20 Desember, 2015

Transkrip Lengkap Rekaman Pembicaraan Kasus Setya Novanto (Bag II)


(Sambungan dari Bag I)

MS: Saya sudah dari 1983, sudah ke Papua.

SN: Oh, oke.

MS: Saya sudah tahu Papua. Bagaimana antropologinya. Hati-hati Pak, nggak semudah itu. 

SN: Ya, ya, ya. Percaya Pak.

MS: Nggak semudah itu Pak, Papua. Mengedukasi mereka untuk merasa bahwa mereka akan dibangun untuk kesejahteraan mereka, tidak mudah Pak. Cost-nya tinggi Pak, betul. Kita bangun sekolah, minta dibangun rumah sakit. Tapi kalau ajak pers, hormat Bapak. Masak kita sinterklas terus.

MR: Itu yang Freeport pernah bangun pagar yang bagus, yang indah itu buat di gedung. Itu yang bikin perusahaan gua punya, pabrik di Bandung. Itu besinya di bawa pakai pesawat ke sana. Pegawai saya di bawa pakai pesawat. Nggak tahu masih ada apa enggak sekarang. Loe bayangin, tukang-tukang gua naik pesawat.

MS: Anu, itu memang soal sikap mental Pak.

MR: Sadis itu, memang tidak gampang.

MS: Kalau mau pembebasan lahan, itu tidak mudah lho Pak. Kalau tidak salah, itu tiga kabupaten, untuk PLTA itu.

MR: Kalau itu, mudah-mudahan bisa cepat. Karena .…

MS: Yang anti sama Gubernur juga banyak lho Pak. Yang dulu sakit hati sama Gubernurnya sekarang sudah mulai kuat lho Pak.

MR: Oh, ya?

MS: Iya. Wagub itu belum tentu bisa jalan sama Gubernurnya.

SN: Papua sama Papua Barat?

MS: Papua. Coba tolong dimatangkan mengenai saham.


MR: Yang saham. Soal saham itu, saya bicara ke Pak Luhut. Kita sudah bicara. Weekend saya ketemu. Biar Pak Luhut yang bicara ke Bapak.

SN: Biar cepat selesai.

MR: Kan ini long weekend. Hari Minggu nanti, saya temui Pak Luhut, bisa Minggu malam. Biar Pak Luhut cek dan kita …. Saya yakin itu.

SN: Presiden sudah dikasihkan ke Pak Luhut itu berapa kali. Si Darmo, kalau Bapak denger cerita di dalam. Apa yang kita inginkan bisa. Presentasi ke Presiden tiap hari.

SN: Presentasi ke Presiden setiap hari?

MR: Kalau memang gawat keadaannya, saran saya jika mau, malam Sabtu atau malam Minggu.

SN: Besok?

MR: Why not? Pak Luhut, oke. Kita ketemu sama Pak Maroef, hari Minggu malam. Kita ngumpetlah. Seeet…. dia action minggu depan. Nggak lama Pak. Next week, two week. Bisa kau angkat akhir Juni, selesai urusan. Begitu ini selesai, ini saham bisa.

SN: Saya sih, yakin itu. Karena Presiden sendiri kasih kode begitu dan itu berkali-kali. Yang urusan kita di DPR, itu kita ketemu segitiga, Pak Luhut, saya dan Presiden. Akhirnya setuju. Ngomongnya gini, Presiden, saya sudah ketemu. Presiden, cocok itu. Pengalaman ya, artinya ini demi keberhasilan semua. Ini belum tentu bisa dikuasai menteri-menteri, yang gini-gini. Enggak ngerti malah, Bapak.

MS: Ada lobbies-nya

SN: Strategi.

MS: Ini Henry Kisinger-nya.

SN: Henry Kisinger, ha, ha, haa ….


MR: Kita ini orang kerja, strateginya. Jadi Freeport jalan, Bapak itu bisa terus happy, kita ikut-ikutan bikin apa. Kumpul-kumpul. Gua nggak ada bos, nggak usah gedek-gedek. Ngapain nggak happy. Kumpul-kumpul, kita golf, gitu. Kita beli private jet yang bagus, representative. Apalagi?

SN: Iya.

MR: Buat kita, itu tak ada yang rakus. Ini mutual benefit, konsepnya mutual benefit. Barangnya kita semua. Kita semua kerja. Freeport 51 kasih kita lokal, support financing. Ya Pak.

SN: Kalau Freeport menjamin, semua juga gampang. Semua bank langsung kasih.

MR: Kan itu buat tambang.

SN: Otomatis, merem aja itu.

MR: Lumayan ini, untuk kumpul-kumpul, paling 1 Juta Dollar.

SN: Hayyaaah ….

MR: Saya ikut masuk ke Dharmawangsa ini, cost yang mereka bawakan sudah, tapi masih gedean mereka porsinya. Terlalu lama mereka itu, boros. Saya yakin Freeport pasti jalan. Kalau sampai Jokowi nekat nyetop, jatuh dia.

MS: Yang jadi itu Amerika. Nggak diterima di Amerika.

SN: Pengalaman saya, ya Pak. Presiden ini agak koppig (kopeh, bahasa Belanda), tapi bisa merugikan semua. Contoh yang paling gampang itu PSSI. Apa susahnya ini ya, saya bicara. Saya harus bicara Freeport itu, saya bicara dulu PSSI. Saya bilang, Pak Presiden pengalaman saya zaman SBY, SBY turun tangan. TV-One yang sudah menyiarkan liga dan lakunya bukan main, terpaksa harus dihentikan karena sudah teriak-teriak. Ini menyangkut sponsor, pengangguran mereka, menyangkut macem-macem. Jadi bisa menurunkan juga kredibilitas isu-isu Presiden. Presiden, Pak Ketua, khusus PSSI saya tidak ada apa-apa, tidak ikut campur dengan pihak mereka. Supaya Indonesia itu bangkit. Saya bilang, ada peraturan FIFA mengharuskan. Kalau saya yang kurang menguasai, Ketua MA menyampaikan hukum-hukumnya. Disampaikan Pak, hukum-hukumnya. Kalau sudah bilang, enggak ya enggak, susah kita. Tetap saja. Kita dikte saja. Gitu, Pak. Koppig-nya dia, buat bahaya kita. Kedua, Ketua MA sampai merasani sama saya, enggak berkenan sama Presiden. Wah, nggak cocoklah.

MS: Chemistry enggak nyambung.

SN: Enggak nyambung Pak. Ketemu dua kali di tempatnya Menteri PAN. Waktu pelantikan ngobrol itu lagi, ketemu lagi, enggak! Ini harus kita rekayasa Pak.

MS: Pengalaman ini ya Pak?

Pak Presiden berbincang-bincang dengan Pak Ketua.

SN: Kadang-kadang, dia kalau egonya ketinggian, ngerusak Pak. Ngono Pak. Makanya pengalaman-pengalaman saya sama dia, begitu dia makin dihantam makin kenceng dia. Nekat Pak. Waaah….

MR: Saya kaget itu Pak. Saya kan kenal Jokowi lama sekali Pak. Saya itu jodohin terakhir. Ngedorong Jokowi jadi Capres. Saya, Pak Hendropriyono dan Pak Budi Gunawan. Seminggu sekali kita rapat di rumah Pak Hendro ama Jokowi. Paling lambat dua minggu sekali, selama setahun sebelum Capres Pak. Walaaah, alot Pak, saya suruh ganti baju. Wah, Pak ganti baju dong. Saya ngobrol sama Karni Ilyas, dia kan sosialis. Sosialis kok pengusaha? Kalau sosialis, itu bukan.

SN: Berbahaya Pak. Bahaya kalau dia selalu begitu. Ada lagi pengalaman saya Pak.

MS: Oke.

SN: Pengalaman yang betul-betul saya mengalami bersama-sama Pak ini. Bersama-sama Pak Luhut. Akhirnya saya minta tolong Pak Luhut, untuk memulai pemilihan Kapolri. Itu asli Pak. Bagaimana itu kita berusaha supaya Budi, karena Ibu Mega yang call, yang telpon. Itu kita pakai apa aja, enggak Pak. Itu bisa terjadi pada saat beliau mau ke DPR. Bingung dia Pak, menghadapi DPR gitu. Disuruhlah Menkopolhukam, sama Setneg, sama Mendagri ketemu saya. Saya bilang, udah deh, nanti kita atur duduknya gini, enam pertanyaannya saja deh. Itu telpon lagi, tadi kan semua tim. Dia minta dua saja. Duduknya minta yang santai, sesantainya, tidak ada pertanyaan yang ini. Wah, nanti cuma bulat-bulat itu Pak. Bagaimana saya menenangkan fraksi-fraksi supaya mau begitu, kan?

Banyak akal, pokoknya bisalah. Dia datang, kita akali. Soal BG itu, pokoknya lari ke BG minta Kapolri dia. Nanti Pak Luhut. Saya cepet-cepet ke Pak Luhut gimana jalan keluarnya. Pak Luhut kasih jalan. Entar gini, kita malam-malam ya waktu itu, entar jawabannya gini aja, Presiden ngomong gini, soal BG akan kita serahkan kepada nanti yang terpilih. Siapapun yang diusulkan oleh pejabat yang terpilih. Setuju? Ayo kita draft! Draft kita bertiga. Bener Pak Luhut itu. Begitu draft selesai, Pak Luhut jam 9 keluar lagi. Wah, kalau Pak Jusuf Kalla datang nanti bisa berubah. Pak Jusuf Kalla itu ngotot BG. Ini bener, Pak Jusuf Kalla itu bener. Itu pun diatur, gimana akhirnya Presiden bisa perintahkan Pak Jusuf Kalla enggak datang. Dia pindahkan ke sana, pindah ada acara. Padahal kita sudah siapin tempatnya itu Pak.

Jadi satu itu, satu ini. Jadi waktu pagi-pagi kita rapat jam 10, mundur jam 10,30. Itu jam 08.00 Pak Luhut datang, catatannya begitu banyak. Kata Pak Luhut, jangan. Ini cukup selembar ini. Saya sudah runding dengannya. Betul kan saya sudah ketemu Pak ketua? Waktu dia datang, saya buat bercanda, buat apa, buat apalah semua. Akhirnya kita duduk. Saya lihat dia bawa tas kayak orang norak. Ajudan bawa tas yang isinya banyak, yang banyak itu. Itu kertasnya ini. Terus gimana Pak Luhut. Bapak periksa aja. Nanti saya atur, saya ngomong, Bapak ngomong. Kira-kira nanti kan ada dua hal, soal masalah Kapolri dan soal masalah APBN. Terus dia ambil, saya lihat, lirikan kertas yang mana yang diambil, kertasnya Pak Luhut.

Pak Ketua bersama Pak Luhut Binsar Panjaitan.

Jadi waktu di APBN, semua Fraksi ngomong, tapi semua ngomong BG. Semua ngomong BG. PDIP ngantem Presiden. Dia berbisik-bisik, masak PDIP sendiri ngantem saya, saya kan Presiden. Tapi nggak peduli, apapun kehendak Bu Mega nggak peduli. Dijawab pertanyaannya. Setelah saya dengarkan semua soal Pak Budi Gunawan, semua saya turut tampung tetapi mekanismenya adalah saya serahkan kepada Kapolri yang terpilih. Persisnya itu dibaca begitu. Dibaca. Ini pengalaman Pak, ya. Selesai, sampailah cerita itu ke Ibu Mega. Marahlah pokoknya, sampai ke Solo dan macam-macam.

MR: Di Solo ada … ada Surya Paloh, ada si Pak Wiranto, pokoknya koalisi mereka. Dimaki-maki Pak Jokowi itu sama Megawati di Solo. Dia tolak BG. Gila itu, saraf itu. Padahal, ini orang baik, kekuatannya apa, kok sampai seleher melawan Megawati. Terus kenapa dia menolak BG. Padahal pada waktu Pilpres, kita mesti menang Pak. Kita mesti menang Pak, dari Prabowo ini. Kalian operasi, simpul-simpulnya Babimnas (Babinsa). Bapak ahlinya, saya tahu. Saya tahu itu. Babimnas itu bergerak atas gerakannya BG sama Pak Syafruddin. Syafruddin itu Propam. Polda-Polda diminta untuk bergerak ke sana. Rusaklah kita punya di lapangan.

SN: Termasuk Papua.

MR: Termasuk Papua. Noken kita habis.

SN: Habis Pak, hampir setengah Triliun.

MR: Kapolda Papua itu kan sahabat saya, sahabat deket.

MS: Tito?

MR: Tito. Akhirnya ditarik ke Jakarta. Supaya nggak menyolok, jadi Asrena. Sekarang Papua sudah jalan, dikasih hadiah sama Jokowi. Padahal maunya Jakarta bukan dia. Pak BG maunya bukan Tito. Pak BG maunya Pak Budi. Tapi Budi ditaruh Bandung. Tito Jakarta. Yang minta Jokowi.

SN: Jawa Barat, ha, ha, ha.

Maroef Sjamsoeddin, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia.

MR: Gila Pak. Alot Pak, orangnya Pak.

SN: Pengalaman itu. Maksudnya saya pengalaman itu, jadi kita harus pakai akal. Kita harus pakai ini. Kuncinya, kan ada kuncinya. Kuncinya kan ada di Pak Luhut, ada saya. Nanti lempar-lemparan. Ada dia strateginya. Cek gocek.

MR: Darmo ini disayang sama dia, karena Si Darmo kalau presentasi, lulusan Amerika, sudah kuliah PHD, pintar. Jokowi happy terus. Ini saya tahu. Darmo ngomong Pak, itu didengerin. Gitu Pak.

SN: Cuma sudah dibeli gara-gara ketemu Bapak. Dikunci, sreeeet. Berubah.

MR: Dikawanin lah.

MS: Hasil lobi ya?

SN: Semuanya. Semua istana beliau bisa biaya yang lain-lain, biayain semualah.

MR: Sebelum bubarin Pak, kalau nggak gini Pak. Saya ini kan pedagang, Saya ikutan politik kan karena teman-teman saja. Baik nggak cerai? Saya pedagang. Saya bilang, eh ini saatnya damai. Kita kumpulin semua yuk. Kumpul Bang Ical, Anis Matta, Hatta, pokoknya semua kita kumpul.

SN: Panggil Pak Luhut.

MR: Kita undang Pak Luhut datang. Saya siapkan depan. Ada Pak Luhut sama timnya. Saya bilang itu, saat ini kita sudah kalah. Kalah Pilpres. Tapi kita akan balas tahun 2019. Cuma sekarang kita harus berdamai membangun negara. Jangan ikut. Presiden sama Wapres enggak boleh diganggu, saya bilang. Kita cari makan. Sekarang Pak Luhut yang ada di sana. Ini temen-temen dan kita minta ikutlah Pak Luhut. Coba Pak Luhut sampaikan ke Jokowi. Kalau mau sepakat begitu kita dukung. Ini saran saya. Mulai ngomong rur, rur, ruuurr .… Akhirnya sepakat Pak malam itu. Oke kita dukung Jokowi-JK supaya sukses. Nanti 2019 ceritanya lain. Langsung deh, pada dukung Jokowi, pada ketemu Jokowi semua. Prabowo apa dukung Jokowi, sejak itu. Makanya Pak, DPR nggak pernah ganggu Jokowi. Nggak pernah ganggu Jokowi. Malah yang enggak mendukung Jokowi itu PDIP. KMP enggak (ganggu), semuanya mendukung. Itu kita happy juga sih. Kalau negara aman kita punya jalan. Tapi kalau ribut terus di Palemen, pusing kepala. Bayangin, sudah kurang aman negara, ekonominya ancur.

SN: Kesalahan menteri-menterinya juga.

MR: Ya, Presiden juga andil.

SN: Ya, kita harus jujur.

Muhammad Riza Chalid, Pak Presiden dan Pak Ketua.

MR: Kalau Pak JK Presiden.

SN: Wah terbang kita.

MR: Atau dia pasrahin, Pak JK urus ekonomi saja, saya pergi dah blusukan. Pak JK urus saja ekonomi.

SN: Ya, tapi sekarang sudah dibatasin terus Presiden.

MR: Obyektif ya Pak, kita pengin ada growth. Bisnis kita jalan. Semua orang gitu kan? Gaji lancar, pajaknya nggak gila-gilaan. Pajaknya gila Pak. Pajaknya dahsyat Pak.

MS: Semua, macam-macam dipajakin ya?

SN: Hancur.

MR: Iya.

SN: Mobil jeblok, orang beli nggak bisa. Perbankan nggak mau lagi, hancur.

MR: Kalau Freeport mah nggak ada kaitannya sama ini. Kalau saya ada ritel, saya punya air lines, hancur berdarah. Rupiahnya jelek, marketnya drop. Saya ada perusahaan ritel, saya punya toko-toko orang perempuan di mall-mall. Gubrak !!! Waduh gila, Pak. Bagaimana nasibnya? Perkebunan sawit juga jeblok perusahannya. Gimana pula?

SN: Nggak ada uang.

MR: Nggak ada uang. Rakyat udah nggak ada uang. Nggak ada demand, drop.

MS: Itu konsep PP 15 untuk sawit nggak jalan Pak? Padahal itu konsepnya Presiden untuk CPO.

MR: Hancur Pak, hancur Pak.

SN: Presiden itu senang meresmikan, meresmikan. Tapi sekarang nggak jalan. Sekarang dia serahin ke Pak Jusuf Kalla. Saya ketemu Pak Jusuf Kalla. Jusuf Kalla bilang, wah ini banyak yang nggak jalan. Saya bilang, jangan meresmikan terus.

MR: Kalau Pak JK itu pengusaha.

SN: Bagus itu Pak.

MS: Dia bisa menghitung.

MR: Bagus Pak. Dia bisa meng-create. Kalau tahu sekarang kita lagi berdarah, dia nggak mungkin menghindari. Dia tidak akan diam. Dia akan cari akal. Jokowi mana mau ketemu kita. Allaaah ….  


SN: Ini kaya PSSI, babak belur!

MS: Kita kan sponsor Persipura. Bubar Pak. Pada ngirim surat mau membubarkan. Kasihan Persipura.

MR: Pemain bola itu, kalau dia nggak main dua bulan, otot-ototnya rusak semua.

MS: Drop semua. Sakit semua. Sakit jantung semua Pak.

SN: Kembali itu Pak. Pak Luhut ditakutin, enggak bisa enggak.

MR: Sebetulnya lepas dari apapun, nasibnya jelek. Jujur saja ya Pak, nasibnya jelek sebagai bangsa Indonesia. Mendingan karena Jokowi, tapi kita kan berdarah. Masak musuhan, itu kan gila. Aduuuhh .… Ampuuunn, ampuuunn.

SN: Ampuuun.

MR: Si Alid, Alidu mau ngomong sama KEN. Sama KEN kan hopeng. Ngomonglah duluan sama Cicip. Dapat izin nangkap ikan. Beli kapal 10, join ama China, bikinlah KMA. Ada izin, keluar semua. Kapal sudah datang. Cicip diganti Bu Susi. Sama Bu Susi, kapal asing nggak boleh nangkap. Bangkrut dia langsung. Ganti pakai bendera Indonesia kapalnya. Kapal 350 Dwg harus buatan Indonesia. Buatan asing nggak boleh beroperasi di sini. Bangkrut langsung. Edan Pak. Ini ngaco Pak, gawat ya?!

SN: Eksport aja berhenti. Mengenai di tempatnya Susi, semua banyak gulung-gulung tikar semua.

MR: Enggak cuma situ. Tempat lain juga sama.

SN: Iya. Itu Presiden nggak tahu?

MR: Ada lagi teman Pak. Dia memang bisnisnya minuman. Dia bikin UIC, Si Aseng, tahu kan Pak. Ini pabrik dia, 150 Juta Dollar investasinya. Pabrik dibikin udah mau jadi, ada peraturan ama Rahmat Gobel, penyalur-penyalur itu nggak boleh jualan bir. Berhenti. Pabrik nggak jadi diresmikan. Bayangkan Pak. Berdarah Pak. Gila !!!

MS: 150 Juta Dollar ?! Gila !!!

MR: Banyak kasus Pak. Belum lagi pengusaha batubara.Tapi Pak kita muter-muter, dia masih Presiden Pak. Suka nggak suka harus kita bayar udah Pak. Ya kan ?!

MS: Masih panjang.

SN: Masih panjang.

MR: Yang penting nggak papa, yang penting halal.

Bumi Papua yang indah, cantik, elok, kaya dan menawan.

SN: Rakyat itu suka nggak suka, ama dia dianggap itu bener semua.

MR: Iya. Salah nggak salah, jalan terus. Yang dianggap salah menteri-menterinya. Dia enggak. Gila dah. Haduuuhh.

MS: Tapi kan Pak Riza masih ada, Pak Ketua yang back up.

MR: Ah, kalau saya kan Pak, hidupnya biasa saja. Itu kan saudara saya, banyak saudara Pak.

SN: Karena itu Pak, seperti kata Presiden, rata-rata (apa yang) kita minta itu setuju, tapi harus pakai strategi. Ya, kita selalu kadang-kadang salah kira.

MR: Pak Jokowi sudah baik, sudah baik Pak, cuma sekarang dirombak. Sekarang sudah baik banget. Sekarang dirombak lagi, jangan bawa ke ranah politik.

MS: Membantu politik, membantu urusan politik.

MR: Betul Pak.

SN: Kayak HR.

MR: Saya sama Pak Marciano, aduh Pak Riza, jangan muncul, jangan muncul kata saya. Biarkan dia bantu Prabowo tapi jangan muncul. Pak, saya nggak muncul, susah Pak, gimana muncul ketahuan. Usahakan jangan muncul. Percaya omongan saya. Bener juga omongannya. Gua muncul di Polonia, puk, puk, puk, langsung muncul di sosmed. Aduuuh, saya lagi sama Prabowo dan HT. Ya udah, mau apa, nasib.

SN: Nasib, duit keluar banyak. Duit Pak. Itu saya lihat kasihan. Ngapain itu, udah 50 M, 30 M. Begitu kita hitungin, udah 500 M. Ngapain, ha, ha, haa ….

MS: Lewat Pak.

SN: Lewat Pak.

MR: Padahal duit kalau kita bagi dua Pak, happy Pak. 250 M ke Jokowi-JK, 250 M ke Prabowo-Hatta. Kita duduk aja. Ke Singapura, main golf, aman, ha, ha, haa …. Itu kan temen-temen semualah Pak, susahlah. Kita hubungan bukan baru kemarin. Masak kita tinggal? Nggak baik! Tapi kan sekarang udah nggak ada masalah. Sudah normal, gitu.

SN: Saya ngomong sama Presiden, ini Pak, Bung Riza juga bantu. Oh, ya, ya, itu dia kawan saya baik, ha, ha, haaa ….

MR: Memperjuangkan dia itu capek Sob. Segala macam cara. Pak Hendro ngomong sama Megawati waktu di Kebagusan. Belum saatnya! Dikira sekaligus? Belum Pak. Saya itu baik. Saya kasihan sama Pak Jokowi. Saya akan bantu Pak Jokowi ke Hatta sebagai Cawapres. Pak Jokowi sama Hatta, mungkin Pak. Tapi Mega-nya nggak mau. Saya sama Hatta itu sahabat.

MS: Jokowinya mau, Pak?

MR: Jokowinya mau banget sama Hatta.

SN: Tahu-tahu pisah. Pusing, sudah terlanjur ke Pak Hatta.

MR: Tapi itu kan pengalaman.


SN: Tapi kalau ngomong baik-baik, lamaaa menikmati. Kayak yang kemarin itu, yang Fahri dan Fadli Zon marah itu. Itu kan gitu Pak, soal UU. Udah kerja capek-capek. Jam 2 kita ketemu lagi. Semua Wakil Ketua dan Komisi II saya ajak ketemu Presiden. Jelasin! Sama Fahri dijelasin, efeknya, bahayanya, jelasin. Saya tengahin, Bapak Presiden, sambil becanda nih, udah becanda, terus dia tenanglah.

Itu menteri-menteri, menteri Polhukam nggak ada yang ngomong Pak. Nanti jawab gini Pak, saya tidak setuju karena ini nih. Singkat! Marah dong temen-temen. Bapak Presiden, kalau buat saya ini Pak, apa nggak sebaiknya kita pertimbangkan dulu. Ya, saya setuju Pak Ketua. Ya, Bapak kan mau rapat kita pertimbangkan. Walau nanti diputuskan enggak, tapi paling enggak jadi dipertimbangkan. Tapi pakai guyon dulu. Kalau enggak gitu dia stik. Dia stik, mati kita!

MR: Saya bilang ke Pak Marciano. Pak saya nggak berani ke rumah Bapak dulu Pak. Begitu saya ke rumah Bapak, ada yang ngabarin kalau sudah dicap. Habis Pak Jokowi dilantik, saya nggak berani dulu. Udahlah, biar Bapak kerja tenang. Sekarang dia sudah aman.

SN: Udah tahu lah, kan Pak Luhut lapor semua pertemuan itu, kalau Bung Riza semua yang ngatur.

MR: Saya sih bukan menjilat dia Pak. Tapi kalau temen-temen saya paling nggak happy, pada ribut semua, nanti rusak negara kita.

SN: Waduh hancur.

MR: Iya kan? Maksudnya biar harmonis. Harmonis, rukun. Kalau Pak Luhut, kan sahabat lama. Ya udah, kita duduk Pak Luhut. Pak Luhut nggak percaya. Belum cukup sama gue?! Udahlah, bisalah. Gua yang atur, gua jamin. Wah seneng banget, Pak Luhut ke Pak Jokowi. Nih Si Boss yang urus katanya. Dia mau bawa ke istana, Riza tolak. Wah kalau saya ke istana, ada yang motret. Tambah pusing kepala saya. Susah ini Pak, tukang gosip.

MS: Makanan empuk.

MR: Iya makanan empuk. Wah gila betul. Kita kerja benar.

Siapa pemegang "Kartu Freeport" yang sebenarnya ?!

MS: Pak, terima kasih waktunya Pak.

SN: Sekarang Komisaris di sana. Komisarisnya orang Papua-nya tiga, kemudian Indonesia non Papua, Pak Marsilam, Pak Andi Mattalata, satu lagi bekas Presdir.

MR: Pak Rozik ya?

MS: Oh, bukan itu Presdir waktu kontrak.

SN: Hidayat itu beberapa kali ketemu saya. Nututi, saya menghindar terus. Saya sudah tahu itu. Kan saya tahu bahasa di Presiden kayak apa. Kan dia tinggal begini Pak. Rahasia terjamin, Orang lain nggak ada yang ikut, Menteri pun nggak tahu.

MS: Kalau tahu Pak?

SN: Kalau misal, situasi menterinya juga bisa terus, tapi juga belum tentu terus. Kalau nggak terus, tahu Pak bocor.

MS: Lain cerita lagi itu Pak.

SN: Karena menterinya enggak share ini. Surabaya sama Presiden itu hadir di PDIP. Dia ikut dari Papua Pak. Dia lihat ada di VIP lounge, dia cari saya. Pak Ketua, saya tahu Pak Ketua ada di sini. Urusan Papua tolong Pak Ketua. Insya Allah. Sudirman gitu. Jadi panjangan ngomongnya, Bapak Presiden gini, gini. Baik-baikan aja. Kalau ribut, masih mudah saya dihantam ama Darmo.

MR: Darmo, ikut ke Papua dia.

SN: Darmo ikut ke Papua?

MR: Ikut dia.

SN: Terus dia pulang dia.

MR: Dia sama Presiden hanya sampai Surabaya. Terus menterinya pulang.

Muhammad Riza Chalid (MR), Setya Novanto (SN), dan Maroef Sjamsoeddin (MS).

SN: Presiden itu nggak happy gara-gara itu. Dia nggak happy itu, menteri ini, Jonan dan Bappenas. Kalau ngomong itu, saya pusing Pak Ketua, sama menteri ini.

MS: Andrinof.

SN: Andrinof.

MS: Terima kasih waktunya. Kita tunggu anunya aja kepastian gimana, kelanjutannya.

MR: Saya bicara Pak luhut, kira-kira apa. Terus oke, kita ketemu.

SN: Harus itu Pak.

MR: Saya akan bilang Pak Luhut.

SN: Harus cepet, karena kasihan beliau. Pak Luhut dikasih tanggung jawab. Kasih tanggung jawab share holder. Gimana caranya sukses? Harus cari akal, kan gitu.

MS: Tanggung jawab itu, paling berat itu karyawan dan keluarganya.

MR: Betul itu Pak.

MS: Kalau share holder kan duitnya banyak. Tapi karyawan itu, 30 ribu lebih. Itu kan bangsa kita semua. Kalau share holder ini tutup, masa bodo amat.

MR: Dan selalu dipikir karyawan.

MS: Dan Freeport nggak pernah PHK lho Pak. Itu saja Pak. Pikiran saya itu karyawan. Karena saya sudah lama masuk Papua. Saya tahu betul masyarakat Papua.

SN: Oke Pak.

MS: Baik Pak. Terima kasih Pak Ketua. Saya duluan Pak. Makasih Pak, mari. Pak Riza, makasih Pak, mari.

SN: Yuk, Pak.

MR: Cakep deh.

Sumber:
1. http://nasional.kompas.com
2. http://news.detik.com

Transkrip Lengkap Rekaman Pembicaraan Kasus Setya Novanto (Bag I)


Tiga orang yang terekam dalam pembicaraan adalah Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin (disingkat MS), Ketua DPR-RI Setya Novanto (disingkat SN), dan seorang pengusaha Muhammad Riza Chalid (disingkat MR).

MS: Assalamualaikum, Pak.

SN dan MR: Widiiiihh ….

SN: Gak keluar, Pak?

MS: Enggak Pak, ada tahllilan.

SN: Gak ke Solo?

MR: Besok?

MS: Ke Solo kan lusa.

SN: Kan acaranya 11, Kamis ya?

MR: Bukan 12, kata Lucas, Pak Luhut pesen musti ketemu dia.

SN: Yang bayar duluan!

MR: Gua duluan ya?

MS: Wah ramai.

MR: Loe mau ngikut pesawat gua nggak?

SN: Pak Luhutnya kan?

MR: Gua sebentar, gua salaman, gua ketemu Pak Luhut, gua kabur ke airport. Habis mau ngapain lagi lama-lama. Yang penting buat kita nongol, salaman, ketemu Pak Luhut, udah.

MS: Airport sama kota kan deket?

MR: Iya.

MS: Cuma macetnya Solo itu.

MR: Kalau gak naik itu, bisa jam 3 hari-hari itu. Kalau mau. Tapi kira-kira kan, Bapak kira-kira sudah dapat Garuda kan? Freeport nyupport? (untuk pernikahan anak Jokowi)

MS: Nggak ada. Nggak ada kita!

MR: Maklumlah presidennya, sudah banyak. (ketawa).


MS: Tidak mungkin juga terbatas kali. Bikinnya kan di Solo. Kalau seperti Pak SBY dulu bikinnya di istana kan besar-besaran. Kapasitasnya juga besar.

MR: Ini cuma 2000, 3000.

MS: Itu yang diundang. Belum keluarga. Kapasitas terbatas.

SN: Saya ditanyain wartawan di kita. Pak itu kan dibatasi oleh Menteri PAN hanya 400. Presiden sudah 2000 – 3000. Ya nggak ada masalah, namanya masyarakat pengin ketemu presiden.

MS: Menteri PAN kan kadang masih ecek-ecek. Dia pikir, entar gua ngawinin gua sudah pensiun. Ya kan, anaknya Menteri PAN kan masih kecil-kecil. Bayangin aja 400.

MR: Suka-suka dia, Pak.

MS: Susah Pak, budaya orang Indonesia kan ndak bisa begitu, Pak. Bagi orang barat 400 sudah besar banget.

MR: Pak Syaf waktu ngawinin anaknya, banyak. Pokoknya gua nggak peduli. Pesta gua yang bikin.

SN: Syaf siapa?

MR: Syafruddin.

SN: Ooo ….

MR: Banyak yang datang.

MS: Mana mungkin itu, Pak.

MR: Tapi jangan saya, katanya gitu. Ada aja alasannya.

MS: Susah Pak budaya kita budaya kekeluargaan.

SN: Nanti saya Desember. Eh membengkak ….

MR: 9000 lebih. Yang bikin acaranya caranya gitu. Jadi caranya undangan yang kanan untuk besan saya, yang kiri kita. Jadi bukan saya yang undang, tapi besan saya. Selesai.


SN: Saya itu Pak, sudah ketemu Presiden, waktu sampai ada 5 pimpinan (lembaga) negara lainnya. Ada ketua MA, Ketua KY, Ketua MK. Saya bilang, Pak, Bapak ke Papua? Iya, kata Presiden. Padahal di sana gak ada yang jemput. DPRD-nya, Bupatinya, Gubernurnya. Kesel juga. Soal PSSI macam-macam. Saya bilang bikin itu saja, istana di Papua. Setuju Pak, kata Presiden. Masak ada (istana) Tampak Siring, (istana) Bogor. Masak di sana tidak ada. Saya sudah lihat di sana ada tanah kosong, depannya laut. Jadi secara politis ke depan pasti ke sana. Semua manggut-manggut. Lagi seneng dia.

Freeport itu saya sudah ketemu Jim Bob, Dirutnya, saya minta dipertimbangkan. Waktu itu dengan Menteri itu, soal perpanjangan itu, kan DPR minta untuk duduk. Sedangkan sekarang kan ada tiga hal. Kemarin Menteri ESDM menemui saya di Surabaya, khusus bicara ini. Beliau bicara tiga hal. Satu, penerimaan minta ditingkatkan. Kedua adalah privatisasi, permintaan itu 30 Juta untuk 51%. Mana mungkin, saya bilang gitu. Ketiga adalah pembangunan smelter.

Oh, oke Pak Ketua. Kalau berhenti itu, soal penerimaan, saya nggak sependapat Pak Ketua. Karena kita itu paling hanya nerima 7–8 Triliunlah. Tapi kita keluarkan dananya untuk di Papua, Otsus itu, kita 35 T. Ndak imbang. Tapi kan itu udah dibantu CSR. Iya, tapi tidak cukup Pak Ketua. Kita besar sekali.

Kedua kalau smelter. Kalau di sana bangun smelter, di sana lebih banyak rawa. Jadi kuatirnya waktu. Kalau lihat gitu saya lihat di Gresik ada smelter kecil yang tinggal diterusin. Terus di sana juga ada pabrik semen, juga untuk pupuk, yang penting kan pakai dana sendiri, tidak melalui dana perbankan kita. Kita harus paksa supaya cepat-cepat dibangun. Ya kalau gitu. Habis itu baru Timika, Pak Ketua. Yang mana duluan Pak. Dia diam saja.

Yang ketiga, soal apa Pak Ketua. Soal penyerahan, soal sahamnya itu, kan sudah 30% diminta 51%. Itu tidak mungkin Pak. Ini kan sudah berbagi dengan daerah yang 250.000 Ha itu, susah juga. Kebayang juga dengan Kabupaten lain. Ini tidak mungkin. Terus dia diam saja. Pak Luhut cuma bilang, kita runding. Pas saya makan, Presiden samperin saya. Ini kan Pak Luhut. Itu apa Pak Luhut sudah bicara belum? Oh iya, sudah Pak. Pak Luhut yang banyak memberikan pendapat. Bagusnya kalau bisa segera. Ngobrol-ngobrol itu. Oh iya, sekarang Pak karena sekarang sudah waktunya.

Lalu saya pulang. Saya mau rundingan dengan, sama Pak …. Jangan-jangan ini karena yang dulu ada keributan antara anak buahnya Pak Luhut, Si Darmo dan Si siapa itu, Sudirman Said diekspos. Ini minta diklirken. Saya akan ngomong ke Pak Luhut. Ya udah. Makanya perlu ketemu itu. Ha ha ha haa….


MR: Jadi gini Pak. Ini bahan dari Pak Luhut dan timnya. Sudah baca?

MS: Perpres sudah baca yang percepatan pembangunan ekonomi Papua.

MR: Jadi mereka itu kan mau maju dulu, dibangun di sana. Apa sudah ada konsep di sana? Dari Pak menteri?

MS: Oh, tidak begitu.

MR: Jadi tetap di Gresik?

MS: Oh ndak. UU tidak mengatakan begitu. PP juga tidak mengatakan begitu. Jadi pemurnian (smelter) harus dibangun di dalam negeri. PP-nya juga begitu. Pemurnian itu dilakukan 100 persen di dalam negeri. Kemudian tanggal 23 Januari 2015, pas setengah bulan yang lalu, itu persyaratan untuk memperpanjang izin ekspor harus melengkapi. Salah satu diantara enam itu harus menentukan exact location. Satu lagi soal feasibilty study. Dapatlah di Gresik. Jadi tidak ada yang mengatakan harus di Papua. Setelah kita umumkan di Gresik dan kita tanda tangani 23 Januari itu, baru muncul Pemda Papua yang mengatakan harus dibangun di Papua.

SN: Terus janji Presiden?

MS: Ya betul, kemudian Presiden ke sana, janjikan oke kalau gitu dibangun. Kalau kita bangun di Papua siapa yang mau kasih. Di Gresik saja sudah 2,3 M. Kalau di Papua bisa hampir 4 M. Dari mana mau dananya. Nggak mungkin bangun di Papua.

MR: Ya, ya. Jadi begini Pak, soal itu saya ngomong sama Darmo. Saya bilang Darmo siap ya? Dia kan ngurusi semua. Dia akan melihatnya ini kalau perlu biayanya besar juga.

SN: Pengusaha juga.

MR: Kalau ini tugasmu untuk mengamankan. Jadi saya sudah bicara, Pak Jokowi. Urusan dia saya. Dia dipakai Pak Luhut semua.

MR: Soal saham itu ada pemikiran, PLTA.

MS: PLTA? Yang mau memiliki sahamnya siapa Pak?

MR: Ada nomine-nya, punya Pak Luhut.

MS: Pak Luhut?

MS: Yang sahamnya itu juga maunya Pak Luhut. Itu jaminan guarantee itu dari Freeport untuk saham itu. Seperti dulu yang dilakukan oleh Freeport kepada pengusaha.

SN: Pak Luhut pernah bicara dengan Jim Bob di Amerika.

MR: Jadi kalau itu bisa diolah, ini rahasia yang tahu cuma kita berempat ya Pak. Diolah gitu .…


MS: Pak itu harus ada yang perlu dihitung Pak sekarang. Waktunya tinggal 6 minggu dari sekarang. Dari enam isu yang saya kasih Pak Ketua itu, waktunya tinggal 6 minggu dari sekarang. Kalau itu tidak keluar, katakanlah 23 Juli nanti, tanggal 1 Juli tidak ada kepastian, maka kita akan arbitrase internasional.

MR: Apa?

MS: Arbitrase internasional jalan. Tidak ada lagi itu. 1 Juli-lah Pak, sudah ada kepastian. Sekarang apa guarantee-nya kalau permintaan itu dipenuhi? Ini juga keluar. Apa garansinya kalau permintaan itu ada signal? 1 Juli sudah ada signal, apa garansinya? Ya to Pak. Apa garansinya?

MS: Ini kan masih di Solo.

MR: Ya, ketemunya di sinilah. Ketemu Pak Luhut. Ini kan masih ada kesibukan. Habis itu baru .... Habis itu Jumat ke Pak Luhut. Harus ditugasin itu dia. Kalau bisa tuntas dan minggu depan sudah bisa settlement. Tanggal 22, seperti usul lalu, itu yang sekarang sudah kerja. Kita sudah approach beberapa kali. Benar. Kalau Freeport memiliki 15%, kita pasti bilang.

MS: Kalau tidak salah ada feasibility study, coba ditinjau lagi. Kalau tidak salah Freeport itu off taker.

MR: Itu tadi Pak. Saran saya jangan off taker dulu. Kalau Bapak off taker dulu itu akan ada di kedua belah pihak.

MS: Dari mana .…

MR: Dari third parties yang ….

MS: Bapak juga nanti baru bisa bangun kalau kita kasih purchasing guarantee lho Pak.

MR: Oh ya betul.

MS: Ketergantungan bukan dari third party, tapi dari kita dong.

MR: Oh iya, tapi kan kalau Bapak ikut bikin, kan Bapak ikut mengendalikan. Bapak bikin PLTA-nya, Bapak ikut mengendalikan.

MS: Artinya investasinya patungan 49, 51?

MR: Iya.

MS: Investasi patungan. Tapi off taker kita juga?

MR: Iya.

MS: Kalau gitu double dong?

MR: Enggak double, Pak.

MS: Modal dari kita, kita juga yang off taker. Anu, kita bicara dulu di depan, supaya kita bisa mengolahnya.


MR: Pak, off taker itu hanya sugar guarantee.

MS: Iya purchasing guarantee.

MR: Purchasing guarantee itu tidak ada uang keluar. Hanya guarantee. Make acuan. Uang keluar itu hanya untuk pembangunan. Kalau itu Bapak juga harganya bisa dikontrol pada yang wajar.

SN: Harga itu sektor terbesar.

MR: Iyalah itu kira-kira. Harga perlu dikendalikan yang wajar. Atau kalau terbalik, kalau pure itu, itu kan satu deal. Misalnya Jim bilang Freeport gak usah ikut. Silahkan yang lain, murni. Investor banyak yang mau, nggak susah kalau Freeport. Marubeni ngotot mau masuk situ. Cuma harga tinggi. Itu maksud saya Pak. Justru kita sebagai lokal, merasa nyaman kalau itu opsinya sama Freeport. Dibandingkan kalau sama orang luar. China pun ada yang mau Pak.

MS: Ini yang Pak Riza sampaikan yang lalu, sama Dharmawangsa itu kan?

MR: Iya. Itu harganya yang wajar. Bukan harga yang, tidak ketinggian tidak kerendahan. Kan PT-nya milik Bapak juga, 51%. Nanti Bapak juga jangan sampai menekan ke induk usaha Freeport, pertambangan.

MS: Kuncinya kan itu lagi, surat perpanjangan itu. Tidak mungkin keluar purchasing guarantee kalau tidak. PLTA mau dibangun itu kan untuk underground mining. Underground mining baru bisa dipastikan mau dilanjutkan kalau ada perpanjangan.

MR: Betul perpanjangan. Ini komitmen itu dibutuhkan. Komitmen itu belum off take guarantee belum, Pak?

MS: Lho kalau komitmen, Freeport komitmen. Begitu ada perpanjangan, komitmen kita akan jalankan. Saya pertaruhkan itu!

MR: Itulah Pak yang perlu duduk itu komitmen.

MS: Karena tidak mungkin itu Pak. Freeport sudah menanam 4 M Dollar. Sudah mempersiapkan yang underground, untuk infrastruktur dan persiapan operasional, meskipun tanpa kepastian. Jadi jangan ragu dengan komitmen. Terus untuk smelter, Desember nanti kita taruh lagi 700.000 Dollar. Itu commitment fee. Itu Desember. Tanpa ada kepastian lho Pak. Karena kita tidak mau dianggap tidak komitmen.

MR: 700 Juta ya Pak?

MS: Sorry, 700 Juta Dollar. Apalagi yang kita kurang komitmen? Tidak perlu komitmen lagi. Ini sudah komitmen. Ndak ada, ndak ada.

Muhammad Riza Chalid, yang disingkat MR.

MR: Tapi kira-kira kalau konsep tadi mau ambil apa enggak?

MS: Saya nggak jamin mau apa nggak. Tapi kasihkan dulu itu Pak.

MR: Wah kalau ada 700 Juta, proposal gitu, gua lepas ini.

SN: Artinya kalau ada opportunity …. Kan ada di Pak Luhut.

MS: Signed dulu itu.

MR: Signed itu pasti, itu akan segera.

MS: Tapi kalau dengar penjelasan Pak Ketua tadi, saya-nya enggak begitu jelas. Dari Pak Jokowi ya enggak jelas.

SN: Kalau Pak Jokowi itu, dia, beliau sudah setuju kalau sarannya untuk di Gresik. Tapi berikutnya di Papua. Tapi ada ujung-ujungnya, waktu saya makan itu, Pak Ketua sudah bicara belum (kepada) Pak Luhut? Saya disuruh ngadep ke Pak Luhut, ngobrol-ngobrol. Saya langsung tahu ceritanya ini waktu rapat, yang terjadi antara Si ESDM dengan Darmo. Kalau menurut saya, memang Pak, Presiden itu ada yang mohon maaf ya, ada yang dipikirkan untuk ke depan memang. Kalau dilihat dari, karena dia dengan Pak Jusuf Kalla itu kan terjadi begitu, makanya selalu menyinggung, masak Jusuf Kalla terus. Kalau lihat begitu memang dia ….

MS: Ada ganjalan.

SN: Ada ganjalan. Makanya kita harus menutupi. Nggak habis-habis.

MS: Mempercantik.

SN: Mempercantik. Tapi kalau pengalaman kita, artinya saya dengan Pak Luhut, pengalaman-pengalaman dengan Presiden, itu rata-rata 99% itu goal semua Pak. Ada keputusan-keputusan penting kayak Arab itu, bermain kita. Makanya saya tahu. Makanya Bung Riza, begitu tahu Darmo, di-maintain, dibiayai terus itu Darmo habis-habisan, supaya belok. Pinter itu.

MS: Anu, The lobbies.

(MS, SN, MR ketawa)

SN: Itulah.

Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin, yang disingkat MS.

MR: Pak, Pak. Hubungan Pak Luhut itu dekat sekali dengan Pak Jokowi. Kalau kasih sign beliau keluar, kasih sign, eh beliau kayaknya begini-gini, rahasia ya. Ngerti nggak? Paling nggak Pak, kalau saya bilang, confirm on. Kalau meleset, saya habis Pak.

MS: Ndak Pak, kalau meleset komitmen. Kalau sudah keluar komitmen, tidak akan meleset Pak. Kalau sudah keluar komitmen. Seperti saham, berapa persen Pak?

MR: Itu yang saya juga belum, yang belum.

MS: Bapak harus jelas juga, berapa persen sahamnya? Karena itu bukan uang kecil lho Pak soal saham itu. Dan nilai asset Freeport itu bukan main.

MR: Kedua, nilainya berapa. Sama yang itu kan diambilnya harus untung, biar pinjaman bisa recover.

MS: Mungkin harus jelas juga Pak, supaya anunya, perhitungannya lebih jelas juga.

MR: Bapak, itu sudah jalan divestasi sudah berapa persen?

MS: 30% yang sudah jalan.

MR: Yang sudah jalan 9% dong.

MS: 9,3%, dipegang BUMN.

SN: Kalau nggak salah, itu Pak Luhut sudah bicara.

MR: Pak Luhut sudah bicara?

SN: Pak Luhut bicara dengan Jim Bob. Pak Luhut udah ada unek-unek, Pak.

Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan.

MR: Pak, kalau gua, gua bakal ngomong ke Pak Luhut, janganlah ambil 20%, ambillah 11% kasihlah Pak JK 9%. Harus adil, kalau enggak ribut.

SN: Iya. Jadi kalau pembicaraannya Pak Luhut di San Diego dengan Jim Bob, empat tahun lalu. Itu, dari 30% itu, dia memang di sini 10%. 10% dibayar pakai deviden. Jadi dipinjemin tapi dibayar tunai pakai deviden. Caranya gitu, sehingga nggak mengganggu konstelasi ini. Begitu dengar adanya istana cawe-cawe, Presiden nggak suka, Pak Luhut ganti dikerjain. Kan begitu. Sekarang kita tahu kuncinya. Kuncinya kan begitu-begitu LHP, ha, ha, ha, ha. Kita kan ingin beliau berhasil. Di sana juga senang, kan gitu. Strateginya gitu lho. Ha, ha, haaa ….

MS: Lobbies.

MR: Untuk pertama kali, berapa yang saya olah. Disampaikan, kalau cawe-cawe kan dia juga kerja di konsultan. Dia kan kalau konsultan datang, dia langsung bikin titik.

MS: Ada saya baca ....

MR: Saya punya presentasinya. Habis presentasi sedetil itu, habis itu langsung saya telpon. Tanggal berapa itu?

SN: Sekarang sudah digarap sama Bung Riza. Ha, ha, haa .… Saya tahu Pak ....

MS: Tanggal 14.

MR: Memang kita tidak mau mencampuri politik. Tapi kenyataannya barrier politik itu ada. Kerjanya cepat, makanya …. dan happy. Kita akan kasih pengertian. Pak Luhut pasti oke. Karena Pak Luhut nggak terlalu gini juga. Kita happy-happy semua Pak. Kalau Bapak happy, kita semua juga happy.

SN: Kita happy Pak, kalau Bung Riza yang mengatur.

MR: Bukan, kita kerja. Kita kan sunggung-sungguh kerja ya Pak ya? Ada prospek. Insya Allah, Allah kasih rezeki. Berjalan. Kan masalah banyak di situ. Sampai empat tahun, Pak?

MS: Nggak setahun saja, ini selesai urusan monster.

MR: Kalau itu, itu bisa sampai 25 tahun.

MS: Lama itu Pak. Nggak cuma ini aja Pak. Setiap pembangunan di Papua nanti butuh power, tinggal nambah, nambah, nambah Pak.

SN: Pinter, ini dibayar sama itu.

MR: Menurut saya, cara itu elegan. Freeport yang kontrol, harga dikendali. Freeport bantu cari guarantee, pinjaman. Terus, di sana cicil bagus, bisa kredit guarantee sesuai. Yang enak gitu lho Pak. Freeport yang kontrol, semua jalan semua. Pengendali. Kalau kita bikin CSR ke orang-orang kampung kita bisa. Ada Freeport juga di situ. Itulah Pak, bagus sekali itu. Kalau itu misalnya sama China. Jepang itu lain lagi.

Surahman Hidayat, Ketua MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan).

MS: Teknologi mau pakai teknologi mana?

MR: China! Gampang itu, Pak.

MS: Enggak, kalau begini, Pak!

MR: Dari China? Oh bisa!

MS: Ini kan perusahaan Amerika, harus dilihat juga. Jangan lupa yang kecil-kecil gitu. Biar strateginya nyambung nanti, Pak.

MR: Turbin dapat kredit ekspor dari sana?

MS: Itu Pak, smelter Papua sudah ada statemen bersama. Pemda Papua akan mencari investor. Statemen bersama dihadiri oleh Komisi 7, Ketua DPR-P, Ketua MRP, ada Menteri ESDM. Statemen bersama.

SN: Yang waktu itu ya?

MS: Iya. Dan gubernur mendukung pembangunan smelter Freeport di Gresik. Kalau dia punya smelter jadi, Freeport akan menyuplai konsentratnya dengan perhitungan B to B ke smelter yang sudah ada akan dibangun. Begitu Pak.

SN: Perjalanan tambah sudah mulus dong?

MS: Sudah ada komitmen. Gubernur Lucas itu sudah mengeluarkan statemen itu. Cuma kan ada kemungkinan, ini gubernur punya pemikiran bahwa semua smelter, semua spesifikasinya sama. Di setiap komoditas mineral itu, mainnya itu beda. Tidak bisa tembaga atau emas itu makan nikel atau bauksit. Dia pergi ke China nyari. Teknologinya nikel dan bauksit. Kalau teknologi tembaga dan emas itu adanya di Jepang. Dia salah langkah Pak. Gitu lho Pak. Makanya dia agak mandek mau membangun smelter. Kan teknologinya beda Pak. Njlimet itu Pak teknologi setelah saya pelajari. Yang top itu teknologinya Mitsubishi.

MR dan SN: Oooo ….


MS: Untuk smelter. Memang gila itu, Jepang memang top. Tidak pakai kimia. Tidak pakai kimia, semua fisik. Makanya Freeport itu tidak ada proses kimia dalam pemurnian. Salah langkah dia untuk Papua. Harusnya dia lakukan ini dulu sudah betul. Bangun dulu Papua secara keekonomian. Bangun dulu infrastruktur Papua secara keekonomian. Jangan bangun smelter dulu di depan. Bagaimana mau bangun smelter kalau enggak ada listrik, enggak ada pelabuhan, enggak ada jalan, enggak ada air bersih, enggak ada gas. Mahal Pak. Bangun dulu nilai keekonomian. Makanya itu Keppresya sudah betul. Makanya Bappenas, sudah cocok itu. Bangun dulu infrastruktur, bagun pabrik semen, pabrik pupuk.

SN: Sudah Pak. Kemarin itu saya diarahkan sama Bu Rini, Menteri BUMN, jadi nanti itu ditunjuk di Bintuni. Bintuni itu arealnya 6.000 hektar. Itu dibuat di sana itu pabrik pupuk. ANTAM juga di situ. Pelabuhan bukan hanya Sorong Pak tapi di situ. Sehingga ini sebenarnya untuk menunjang perekonomian itu. Ini lagi mulai pembuatan-pembuatan itu, yang pihak Dirut ANTAM, Pak Budi ketemu saya waktu itu, memang betul sedang membuat. Gasnya selain gasnya itu dari apa itu yang di sana .…

MS: Tangguh.

SN: Tangguh, tetapi juga dari Malaysia, dari Ginting. Mereka dapat itu.

MR: Genting, Genting.

SN: Genting.

MR: Benar itu Pak. Ada 5 TCf cadangan di Papua. Itu yang akan disuplai ke tempatnya Bapak.

MS: Bintuni, kalau mau membawa nanti konsentratnya dari Timika, coba dilihat kondisi geografinya Pak, bagaimana. Berapa cost delivery-nya. Faktor cuaca melalui laut. Kalau lewat darat, wah pembangunannya gila berat, very costly. Bapak harus lihat line cost-nya, garis pantainya untuk membawa konsentrat dari Timika ke situ.

SN: Ya, ya, ya.

MS: Kenapa tidak dari Timika dibawa ke Gresik. Karena line cost-nya gampang. Kalau mau dibawa ke Papua harus lihat dari garis pantai.

MR: Ooo … geografi dengan cost-nya ya?

MS: Harus lihat itu Pak. Modal.


MR: Kalau begitu, tidak ada jaminan pupuk bangun, tidak ada jaminan semen bangun. Sehingga revisinya. Makanya gandeng kita. Mau bangun enggak, gitu. Tapi kalau di-pressing nggak ada semua orang yang ngasih duit. Uang ke Freeport, sudah pasti oke, sudah pasti dibeli nih.

MS: Off taker-nya banyak.

MR: Banyak off taker-nya.  

SN: Iya purchasing guarantee.

MS: Harus integrated Pak. Susah ini Pak.

MR: Kalau orang mau menggaransi, off taker baik, pasti bangun pabrik pupuk. Bangun di sana.

MS: Itu nanti menjual hasil konsentrat itu secara internasional juga harus dipikirkan market-nya.

SN: Kalau semen itu Pak, pada akhirnya bisa dibangun di situ nggak? Di Timika? Kalau seandainya Presiden sudah setuju? Sudah Pak Ketua, kita di sini. Tapi harus janji di Timika. Sesuai permintaan itu bangun pabrik semen di sana.

MS: Pak, masalah lahan di Papua itu juga masalah besar. Masalah hak ulayat itu susah. Pak Riza mau bangun di sana, berhubungan sama yang punya. Pak Riza sudah bayar, nanti pamannya datang, kamu bayar ke dia, saya mana? Datang lagi keponakannya, itu yang bikin perang suku Pak.

MR: Itu mirip di Padang. Sama kalau di Padang.

MS: Kepastian hukumnya tidak ada. Ada kebun sawit besar, bagus, cantik, udah jadi Pak. Tiba-tiba ditutup sama gubernur, katanya merusak alam. Kasihan Pak buat investor. Itu orang nggak jadi, males menginvestasi.

MR: Provinsinya Dajjal.

MS: Betul Pak, zamannya Dajjal.

MR: Sama Pak. Gila itu. Itu waktu Riza mengondisikan ngurusi gula. Sudahlah begini, begini. Dia sudah kuasai lahan Pak, pada waktu itu. Beda kongsi. Gua ketawa aja. Makan dulu, kalau udah jalan 5 tahun baru saya ambil.

MS: Diganggu?

MR. Ya enggaklah. Dia juga memulai itu jalan pelan-pelan sekarang. Miliknya ANTAM. Akhirnya dia bikin pabrik gula di NTT. Hmm… begitu.

MS: Ati-ati Pak. Betul Pak.

SN: Ngeri, makanya bolak-balik situ.

MR: Tentara.

(Bersambung ke Bag II)

Sumber:
1.    http://nasional.kompas.com
2.    http://news.detik.com