28 Oktober, 2014

Jokowi tanpa Remote Control


Sejatinya Jokowi tidak mempunyai modal amat besar untuk menjalankan roda pemerintahan. Seharusnya kekuasaan presiden begitu besar karena kita menganut sistem presidensial. Dalam menentukan menteri, misalnya, semuanya adalah hak mutlak presiden. Tapi, apakah Jokowi yang terpilih secara langsung itu mampu menjalankan ide-ide orisinalnya?

Untuk mengukur ruang gerak atau menakar modal politik Jokowi, paling tidak kita melihat tiga simpul politik penting. Pertama, kekuatan parpol yang mendukung. Kedua, peta politik di parlemen. Ketiga, dukungan rakyat.

Pertama, soal dukungan parpol pendukung, posisi Jokowi tidak terlalu kuat. Dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH), Jokowi bukan yang terbesar. Masih ada orang kuat di belakang layar, yakni Megawati sebagai ketua umum PDIP, partai utama atau tulang punggung KIH. Tingginya posisi Mega dapat terbaca ketika Mega akan bertemu dengan SBY, mengutus Jokowi sebagai pendahulu. Pertemuan gagal karena SBY ingin bertemu “queen” secara langsung, tidak mau melalui “Petugas Partai”.

Saat ini, Jokowi bukan ketua umum atau penguasa parpol yang berkuasa. Beda dengan Presiden Soekarno yang mengendalikan PNI; Soeharto yang menjadi ketua Dewan Pembina Golkar, yang kekuasaannya unlimited; Presiden Habibie juga ketua harian Dewan Pembina Golkar. Presiden Gus Dur, ketika itu merangkap ketua Dewan Syura PKB. Mega saat menjadi presiden juga menjabat Ketua Umum PDIP. Dan SBY saat berkuasa adalah “pemilik” Demokrat.


Semua presiden sebelumnya cukup memegang remote control untuk menggerakkan elemen parpol yang dipimpinnya. Baik untuk menggerakkan massa pendukung atau perpanjangan tangannya di parlemen. Sehingga para presiden pendahulu itu mempunyai kekuatan untuk melakukan mobilisasi dan mengimbangi manuver lawan politik. Sedangkan Jokowi? Untuk menggerakkan elemen parpol, dia harus menghadap ke meja ketua umum parpol pendukungnya.

Beratnya langkah Jokowi menghadapi parpol pendukung sudah terlihat saat gagalnya rencana mewujudkan semangat membentuk kabinet tanpa pengaruh parpol. Realitasnya, Jokowi harus kompromi untuk memberi kavling kabinet kepada seluruh partai pendukung, berbeda jauh dengan keinginan orisinal mantan walikota Solo itu yang menyebut tanpa deal dengan parpol pendukung.

Kedua, soal peta politik parlemen. Sebenarnya itu tak perlu diulas panjang lebar. Sebab, kenyataannya, untuk sementara ini kubu Jokowi-JK sudah babak belur di parlemen. Tiga kali voting, yakni UU Pilkada, pemilihan paket pimpinan DPR, dan pemilihan paket pimpinan MPR, kubu Jokowi-KIH menderita kekalahan telak. Artinya, Jokowi dan JK akan menghadapi tantangan besar bila tak mampu merombak peta politik parlemen yang dikuasai Koalisi Merah Putih (KMP) yang dimotori Prabowo Subianto.

Padahal, seperti kita ketahui, secara konstitusi pemerintah harus mendapat persetujuan parlemen. Baik dalam menentukan anggaran maupun dalam persetujuan UU (legislasi). Parlemen juga mempunyai hak konstitusi yang melekat dalam pengawasan, misalnya hak angket dan hak menyatakan pendapat.


Ketiga, soal kekuatan rakyat. Jokowi dan gerbongnya mungkin merasa bahwa benteng paling penting mereka adalah rakyat (people power). Wajar karena pasangan Jokowi-JK terpilih lewat pilpres langsung. Tapi, bila dibandingkan dengan perolehan SBY dalam dua pilpres langsung sebelumnya, jumlah suara pemilih yang diperoleh Jokowi-JK masih kalah.

Dalam Pilpres 2004, SBY yang saat itu berpasangan dengan JK meraih 60,62 persen suara. Sementara dalam Pilpres 2009, raihan suara SBY yang berpasangan dengan Boediono lebih besar lagi, yakni 60,8 persen. Hebatnya lagi, Pilpres 2009 diikuti tiga pasangan dan SBY-Boediono menyelesaikannya hanya dengan satu putaran. Bandingkan dengan perolehan suara Jokowi-JK yang ‘hanya’ sebesar 53,15 persen.

Artinya, kalau kita membaca raihan suara itu, kemenangan Jokowi tidak besar amat (selisih tidak besar). Kalau kubu Jokowi mengandalkan pengelolaan suara rakyat sebagai “benteng” politik yang riil, maka akan berpotensi besar menimbulkan konflik horizontal. Tanda itu sudah terbaca saat demo menjelang sidang MK atau perang polemik di media sosial. Intinya, dukungan publik untuk kursi presiden Jokowi tak setenang saat dia menjabat walikota Solo, yang mampu meraih suara 90,09 persen dalam pilwali.

Siapa yang akhirnya akan menjadi "The Real President?"

Selain tiga elemen penting itu (dukungan partai pendukung, peta parlemen, dan dukungan rakyat), sebenarnya ada dua lagi elemen yang perlu dicermati dalam melihat posisi politik Jokowi di kursi presiden. Yakni, posisi militer dan “manuver” Wapres JK.

Mengapa mencermati militer? Bukankah TNI sudah profesional dan tak berpolitik lagi? Bukankah presiden adalah panglima tertinggi TNI? Iya, memang benar, secara institusi loyalitas TNI sudah tak bisa diragukan. Tapi, bagaimanapun, militer tetap elemen penting yang sangat menentukan. Kalau tidak bisa mengelola dengan baik, Jokowi akan menemui kesulitan. SBY sukses, buktinya mendapat kado istimewa pada HUT TNI yang dirayakan 7 Oktober lalu. Di akhir jabatan SBY, TNI mengadakan perayaan yang sangat meriah di Surabaya, perayaan terbesar sepanjang sejarah.

Bagaimana faktor Wapres? Bukankah Wapres juga subordinasi presiden? Semua kekuasaan dan otoritas ada di tangan presiden. Wapres hanya bekerja berdasar perintah presiden. Iya memang. Tapi, JK yang menjadi pendamping Jokowi adalah tipikal tokoh yang bisa berlari kencang. Bukan tipikal Wapres yang sekedar “ban serep”. Itu sudah terbukti di era SBY-JK yang memunculkan pamor bahwa antara Presiden dan Wapres seimbang. Bahkan muncul rumor, JK sebagai Wapres seringkali ‘menyalip’ Presidennya. Apakah di era Jokowi-JK ini, nanti juga akan memunculkan matahari kembar?

Semua berpulang kepada Jokowi sendiri. Bergantung seberapa jauh dia mengelola simpul-simpul politik itu. Kalau mampu mengelola dengan baik untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, tentu dia akan menjadi presiden hebat yang disanjung publik. Bila tidak, mungkin hanya akan dikenang sebagai “petugas partai” yang biasa saja.

Taufik Lamade,
Wartawan Jawa Pos, Direktur Jawa Pos Radar Bromo
JAWA POS, 13 Oktober 2014

20 Oktober, 2014

Sisi Gelap Demokrasi


Salah satu formula demokrasi yang populer adalah: kekuasaan berasal dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Mengingat yang bernama rakyat jumlahnya semakin banyak, maka dibentuklah lembaga yang menyalurkan aspirasi rakyat, yaitu partai politik (parpol).

Salah satu fungsi parpol adalah memfasilitasi pemilihan wakil rakyat sehingga bisa duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), baik di tingkat pusat maupun daerah. Jadi, di situ sudah terjadi dua jenjang penyambung lidah rakyat, yaitu parpol dan lembaga DPR. Oleh karenanya, sangat mungkin terjadi penyimpangan pada tingkat parpol. Yang pertama misalnya, bahwa agenda yang diperjuangkan elite parpol ternyata tak lagi sejalan dengan aspirasi rakyat. Kedua, ketika wakil parpol duduk di DPR, mungkin saja yang disuarakan wakil tersebut berbeda dari aspirasi asal parpolnya, karena banyaknya lobi dan tekanan dari kanan-kiri.

Dengan mengikuti pemberitaan dinamika politik dan demokrasi yang berlangsung, rupanya aspirasi dan perilaku kalangan DPR sering dipandang asing, bahkan menjengkelkan bagi rakyat yang merasa telah mempercayakan aspirasi politik mereka kepada para wakil mereka itu. Di sini terjadi inkonsistensi dan deviasi hubungan antara rakyat dan wakilnya. Kedaulatan berasal dari rakyat, dilimpahkan ke parpol, lalu oleh parpol diwakilkan lagi ke anggota DPR, dan ketika sampai di DPR sering kali hubungan antara anggota DPR dengan parpol dan rakyat semakin renggang dan jauh.

Datang nggak datang, duduk nggak duduk, yang penting duit.

Sampai di sini, kedaulatan bukan lagi di tangan rakyat, melainkan berada di tangan anggota DPR. Disinilah sisi dan lorong gelap demokrasi mulai muncul. Mengingat jumlah rakyat Indonesia lebih dari 200 juta, tentu saja tidak mungkin semua rakyat ikut sidang demi menjaga kedaulatan rakyat secara penuh dan utuh. Oleh sebab itu timbullah parpol dan sistem perwakilan. Dan untuk memilih pun jalannya cukup panjang dan biayanya mahal. Beda sekali dari gagasan dan praktik awal demokrasi di zaman Yunani kuno dulu. Rakyat masih sedikit sehingga mereka memiliki kedekatan hubungan antara yang diwakili (rakyat) dan yang mewakili (anggota dewan).

Tetapi karena rakyat Indonesia yang demikian banyak dan tersebar di ribuan pulau, maka pasti banyak diantara rakyat yang tidak tahu siapa calon wakil mereka. Ketika pemilu hanya disuruh masuk bilik suara untuk nyoblos gambar, dan foto yang dicoblos pun sesuai dengan pesanan juru bayar, maka pada praktiknya demokrasi yang punya klaim sebagai manifestasi kedaulatan rakyat, di sana bisa saja terjadi pembajakan kedaulatan rakyat oleh parpol, kemudian kedaulatan parpol diambil alih oleh wakilnya di DPR, dan kedaulatan anggota DPR diambil alih oleh fraksi.


Sehingga, pada urutannya, yang menentukan kebijakan undang-undang dan anggaran negara, sebenarnya hanyalah segelintir orang yang terang-terangan mengatasnamakan rakyat dan parpol. Itulah salah satu konsekuensi demokrasi. Apa yang disebut Majelis Permusyawaratan Rakyat, bisa saja tak lebih dari Majelis Permusyawaratan dari beberapa wakil parpol yang belum tentu mewakili aspirasi anggotanya. Demokrasi yang mengejar kemenangan hanya dengan formula suara 50% + 1 akan terjatuh pada demokrasi prosedural, tetapi melupakan substansinya. Atau dalam bahasa Pancasila, demokrasi yang tak lagi menghargai hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan.

Dalam kaitan ini, manifestasi hak rakyat untuk bersuara, hanyalah sebatas mencoblos suara sewaktu diadakan pemilu dalam lima tahun sekali, yang berlangsung sekitar lima menit, setelahnya sudah beralih ke tangan politisi yang tak mudah lagi bagi siapa pun untuk mengontrolnya. Jika demokrasi ibarat benih pohon besar yang menjanjikan daun yang rindang dan buahnya yang lezat, maka kebesarannya tak akan terwujud ketika tanahnya tidak gembur. Dan bila air dan sinar matahari tidak mendukung.

Demikianlah, makanya demokrasi akan sehat dan tumbuh kokoh serta mendatangkan kemakmuran jika rakyatnya memiliki pendidikan yang bagus dan merata, tingkat ekonominya sudah sejahtera, serta terwujudnya ketegasan dan keadilan hukum. Dalam masyarakat yang demikian, rakyat justru akan rela mengeluarkan uang untuk membantu perjuangan para calon wakil rakyat dan calon presiden karena rakyat yakin mereka akan memperjuangkan nasibnya. Tetapi menjadi suatu ironi dan memilukan ketika yang terjadi justru politisi mengeluarkan uang miliaran untuk membeli suara rakyat.


Logika awam pun bertanya, para politisi yang telah mengeluarkan miliaran uang untuk membeli suara rakyat itu, apakah karena dorongan hati untuk bersedekah secara ikhlas, karena telah kelebihan uang, ataukah karena ada agenda lain, misal karena melulu mengejar jabatan untuk mengeruk kekayaan materi? Jika yang terjadi adalah yang terakhir, maka bisa dipastikan setelah mereka berkuasa niscaya akan korupsi dan menyalahgunakan jabatan demi untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan pada saat kampanye dan sedapat mungkin, sambil mencari keuntungan sebanyak-banyaknya.

Demikian burukkah demokrasi? Tentu saja sampai hari ini sistem demokrasi masih diyakini sebagai sistem yang terbaik selama syarat-syaratnya yang standar terpenuhi. Prasyarat demokrasi yang sehat, tentu kita semua sudah tahu. Jika tak terpenuhi, maka panggung demokrasi bisa berubah jadi panggung dagang sapi yang sangat miskin dari sikap politisi-negarawan, dan hanya menyajikan tontonan yang sangat menyebalkan.

Akhirnya, Pemilu lalu menjadi lembaga dan mekanisme pembelian dan pembajakan suara rakyat sebagai modal untuk berburu kekuasaan, jabatan, dan keuntungan materi.

Komaruddin Hidayat,
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
KORAN SINDO, 10 Oktober 2014

09 Oktober, 2014

Menimbang Pendidikan Indonesia


Pekan lalu Anindiya, alumnus SMU Madania, Parung, Bogor, yang sudah dua tahun kuliah di Ritsumeikan APU, Jepang, sengaja datang ke kantor saya di sela-sela liburannya ke Jakarta.

Dia datang untuk berbagi kegelisahannya mengenai pendidikan Indonesia yang menurutnya tertinggal dibanding negara-negara tetangga. Sebagai aktivis, Anin banyak bergaul dan berdiskusi dengan sesama mahasiswa Asia. Yang membuatnya gelisah, mahasiswa lain lebih siap menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN). Di Thailand misalnya sejak SMU, anak-anak sudah mulai belajar bahasa dan peta bumi Indonesia.

Mereka mulai dipersiapkan mengenal potensi ekonomi dan lapangan kerja di Indonesia ketika nanti dibuka pasar bebas ASEAN yang memungkinkan tenaga kerja asing bekerja dan bersaing dengan putra-putra di negara kita. Anin sangat khawatir sarjana-sarjana Indonesia sulit bersaing dengan sarjana Jepang, Korea, Filipina, Thailand, Malaysia, dan Singapura karena kualitas pendidikan Indonesia tidak mengalami perbaikan serius dan segera.

Di Indonesia terdapat sekitar 3.500 perguruan tinggi negeri dan swasta, lulusannya akan bersaing ketat memperebutkan lapangan kerja dengan lulusan perguruan tinggi lainnya dari sepenjuru ASEAN. Ini sebuah tantangan dan sekaligus mimpi buruk bagi kita, mengingat sebagian perguruan tinggi kita sekadar memberikan ijazah, namun miskin kompetensi. Sekarang ini diperkirakan setiap tahun terdapat satu juta sarjana baru.


Dibanding Malaysia dan Singapura, angkatan kerja mereka terbanyak diisi sarjana dan tamatan sekolah menengah kejuruan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2014, jumlah angkatan kerja Indonesia sebanyak 118,17 juta orang. Sungguh fantastis, suatu bonus demografi yang tidak dimiliki bangsa Jepang, Korea, dan negara-negara tetangga. Namun, itu semua akan berbalik menjadi beban yang berat jika ternyata miskin kompetensi dan kalah bersaing dalam panggung MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) nanti. Dan telah diberitakan, sedikitnya 600.000 lulusan perguruan tinggi masih menganggur karena sekarang tengah berjuang mendapatkan lapangan kerja.

Terdapat lima fungsi utama yang mesti diperhatikan oleh lembaga pendidikan pada setiap jenjang. Pertama, sebagai tempat pembentukan karakter. Lewat pendidikan seseorang diharapkan mendapatkan lingkungan dan keteladanan yang baik agar tumbuh menjadi pribadi yang terpuji. Makanya sekolah disebut almamater, bagaikan sosok ibu kandung yang membesarkan dan mendidik kita semua agar jadi anak yang mandiri dan berkepribadian baik.

Kedua, lembaga pendidikan adalah tempat transfer ilmu pengetahuan dari para guru pada anak didiknya. Jika guru atau dosen tidak menguasai dan menambah ilmu, lalu apa yang hendak ditransfer?

Tidak sebatas transfer, tetapi para guru dan dosen itu juga mengajari bagaimana berburu ilmu pengetahuan atau riset (re-search), sebuah usaha tanpa henti, mencari dan kembali mencari, untuk selalu memperluas cakrawala pengetahuan sehingga dunianya semakin luas dan kaya.

Selanjutnya menguasai metode menggali ilmu juga tidak kalah pentingnya dari sekadar menerima ilmu begitu saja. Seseorang yang kaya ilmu pasti akan banyak referensi dan komparasi ketika membuat sebuah keputusan dalam hidupnya.


Ketiga, lembaga pendidikan adalah juga tempat untuk melatih peserta didik mengembangkan keterampilan sosialnya. Keterampilan dan keluwesan berkomunikasi dan bersosialisasi sangat penting bagi kehidupan seseorang. Profesi apa pun, terlebih di zaman yang serba terbuka dan sangat kompetitif ini, keterampilan berkomunikasi (communication skill) sangat diperlukan. Tidak lagi zamannya berpikir “diam itu emas”.

Keempat, lembaga pendidikan juga berperan memberikan skill pada seseorang sehingga dengan keahlian yang dimilikinya itu diharapkan akan mampu hidup produktif dan mandiri agar hidupnya tidak menjadi beban orang lain. Syukur-syukur bisa menciptakan lapangan kerja bagi orang lain. Kelima, lembaga pendidikan hendaknya secara sadar membantu mengantarkan agar seseorang bisa tumbuh menjadi seorang pemimpin.

Sikap kepemimpinan (leadership) amat diperlukan oleh siapa pun, minimal adalah kepemimpinan dalam rumah tangga. Lebih dari itu, setiap posisi atau karier seseorang sesungguhnya memerlukan kualitas kepemimpinan. Karena itu, menjadi sangat penting pelajaran dan latihan kepemimpinan di sekolah dan perguruan tinggi.


Beberapa ciri seorang pemimpin diantaranya adalah memiliki inisiatif, memiliki kepekaan sosial, peduli pada nasib orang lain, memiliki rasa tanggung jawab, dan berani ambil risiko atas keputusan yang diambilnya. Sekarang, pelatihan kepemimpinan ini semakin kurang memperoleh perhatian di sekolah. Keenam, tidak kalah pentingnya dari semua itu, adalah peran lembaga pendidikan sebagai wahana untuk mendidik anak agar tumbuh dan berkembang menjadi pejuang kehidupan.

Agar peserta didik memiliki climber mentality. Pendaki dan penakluk gunung kehidupan yang tak mudah menyerah ketika menghadapi berbagai rintangan. Saat ini banyak anak-anak kita yang bermental quitter, yakni mudah takluk ketika dihadapkan pada suatu problem.

Demikianlah, sebagai orang tua kita pasti memiliki harapan pada anak-anak kita agar tumbuh menjadi pribadi seperti yang saya kemukakan di atas. Kewajiban pendidik itu sebagian memang diserahkan kepada lembaga pendidikan. Orang tua dan guru merupakan mitra co-educator bagi anak didik.

Dulu ada ungkapan: al-ummu madrasatul ula. Sosok ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Namun sekarang hal itu sudah tidak bisa lagi diandalkan, karena banyak ibu-ibu yang juga aktif bekerja di luar, lalu peran ibu sebagai pendidik diserahkan kepada guru di sekolah, kepada pembantu rumah tangga (PRT), dan juga kepada media massa, utamanya TV.

Komaruddin Hidayat,
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
KORAN SINDO, 3 Oktober 2014