29 April, 2014

Elegi Demokrasi


Bagi para ilmuwan, baik ilmu alam maupun ilmu sosial humaniora, Indonesia adalah laboratorium raksasa yang menjadi “surga” riset. Segala fenomena di negara raksasa khatulistiwa bernama Indonesia, adalah data yang bisa dikelola untuk pengembangan segala macam bidang keilmuan.

Indonesia, juga boleh berbangga hati karena menjadi negara demokrasi plural terbesar di dunia. Tanggal 9 April lalu, kita, bangsa Indonesia telah membuktikan diri sebagai kampiun demokrasi. Pemilu legislatif telah berjalan aman dan relatif lancar dengan angka partisipasi pemilih yang mengagumkan, yakni di atas 70%. Sebuah pencapaian yang layak mendapatkan apresiasi tinggi.

Pemilu legislatif yang sesungguhnya menjadi basis bagi pemilu presiden ini, melahirkan euforia sukacita sekaligus haru biru. Hasil hitung cepat beberapa lembaga survei, setidaknya telah memberikan gambaran awal peta kekuatan perpolitikan menuju RI 1.

Hal yang menarik adalah betapa “nujum” beberapa lembaga survei ternyata meleset. Atau mungkin memang sengaja diplesetkan? Partai-partai Islam yang diprediksi bakal –meminjam istilah pelawak Asmuni almarhum– “wassalam” karena gagal melampaui electoral threshold, ternyata kompak menjadi partai kelas menengah dengan perolehan suara yang cukup besar. Bahkan, PKS yang dihajar fitnah “Fathanah Effect”, ternyata bergeming di posisi tengah. Sementara PDIP yang sempat jumawa dengan “Jokowi Effect” yang diyakini bisa meraup 30% suara, ternyata hanya serupa bubble effect dengan perolehan di bawah 20%. Kalah dengan “Rhoma Effect” dan “Mahfud Effect”-nya PKB, atau lejitan suara Partai Gerindra.

Kondisi inilah yang membuat pertarungan politik di Indonesia semakin sengit dan pelik. Peta dan perilaku politik di masyarakat yang multikultur, etnik yang plural, multiagama, multipartai yang sangat rumit dan terkadang sulit ditebak itulah, yang membuat Indonesia selalu menarik untuk dikaji. Negeri ini benar-benar menjadi surga sekaligus laboratorium politik terbesar di dunia, tempat segala macam realita, termasuk anomali demokrasi bisa dan mungkin terjadi.


Demokrasi Fisiologis
Di negeri yang rakyatnya cerdas dan sejahtera –meminjam Abraham Maslow, berada dalam tingkatan aktualisasi diri– maka, demokrasi mungkin menjanjikan kebaikan. Namun apabila dihelat di sebuah republik yang kebutuhan fisiologis berupa sandang, pangan, dan papan belum sempurna tercukupi, taraf pendidikan sebagian besar rakyatnya memprihatinkan, maka yang akan terlahir hanyalah sebuah “demokrasi fisiologis” yang liberal, nyaris tanpa fatsun dan etika. Meski mungkin terasa berat, marilah kita berkenan melihat apa yang sesungguhnya terjadi dengan demokrasi di negeri ini.

Membaca Indonesia, dari pemilu ke pemilu, serasa kita tengah diajak berpetualang di tengah belantara yang nyaris bebas nilai. Terasa jelas bahwa ada sesuatu yang salah (something wrong) dalam sistem perpolitikan dan demokrasi di negeri kita. Demokrasi kita bukan demokrasi filosofis yang ideal, melainkan sekedar demokrasi fisiologis. Pemilih kita sebagian masih memilih karena pertimbangan kebutuhan fisiologis tingkat dasar. Suara rakyat yang konon adalah suara Tuhan itu, tak lebih dari sekadar sebuah komoditas yang bisa “diijon” dan diobral dengan murah, sekadar untuk makan.

Celakanya, inilah wajah demokrasi kita. Banyak calon wakil rakyat yang mengikuti kontestasi bernama pemilu, yang mencalonkan dirinya karena dimotivasi untuk memenuhi kebutuhan atau hajat fisiologis. Mereka mencari pekerjaan dan kekuasaan guna mencari makan. Bukan kehendak aktualisasi diri, mewakafkan kehidupannya untuk mengabdi pada rakyat melalui jalur parlemen. Situasi ini adalah cacat yang serius dari demokrasi yang mendamba kebaikan dan kesejahteraan segenap rakyat (bonnum publicum).

Kita tidak akan pernah sampai pada tujuan bernegara sebagaimana dicitakan para founding fathers negeri ini, manakala wakil rakyat yang terpilih tidak berkualitas dan pemerintahan yang terbentuk lemah serta tunduk pada intervensi asing. Tidak perlu terlalu cerdas untuk tahu bahwa sebenarnya suara golput adalah pemenang dalam pemilu. Kondisi ini mengindikasikan distrust yang kuat terhadap perpolitikan kita. Kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme yang masih merajalela, dengan aktor para legislator dan pejabat kotor, membuat sebagian rakyat “ilfil”, lalu apatis dan bahkan benci dan muak pada demokrasi.


Dibalik angka partisipasi pemilih yang mengagumkan dalam Pileg 9 April lalu, mari kita melihat realita jauh lebih dalam. Kecurangan di pemilu semakin nekat, dilakukan oleh pemilih, partai peserta pemilu, hingga penyelenggara pemilu (KORAN SINDO, 14/4/2014). Politik uang, mobilisasi massa, pembodohan, propaganda, premanisme, penggelembungan suara dan manipulasi suara masih saja terjadi.

Marilah berkilas balik dengan kampanye yang semestinya digelar untuk mengenalkan pemilih dengan visi misi calon legislator dan partai pengusung. Sayangnya, kampanye bagi sebagian besar partai ternyata tidak lebih dari kampanye fisiologis, ajang hura-hura kelas rendah, panggung hiburan seronok yang mengumbar syahwat, bagi-bagi duit, tawuran, dan konvoi ingar-bingar tak tentu arah. Di sisi yang lain, apakah para pemilih mencoblos dengan berbekal kecerdasan dan ketajaman nurani? Tengoklah pula realita ruang batin masyarakat kita, khususnya kelas menengah ke bawah, yang adalah populasi terbesar negeri ini, bagaimana mereka memaknai demokrasi. Tanyakan kepada mereka, berapa amplop yang mereka terima, berapa isinya, dan lalu kepada siapa mereka memberikan suaranya?

Apakah mereka peduli dengan kualitas caleg yang harus mengemban tugas mahaberat, melakukan fungsi legislasi, budgeting dan mengawasi jalannya pemerintahan dan menjaga negeri ini? Pemilu dalam alam demokrasi fisiologis, seringkali tak lebih dari sekedar sebuah elegi. Ia menjadi “pemiluan umum”, ketika rakyat sekedar menjadi obyek transaksi demokrasi “wani piro”. Para pemilih tetap saja pilu, berkubang dengan kemiskinan. Persis mendorong mobil mogok. Berat dan melelahkan. Tetapi setelah mesin berbunyi, mobil berlari kencang dengan meninggalkan kepulan asap yang menyesakkan rakyat, para pendorongnya.

Tidak ada jaminan tentang kualitas wakil rakyat di parlemen. Sementara mereka yang sudah duduk sebagai wakil rakyat yang terhormat, menuntut gelimang fasilitas dan kemewahan, namun abai dan alpa mendengar keluh-kesah rakyat. Mereka yang menang biasanya “ngedan” (menggila), terlibat dalam mafia anggaran dan suap. Korupsi dan kolusi menjadi modus untuk mengembalikan modal politik yang telah dikeluarkan. Adapun caleg yang kalah, tekor ratusan juta hingga miliaran rupiah, akibat mahar demokrasi yang terlalu mahal, ada yang bertebal muka, lalu menarik kembali sogokan pembeli suara mereka. Sebagian yang lain terganggu psikisnya, frustrasi, stres, depresi, mengamuk, psikosis (edan), bahkan bunuh diri. Mereka menjadi tumbal demokrasi. Sungguh pemilu yang benar-benar memilukan.


Agenda Pencerdasan
Demokrasi fisiologis justru terhenti sebatas pemerolehan kekuasaan yang mengabdi pada kepentingan pribadi, dan partai politik belaka. Demokrasi direduksi menjadi sekedar transaksi atau seni memanipulasi pemilih dengan menghalalkan segala cara tanpa etika. Kemiskinan, kebodohan dan ketidak-melekan politik, membuat rakyat gampang sekali dibodohi oleh kelicikan, janji dan angin surga para politikus. Situasi inilah yang justru akan terus dipelihara oleh para politisi busuk penikmat demokrasi untuk dapat memanipulasi suara konstituen agar mereka terpilih menjadi wakil rakyat.

Dalam konteks inilah, pendidikan politik guna mencerdaskan masyarakat agar tidak buta politik menjadi sebuah keharusan dan kewajiban bangsa ini. Sesungguhnya hanya dari rakyat yang cerdas sajalah kita bisa berharap keterpilihan wakil rakyat yang juga cerdas dan bijaksana. Legislator yang benar-benar di-“drive” oleh spirit pengabdian pada negara dan rakyat, bukan mengabdi pada kepentingan pribadi atau menghamba pada kepentingan partai. Partai politik dengan demikian harus segera berbenah untuk meluruskan orientasi, visi dan ideologi menyejahterakan rakyat.

Caleg yang diajukan semestinya cerdas, berkualitas, dan berintegritas. Bukan caleg gagap pemilu, penunggu pohon yang gambarnya terpaku di taman-taman kota, ikut “ngetem” di kaca angkot, bertebaran di ruang publik, menjadi sampah visual perusak estetika lingkungan. Aturan main pemilu yang tegas dan cerdas juga sudah semestinya ditegakkan, guna memberikan efek jera bagi para pelaku pembusukan politik. Senyampang masih ada waktu, mari kita berbenah. Sungguh, negeri ini pasti akan membusuk, apabila kita tidak bersegera meliberasi diri dari praktik politik yang jumud dan demokrasi yang kotor dan hina ini.

Indonesia harus menciptakan aura politik yang lebih dewasa, matang, mantap dan santun. Indonesia butuh legislator yang kritis, bukan legislator narsis yang hanya bermanis muka dalam iklan liputan media. Indonesia butuh legislator handal yang bekerja rasional, bukan legislator supranatural yang gemar berburu dukun dan bersemedi di gua atau kungkum (berendam) di tempuran kali. Indonesia sungguh rindu lahirnya wakil rakyat dan pemimpin pinter yang minterke (cerdas dan mencerdaskan), bukan minteri (sok menggurui), apalagi ngadali (menipu dan membohongi) rakyatnya sendiri.

Achmad M Akung,
Dosen Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro Semarang
KORAN SINDO, 23 April 2014

21 April, 2014

Langkanya Integritas di Bumi Pertiwi


Saya percaya, lembaga pertama yang bertanggungjawab mengajarkan integritas adalah keluarga. Selanjutnya tentu adalah lembaga pendidikan; sekolah, perguruan tinggi. Namun, sayangnya, potret yang tergambar di negeri ini tidaklah demikian.

Integritas adalah barang langka, bahkan di lembaga pendidikan. Pelaksanaan ujian nasional (unas) adalah buktinya. Jauh hari sebelum unas dilaksanakan, isu kebocoran soal, peredaran kunci jawaban, dan kemunculan joki-joki sudah menjadi bahan berita di media massa.

Pada hari pelaksanaan unas, fenomenanya menjadi semakin luar biasa. Polisi berjaga di beberapa sekolah. Siswa harus mengumpulkan barang-barang mereka di depan kelas. Guru pengawas dilarang membawa handphone, bahkan tidak boleh membaca soal ujian. Semua aturan tersebut dibuat untuk menghindari kemungkinan kecurangan dari semua lini. Come on, ini “hanyalah” ujian kelulusan sekolah. Bukan tindak terorisme atau makar. Kita hanya “menghadapi” guru dan siswa, bukan maling atau koruptor. Bagi saya, semua itu sangat menggelikan.

Jika lembaga pendidikan memang mengajarkan integritas, perlukah tindakan-tindakan berlebihan di atas dilakukan? Atau mungkin, nilai luhur kejujuran memang sudah sangat langka di negeri ini. Sungguh ironis, kita bahkan harus mencurigai lembaga yang seharusnya menanamkan nilai tersebut. Jika lembaga pendidikan sudah kehilangan integritas, apa yang bisa kita harapkan dari tempat lain? Jika siswa dan guru tidak dipercaya dan tidak saling percaya, siapa lagi yang bisa kita percayai?


Tapi, kenyataannya, pelanggaran memang ditemukan di sana sini. Bahkan, hingga hari kedua pelaksanaan unas SMA, pelanggaran tercatat meningkat dari periode yang sama pada tahun sebelumnya (Jawa Pos, 16/5/2014). Semakin ketat aturan dibuat semakin cerdik dan kreatif manusia untuk mengakali.

Saya memimpikan suatu saat kita bisa melaksanakan ujian tanpa guru pengawas. Mengapa? Tentu karena siswa sudah sadar betul akan nilai kejujuran. Integritas diimplementasikan tanpa tekanan skors, ketidaklulusan, atau dikeluarkan dari sekolah. Oprah Winfrey pernah berkata, “Real integrity is doing the right thing, knowing that nobody's going to know whether you did it or not.

Saya memimpikan suatu saat siswa paham betul esensi ujian. Belajar keras tanpa peduli godaan bocoran soal atau kunci jawaban. Sadar, bahwa “asal lulus” saja tidak akan berdampak positif untuk masa depan yang masih terbentang panjang di depan.

Saya memimpikan sekolah-sekolah tidak dibutakan dengan tuntutan lulus 100 persen sehingga menghalalkan segala cara untuk mencapai target itu. Bagi saya, yang lebih penting dipikirkan secara serius oleh sekolah-sekolah adalah bagaimana siswanya bisa 100 persen jujur dalam menghadapi unas. Itu adalah tolok ukur keberhasilan sekolah tersebut menjalankan fungsinya sebagai lembaga pendidikan. John F. Kennedy pernah berujar, “The goal of education is the advancement of knowledge and the dissemination of truth.” Lembaga pendidikan tidak hanya bertanggung jawab memajukan ilmu pengetahuan, namun juga berperan besar menyebarkan kebenaran di tengah-tengah bangsa ini.


Sudah bertahun-tahun unas menjadi salah satu polemik di dunia pendidikan. Menurut saya, penyetaraan ujian secara nasional adalah absurd. Persoalannya adalah karena pemerataan SDM (sumber daya manusia, Red) pengajar dan fasilitas saja belum berhasil dilaksanakan. Tentu ini akan berdampak kepada materi ajar yang disampaikan. Jadi bagaimana mungkin seluruh siswa setanah air diuji dengan materi yang setara? Dan dengan fakta yang timpang tersebut, sekolah dituntut untuk mencapai tingkat kelulusan 100 persen. Jika tidak bisa, sekolah itu takut tidak akan laku (tidak dapat murid).

Tuntutan berlebihan itulah yang kemudian mendorong suburnya kecurangan-kecurangan dari berbagai elemen di lembaga pendidikan. Saya mencoba berpikir sederhana. Mengapa sistem ujian kelulusan dan penerimaan siswa tidak bersifat desentralisasi? Sekolah yang mendidik siswa itulah yang berhak menyatakan lulus tidaknya mereka. Lalu sekolah jenjang berikutnya jugalah yang berhak menyatakan siswa tersebut layak diterima atau tidak.

Mungkin -sekali lagi, hanya mungkin- dengan desentralisasi peluang kecurangan bisa diminimalkan. Masa depan bangsa ini ditentukan generasi yang saat ini menghadapi unas. Lembaga pendidikan punya peran dalam membentuk integritas mereka. Tentu sayang sekali jika sistem dalam lembaga itu justru berpeluang mencetak sumber daya manusia yang korup sejak dini.

Desi Yoanita,
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UK Petra
JAWA POS, 18 April 2014

17 April, 2014

Intelijen dan Pemilu 2014


Dalam setiap peristiwa “besar” di dunia dan tentunya juga negeri ini, intel selalu mengiringi. Dari aksi terorisme hingga perhelatan akbar seperti pemilu.

Baru-baru ini, kembali muncul sinyalemen dari salah satu partai yang menyatakan ada indikasi gerakan mengacaukan Pemilihan Umum 2014. Informasi itu, menurut dia, diperolehnya berdasarkan pengumpulan data dan informasi intelijen yang diklaimnya akurat.

Selama ini persepsi yang ditangkap oleh publik ketika mendengar atau membaca tentang peran intelijen relatif selalu dialamatkan ke institusi (negara) yang berlabelkan intelijen. Anggapan ini terbentuk karena selama puluhan tahun, khususnya selama era Orde Baru, fungsi institusi ini berkonotasi negatif. Akibatnya, ketika kata intelijen digulirkan kembali pada saat ini, anggapan tersebut seakan masih melekat dan susah dihilangkan. Selagi tidak ada fakta dan bukti, anggapan bahwa institusi negara yang berlabel Intelijen berada di balik aksi negatif harus dibuang jauh-jauh.

Secara harfiah, intelijen mengandung pengertian kecerdasan, akal, kecerdikan, atau intelejensia. Dengan kata lain, dalam konteks menjelang Pemilu 2014, ketika ada anggapan terjadi “perang intelijen”, yang terjadi sebenarnya adalah perang antar-kecerdasan untuk mencapai tujuan masing-masing. Tiap-tiap partai dan institusi lain menggali potensi diri, menyiapkan amunisi, mengukur kelemahan lawan, menilai momentum yang tepat, dan segala macam analisis dengan “kecerdasan” tingkat tinggi untuk mencapai tujuannya. Tentang hal ini, Sun Tzu sudah pernah berpesan, “Know your enemy, know yourself; your victory will never be endangered.”


Jika dicermati lebih mendalam tentang upaya mengacaukan Pemilu 2014, sebenarnya ada sebuah fenomena kecerdasan (intelijen) tingkat tinggi yang justru seharusnya lebih diperhatikan daripada “sekadar” soal kotak suara yang terbuat dari kardus. Menurut analisis penulis, aspek legalitas pemilu akibat keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 23 Januari 2014, bahwa Undang-Undang Nomor 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, adalah sebuah masalah besar. Bisa jadi hal ini adalah skenario dengan kecerdasan (intelijen) yang amat tinggi.

Mengapa demikian? Karena sudah jelas, terang-benderang landasan hukum Pemilu 2014 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat tapi masih dijadikan dasar hukum. Dengan kata lain, hasil pemilu bisa dinilai inkonstitusional atau tidak berdasarkan UUD 1945. Pihak-pihak yang menang, baik presiden, wakil presiden, maupun anggota DPR, semuanya menjadi tidak sah karena menggunakan produk hukum yang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. (Tentang hal ini, penulis telah menyajikannya di Koran Tempo edisi 28 Februari 2014 dengan judul “Peluang Kudeta Konstitusional 2014”)

Anehnya, “saran” MK bahwa dasar hukum pemilu (yang dibatalkan) tersebut masih bisa dilaksanakan pada tahun 2014, dan baru akan berlaku pada tahun 2019 dan pada pemilu-pemilu selanjutnya, nyatanya langsung diikuti begitu saja oleh penyelenggara pemilu (pemerintah dan KPU). Padahal MK tidak berhak dan tidak punya kewenangan –sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat 1 UUD 1945– untuk menyatakan waktu berlakunya sebuah undang-undang. “Kecerdasan” tingkat tinggi seperti inilah yang seharusnya digulirkan oleh partai politik, akademikus, dan sejumlah elemen bangsa.


Dalam sejarah perjalanan peralihan kekuasaan di negeri ini, beberapa kali kita dihadapkan pada benturan antara konstitusi dan kondisi politik. Kita bisa menyaksikan dan membaca dari sejarah bagaimana situasi politik dan konstitusi yang berlaku pada peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, dari Soeharto ke B.J. Habibie, dan dari KH Abdurahman Wahid ke Megawati Soekarnoputri.

Idealnya, intelijen dari semua elemen bangsa, baik dari pemerintah maupun partai politik, melakukan sejumlah langkah. Dalam pandangan penulis, setidaknya ada tiga langkah yang harus dilaksanakan. Pertama, penyelidikan secara terencana dan terarah dengan mengumpulkan dan memperoleh informasi yang dibutuhkan, untuk membuat perkiraan mengenai kemungkinan yang akan dihadapi serta menyusun perencanaan tindakan yang akan diambil terhadap kemungkinan munculnya peng-(ke)-gagalan (hasil) Pemilu 2014.

Kedua, pengamanan terhadap semua usaha, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan yang ditujukan guna menghindari terjadinya kekacauan dan kehancuran material yang merugikan bangsa. Dan ketiga, penggalangan, yakni aksi yang diarahkan untuk menciptakan sebuah kondisi kehidupan berbangsa yang aman, tentram, serta demokrasi yang berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan diterima oleh semua elemen bangsa.

Soleman B Ponto,
Kepala Badan Intelijen Strategis (ka-BAIS) TNI 2011-2013
TEMPO.CO, 12 April 2014

08 April, 2014

Dramaturgi Pemilu


Sebelum seluruh pemerintah daerah dan Kementerian Lingkungan Hidup —seharusnya— melarang pemasangan segala bentuk atribut kampanye di pohon-pohon dan menarik pajak untuk penggunaan ruang publik, mungkin ada baiknya kita meminta seluruh calon anggota legislatif yang tengah bertempur pada masa pemilihan sekarang ini untuk menghitung ulang atau mempertimbangkan kembali pencalonan dirinya itu. Sekurangnya untuk satu alasan mendasar: berdasarkan prestasi sosial apakah hingga Anda merasa pantas mengajukan diri menjadi wakil sekelompok masyarakat (konstituen) dan memperjuangkan hak serta kepentingan mereka apabila selama ini mereka bekerja “sekadar” sebagai profesional, pengusaha, karyawan, atau pegawai negeri yang notabene melulu berorientasi pada kebutuhan dan kepentingan pribadi?

Apakah rekam jejak yang minim bahkan nihil dalam soal di atas dapat dan wajar diatasi dengan hanya sekadar menampilkan habis-habisan wajah dengan senyum dipaksakan dan sedikit slogan yang sering justru mempermalukan diri sendiri itu? Lalu, jika Anda punya sedikit uang lebih, Anda menawarkan sembako, selembar uang bergambar I Gusti Ngurah Rai, atau menghadirkan organ tunggal dengan tiga penyanyi dangdut amatir?

Namun, demikianlah ajang prestisius secara politis yang bernama pemilihan umum diselenggarakan di negeri ini macam sebuah panggung drama dengan opening cukup menggelikan seperti ilustrasi di atas. Gambar dan berbagai atributnya mengambil lanskap kota, desa, bahkan jalanan berdebu sebagai panggung yang riuh, menyesakkan, dan sungguh mengganggu citra visual masyarakat secara umum. Lalu aktor-aktornya bermunculan tanpa memiliki kemampuan berperan yang memadai bahkan mungkin tak memiliki bakat sama sekali.


Persoalan (di tingkat bawah) ini sangat penting dikemukakan sebagai landasan fakta dari argumen yang mempertanyakan pencalonan-pencalonan di tingkat lebih tinggi, termasuk pencalonan seseorang untuk menjadi presiden Republik Indonesia. Selama beberapa bulan terakhir kita disuguhi semacam game pencitraan yang dramatik atau lebih tepat sebuah drama pencalonan presiden yang menciptakan satu realitas ilusif atau imajinatif layaknya sebuah panggung pertunjukan.

Bagaimana tidak jika sekonyong-konyong kita dihadapkan —hampir setiap menit dalam pergaulan kita yang intens dengan media dalam pelbagai bentuk dan manifestasinya— pada wajah dan nama-nama yang memaksa sistem kognitif kita menerima mereka sebagai calon pemimpin kita, pemimpin 240 juta kita. Dengan satu kondisi yang jujur harus diakui, kita tidak tahu apa yang telah mereka lakukan selama ini —di luar tanggung jawab profesional dan kedinasannya— untuk kemaslahatan dan kepentingan (240 juta) kita.

Lalu tiba-tiba beberapa nama itu melompat ke deret atas dari peringkat calon presiden paling berpotensi, menciptakan semacam persepsi yang kuat bahwa mereka semua adalah “tokoh nasional” yang pantas —entah dengan alasan apa— menjadi pemimpin nasional. Persepsi ini dibentuk dengan cara seperti terurai di awal tulisan, lantas diteruskan oleh media-media massa utama, baik cetak, audio, visual maupun daring. Lalu dengan persepsi yang tertanam kuat itu, lembaga-lembaga survei melakukan pendataan persepsi di kalangan masyarakat tertentu untuk pada akhirnya memperkuat “keberadaan” nama dan wajah kita yang mengkilap dengan rekam jejaknya itu.


Kebenaran artifisial
Inilah sesungguhnya arti lain dari sebuah pesta demokrasi bernama pemilu: rakyat sebagai penonton (entah membayar dengan uang atau suara) disuguhi sebuah fait accompli pertunjukan teatrikal yang pada dasarnya “seolah-olah”. Dalam bahasa agak teoretis, media massa dibantu antara lain oleh lembaga survei mengondisikan kita (masyarakat pada umumnya) menerima pencitraan yang mereka buat dan suguhkan sebagai sebuah “kebenaran”. Semacam “kebenaran” yang ditawarkan iklan tentang mobil premium dengan kemewahan puncak, gadget dengan fitur tercanggih, atau bintang film tercantik dan akting terbaik. Semua itu kita terima tidak lain bukan karena berdasarkan pada faktualitas, tetapi melulu karena artifisialitas data. Kemampuan finansial dan akses besar seseorang pada media akan menjadi lebih menentukan ketimbang realitas riwayat hidupnya yang bekerja bagi kemaslahatan orang banyak.

Di sinilah alasan mengapa tokoh-tokoh alternatif di masyarakat akan sulit muncul dan bersaing dengan mereka yang memiliki kemampuan dan akses besar di atas. Sehebat apa pun seseorang yang berpotensi menjadi pemimpin, ia tidak akan mampu mengalahkan seseorang yang bisa menampilkan wajahnya hingga setengah halaman, bahkan hingga delapan foto ukuran besar dalam sehari di koran, atau belasan kali di televisi yang dimilikinya.

Atau bagaimana mengalahkan seseorang yang bisa menyewa belasan bus setiap hari untuk mengajak orang satu desa atau satu RW di berbagai wilayah Indonesia pelesir bersama sambil mengajak mereka memilih nomor dan nama tertentu pada saat pemilihan. Bagaimana dapat bersaing program dengan seseorang yang memiliki semacam think-tank berisi lulusan pasca sarjana untuk menyusun sebuah program “melulu janji”. Merekalah yang menurut survei dan media massa berada dalam top of mind dan memiliki peluang besar sebagai calon presiden. Demikianlah kenyataan artifisial yang disesakkan begitu saja lewat sebuah desain yang kita sendiri hampir tidak menyadari bahkan harus menerimanya begitu saja (taken for granted).

Dan rakyat umum tidak memiliki ruang dan peluang untuk mempertanyakan, menganalisis, atau menyikapi secara kritis realitas itu atau “kebenaran” itu. Misalnya sekadar membandingkan apa yang mereka, para calon, semburkan sebagai janji atau program dengan apa yang pernah mereka lakukan di persoalan yang sama. Saya kira jika penilaian berdasarkan perbandingan semacam ini sungguh-sungguh dilakukan, sebagian besar nama-nama di atas akan gugur dari daftar unggulan.


Pengorbanan rakyat
Tampaknya kita harus berani untuk memulai dengan sedikit hal baik dan benar demi memperbaiki semua itu. Memperbaiki cara kita memproses atau menyeleksi pemimpin yang kita inginkan. Saya kira hal pertama dari itu adalah kejujuran. Semua orang memang berhak merasa dan bernafsu menjadi pemimpin. Namun, setidaknya ia harus jujur kepada publik, kepada dirinya sendiri, kepada apa yang pernah dilakukannya.

Bertanyalah kepada diri sendiri, misalnya, apakah dalam sekujur hidupnya ia pernah melakukan sesuatu yang baik dan benar untuk tingkatan publik di mana ia ingin jadi pemimpinnya. Seberapa besar atau tinggi hasil kerja atau prestasinya itu. Dan jujurlah menilai diri sendiri. Apabila memang tidak sepadan, kenapa harus ngotot dan nekat? Apalagi bila ternyata justru banyak tindakan yang destruktif bahkan negatif yang dulu pernah ia lakukan, secara etis dan moralistis pantaskah Anda mengajukan diri? Tidakkah Anda merasa malu pada waktu (sejarah), keluarga, diri sendiri, Tuhan, atau sejawat yang tak bisa kita tipu? Ataukah Anda sudah tak punya malu, bahkan pada diri sendiri?

Begitupun media massa selaiknya jujur pada data yang ada dan tidak bisa dihapus oleh sejarah. Mungkin baik jika kita mulai mengurangi bahkan berhenti memainkan impresi atau persepsi yang bisa jadi sangat subyektif atau sektarian untuk lebih mengedepankan data yang pada dasarnya netral, jujur, dan valid. Berilah publik informasi yang akurat dengan penuh keberanian sehingga media massa dapat menjadi mata dan hati nurani publik, bukan justru menjadi senjata pengelabu kesadaran dan kebeningan hati masyarakat yang gelisah ini.


Jangan sampai pengorbanan besar rakyat harus diberikan pada sesuatu yang justru mengkhianati pengorbanan itu. Dari segi finansial, berhitunglah betapa luar biasa pengorbanan itu. Menurut LPEM FE UI, biaya yang dikeluarkan caleg mulai dari tingkat lokal hingga pusat berkisar Rp 320 juta - Rp 9 miliar. Jadi rata-rata biaya yang dikeluarkan adalah Rp 1,18 miliar per caleg. Apabila Ketua Komisi Pemilihan Umum menyatakan jumlah caleg nasional sekitar 200.000 orang, Anda bisa memperkirakan sendiri total uang rakyat yang dikeluarkan untuk pertunjukan dramaturgi pemilu yang menggelikan di atas. Biayanya tidak kurang dari Rp 227 triliun.

Lalu bila ditambah dengan biaya pemilu dari APBN yang meningkat dua kali lipat, sumbangan-sumbangan yang didapat partai sebagaimana mereka laporkan, dana-dana lembaga publik, swasta, negeri hingga perorangan yang terlibat, maka kita semua akan tercengang. Bahwa total semua itu sebanding dengan membuat 5.675 kilometer rel kereta api ganda yang cukup untuk seluruh Sumatera atau 3.200 kilometer jalan tol yang sama dengan target 25 tahun pembangunan kita atau sebanding dengan menggratiskan biaya kuliah seluruh mahasiswa Indonesia selama 32 tahun berdasarkan hitungan Mendikbud RI.

Di sinilah komedia drama pemilu ini akan berakhir menjadi tragedi. Demi sebuah pesta bernama demokrasi, demi “prestise” ilusif di tingkat internasional, demi —katakanlah— kebebasan untuk meraih, menjadi atau bicara “apa saja” itu, kita bersama harus mengorbankan kemampuan besar kita menyelesaikan masalah-masalah besar yang kritis di atas. Demi sebuah dramaturgi yang melulu memberi kita impresi dan persepsi, yang sebenarnya gelap dasar faktualitasnya, namun menyodorkan kepada kita “kebenaran” abstrak yang bahkan ilusif. Sungguh lucu.

Radhar Panca Dahana,
Budayawan
KOMPAS, 3 April 2014

01 April, 2014

Mafia


Anda pernah membaca novel The Godfather karya Mario Puzo? Best seller tahun 1970-an dan 1980-an itu adalah salah satu novel favorit saya. Selain itu, Mario Puzo -yang kelahiran Manhattan, New York, Amerika Serikat- juga merupakan salah seorang novelis favorit saya. Hampir semua novelnya saya baca. Berkat novel itu, Italia -terutama Kota Sisilia- disebut sebagai negeri para mafia.

The Godfather berkisah tentang persaingan Keluarga Corleone dalam menghadapi tokoh-tokoh mafia papan atas di Amerika Serikat. Novel itu kemudian diangkat ke layar perak dalam bentuk trilogi.

Sekuel pertama film itu meraih penghargaan Oscars sebagai Film Terbaik pada tahun 1972. Pemeran utamanya, Marlon Brando, juga meraih penghargaan Oscars sebagai Aktor Terbaik. Namun, ketika itu Marlon Brando menolak penghargaan tersebut sebagai bentuk protes terhadap perlakuan buruk yang diterima penduduk asli Amerika dari industri perfilman negeri itu.

Melalui novel itulah istilah yang terkait dengan mafia untuk kali pertama diperkenalkan. Di depan tokoh-tokoh mafia, Don Vito Corleone, kepala keluarga Corleone, menyebut istilah sonna cosa nostra yang artinya kita urus dunia kita sendiri. Maksudnya, mafia akan mengurus dunianya dengan aturan yang mereka buat sendiri. Mereka tidak akan tunduk pada aturan hukum yang dibuat pemerintah.


Di negara kita, mafia juga menyebar ke mana-mana, di berbagai sektor bisnis. Salah satunya, mungkin Anda pernah mendengar istilah mafia garam? Kalau belum, begini duduk ceritanya.

Pada tahun 1936, pemerintah kolonial Belanda menerapkan sewa paksa lahan garam di tiga kabupaten di Madura selama 50 tahun. Sesuai dengan kontrak, semestinya pada tahun 1986 masa sewa paksa berakhir dan lahan tersebut dikembalikan kepada petani garam. Namun kenyataannya tidak begitu. Pemerintah malah menyerahkan lahan tersebut ke PT Garam. Maka, jadilah BUMN itu mengelola ladang garam seluas 5.500 hektare.

Masalah mencuat karena kinerja PT Garam ternyata jauh dari harapan. Dengan memakai teknologi yang katanya canggih, perusahaan tersebut hanya mampu memproduksi 35-40 ton garam per hektare sekali panen. Padahal, dengan teknologi yang jauh lebih sederhana, para petani garam di sana mampu menghasilkan 125-150 ton garam per hektare dalam sekali panen.

Masalah berikutnya, dari seluruh lahan garam yang dikuasai PT Garam, seluas 85 persen malah tidak digarap. Kenyataan itu menjadi pahit kalau dihadapkan pada fakta bahwa negara kita masih kekurangan pasokan garam. Setiap tahun kita membutuhkan 1,6 juta ton garam, sedangkan kemampuan produksinya jauh di bawah itu. Akibatnya, setiap tahun kita mesti mengimpor garam dalam jumlah yang besar.


Politik Transaksional
Selain mafia garam, kita punya banyak mafia lain. Misalnya, ada mafia gula. Mafia itu melakukan lobi untuk membuat regulasi yang sesuai dengan keinginan mereka. Misalnya, selama ini impor gula hanya bisa dilakukan oleh importer terdaftar, oleh karena itu mereka ingin mengubahnya agar impor gula boleh dilakukan oleh importer umum. Mafia itu juga melobi agar pasar gula yang selama ini terbagi dua, yakni gula konsumsi dan gula industri, kelak disatukan saja. Dengan demikian, mereka lebih leluasa dalam mengimpor dan memasarkan gula.

Kita tentu tidak ingin negeri ini dikendalikan para mafia. Namun, perubahan ke arah sana pasti tidak mudah, terutama di tengah sistem politik kita yang masih transaksional dan karena masih rendahnya kualitas politisi sehingga tak menyadari partainya sudah disandera oleh para mafia. Apalagi mesin birokrasi kita hingga kini masih bergaya “kalau bisa diperlambat, mengapa harus dipercepat”. Kecuali bila ada “pelumasnya”.

Tapi saya yakin, untuk membuat negeri ini berubah, kita tidak membutuhkan terlalu banyak orang. Jika 3-5 persen saja dari seluruh komponen bangsa ini mau bersama-sama bergerak untuk melakukan perubahan, pasti akan terjadi perubahan. Salah satu perubahan itu adalah tidak membiarkan negeri ini dikendalikan oleh para mafia.

Rhenald Kasali,
Guru Besar FEUI,
Pendiri Rumah Perubahan

JAWA POS, 27 Maret 2014