18 April, 2013

Ambang Batas Dinasti Politik


Dalam hitungan maju sejak kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia diberlakukan, cengkeraman dinasti politik di setiap daerah semakin menguat. Pilkada makin ditandai dengan pesta keluarga.

Dalam lingkup sempit, horizontal dan vertikal, para anak, istri, adik, dan kakak dari sejumlah pejabat petahana mencalonkan diri dalam arena pilkada. Dalam arti luas, para keponakan dan menantu juga tak mau ketinggalan.

Selama satu dasawarsa terakhir, di sejumlah daerah, mata rantai alih kuasa dalam satu dinasti politik makin tak kenal jeda. Proses demokrasi di daerah dengan mekanisme pilkada hanya jadi pesta besar sejumlah dinasti. Kuasa dinasti yang mencengkeram sejumlah daerah ini pun berkelindan dengan kepentingan dinasti di level lokal dan nasional.

Anak, istri, adik, dan kakak dari sejumlah kepala daerah pun ramai-ramai bertarung dalam kontes pemilu legislatif untuk DPRD, DPD, dan DPR. Sistem politik yang dibangun dengan semangat demokrasi makin dibajak oleh sejumlah dinasti.


Belenggu Dinasti Politik
Sudah saatnya kita belajar dari dampak negatif dinasti politik di sejumlah negara. Pada masa Orde Baru, dinasti politik telah menjadi “momok” dan diyakini menjadi penyebab utama maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Data dari Kementerian Dalam Negeri mengidentifikasi ada 57 kepala daerah yang membangun dinasti politik di beberapa daerah di Indonesia (2013). Dari 57 kepala daerah yang mencalonkan para anggota keluarga yang memiliki pertalian darah, hanya 17 di antaranya yang kalah di arena pilkada. Selebihnya, mereka menjadi pemenang menggantikan kekuasaan keluarganya.

Menguatnya politik dinasti di sejumlah daerah ini juga diwarnai maraknya potensi korupsi yang dilakukan para anggota keluarga dinasti yang berkuasa. Benar bahwa dinasti politik bukanlah satu-satunya faktor maraknya korupsi di daerah. Namun, makin rapatnya kuasa para dinasti di sejumlah daerah, korupsi sumber daya alam dan lingkungan, kebocoran sumber-sumber pendapatan daerah, serta penyalahgunaan APBD dan APBN kian tak terhindarkan.

Menguatnya lapisan dinasti politik yang menyebar ke beberapa daerah ini membahayakan masa depan demokrasi di Indonesia. Pertama, dominasi dan belenggu dinasti politik pada sistem politik dan parpol di Indonesia akan menumpulkan fungsi sistem politik sebagai mekanisme demokratis dalam mengawal kepentingan publik. Dalam jangka panjang dapat dipastikan akan makin mengerdilkan sistem politik karena sirkulasi elite dan kepemimpinan —yang mestinya bersifat terbuka— kian tertutup oleh dominasi kepentingan dinasti politik.


Kedua, dominasi dan belenggu dinasti politik menyeret sistem politik dan parpol ke arah “personalisasi dan privatisasi kepentingan politik”. Dalam sistem demokrasi kesejahteraan, arena politik merupakan arena terbuka. Ada potensi besar di mana sumber daya ekonomi-politik yang diperjuangkan, diperoleh, dan dikelola oleh parpol —yang mestinya untuk kepentingan publik— pada akhirnya diprivatisasi oleh keluarga masing-masing.

Ketiga, menguatnya dominasi dan belenggu dinasti politik ini juga akan semakin membusukkan budaya politik dan etika publik. Adanya proses perekrutan elite yang cenderung tertutup, dominasi penggunaan akses sumber daya ekonomi-politik yang terus dimonopoli keluarga, juga hasrat akumulasi kekuasaan selama beberapa fase generasi menjadikan arena politik semata-mata sebagai gelanggang perebutan aset publik.

Keempat, menguatnya dominasi dan belenggu dinasti politik merusak efektivitas kinerja sistem politik. Sebab, institusi politik dan sistem politik dihuni oleh para elite dengan mental yang harus terus-menerus dilayani, bukan melayani. Padahal, arena politik dan sistem politik dimaksudkan untuk melahirkan pelayanan publik dan kebijakan yang benar-benar mengedepankan kepentingan publik.


Mencari Ambang Batas
Dominasi dan cengkeraman dinasti politik di daerah, bagaimanapun, harus dibatasi. Siapa pun yang memiliki akumulasi kekuasaan luar biasa dan berbasis kekerabatan cenderung sulit mengendalikan moral hazard yang dimilikinya untuk tidak menyalahgunakan kekuasaan.

Maka, tepat jika RUU Pilkada yang saat ini diajukan pemerintah mengusulkan adanya jeda pencalonan bagi keluarga dinasti politik, baik bersifat vertikal maupun horizontal. Pasal 70 (p) menyebutkan bahwa warga negara Republik Indonesia yang dapat ditetapkan jadi calon bupati/walikota adalah yang tidak punya ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan gubernur dan bupati/walikota kecuali ada selang waktu minimal satu masa jabatan.

Ketentuan di atas jadi penting dimasukkan dalam RUU Pilkada mengingat potensi konflik kepentingan pejabat petahana terhadap calon kepala daerah yang memiliki hubungan darah akan tak terhindarkan. Meskipun Pasal 93 Ayat (1) menyebutkan sejumlah larangan dalam kampanye para calon kepala daerah untuk tidak melibatkan pejabat petahana hingga pegawai negeri, kepala desa dan perangkat desa, tetapi konflik kepentingan pasti sulit dihilangkan oleh pejabat yang anak, istri, adik, dan kakaknya jadi calon kepala daerah.

Demikian pula Pasal 94 Ayat (1) yang menegaskan, “pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, dan kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa kampanye”, namun tetap saja fakta di lapangan menunjukkan sejumlah pejabat petahana membuat sejumlah kebijakan politik yang menguntungkan calon kepala daerah yang menjadi kerabatnya.


Meski Pasal 92 (f) menyebutkan pula bahwa dalam kampanye dilarang menggunakan fasilitas dan anggaran pemerintah dan pemerintah daerah, dan hal ini merupakan tindak pidana dan dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 95 Ayat 1), namun dalam pelaksanaannya tindakan penegakan hukum atas hal itu sangat lemah. Karena itu, Pasal 70 (p) di atas jadi kunci utama mengantisipasi potensi penyalahgunaan kekuasaan dan fasilitas yang dimiliki pejabat petahana.

Gejala penguatan cengkeraman dinasti politik di sejumlah daerah, bagaimanapun, akan menggerus nilai-nilai demokrasi di Indonesia. Tak semua pihak menyadari bahaya yang mengancam di balik cengkeraman dinasti politik di setiap daerah. Bahkan sebaliknya, banyak di antara mereka yang telanjur nyaman di dalam cengkeraman keluarga dinasti politik tertentu.

Adalah tanggung jawab negara untuk mengatur kembali ambang batas dominasi dinasti politik dalam pilkada. Mereka yang menjadi anggota keluarga dekat —baik vertikal maupun horizontal— dari pejabat petahana tentu saja tidak akan dihilangkan haknya sebagai calon kepala daerah. Namun beragam potensi moral hazard dari pejabat petahana dan keluarganya —yang berdampak pada penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya di arena pilkada— sedini mungkin harus dicegah agar monopoli kekuasaan tidak membunuh nilai-nilai demokrasi di setiap daerah di Indonesia.

Umar Syadat Hasibuan;
Dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri
KOMPAS, 11 April 2013

10 April, 2013

Saat SBY Terjebak Labirin: Antara Negara dan Partai

Manuel L Quezon dan John F Kennedy

Mendiang Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy dalam pidato pelantikannya sebagai presiden AS yang ke-35 pada tanggal 20 Januari 1961 menyampaikan pesan tentang kesetiaannya pada negara dengan tegas; “Loyalty to the party ends when the loyalty to the country has started.” (Loyalitas kepada partai berakhir ketika loyalitas kepada negara telah dimulai).

Memang sejatinya pernyataan ini bukan ucapan asli dari John F. Kennedy. Ia hanya mengutip pernyataan Manuel L. Quezon dalam bahasa Tagalog yakni “Ang katapatan ko sa aking partido ay magwawakas sa pagsibol ang katapatan ko sa aking bansa.” (Loyalitas saya kepada partai berakhir begitu saya memulai loyalitas saya kepada negara ). Quezon melontarkannya ketika dilantik menjadi Presiden pertama Persemakmuran Philipina pada tahun 1941.

Manuel Quezon, merupakan negarawan Philipina. Tetapi ia tidak hanya dihormati oleh bangsanya. Ia bahkan dihormati juga oleh Amerika Serikat, bangsa yang pernah menjajah Philipina.

Quezon dihormati karena salah satu ungkapannya tentang loyalitas mencerminkan kualitas kenegarawanannya. Selain itu ungkapan tersebut berlaku universal dan sepanjang masa. Sebuah ungkapan yang singkat, jelas dan patut dijadikan rujukan.

SBY, loyalitas kepada Negara atau Partai ?

Setiap cendekiawan yang mengutip ungkapan filosofis itu, tentu akan sangat setuju bahwa kalau seseorang menjadi pemimpin, menjadi presiden dari suatu negara, maka pada saat ia mulai bertugas, di saat itulah dia harus menanggalkan semua label partisannya. Karena dia menjadi Presiden bagi semua rakyat, tak peduli latar belakang politik dan ideologi apa yang dianut rakyatnya.

Tatkala saya menyimak pidato SBY setelah penetapannya secara aklamasi sebagai Ketua Umum Partai Demokrat (PD) dalam penutupan Kongres Luar Biasa (KLB) di Bali tempo hari, seorang kawan yang penggemar Juventus (Juventini) tiba-tiba berteriak lantang: “Presiden Juventus saja, Andrea Agnelli, perlu kerja fulltime untuk membawa Juventus menjadi juara !!”

Mengembalikan kejayaan Partai Demokrat yang kini tengah terpuruk akibat prahara korupsi mungkin lebih mudah dibanding mengurus sebuah klub sepakbola sekelas Juventus jika dilakukan secara fulltime. Tapi tentu tidak demikian jika pekerjaan mengurus partai yang tengah dirundung prahara itu dilakukan secara berbarengan dengan pekerjaan mengurus sebuah negara. Maka tentu bakal lebih sulit. Konsentrasi dan fokus SBY pasti bakal terbelah.


Karena itu, sangat beralasan jika kita sebagai rakyat menjadi risau dengan efektivitas jalannya pemerintahan kedepan. Apalagi terpilihnya SBY sebagai ketua umum kali ini, pada saat PD sedang terseok-terseok dan berusaha keras untuk bangkit, maka sedikit banyak pasti akan mempengaruhi jalannya pemerintahan.

Bahkan bukan hanya SBY seorang yang harus turun gunung. Dua menteri penting dalam Kabinet SBY, yakni Syarif Hasan (Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah) serta EE. Mangindaan (Menteri Perhubungan) juga harus turun gunung, masing-masing sebagai ketua harian DPP dan ketua harian dewan Pembina. Dan satu lagi, Marzuki Alie, Ketua DPR, Wakil Ketua Dewan Pembina PD, Wakil Ketua Majelis Tinggi juga sebagai Waketum SBY.

Kita semua tentu sepakat, salah satu ciri seorang negarawan sejati adalah lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negaranya di atas segalanya. Dan, terkait prahara yang tengah menimpa PD, SBY nampaknya telah mengabaikan hal ini. Sebagai presiden, ia seharusnya lebih fokus mengurus negara dan menuntaskan semua agenda pemerintahnnya yang tinggal menghitung hari itu.

SBY tampaknya telah tergoda dan termakan wacana bahwa dia-lah satu-satunya sosok pemersatu kader-kader PD yang tercerai berai dan terbelah dalam faksi-faksi, dan dia-lah satu-satunya tokoh harapan yang mampu mengembalikan kejayaan partai berlambang mercy itu pada pemilu 2014 nanti.


SBY seolah begitu yakin dan percaya diri bahwa ia lebih hebat dari Andrea Agnelli, sang presiden Juventus itu, bahwa menjadi presiden sebuah negara sekaligus presiden (ketua umum) sebuah partai yang sebentar lagi bakal bersaing di 2014 bukanlah pekerjaan yang terlalu sulit baginya.

Tapi seandainya SBY merenungkan kembali statemen mendiang Manuel Quezon ataupun John F. Kennedy yang kebetulan juga seorang tokoh Partai Demokrat Amerika itu,  SBY pasti akan tertegun dan malu sendiri karena ketika melantik 34 menteri Kabinet Indonesia Bersatu II th 2009 yang lalu beliau sendiri juga menyampaikan jargon tersebut. Dan kini SBY mau tak mau harus menelan ludahnya sendiri ketika dihadapkan pada turbulensi partai besutannya, yakni PD. Mana yang harus dia pilih; Partai atau Negara. Maunya SBY tentu kedua-keduanya jalan bersamaan dan lancar semuanya. Persoalannya adalah mengatur negara tak semudah mengatur partai, dan mengatur partai tak semudah mengatur RT. Kedua-duanya sama-sama berat karena melibatkan banyak orang, banyak kepentingan, dan sebagainyanya.

Kesimpulannya adalah ternyata memang tidaklah mudah untuk menyandang predikat negarawan. Kesediaan dan keikhlasan untuk berkorban sangat besar peranannya. Bahkan tidak kepalang tanggung, pengorbanannya itu bisa berupa harta, tahta, harga diri, keluarga, dan kehormatan. Dan SBY kini telah mengambil final decision: "Apaka lebih mengutamakan kepentingan negara atau partai ?" Dengan mudah rakyat akan menilainya sendiri.

Sumber:
http://www.rimanews.com