28 November, 2014

Kenaikan BBM dan Derita Wong Cilik

 
Menangislah dengan yang menangis!
(St Paul)

Bila kita jeli membaca tanda-tanda zaman, nurani kita pasti akan terusik melihat makin keruhnya nasib para buruh. Keputusan pemerintah Jokowi menaikkan BBM yang diumumkan Senin (17/11) jelas menjadi kado pahit bagi wong cilik atau kaum lemah. Jelas keputusan itu membuat hidup wong cilik kian menderita. Aneh bahwa penderitaan kaum lemah justru tengah terjadi di negeri, yang melimpah ruah dengan sumber daya alam.

Logika sederhana kaum buruh hanya melihat, sumber daya alam melimpah negeri ini sesungguhnya bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama, sesuai amanat Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Apalagi kabarnya harga minyak dunia juga turun sehingga menjadi sekitar Rp 6.000 per liter. Namun, mengapa di sini harga BBM (premium) justru naik dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500?

Ada ekonom yang menulis 10 alasan Jokowi menaikkan BBM, tapi kaum lemah tidak boleh punya alasan, karena mau tak mau, kaum lemah hanya bisa patuh pada kebijakan penguasa. Seharusnya dengan melimpahnya sumber daya alam, hal ini bisa membuat rakyat, khususnya kaum lemah, bisa diangkat derajat dan martabatnya sehingga menjadi lebih sejahtera.

Tapi yang terjadi justru kekayaan alam kita, lewat berbagai regulasi, justru diskenariokan untuk hanya menyejahterakan investor asing dan segelintir elite kita yang tahu mekanisme dan seluk-beluk jual beli BBM. Bukan hanya kenaikan BBM yang mencemaskan kaum lemah, tapi terlebih lagi adalah efek domino kenaikan BBM yang langsung banyak mendongkrak kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok.


Bisa dipastikan UMK atau upah yang dinaikkan sejak Januari 2014, misalnya, akan merosot lagi nilainya dan tidak cukup untuk memenuhi standar minimal hidup layak. Jangan lupa juga ada banyak pekerja di berbagai sektor informal, masih digaji di bawah ketentuan UMK. Bahkan di Surabaya masih banyak pekerja yang diupah Rp 800.000 per bulan.

Tak mengherankan bila berbagai elemen wong cilik seperti tukang ojek, satpam, dan buruh di berbagai penjuru Tanah Air pasti menentang kenaikan BBM. Dalam beragam unjuk rasa, misalnya banyak buruh berteriak dan berorasi. Namun, sejatinya, di lubuk hati yang terdalam para buruh sedang menangis.

Bahkan sudah cukup banyak air mata yang terkuras. Sayang, teriakan, orasi atau tangisan wong cilik itu hanya membentur dinding keangkuhan para penguasa, yang tidak punya empati lagi pada rakyatnya sendiri. Memang wong cilik seperti buruh mengalami kenaikan UMK dalam beberapa tahun terakhir, termasuk untuk UMK 2015 mendatang.

Namun, kenaikan itu sesungguhnya menjadi sia-sia akibat kenaikan BBM. Bagaimanapun, kenaikan BBM jelas memicu inflasi dan kenaikan harga. Presiden memang sudah membagi jutaan kartu sakti untuk jutaan kaum lemah, yang per kartunya senilai Rp 200.000 per bulan. Pertanyaannya, apakah kartu itu bisa menghentikan inflasi dan kenaikan harga yang sudah sedemikian mencekik leher kaum lemah.


Maka jangan bertanya, apakah dengan UMK yang berlaku tahun ini atau awal tahun depan, para buruh atau wong cilik yang berpenghasilan pas-pasan mampu memenuhi standar hidup yang layak? Simak saja, mengingat tidak mencukupi lagi, banyak anak buruh harus dititipkan pada kakek nenek atau kerabat di kampung halaman, sehingga relasi dan interaksi dengan orang tuanya menjadi kian jarang dan dalam beberapa hal, memicu kenakalan pada anak.

Maklum proses tumbuh kembang mereka menjadi terganggu karena ketidakhadiran orang tua mereka yang memilih bekerja sebagai buruh di kota dengan gaji yang tidak seberapa. Kenaikan BBM, jelas bisa mempengaruhi relasi kaum lemah dengan pasangan hidupnya. Selama ini saja, tingkat perceraian di kalangan kaum menengah ke bawah tidak bisa dikatakan rendah.

Memang ketika suami istri sama-sama bekerja, sementara anak-anak dititipkan atau berada jauh dari keluarga, kohesivitas atau keterikatan pada nilai-nilai dan komitmen pada keluarga bisa memudar. Dunia kerja pun tidak membawa sukacita.

Benar, Filosof Yunani kuno, Sophocles, menulis “Without labor nothing prospers.” (Tanpa pekerja atau buruh, tak akan ada kemakmuran). Tentu, ada yang kian makmur, seperti para elite di Senayan dan mereka yang di dalam Istana. Tapi apa artinya makmur, jika harus ada kaum lemah yang kian babak-belur? Akibat kenaikan BBM, pasti menyengsarakan kaum lemah seperti buruh, nelayan, petani, para pekerja informal dan “wong cilik” lainnya.

Betapa mudahnya kaum lemah di manapun dipinggirkan lewat sebuah kebijakan penguasa. Kaum lemah juga bisa terus dipermainkan, terlebih lewat praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Simak saja, para pemimpin dari pusat hingga daerah hanya memperkaya diri sendiri, kelompok atau parpolnya. Persetan jeritan pilu para buruh, petani atau wong cilik! Ini jelas mengingkari cita-cita luhur politik, yakni “bonum commune” (kesejahteraan bersama).

Mendiang Hugo Chavez dan Lula da Silva.

Peran Pemimpin
Padahal, jika ada pemimpin yang mau membuat kebijakan pro “poor” seperti mendiang Hugo Chavez di Venezuela, sesungguhnya masih mungkin untuk mengurangi penderitaan kaum lemah. Selain Chavez, kita mungkin perlu memiliki pemimpin seperti mantan Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva.

Seperti diketahui, Lula lahir pada 1945 dari keluarga miskin. Saking miskinnya dia sempat tak lulus SD, mengingat dia terpaksa harus bekerja sebagai buruh pabrik pada umur 14 tahun. Namun karena terdorong cita-cita luhur mengentas para buruh yang terjerat kemiskinan, Lula memilih menjadi aktivis serikat buruh.

Karena kerap bersuara lantang menentang ketidakadilan, dia pernah merasakan pengapnya penjara militer. Mengingat jalan perubahan secara signifikan dan masif, hanya bisa dilakukan lewat politik, Lula mendirikan Partido dos Trabalhadores (Partai Buruh Brasil) pada 1980 dan terpilih menjadi anggota parlemen enam tahun kemudian.

Prestasinya, di tengah proses transisi ke demokrasi (dari era militer sebelumnya), Lula berhasil memperkuat hak buruh tatkala UUD diamendemen, tentu dengan kekuatan partainya. Lula selalu menjadi capres dari partainya pada Pemilu 1990, 1994, dan 1998, tapi terus kalah. Akhirnya kemenangan pun diraih dalam Pemilu 2002 dan dipilih lagi empat tahun kemudian.

Presiden Brasil, Lula da Silva, sangat dekat dengan rakyatnya karena program-program Pro-Poor yang telah mereduksi kemiskinan dari 10% pada 2004, menjadi 2% pada 2009.

Sebagai presiden yang berlatar belakang miskin, Lula mampu mengentas jutaan warga miskin Brasil lewat kebijakan yang diambilnya. Yang terkenal adalah program tunjangan keluarga (bolsa familia), berupa bantuan untuk keluarga miskin yang punya anak bersekolah. Juga ada program melawan kelaparan atau gizi buruk yang disebut “fome zero”. Banyak buruh sungguh terbantu.

Kemiskinan berhasil diatasi, karena yang berpendapatan di bawah USD 1,25 per hari (kriteria kemiskinan ekstrem) berkurang dari 10% pada 2004, menjadi 2% pada 2009. Malah menurut Bank Dunia, ekonomi Brasil kini nomor tujuh di dunia. Jelas ini berkat Lula yang tidak hanya beretorika, tapi langsung membuat perubahan nyata untuk mengentas kaum lemah khususnya buruh, petani, dan nelayan.

Oleh sebab itu, kita yang kuat, tidak boleh semena-mena pada yang lemah. St Paul di awal tulisan ini sudah mengajak yang kuat untuk berempati pada yang lemah. Apalagi, dalam pemilu, banyak kaum lemah telah mengantar orang untuk meraih kekuasaan. Tapi mengapa setelah duduk di kursi kekuasaan, ada kebijakan yang membuat leher kaum lemah kian tercekik? Sakitnya tuh di sini!
Tom Saptaatmaja,
Teolog
KORAN SINDO, 19 November 2014

25 November, 2014

Pancasilais Gadungan


GREAT MAN ARE ALMOST ALWAYS BAD MAN.
(Lord Acton)

Sudah lama saya bergumul dengan hati nurani saya, melihat dan menyimak sepak terjang para pemimpin kita. Mereka, secara sadar atau tidak, bermuka dua.

Mereka itu para politikus tengik dan para birokrat munafik yang terlibat korupsi. Entah dengan sengaja atau tidak, karena desakan perut atau karena ada kesempatan, mereka tak lain adalah para pejabat negara yang licik dan licin bagaikan belut. Pada waktu upacara peringatan Proklamasi Kemerdekaan, mereka bahkan tampak begitu serius dan seperti penuh tanggung jawab.

Mereka itu semua sesungguhnya —meminjam ungkapan kolonial— bukan “beroemd” (terkenal dalam arti baik), melainkan justru “berucht” (kesohor dalam arti jelek). Ironisnya, keterkenalan dalam arti jelek itu tanpa diikuti rasa malu dan rasa bersalah.

Demikian pula secara mutatis mutandis “seorang politikus, bukan politisi”, yang tanpa rasa malu muncul dengan gagasan licik bahwa Pancasila itu adalah pilar. Apa arti “pilar”? Maksud atau tujuannya apa?


Terlepas dari nafsu membusungkan dada (secara terselubung), dari mana ia dapat ilham satanis untuk gembar-gembor bahwa Pancasila itu “pilar”! Baik dalam pidato-pidato Bung Karno, tulisan-tulisan Bung Karno yang dibukukan, tulisan-tulisan Ruslan Abdulgani, seperti “spreekbuis” (juru bicara) Bung Karno, maupun komentar-komentar Bung Hatta sebagai wakil proklamator dan seorang negarawan besar tanpa cacat-cela, terlepas dari tulisan Tempo dalam edisi khusus Muhammad Yamin (18-24 Agustus 2014), apakah bisa ditemukan bahwa Pancasila itu pilar?

Pancasila adalah “staatsfundamenteelnorm” (Belanda) dan secara “eo ipso” adalah “Weltanschauung” (Jerman) bangsa dan negara Republik Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Titik! Itulah sebabnya, kalau ada gagasan amandemen UUD 1945, haram untuk menyentuh Preambule atau Mukadimah UUD 1945.

Dye dan Zeigler dalam The Irony of Democracy (1970) menulis antara lain bahwa “The underlying value of democracy is…. Individual dignity.… Another vital aspect of classic democracy is a belief in the equality of all men.” Jadi jelas, nilai yang mendasari demokrasi tak lain adalah martabat individu. Dan, aspek penting lain dari demokrasi (klasik) adalah keyakinan akan kesetaraan untuk semua orang.


Suatu undang-undang yang dipersiapkan dengan cara-cara yang buruk, dengan motivasi patgulipat secara terselubung dengan tujuan bombastis yang tak etis, pasti akan hancur atau gagal dalam waktu dekat atau kurang dari satu dekade. Dalam bahasa kolonial di sebut legislatieve misbaksel, keburukan legislatif.

Hal itu terjadi di republik ini beberapa kali karena orang-orang yang terlibat menganggap diri mereka orang-orang santun dan beragama. Suatu pretensi yang memalukan, terutama pada era reformasi dengan sebutan gagah: “politik pencitraan”. Di belakang itu semua ada power struggle, perebutan kekuasaan, terselubung bermuka dua atau lebih: semacam dokter Jekyll dan Mr Hyde. Dengan berbagai dalih, demi kekuasaan dan uang, yang tidak perlu disebut, bagaimana mungkin mau disebut bahwa politik itu “suci”. Amboi!

Tanpa basa basi (rencana) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) adalah salah satu contoh yang transparan tentang legislatieve misbaksel. Apalagi kalau disimak tentang “naweeËn”-nya (akibat yang meresahkan) yang bertalian dengan pemilu, pilpres, dan proses rebutan kursi, baik intern maupun antarpartai.

Menurut Kompas (27 Agustus 2014), ada sejumlah pihak yang tentu berkepentingan secara politis, terlepas dari legal standing-nya, kini sedang mengajukan pengujian terhadap UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Jadi, ada beberapa pihak yang berkepentingan.


Selanjutnya, Kompas memberitakan bahwa Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) dibubarkan, yang membuat Siswono Yudo Husodo sebagai Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR terkejut. Untuk itu, Anda jangan tanyakan mengapa yang bersangkutan sampai terkejut. Demikian pula secara mutatis mutandis mengapa seolah-olah UU MD3 sebagai suatu “entitas siluman”. Ini yang dalam bahasa Latin disebut sebagai “sic vos non vobis”, yang dalam bahasa kolonial berarti “zoo (werkt) gij, maar het is niet voor u”. Arti bebasnya: “begitulah Anda (bekerja), tetapi itu bukan untuk Anda.” Tra-la-la-la!

Dalam pada itu dinamakan dinamika sosial-politik, sosial-ekonomi, dan campur tangan terselubung dari luar, permainan yang menyangkut hajat hidup orang kecil dan masyarakat lapisan bawah, korupsi yang masih harus dibasmi oleh KPK sampai ke akar-akarnya masih terus berfermentasi. Sementara itu, proses pembusukan terus berlangsung dan kunci peti pandora tampak seperti sudah ditemukan. Kita berharap agar apa yang semula tidak bisa dibawa ke pengadilan semoga dapat dibongkar sampai bersih dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Namun, yang membuat saya heran, masih ada para akademisi dan beberapa gelintir para cendekiawan yang masih memiliki animositas (kebencian) terhadap KPK. Lalu, kapan negara dan bangsa ini akan sejahtera?

JE Sahetapy,
Guru Besar Emeritus
KOMPAS, 15 November 2014

18 November, 2014

Argumentasi PDI-P Menolak Kenaikan Harga BBM


ASUMSI PEMERINTAH BAHWA SELAMA INI SUBSIDI BBM TIDAK TEPAT SASARAN ADALAH TIDAK BENAR
Menurut ARGUMENTASI PEMERINTAH:
Pemerintah melalui Menko Perekonomian Hatta Radjasa dan Menteri ESDM menyatakan bahwa “25% orang kaya menikmati 77% subsidi BBM.” (Senin, 13 Desember 2011)

Situs resmi Kementerian ESDM menyatakan bahwa selama ini “subsidi dinilai salah sasaran, bukan ke kalangan miskin tapi kepada yang mampu sebanyak 70%. Subsidi hanya habis kepada roda empat.

Menteri ESDM Jero Wacik pada rapat dengan Komisi VII DPR-RI, Selasa, 13 Maret 2012 menyatakan bahwa selama ini hampir 77% subsidi BBM dinikmati oleh kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi yang tidak pantas menikmati subsidi.


ARGUMENTASI PDI PERJUANGAN:
Berikut ini adalah serangkaian HASIL SURVAI yang menyatakan bahwa ARGUMENTASI PEMERINTAH yang menyatakan bahwa SUBSIDI BBM TIDAK TEPAT SASARAN karena dinikmati oleh KELOMPOK MENENGAH KE ATAS adalah TIDAK BENAR.

1. DATA SUSENAS BPS menunjukkan bahwa 65 persen bensin ternyata dikonsumsi oleh masyarakat kelompok miskin dan menengah bawah (tergambar di BAGAN). Termasuk di dalamnya (29 persen) dikonsumsi oleh kelompok miskin. Sebagaimana data Susenas BPS, diperoleh bahwa ternyata sebanyak 64 persen bensin dikonsumsi oleh rumah tangga dengan pengeluaran kurang dari US$ 8 per hari atau kurang dari US$ 2 per kapita per hari. Sementara kelompok rumah tangga menengah atas dan kaya, atau rumah tangga dengan pengeluaran US$ 40 ke atas hanya mengkonsumsi 8 persen dari seluruh bensin. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa SEBAGIAN BESAR RUMAH TANGGA YANG MENGGUNAKAN BENSIN ADALAH RUMAH TANGGA MISKIN DAN MENENGAH BAWAH.


Oleh karena itu, dapat DISIMPULKAN bahwa “subsidi BBM ternyata lebih banyak dinikmati oleh kelompok menengah bawah. Sangat berbeda dengan klaim PEMERINTAH bahwa 77 persen subsidi BBM dinikmati oleh 25 persen kelompok rumah tangga tertinggi.


2. Klaim PEMERINTAH bahwa subsidi BBM TIDAK TEPAT SASARAN karena sebagian besar dikonsumsi oleh pemilik KENDARAAN RODA EMPAT atau MOBIL juga TIDAK BENAR. Hal ini bisa dibuktikan dengan Hasil Survai bahwa ternyata:


Dokumen Bank Dunia tentang skenario pengurangan subsidi BBM menunjukkan bahwa dari total bensin premium yang dikonsumsi oleh rumah tangga, 64 persennya dikonsumsi oleh SEPEDA MOTOR. Sedangkan untuk MOBIL hanya 36 persen.

Mengingat sebagian besar pemilik sepeda motor adalah masyarakat kelas menengah ke bawah, MAKA berarti SELAMA INI BAGIAN TERBESAR SUBSIDI BENSIN PREMIUM (64 PERSEN) DIKONSUMSI OLEH KELOMPOK KELAS MENENGAH DAN BAWAH, BUKAN OLEH KELOMPOK KAYA.


Sumber:
Argumentasi PDI Perjuangan, Menolak Kenaikan Harga BBM
Diterbitkan oleh: Fraksi PDI Perjuangan DPR-RI, 28 Maret 2012

03 November, 2014

Pusat Kesehatan atau Kesakitan?


Dalam pengelolaan kesehatan masyarakat kita mengenal istilah puskesmas, yaitu fasilitas kesehatan yang berada pada level kecamatan dengan fungsi untuk melayani masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan.

Dari sisi struktur, puskesmas memiliki cabang yang disebut dengan puskesmas pembantu (pustu). Apabila kita mencermati kepanjangan puskesmas, yaitu pusat kesehatan masyarakat, tentu kita akan berasumsi pengertiannya cukup luas. Kata pusat menunjukkan sentral dari sisi aktivitas manusia yang memiliki pengaruh yang cukup kuat bagi keberlangsungan hidup dan kehidupan.

Kesehatan adalah nilai tertinggi dalam siklus kehidupan setiap manusia. Lamun ceuk urang Sunda mah, sanajan harta lubak libuk teu kalebok, bru di juru bro di panto ngalayah di tengah imah (kata orang Sunda, walaupun harta berlimpah di setiap penjuru hingga tidak termakan, tidak memiliki arti apabila kita mengalami gangguan kesehatan). Inilah yang terjadi saat ini.

Kecukupan materi terhalang oleh berbagai larangan atas asupan makanan yang harus diterima oleh tubuh. Kita mampu beli gula, tapi tidak boleh makan gula. Beras banyak, tapi makan ditakar. Daging berlimpah, tapi kolesterol harus dikontrol. Garam banyak, tapi tekanan darah tinggi. Riweuh apanan (repot kan?), kalau seperti ini. Artinya, betapa penting makna kesehatan bagi kebahagiaan seseorang.

Kata orang Sunda, sehat itu adalah ngeunah dahar, tibra hees (makan enak tanpa pantangan, tidur nyenyak tanpa halangan). Ngeunah nyandang, ngeunah nyanding, duka ari nyandung mah... (memiliki sesuatu, menggunakan sesuatu, entah kalau beristri lebih dari satu... tidak tahu, ah ...) tanpa harus bayar uang “retribusi”.


Masyarakat adalah kumpulan manusia yang tinggal pada sebuah habitat yang kita kenal dengan istilah kampung, dusun, desa, kecamatan, kabupaten/kota bahkan negara. Orang Sunda membuat rumus bahwa hidup sehat itu adalah mereka yang mampu membentuk karakter dirinya, sehingga mengalami watak keseharian dengan karakter “tiis ceuli, herang mata.” (Tiis ceuli, telinga dingin terhadap berbagai ucapan, pendengaran yang merusak tata pikir dan tata hatinya; herang mata, matanya selalu melihat keindahan yang bersifat menyenangkan seluruh emosi dan rasanya, terbebas dari yang pikasebeleun dan pikakeuheuleun alias penglihatan yang mengakibatkan kebencian dan kekesalan).

Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor alam dan lingkungannya. Gunung yang hijau, air jernih mengalir, angin berembus perlahan, hujan jatuh membasahi seluruh permukaan alam yang menari dan bernyanyi tanpa henti. Keindahan tanpa batas. Ah, pokona mah endah weh... (Ah, pokoknya indah deh...). Dengan demikian, akan melahirkan masyarakat yang panjang umur, terbebas dari konflik, tidak mumet dalam politik, meletakkan diri pada kepasrahan yang menjadi garis perjalanan hidup manusia. Hirup ukur sasampeuran, awak ukur sasampayan, sariring riring dumadi, sarengkak saparipolah, sadaya kersaning Allah... (menerima seluruh ketentuan hidup yang didasarkan pada kepasrahan takdir Yang Mahakuasa).

Alhasil, bagi orang Sunda, untuk setiap musibah, selalu ada kata “untung”. Orang jatuh dari pohon, untung teu potong sukuna (untuk tidak patah kakinya), untung teu maot (untung tidak meninggal). Jika pun jatuh sampai meninggal, untung maot, lamun hirup mah leuwih susah (untung meninggal, jika saja hidup tentu hidupnya lebih sulit).

Kalau melihat hal tersebut, pusat kesehatan itu ada pada setiap rasa manusia yang sangat dipengaruhi oleh apa yang didengar, apa yang dilihat, apa yang diisap, dan apa yang disuap. Artinya, kesehatan sangat dipengaruhi oleh pendengaran, penglihatan, penghisapan, pengucapan, yang membentuk karakter manusia yang berpusat pada perut, hati, dan jantung serta otak. Dari situlah, kesehatan manusia akan mampu ditata dan dikendalikan.


Ketika pusat kesehatan diwujudkan dalam bentuk bangunan, yang memiliki derajat terendah dalam susunan struktur pelayanan publik di dinas kesehatan atau kementerian kesehatan, maka menjadi hal yang sangat aneh. Kita memahami sepenuhnya, bahwa puskesmas itu merupakan standar pelayanan minimal walaupun pada saat ini sudah banyak bermetamorfosis menjadi puskesmas rawat inap yang memiliki fungsi pelayanan tidak sekadar pelayanan dasar. Tetapi tetap saja dari sisi pendekatan bahasa dan pendekatan makna, kata puskesmas tidak cocok untuk meletakkan fungsi dan peran derajat kesehatan masyarakat.

Asa ku aneh (terasa aneh) memang, kesehatan masyarakat dipusatkan pada sebuah bangunan yang diisi oleh tenaga medis, tenaga administrasi, obat, dan bangunan standar. Sangatlah pantas kalau tingkat kematian ibu akibat melahirkan masih tinggi, penyakit dengan ancaman kematian tinggi sudah menyebar ke seluruh desa. Di desa sekarang ada kanker, stroke, gagal ginjal, diabetes, leukimia, bahkan sudah ada HIV. Hal tersebut mungkin dipicu oleh pemahaman kita yang salah terhadap kesehatan. Kesehatan itu adalah berobat, kesehatan itu adalah operasi, kesehatan itu adalah alat pacu jantung, kesehatan itu adalah kemoterapi. Kata saya yang bodoh, itu bukan kesehatan. Itu kesakitan. Kalau yang diurus oleh dinas kesehatan terfokus pada pengobatan, nanti kita ganti saja jangan dinas kesehatan, tapi ganti jadi dinas kesakitan. Lucu kan?

Dunia ini adalah kumpulan kata-kata. Kata menunjukkan makna, menempatkan kata yang salah akan melahirkan makna yang salah. Memaknai sesuatu yang salah, akan melahirkan perilaku hidup yang sesat. Sesat bukan persoalan aliran agama nih, tapi kita tersesat dalam pola hidup kita. Kesehatan terpusat pada hati dan pikiran. Dari hati dan pikiran yang sehat, tidak akan pernah melawan keinginan alam besar dan alam kecil. Alam besar adalah pusat yang menggerakkan, alam kecil, tanah, air, udara, matahari yang menjadi bagian dari diri kita.


Pusat kesehatan dari sisi aspek lingkungan ada pada seluruh wilayah makro dan mikro kita. Kalau ingin sehat, bangunlah pagi-pagi, bukalah jendela rumah agar udara segar masuk ke kamar kita, terus mandi di pancuran, airnya bening, belum tercemar. Shalat Subuh jangan lupa. Setelah itu makan nasi hangat, kayunya pakai kayu bakar, yang tidak perlu subsidi elpiji, sama tutug oncom pakai garam. Ngambil pacul, pergi ke sawah, badan digerakkan, kalorinya dibakar. Pukul 10.00 kita makan lagi, terus kerja lagi sampai pukul 12.00. Pulang shalat Zuhur, istirahat. Pukul 14.00 kita ke kebun sampai pukul 16.00, pulangnya bawa pisang tanpa pestisida. Terus shalat Asar, habis shalat makan lagi. Magribnya menutup pintu dan jendela tanpa dikunci, shalat Magrib. Baca al-Quran sampai Isya. Selepas Isya, tidur deh ... enggak usah nonton televisi.

Tidur tanpa nonton televisi tidak akan pusing oleh kebisingan politik. Tengah malam, bangun shalat Tahajud, terus tidur lagi sampai Subuh. Ah, rarasaan nu kieu pusat kesehatan mah... (Ah, rasa-rasanya yang beginilah namanya pusat kesehatan). Walaupun hal ini tidak mungkin ditemukan lagi, kecuali di kampung adat seperti di Baduy, tidak ada puskesmas, tidak ada dokter, tidak ada perawat, tidak ada obat kimia, mereka umurnya panjang-panjang, hidupnya bahagia tanpa konflik, bahkan tidak ada demokrasi pemilihan langsung, yang ada demokrasi alam yang diatur oleh siklus alam. Jangan-jangan puskesmas itu di sini. Heup ah... (Sudah ah...).


Apabila realitasnya seperti ini, pusat kesehatan itu berada pada tanah, air, udara, dan matahari. Pada titik inilah kita harus gemar untuk menyerahkan diri secara total, agar tidak ada jarak antara kita dan Dia. Tetapi ironinya, kita malah berbuat sebaliknya, merusak keberadaannya, atas nama peningkatan ekonomi dan kemakmuran, kemudian kita bangun bangunan semu atas nama kesehatan masyarakat bernama puskesmas.

Wah, jadi serius nih... Tidak ada salahnya kalau kita melakukan koreksi. Frase “pusat kesehatan masyarakat” kita ganti saja menjadi “balai gangguan kesehatan” atau “rumah berobat”, atau istilah lain yang lebih jujur bahwa yang datang ke situ orang yang sakit dan butuh pelayanan tingkat pertama. Mudah-mudahan kalau diganti kalimatnya sudah enggak ada lagi orang yang datang, karena puskesmasnya sudah dipindahkan oleh masyarakat ke dalam hati dan pikirannya. Bisa jadi nanti enggak ada lagi kementerian kesehatan, karena kesehatan menjadi milik semua kementerian. Yang ada adalah kementerian gangguan kesehatan. Yang diurusnya adalah bangunan pelayanan, obat, kelengkapan medis, tenaga medis dan asuransi gangguan kesehatan serta manajerial pelayanan gangguan kesehatan yang berstandar internasional.

Mengerti kan maksud saya? Kalau tidak mengerti, nanti baca lagi tulisan saya yang berikutnya.

Dedi Mulyadi,
Bupati Purwakarta
KORAN SINDO, 27 Oktober 2014