 2009 yang diumumkan tim juri di Stockholm, Swedia, Kamis (8/10). Tim juri menilai karya-karya Mueller menggambarkan secara kritis penindasan dan penghinaan oleh rezim komunis Nicolae Ceausescu.

Kemenangan Mueller ini seakan dukungan terhadap perayaan 20 tahun kejatuhan komunis. Juri menilai penulis perempuan kelahiran Romania itu sebagai penulis yang dengan kekuatan sajak serta kejujuran prosanya menggambarkan penindasan yang sangat kejam kediktatoran suatu rezim.

Mueller yang lahir di Romania memulai debutnya sebagai penulis tahun 1982 dengan menerbitkan kumpulan cerita pendek bertajuk Niederungen atau Titik Terendah. Di situ dikisahkan kekerasan hidup di sebuah kota yang warganya berbahasa Jerman di Romania. Namun, karyanya itu disensor pemerintah komunis. Dua tahun kemudian, versi yang tidak disensor diselundupkan ke Jerman. Tulisan itu dipublikasikan dan dibaca banyak orang.


Pada saat yang sama, Mueller menerbitkan Oppressive Tango di Romania. Namun, penerbitan itu dilarang karena kekritisannya terhadap kediktatoran pemerintahan Nicolae Ceausescu. ”Dengan memberikan penghargaan kepada Herta Mueller, komite mengakui sikap seorang penulis yang menolak sisi tak berperikemanusiaan dari rezim komunis,” kata Michael Krueger, pemimpin penerbitan Hanser Verlag yang menerbitkan buku Mueller.

Latar belakang kehidupan Mueller memang tidak lepas dari kekejaman rezim komunis. Ibunya sempat dikirim selama lima tahun sejak 1945 ke kamp tahanan di Uni Soviet.

Mueller awalnya bekerja sebagai penerjemah di perusahaan mesin tahun 1977-1979. Dia dipecat karena menolak menjadi pemberi informasi bagi polisi rahasia. Mueller meninggalkan Romania bersama suaminya, Richard Wagner, pada tahun 1987 dan hidup di Jerman. Mueller merupakan perempuan ke-12 yang menerima Nobel Sastra.

KOMPAS, 9 Oktober 2009


Hadiah Nobel untuk Herta Mueller

Nyatakanlah dengan pena! Demikianlah moto perjuangan Herta Mueller (56), dengan ekspresinya lewat berbagai tulisan, melawan korupsi, hingga kediktatoran Nicolae Ceausescu almarhum, diktator yang pernah memimpin Romania. Ceausescu, pembungkam kebebasan berekspresi, tewas ditembak orang tak dikenal pascakejatuhan komunis.

Sebaliknya, Mueller kemudian berhasil mendunia setelah dipilih sebagai peraih Hadiah Nobel Sastra 2009 oleh Akademi Swedia di Stockholm, Swedia, Kamis (8/10). Dia merupakan wanita ke-12 penerima nobel serupa, berhak menerima hadiah uang sekitar Rp 14 miliar.

Dengan demikian, wajar pula untuk menyatakan bahwa Mueller menjadi simbol perjuangan moral, menambah deretan nama yang pernah menjadi ikon dalam konteks serupa. ”Saya sungguh terkejut dan masih belum bisa percaya. Saya belum bisa berbicara banyak,” kata Mueller secara tertulis lewat penerbitnya di Berlin, Jerman.

Prestasi Mueller sekaligus menjadikan wanita lebih terhormat. Dia adalah wanita keempat pada tahun 2009 yang menerima hadiah nobel. Selama ini maksimal hanya ada tiga wanita penerima nobel, yakni pada 2004.


Hari Senin lalu dua wanita, yakni Elizabeth Blackburn dan Carol Greider, sama-sama warga AS, meraih Hadiah Nobel Kedokteran. Pada hari Rabu warga Israel bernama Ada Yonath menerima Hadiah Nobel Kimia.

Pemilihan Mueller memunculkan sedikit kontroversi. Ini bukan salah Mueller, tetapi salah Akademi Swedia yang dituduh eurosentris. Sekretaris Permanen Akademi Swedia Peter Englund pekan ini menuduh Akademi terlalu eurosentris dalam memilih pemenang. ”Menjadi warga Eropa akan membuat Anda mudah meraih nobel. Ini adalah sebuah bias psikologis yang harus kita waspadai. Bukan ini yang kita kehendaki,” kata Englund.

Kritik itu mungkin juga mengandung kebenaran. Mueller sama sekali tidak dikenal di luar negara-negara yang tidak berbahasa Jerman, seperti Swiss, Austria, dan Jerman, walaupun dia amat terkenal di tiga negara itu. Tidak heran jika sejak 1995 dia menjadi anggota Deutsche Akademie für Sprache und Dichtung, di Darmstadt.

Namun, makna kemenangan Mueller tidak harus sirna karena kritik itu. Selain hasil karyanya yang memang amat dihargai di negara-negara deutsch-sprechen, kisah hidupnya pun amat menarik. Selain sebagai penulis, dia juga pernah menjadi anggota Aktionsgruppe Banat, kumpulan para penulis berbahasa Jerman, yang memperjuangkan kebebasan berekspresi pada era kepemimpinan Ceausescu.


Dia tidak saja mengkritik kediktatoran, tetapi juga menuliskan praktik korupsi dan sikap antitoleransi serta represif di lingkungan komunitas Jerman Romania. Kenangan ini tertancap dalam bukan saja di lingkungan keluarga Mueller, melainkan juga warga Romania. Tidak heran jika kemenangannya disambut kota kelahirannya, Nitchidorf, yang terletak di Romania tenggara, yang dulu adalah sebuah desa terpencil dan tertinggal.

Wali Kota Nitchidorf Ioan Mascovescu mengatakan, ”Saya bangga kepada seseorang yang lahir di kota ini. Sekarang Nitchidorf ada di peta dunia,” katanya. Mascovescu menegaskan, Mueller tidak saja dikenal di komunitas Jerman Romania, tetapi juga warga Romania. ”Buku-bukunya rutin diperkenalkan para guru kepada murid-murid,” kata Mascovescu.

The Berlin International Literature Festival melukiskan karyanya sebagai fokus pada kehidupan yang sulit pada era kediktatoran, juga citra dari derita seorang yang terasa asing di lingkungannya yang menjadi minoritas.

Kenyataan hidup masa lalu juga mendorong lahirnya buku-buku berisi esai politik. Hal ini membuat dia mendapatkan penghargaan ”Aristeion” dari European Literary Prize, juga dari International IMPAC Dublin Literary Award. Penghargaan lain adalah Kleist Prize dan Kafka Prize.


Gunter Grass, seorang penulis Jerman, menyatakan terkesan dan senang dengan pilihan Akademi Nobel. ”Saya senang dan bahagia karena dia memang penulis bagus,” kata Grass, yang juga penerima Nobel Sastra 1999, di kota Gdansk, Polandia utara, tempat dia sedang melakukan ekshibisi. ”Saya harus mengakui bahwa saya menyukai Amos Oz, penulis Israel. Namun, saya harus mengakui bahwa para juri melakukan pilihan terbaik.”

Kemenangan Mueller di sisi lain juga mengejutkan. Dalam perkiraan banyak orang, pemenang tahun ini adalah Joyce Carol Oates dan Philip Roth, sama-sama warga AS. Sastrawan lain yang dijagokan adalah Amos Oz dari Israel. Juga muncul nama Bob Dylan, penyanyi lama yang terkenal pada masa lalu.


Sesuai konteks
Kisah kepahitan hidup Mueller sudah lama berlalu. Namun, kemenangannya sekaligus mengingatkan kekejaman masa lalu. Kemenangannya sekaligus mengingatkan dan menjadi perayaan tersendiri atas kejatuhan rezim komunis 20 tahun lalu.

Hal ini tetap sesuai konteks, di mana sebagian Eropa Timur masih menjadi sandera dan seperti pelanduk di tengah perseteruan lama Perang Dingin, yang tetap membekas. Hal ini diejawantahkan dengan pertentangan Rusia dan AS, atau antara Rusia dan Uni Eropa yang berebut pengaruh di eks jajahan komunis hingga kini.

Berbagai pemerintah di Eropa Timur, katakanlah Georgia, Ukraina, masih terbelah antara politisi yang pro-Barat dan Timur. Ini adalah satu hal yang tidak bisa dilupakan total karena dianggap masih tetap rawan.

Mungkin inilah yang memunculkan isu bahwa kemenangan Mueller menjadi semacam pengingat agar kekejaman masa lalu tidak terulang. Mueller pun tetap tidak mau melupakan semua itu. Di sebuah kolom harian Jerman, Frankfurter Rundschau, pada 2007, dia menorehkan tulisan. ”Romania masih trauma dengan kediktatoran komunisme masa lalu.”


Dia pun menyebutkan Ceausescu sebagai diktator paling jahat setelah Josef Stalin, almarhum pemimpin Uni Soviet. Di Times Online disebutkan bahwa dia masih mengingat jeritan orang-orang yang disiksa, saat dia bekerja sebagai penerjemah di sebuah pabrik di Romania.

Ada sisi politik yang kental di balik kemenangan Mueller. Secara implisit Kanselir Jerman Angela Merkel, Kamis, tak segan-segan mengatakan, ”Kemenangan Mueller merupakan sebuah anugerah besar dalam dua puluh tahun kejatuhan tembok Berlin.” ”Saya senang dia telah menjadi warga Jerman dan saya mengucapkan selamat kepadanya,” kata Merkel.

Hal serupa juga diutarakan Presiden Jerman Horst Koehler. Menteri Luar Negeri Jerman Frank-Walter Steinmeier tak ketinggalan. ”Dalam mengenang 20 tahun kejatuhan Tembok Berlin, kemenangannya merupakan simbol kuatnya persatuan Eropa dan kuatnya kerja sama yang damai.”

Simon Saragih
KOMPAS, 9 Oktober 2009