17 Agustus, 2008

Gonjang-ganjing Republik Tempe


"Kita bukan bangsa tempe," seru Presiden Soekarno suatu ketika. Saat itu sebutan bangsa tempe memang buruk. Citra itu masih lestari hingga kini, seperti ungkapan "mental tempe", mental lemah.
Boleh jadi, karena citra itu, kita tidak pernah serius me-leluri kedelai, bahan inti tempe-tahu. Maka, saat harga kedelai naik, tempe-tahu hilang. Produsen/pedagang tempe-tahu mogok dan demonstrasi.
Kenaikan harga kedelai memang jauh dari toleransi. Dalam setahun, harga naik 218 persen. Upaya menekan margin keuntungan dan kapasitas produksi, mengurangi ukuran, dan menurunkan mutu produk tidak lagi menolong. Dari sisi input, harga semua bahan perantara industri ini naik, seperti minyak goreng, minyak tanah atau gas, terigu, gula, dan telur.

Sentuhan teknologi
Di sisi lain, menaikkan harga terkendala daya beli yang rendah. Lagi pula, tidak seperti sektor yang entry-exit barrier-nya tinggi, konsumen sektor ini peka harga (price elastic). Ketika harga naik permintaan turun. Satu-satunya jalan hanya menutup usaha.
Barisan penganggur pun bertambah karena sektor ini menghidupi ratusan ribu rakyat, dari petani kedelai, produsen tempe-tahu-kecap, pedagang, hingga penjual gorengan.
Dari sisi kesehatan, peran tahu-tempe amat penting. Kandungan gizi dan vitaminnya amat tinggi. Ia bisa menjadi makanan diet. Profesor Hembing Wijayakusuma menjuluki tempe makanan super, karena tak tertandingi makanan sejenis.
Dari sisi harga, protein tempe jauh lebih murah ketimbang telur dan daging. Karena itu, tempe sebenarnya bisa jadi solusi masalah kekurangan energi protein warga miskin.
Sejak 1980-an, Belanda, AS, Malaysia, Jepang, dan Singapura mengembangkan tempe. Dengan delapan asam amino esensial -di antaranya thianisin (vitamin B1), ribovlafin (B2), asam pantotenat, asam nikotinat, pirodiksin (B6), dan vitamin B12- dan antioksidan isoflavon, vitamin D, E, dan sterol, tempe diracik sebagai makanan diet, makanan antidegeneratif, antikanker dan tumor. Tidak seperti di sini, dari zaman baheula pun wujudnya tidak berubah (generasi I). Di luar negeri tempe diproduksi secara industrial ke generasi II dan III. Di Jepang, misalnya, tempe telah diolah jadi miso tempe. Itu menandakan ada sentuhan ilmu dan teknologi dalam produksi tempe, ada keseriusan mengembangkan tempe jadi makanan bermutu tinggi. Karena itu, tidak heran, meski tempe ditemukan di Jawa (Encyclopedia van Nederlandsch Indie, 1922), hanya ada tiga paten tempe yang terdaftar atas nama periset Indonesia. Sedangkan yang dikantongi Jepang, AS, dan Jerman 15 buah paten. Apa ini cermin ketidakseriusan kita?

Tidak serius
Jejak ketidakseriusan mengembangkan tempe-tahu tampak jelas pada kedelai. Sepanjang Orde Baru, kedelai -juga jagung dan tanaman pangan lain- sifatnya sekunder. Fokus kebijakan saat itu at all cost pada beras. Tidak ada kebijakan khusus mengembangkan kedelai, termasuk melindungi petani dari gempuran pasar global. Petani yang menanam kedelai selalu merugi. Akibatnya, luas lahan kedelai merosot. Tahun 1992 luas panen 1.665.706 hektar, pada 2007 tinggal 456.824 hektar (27,4 persen). Produksi 2007 melorot, tinggal 608.555 ton. Padahal, kebutuhan kedelai domestik 1,8 juta ton.
Kealpaan membuat kebijakan kedelai sebagai bagian pembangunan ketahanan pangan berlanjut hingga kini. Pembiaran itu berujung ketergantungan hampir mutlak pada impor kedelai dari AS. Argumen di balik kebijakan ini adalah soal daya saing. Karena harga impor lebih murah ketimbang harga petani domestik, serta-merta kedelai petani dicap tidak efisien. Argumen ini ceroboh dan sesat.
Harga komoditas di pasar dunia tidak bisa jadi ukuran daya saing karena terdistorsi subsidi. Di AS, kedelai adalah satu dari 20 komoditas yang dilindungi dan disubsidi. Dari 24,3 miliar dollar AS subsidi pada 2005 sekitar 70 persen-80 persen diterima 20 komoditas ini. Ujung beleid ini adalah dumping. Setelah Farm Bill 1996, dumping kedelai AS naik dari dua persen jadi 13 persen.
Untuk menjaga pendapatan petani, AS meluncurkan kredit ekspor. Pada 2001, kredit ekspor mencapai 750 juta dollar AS. Fasilitas khusus ini diberikan kepada importir kedelai Indonesia. Saat itu harga impor cuma Rp 1.950 per kg, sementara harga kedelai lokal Rp 2.500 per kg.
Disparitas harga yang tinggi membuat ngiler siapa pun untuk mengimpor. Kebijakan ini kita terima begitu saja tanpa mempertimbangkan dampaknya di kemudian hari. Bea masuk 5 persen-10 persen sama sekali tidak bisa melindungi petani dari gempuran impor.
Kini, saat sebagian kedelai di AS dipakai biofuel guna mengejar target produksi 35 miliar galon per tahun, kita merasakan dampaknya. Tidak ada cara mudah untuk keluar dari masalah ini.
Politik pembiaran (hands-of economic policy) telah menghancurkan modal sosial petani kedelai. Liberalisasi tak terkendali berujung pada destabilisasi harga. Pembebasan bea masuk dipastikan tidak banyak menolong. Untuk keluar dari masalah ini, tak ada cara lain, harus dirakit kebijakan komprehensif di level usahatani, distribusi, stok, dan perdagangan. Tanpa itu, gonjang-ganjing tempe di republik ini selalu berulang.

Khudori, Alumnus Fakultas Pertanian Universitas Jember. KOMPAS, 18 Januari 2008

Tidak ada komentar: