27 Januari, 2019

Kedaruratan dan Kebohongan


Politik secara esensial adalah urusan distingsi kawan dan lawan. Suatu keadaan yang sama sekali harmonis, tanpa perkubuan, nir pertentangan adalah keadaan yang tanpa politik.

Begitu fundamentalnya distingsi kawan dan lawan, setiap keputusan dan tindakan politik dapat dirunut darinya. Dia menjelaskan gerak penyatuan atau pemisahan, perubahan atau pembakuan dalam konteks penyelenggaraan kekuasaan. Struktur dan kontestasi politik dapat berubah dinamis. Namun, yang tak berubah sebagai landasan tatanan politik adalah distingsi antara kawan dan lawan.

Tesis ini datang dari filsuf Jerman Carl Schmitt. Sebuah tesis yang telah membuat Schmitt dituduh sebagai penganjur sistem politik yang antidemokrasi bahkan totaliter. Namun, jika melihat politik secara empiris tanpa pretensi normatif, tampak bahwa distingsi kawan dan lawan itu adalah sesuatu yang nyata. Schmitt bagaikan seorang pelukis realis yang menggambarkan realitas penyelenggaraan kekuasaan secara jujur dan apa adanya.


Pemilu dan segregasi di medsos
Mari kita lihat Indonesia hari ini! Bukankah pemilihan umum juga telah membelah bangsa ini dalam segregasi kawan dan lawan? Bukankah yang semakin jamak digunakan dalam membincangkan capres-cawapres adalah bahasa “kami” melawan “mereka” dan bukan bahasa “kita” sebagai bangsa? Hari ini, perbedaan dan pertentangan dipertontonkan sedemikian sengit sehingga seakan-akan tidak ada lagi hal-hal yang menyatukan di antara kita.

Kegaduhan politik saban hari mewarnai ruang publik sehingga masyarakat juga terprovokasi untuk berbicara dalam konteks kawan dan lawan. Siapa yang tak berpihak kepada suatu kubu dengan mudah dihakimi sebagai lawan dari kubu tersebut. Siapa yang bersikap kritis terhadap suatu kubu dapat serta-merta dipetakan sebagai simpatisan dari kubu yang lain. Pada aras media sosial, hal ini terjadi begitu vulgar dan kasar.

Namun, distingsi kawan dan lawan yang telah didedahkan Schmitt sesungguhnya tidak selalu merujuk pada hubungan konfliktual pada tataran politik praktis. Dari sudut pandang yang berbeda, distingsi itu justru merupakan poros dari gerak pembentukan dan pembaruan tatanan. Bahwa prinsip pemisahan dan pembagian merupakan energi penggerak yang mendinamiskan kehidupan politik. Bahwa diferensiasi dan segregasi merupakan titik-tolak untuk mengatasi kemandekan atau kejumudan penyelenggaraan kekuasaan.


Secara empiris, eksistensi suatu negara selalu dapat dilihat dalam perbandingan dan rivalitasnya dengan negara lain. Lembaga eksekutif berproses dan menegaskan kualifikasi dirinya terutama dalam  hubungan eksistensialnya dengan lembaga legislatif. Masyarakat sipil hadir terutama sekali bukan untuk membenarkan tindakan pemerintah, melainkan justru untuk secara kritis menunjukkan kekurangan pemerintah. Tegangan hubungan antara pemerintah dan kelompok oposisi juga bersifat produktif untuk memastikan penyelenggaraan kekuasaan berjalan dalam koridor demokrasi.

Dalam konteks ini, yang dilakukan Schmitt dengan tesis di atas sesungguhnya adalah mengembalikan politik pada fondasinya sehingga politik berjalan sebagaimana mestinya. Dalam kerangka ini, sudah menjadi kelaziman kekuatan oposisi untuk senantiasa mengkritik rezim penguasa. Mengharapkan kekuatan oposisi untuk memuji kinerja pemerintah bukan hanya kesia-siaan, melainkan juga tidak diperlukan. Demikian juga mengharapkan masyarakat sipil terus-menerus membenarkan tindakan pemerintah, maka justru dapat mengarahkan politik pada kemunduran.

Distingsi kawan dan lawan di sini bukan sesuatu yang mengancam demokrasi, melainkan justru sesuatu yang dibutuhkan untuk merawat demokrasi itu sendiri. Lupa terhadap distingsi kawan dan lawan, dalam kacamata schmittian, justru dapat menjerumuskan kita dalam pintu absolutisme kekuasaan, yakni suatu jenis kekuasaan yang menafikan rivalitas, kritisisme dan dialektika, bahkan menganggapnya sebagai residu yang mesti disirnakan.


Persoalannya kemudian adalah bagaimana dialektika itu dijalankan? Bagaimana rivalitas dan kritisisme diwujudkan? Sampai di sini kita menemukan dualisme pada diri Schmitt. Di satu sisi, dia menghadirkan kritik fundamental atas demokrasi liberal yang dalam perkembangannya telah menjerumuskan demokrasi ke dalam absolutisme prosedur atau kediktatoran sistem. Para pemimpin tidak pernah bertindak secara otentik karena terlalu menghamba pada sistem pengambilan keputusan yang sedemikian prosedural dan baku.

Di sisi lain, Schmitt juga mengarahkan politik pada absolutisme yang lain ketika mendedahkan distingsi kawan dan lawan dalam kerangka keadaan-darurat. Mengapa demikian? Karena deklarasi keadaan-darurat adalah deklarasi penangguhan prinsip dan tatanan demokrasi. Dalam keadaan-darurat, hukum, norma, dan etika dianggap tidak memadai lagi sebagai sandaran untuk menjalankan kehidupan bersama. Maka, semua pihak kemudian terdorong dan didorong untuk bertindak dengan pengandaian keadaan vakum: tanpa aturan, batasan, dan panduan yang membatasi kebebasan untuk berbuat semena-mena kepada orang lain.

Semua pihak kemudian kembali pada naluri purbawi masing-masing ketika berhadapan dengan mereka yang berbeda posisi atau keyakinan. Perbedaan pendapat dihadapi dengan sikap bermusuhan, kritik dilontarkan dengan maksud untuk menjatuhkan. Kebohongan dan sikap sewenang-wenang juga tak lagi dijauhi sebagai aib yang memalukan, bahkan sering kali justru tanpa ragu diperagakan sebagai cara mempertahankan diri.


Logika keadaan darurat
Giorgio Agamben dalam buku State of Exception (2005) mengingatkan bahaya logika keadaan-darurat bagi negara demokrasi. Logika keadaan-darurat dapat menggiring pihak-pihak untuk menangguhkan penghormatan terhadap nilai-nilai yang telah disepakati bersama. “Abaikan dan lupakan hukum, norma dan etika, tiba saatnya untuk kembali pada kebebasan eksistensial masing-masing.” Lebih kurang demikian cara berpikir mereka yang terasuki logika keadaan-darurat.

Logika keadaan-darurat itu rupanya juga sedang merasuki bangsa ini menjelang Pemilu 2019. Elite politik begitu mudah mengumbar prasangka dan kebencian. Kebohongan dihadapi dengan kebohongan. Apriori dibalas dengan apriori yang lebih buruk. Juru kampanye seperti tidak berpikir tentang dampak dari sikap tak jujur, acuh-tak-acuh, hipokrit, atau rasis yang mereka pertontonkan di ruang media setiap hari. Mereka tidak peduli bahwa yang sedang mereka sebarkan ke masyarakat adalah sikap permusuhan terhadap bangsa sendiri.

Ini semua terjadi karena mereka sedang membayangkan keadaan-darurat. Entah darurat sekularisme atau darurat radikalisme, entah darurat identitas primordial atau darurat identitas nasional, semuanya dijadikan pembenar atas sikap-sikap yang menyimpang dari normalitas hukum dan etika. Kepada masyarakat dipropagandakan bahwa keadaan memang sedang benar-benar terancam.


Masyarakat didorong bergegas merapatkan barisan dan membentuk kerumunan-kerumunan politis. Dalam kerumunan itu, fanatisme dan perilaku sektarian dimantapkan sebelum ditularkan lagi ke khalayak yang lebih luas.

Tak cukup jelas apakah kedaruratan memang sedang terjadi atau tidak. Seperti dikatakan Agamben, kedaruratan dalam sejarahnya sering kali hanya dibuat kedok. Kedok untuk merebut kekuasaan atau untuk mempertahankannya. Kedok memperjuangkan kepentingan “umat” atau untuk memperjuangkan kepentingan sendiri dengan memanipulasi kepentingan “umat”.

Yang selalu terlambat diantisipasi adalah dampak terhadap kehidupan bersama. Masyarakat jadi begitu mudah saling menyalahkan, mencemooh, dan menelanjangi tanpa respek satu sama lain. Tak segan-segan para cerdik-pandai mempertontonkan sikap tidak bertanggung jawab dan bahkan kekanak-kanakan. Hal ini terus-menerus terjadi di ruang publik sehingga lama-kelamaan masyarakat kehilangan referensi untuk membedakan mana yang pantas dan mana yang tidak, mana yang patut dicontoh dan mana yang tidak, mana yang layak dan mana yang tidak, mana yang dibenarkan secara hukum dan mana yang dilarang.


Distingsi kawan dan lawan mengalami pengerasan sedemikian rupa. Dia tak lagi merupakan energi yang mendinamiskan tatanan, tetapi telah jadi sarana memperebutkan kekuasaan dalam keadaan vakum nilai-nilai demokrasi. Yang juga perlu diantisipasi kemudian adalah memudarnya kepercayaan terhadap demokrasi.

Apa artinya demokrasi jika kebebasan diwujudkan dengan pamer kebohongan, kesewenang-wenangan, dan sikap acuh tak acuh di ruang publik? Apa artinya demokrasi jika hukum tidak mampu menjamin ruang publik yang membuat nyaman bagi semua pihak untuk bertukar pendapat secara beradab? Apa artinya berdemokrasi jika pemerintah sering menghadapi realitas perbedaan pendapat, kebebasan berekspresi, dan kritik publik dengan tindakan-tindakan ekstra yudisial dengan alasan keadaan darurat?

Benar apa yang pernah diutarakan Agamben, demokrasi pada gilirannya adalah seni untuk menetralisasi tendensi menyatakan keadaan-darurat. Baik sang penguasa maupun sang penantang, baik yang kiri maupun yang kanan, semuanya sama-sama punya kecenderungan untuk bermain-main dengan logika keadaan-darurat. Karena dalam keadaan itulah, mereka dapat membenarkan (lebih tepatnya melakukan pembenaran) atas ketidakmampuan diri untuk bertindak dalam koridor hukum, norma, dan etika bersama. Karena dalam keadaan itulah, mereka dapat mendorong masyarakat untuk menenggang, bahkan mencontoh perilaku-perilaku yang menyimpang.

Agus Sudibyo,
Head of New Media Research Center ATVI Jakarta
KOMPAS, 26 Januari 2019

21 Januari, 2019

Capres Fiktif dan Kode Keputusasaan


Kemunculan calon presiden dan wakil presiden fiktif, Nurhadi-Aldo, di jagat maya secara komedik berhasil meramaikan situasi politik hari-hari ini.

Kandidat yang populer mula-mula dari akun Instagram (yang hingga kini diikuti ratusan ribu pengikut) ini menguraikan visi-misi dan program yang sebagian besar berisi humor dan sindiran.

Beberapa orang merasa tidak nyaman dengan pasangan fiktif tersebut, terutama lantaran konten kampanyenya yang banyak menyindir elite politik dan partai. Nurhadi-Aldo dianggap sebagai pembiasan dari politik yang normal, dan karena itu tidak perlu diberi perhatian lebih sebagaimana hiasan komedik belaka. Kekhawatiran paling lanjut, dan barangkali agak mengada-ada, adalah bahwa kandidat fiktif dapat menurunkan elektabilitas kandidat riil yang terdaftar dalam pemilu.

Namun, sebagai bagian dari keriuhan publik, tersisa pertanyaan besar: mengapa kandidat fiktif ini muncul? Sedangkah ia menyediakan sebuah pertanda dari sesuatu hal lain yang wajib disimak? Apakah kejenakaan ini sesungguhnya adalah semacam “subversi” dari buntunya diskusi substantif menyangkut ide dan gagasan kandidat riil?


Satire politik
Berdomisili di Kudus, sehari-hari Nurhadi hanyalah tukang pijat urut tradisional yang membuka praktik di rumahnya yang sederhana di Desa Gulangtepos, Kecamatan Mejobo. Tentu saja dapat ditebak ia tak punya pengalaman politik, apalagi berkontestasi secara serius dalam konvensi atau penyaringan kandidat. Namun, sebuah frustrasi politik yang penuh basa-basi dan perdebatan miskin substansi dapat ditebang seketika tatkala potret Nurhadi dan kutipan-kutipannya yang jenaka diunggah di media sosial. Publik merespons baik dan turut melipatgandakan partisipasi untuk konten-konten kreatif Nurhadi-Aldo.

Sebagaimana amat lazim diketahui, debat politik hari-hari ini berkutat dalam banyak sekali kemubaziran. Tidak perlu mata terlatih untuk menilai mutu debat politik kita: mulai dari adu argumen ihwal tempe setipis ATM hingga cara berwudlu yang baik dan benar. Belum lagi soal siapa kontestan yang pantas menyandang status ulama dan mana yang paling ahli menjadi imam shalat.

Ke mana pembahasan tentang skema konkret dan peta jalan pembangunan teknologi Indonesia di masa depan? Atau penyelesaian nasib petani yang bertahun-tahun ditindas tengkulak? Atau perumusan mekanisme dalam menuntaskan pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) di masa lampau? Bagaimana dan di mana publik bisa mengakses adu gagasan atas isu-isu itu? Tema-tema ini lenyap ditenggak syahwat keserakahan untuk menang.

Dengan demikian, satire politik Nurhadi-Aldo adalah juga kode yang amat kuat atas keputusasaan politik. Lenyapnya gagasan dan rusaknya ideologi politik telanjur dipercaya sebagai sebuah keadaan mutlak yang tak dapat diubah. Publik kehilangan teladan yang dapat dipercaya.


Frustrasi politik
Penting untuk diperhatikan tahap menentukan dari prosesi pemilu hari ini dan masa lampau. Kehadiran teknologi siber telah berhasil mendefinisikan ulang jagat politik; tidak lagi dilihat sebagai medan fisik yang dijubeli kampanye baliho dan parade panggung terbuka dangdut, tetapi telah bermetamorfosis menjadi ruang-ruang digital yang tak berbatas dalam membagi segala macam teks dan konten.

Dalam konteks sekarang, internet harus dihitung sebagai “infrastruktur politik” yang memediasi seluruh kepentingan, diskursus, dan pesan, atau aspirasi politik publik. Teknologi ini banyak menghabisi konvensionalitas politik: mulai dari perubahan teknik kampanye hingga pendekatan elite kepada publik. Media digital pula yang memfasilitasi kekesalan, kritik, atau cacian —dari yang paling sopan hingga yang paling liar.

Kadang-kadang tidak terlalu diperlukan kedalaman argumentasi atau rasionalitas dan kerapian pikiran untuk mendesain sebuah pesan. Teks tidak lagi dicipta dengan ukuran kedalaman. Logika dan rasio teks justru dibalik dan dipertukarkan sehingga yang tertinggal adalah sebuah anomali, paradoks, olok-olok, dan cemooh.

Nurhadi adalah tukang pijat urut tradisional yang membuka praktik di rumahnya yang sederhana di Desa Gulangtepos, Kecamatan Mejobo, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.

Komedi Nurhadi-Aldo persis menunjukkan olok-olok yang amat serius dari hancurnya ruang publik politik. Inilah bentuk antitesis dari oligarki ruang publik yang terlalu lama didominasi oleh perbincangan kelompok elitis sekaligus dipenuh-sesaki oleh tema-tema yang tak substantif. Publik telah lama dikepung oleh keragu-raguan untuk mempercayai pada kubu sebelah mana kebaikan yang sejati akan didapat.

Dilihat dari sudut pandang ini, Nurhadi-Aldo adalah pantulan frustrasi politik yang menemui saluran idealnya melalui media digital. Kritik dan satire tajam —sebagaimana ditunjukkan lewat capres-cawapres fiktif— hampir tak bisa dibayangkan dapat disampaikan secara langsung dan terbuka di forum publik riil. Konfidensi ekspresi politik muncul di dunia maya, bahkan secara kreatif mengalami intensitas melalui kejenakaan komedik dengan segala amunisi satirenya.

Jika humor satire Nurhadi-Aldo dianggap sebagai sebuah strategi, ia menjadi metode efektif dalam menggugat kebuntuan diskusi elite dalam ranah kontestasi pemilu. Satire ini juga bentuk dari subversi atau penggugatan atas makna dalam realitas politik yang dikorup secara habis-habisan melalui tema-tema dangkal dan nirfaedah.

Rendy Pahrun Wadipalapa
Pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga
KOMPAS, 19 Januari 2019

15 Januari, 2019

Sampah Plastik: Ketika Ekonomi Teladani Kitab Para Satwa


Dia ada dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dari serambi hingga kamar mandi. Kita hidup di zaman plastik, age of plastics. Ketika akhirnya plastik sisa pakai menyesakkan Bumi, kita berpaling pada alam. Manusia pun meneladani siklus ekologis berulang laksana rantai makanan, seperti yang dilihat Al-Jahiz dalam Kitab tentang Satwa, 1.000 tahun silam. Kita menyebutnya dengan “ekonomi sirkular”.

Penampilan Wisnu Wiguna mewakili gambaran seorang pengusaha muda yang sukses. Tinggi sekitar 170 sentimeter, postur yang lampai, dan berkulit putih bersih. Setelan kemeja dan pantalon yang dikenakan bermodel sederhana, tetapi garis-garis jahitan dan potongan yang teramat rapi dan mulus agaknya menunjukkan kualitas merek pakaian itu.

Sepetak besar noda coklat tanah di bagian belakang celananya menjadi paradoks tampilan Wisnu sebagai eksekutif. Juga ketika dia dengan mantapnya melangkah melewati genangan-genangan air lindi berbau menyengat di lorong yang mengapit dua hanggar besar di Karawaci, Tangerang. Ia tak peduli sepatu moccasin coklatnya tak lagi mengkilap.

Atap gelombang dari bahan bekas; kertas, plastik, aluminium foil, dll.

Di kartu nama Wisnu tersemat predikat general manager perusahaan pembuatan dan perdagangan kertas, Leo Graha Sukses Primatama. Sejatinya, perusahaan ini adalah pendaur ulang sampah, khususnya kertas. Sejak sekitar dua tahun silam, Wisnu mengembangkan sayap: membuat atap gelombang bermaterikan aluminium dan plastik yang tersisa dari kemasan minuman dan karton.

Meneruskan usaha dari orangtuanya itu, Wisnu tampak bangga dengan apa yang dia jalani. “Sejak kecil saya sudah bermain sampah,” katanya diikuti senyum lebar.

Sampah-sampah kertas telah dia geluti sejak lama. Dari berbagai jenis kertas buangan, perusahaannya mampu memproses berbagai jenis kertas baru. Dari yang paling tipis hingga kertas kardus yang tebal. “Kertas apa saja kita bisa buat. Ukuran 18 gram (jenis ketebalan kertas umumnya ditandai lewat bobotnya, gramatur) sampai 1.200 gram. Mau yang kertas coklat, mau yang kertas putih, kami buat,” katanya.


Dua tahun lampau, perusahaan kemasan minuman dan makanan cair Tetra Pak mendekatinya. Leo Graha memang telah lama menampung kemasan-kemasan karton bekas pakai, termasuk karton-karton kemasan. Namun, sebuah kotak karton pengemas susu tak seluruhnya terbuat dari kertas keras.

Satu kotak karton produksi Tetra Pak, misalnya, terdiri atas 75 persen kertas. Namun, untuk menjamin isi minuman atau makanan cair bebas kuman dan tahan lama, kotak itu memerlukan 21 persen lembaran tipis plastik polietilena dan 4 persen lembaran aluminium.

Pada 2017 saja, ujar Manajer Lingkungan Tetra Pak Indonesia Reza Andrento, perusahaannya menyuplai 6.637 ton kemasan karton ke produsen minuman dan pangan cair. Kalau toh seluruh bagian kertasnya termanfaatkan, masih ada 1.660 ton plastik dan aluminium sisa pakai yang tetap menjadi sampah.

Tetra Pak pun menyodori Wisnu kerja sama investasi membuat atap gelombang dari 25 persen bahan kemasan karton sisa pakai tersebut. Perusahaan asal Swedia itu punya keyakinan besar karena cabang mereka di sejumlah negara, seperti Brasil, sukses membuat dan memasarkan produk tersebut.

Aluminium foil.

Gayung bersambut. Wisnu melihat peluang tambahan dari seluruh suplai sampah karton kemasan yang dia terima. Bagian kertasnya sudah lama menjadi bahan baku perusahaannya. Kini, dia melihat aluminium. “Kapan lagi saya mendapatkan aluminium murah. Dan aluminium adalah bahan paling bagus untuk membuat atap,” ujarnya.

Bagian plastik di kemasan karton pun menjadi material penting pembuat atap. Plastik itu menjadi lem yang merekatkan cacahan-cacahan aluminium. Alur pembuatan atap gelombang itu sederhana. Kotak-kotak karton bercampur air digiling dalam bak besar untuk memisahkan tiga bahan pembentuknya. Bubur kertas lalu disalurkan dengan pipa untuk diolah menjadi kertas baru, cacahan aluminium dan plastik yang tersisa lalu dikeringkan berulang-ulang.

Setelah itu dengan dibungkus sarung lembaran aluminium baru, cacahan aluminium serta plastik dicetak dan dipanaskan untuk memperoleh bentuknya. Sehari, Wisnu bisa menghasilkan 300 lembar atap gelombang berukuran 2,1 kali 0,85 meter. Atap itu dijual Rp 60.000 per lembar jauh lebih murah dari atap seng dan bersaing dengan atap asbestos.

Saya belum mempromosikan produk ini. Tapi hingga setahun ke depan, pesanan telah penuh,” ujarnya sambil memperagakan kekuatan atap tersebut. Diinjak, dilindas mobil, atap itu tetap tak berubah bentuk.


Plastik sang penyelamat
Plastik memang selalu hadir menemani kita. Kemasan: botol, bungkusan, atau saset hanyalah sedikit dari yang kentara. Dari penjepit rambut di kepala, kancing baju di badan, pulpen di saku, hingga tali sandal jepit yang berbentuk huruf “Y” adalah juga plastik yang terkadang abai kita sadari. Dia juga melekat pada pakaian yang kita kenakan. Bukankah nilon, serat sintetis yang dibuat dari kandungan batu bara, air, dan udara juga tergolong plastik.

Polyester yang benang sintetisnya digunakan luas menjadi kain dan pakaian, juga satu keluarga dengan polimer pembuat botol minuman. Kita menyebutnya dengan botol PET, polyethylene terephthalate.

Plastik, kata yang kita kenal dengan begitu akrab itu berakar kata dari bahasa Yunani: plastikos. Artinya, yang dapat dibentuk atau dicetak. Dan kata itu mengacu pada berbagai produk jadi dengan merekayasa bahan baku berupa polimer, alami ataupun sintetis.

Polimer sendiri merupakan senyawa yang disusun oleh molekul-molekul karbon bersama hidrogen, nitrogen, dan oksigen. Pilihan dan susunan atom-atom pendamping karbon itulah yang membedakan jenis spesifik polimer yang terbentuk.

Barang-barang sehari-hari yang ada di lingkungan kita banyak yang berasal dari plastik.

Meski ikatannya sederhana, molekul-molekul itu saling berkait membentuk rantai yang panjang. Saking panjangnya, beberapa belas tahun sejak pertama kali dikenali 158 tahun silam, para peneliti awal mengira polimer merupakan sebuah molekul raksasa.

Kita terperangah, sama seperti para ahli satwa bakal tercengang jika ada yang bilang pada mereka, nun di pelosok Afrika, ada gajah yang panjangnya 450 meter dan tingginya 90 meter,” ujar seorang ahli kimia Jerman dalam sebuah seminar di Berlin, 1926.

Di alam, “molekul-molekul raksasa” sesungguhnya sudah menjadi bagian dari kehidupan berbagai makhluk yang mendiami Bumi. Karet, damar, sel pembungkus daun, zat pati, tanduk sapi, katun, semua merupakan polimer alam. Namun hasrat untuk meniru keajaiban alam tersebut semakin keras menuntut manusia di pengujung abad ke-19.

Di masa-masa itulah revolusi industri berbuah di Eropa dan Amerika Utara: berbagai barang kebutuhan mampu diproduksi secara massal dan relatif cepat. Dan ekonomi konsumtif tumbuh pesat. Pasar menggeliat melintasi batas-batas negara. Tantangannya: bahan baku yang sebagian datang dari negeri-negeri jajahan nun jauh terasa mulai tak mampu mencukupi, dalam jumlah, juga dalam kecepatan ketersediaannya.


Pada 1867 harian terkemuka AS, New York Times menuliskan kekhawatiran para ilmuwan dan naturalis bahwa gajah, satwa darat terbesar di bumi, bakal segera punah menyusul sepupunya dari zaman es, mamut. Pasalnya, permintaan di dunia barat terhadap gading terus meningkat.

Ketika itu, gading merupakan bahan baku untuk membuat berbagai barang. Dari kancing baju hingga tuts piano. Dari sisir hingga bola biliar. Setiap tahun, AS membutuhkan lebih dari 500 ton gading gajah dan memaksa Sri Lanka —salah satu pemasok gading— membantai sekitar 1.750 gajah dalam waktu kurang dari tiga tahun.

Maka, ketika John Wesley Hyatt yang bukan ahli kimia tetapi merupakan penemu yang produktif mampu menciptakan “gading tiruan” dengan mencampur kamper dan nitroselulosa pada 1872, selamat pulalah masa depan gajah-gajah liar di Asia dan Afrika (ketika itu). Para penyu yang juga dilirik cangkangnya juga bisa tersenyum —untuk sementara waktu.

Plastik mampu mengatasi keterbatasan. Dalam Perang Dunia II ketika negeri-negeri jajahan di Asia Timur dan Tenggara dikuasai Jepang dan kapal-kapal sekutu dan kekuatan Jerman saling menghancurkan di Samudra Atlantik, kedua kubu berada di titik kritis. AS mampu melewati titik itu karena plastik. Lewat polimer buatan, AS bisa terus menyuplai ban-ban kendaraan militer mereka dan mengerahkan pasukan payung yang diterjunkan dengan parasut-parasut nilon si sutra sintetis.


Dengan merebaknya industri ekstraksi bahan bakar fosil —bahan baku penting bagi pembuatan plastik modern— istilah mengatasi keterbatasan itu berganti menjadi tak terbatas. Plastik menggantikan kayu, logam, katun, dan apa saja untuk dibentuk menjadi apa saja dalam jumlah sebanyak yang bisa diserap dan “dipaksakan” (dengan iklan dan rangsangan konsumtivisme lainnya) pada konsumen.

Satu setengah abad berlalu, plastik yang sangat berguna bagi manusia dan praktis tersebut ternyata tak berguna bagi alam. Plastik-plastik bekas pakai menjadi sampah permanen dan menggerus keseimbangan alam.

Banyak masyarakat di negara-negara yang belum memiliki manajemen pengelolaan sampah yang bagus mengambil cara pintas mengatasi sampah plastik. Bank Dunia merilis data, sekitar 90 persen dari sampah di negara-negara berpendapatan rendah dibuang begitu saja, lalu sebagian di antaranya “dibersihkan” dengan dibakar.

Tanah memang bebas sampah plastik lewat pembakaran itu. Namun, tidak dengan atmosfer. Karbon terlepas dari ikatan senyawanya dan ikut menyumbang bagi fenomena yang terus kita takuti: pemanasan global dan perubahan iklim. Pembakaran sampah diperkirakan ikut menyumbang 5 persen emisi karbon ke atmosfer.


Di laut, tak ada samudra yang lolos dari sampah plastik. Jika pun tampak bening dan bersih, tak berarti sebuah perairan bebas dari plastik. Konferensi Para Pihak Ke-24 (COP24) di Katowice, Polandia paruh pertama Desember 2018 yang digelar untuk mencari strategi penyelamatan Bumi dari perubahan iklim, tak luput menyoroti ancaman mikroplastik.

Pencemaran mikroplastik —dari sampah-sampah plastik yang hancur, tetapi tak terurai— terus menjadi sorotan dalam satu dekade terakhir. Itu terutama karena mikroplastik dapat dimakan ikan, mengendap dalam sistem pencernaan atau diserap tubuh mereka. Pada akhirnya, manusia yang mengonsumsi ikan juga bakal terdampak.

Mikroplastik bahkan telah mencemari perairan yang jauh dari konsentrasi tempat tinggal manusia, Samudra Arktika di Kutub Utara. Bahkan, konsentrasi mikroplastik di perairan tersebut paling tinggi di seluruh dunia. “Tampaknya, arus laut membawa polusi ini —dari plastik yang diproduksi dan dibuang di wilayah berpopulasi di Bumi— ke Kutub Utara,” ujar Karen Frey, profesor Geografi Universitas Clark, Worchester, AS.


Kitab tentang satwa
Lebih dari 1.200 tahun lalu, cendekiawan dan pujangga Muslim, Abu Utsman Amr ibn Bahr al-Kinani al-Fuqaymi al-Basri (781-869), merampungkan mahakaryanya. Kitab al-Hayawan, begitu si pujangga Al-Jahiz menyematkan judulnya. Para ilmuwan barat menerjemahkannya dengan Kitab tentang Satwa. Ada pula yang menyadurnya sebagai Kitab tentang Kehidupan.

Kitab al-Hayawan bukanlah buku teks ilmu pengetahuan dengan struktur ilmiah yang baku. Uraian Al-Jahiz tentang beragam satwa dituturkan dalam bahasa dan cerita yang puitis. Itu menyadarkan kalangan cendekiawan, Al-Jahiz-lah yang pertama kali memikirkan tentang evolusi, jauh sebelum teori evolusi dirintis Charles Darwin dan Alfred Russel Wallace.

Dalam kitab itu pula para jauhari menemukan dasar pemikiran tentang rantai makanan. Rumput menjadi pakan domba, domba dimangsa anjing hutan, anjing hutan diterkam singa. Singa tua yang tak lagi kuasa, kemudian mati, membusuk, menjadi tanah. Di sana pula kemudian tumbuh kembali rumput sebagai makanan domba.

Pemikiran tersebut terus berkembang hingga pakar ekologi Universitas Oxford, Inggris, Charles Sutherland Elton (1900-1991), mengembangkan tentang teori jaring makanan. Kini dalam dunia modern yang kita bentuk, teladan dalam siklus alam itu ditiru manusia bagi produk budaya yang ditolak oleh tanah: plastik.


Manusia memang sangat tak mampu mengembalikan sampah plastik kembali menjadi senyawa etilen dari gas bumi yang menjadi bahan baku polimer polietilena (PE). Namun, paling tidak, polimer dapat didaur ulang: polimer PE dibuat menjadi botol minuman ringan, botol dibuang ke bak sampah, dikumpulkan pengepul, lalu dibuat kembali menjadi botol sabun cuci.

Dari bahan baku kembali menjadi bahan baku. Dari produk kembali menjadi produk. Manusia menyebutnya dengan ekonomi sirkular. Dan, dunia belum pernah menyadari teramat pentingnya mendaur ulang sampah plastik dalam ekonomi sirkular hingga tahun lalu.

Saat itulah, importir terbesar sampah (baca: bahan baku plastik bekas pakai) China berhenti membeli bahan baku seperti itu. Tahun lalu lewat program Operasi Pedang Nasional, Pemerintah China melarang impor 24 jenis sampah. Tahun ini, jumlah tersebut bakal ditambah dengan 32 ragam sampah lainnya.

Negeri dengan industri daur ulang terbesar di dunia itu juga tak mau mengambil risiko lingkungan dengan banyaknya sampah (termasuk plastik yang menjadi bagian amat besar) di negara tersebut. Lagi pula, dengan jumlah penduduknya yang 1,3 miliar jiwa, produksi bahan baku bekas pakai toh sudah cukup melimpah.


Keputusan China yang sebelumnya menampung 45 persen impor sampah global tersebut mengguncang banyak negara. Baru disadari, tak banyak negara yang punya strategi ekonomi sirkular memadai. Bahkan pada negara-negara berteknologi dan berekonomi maju.

Jepang, misalnya, kelimpungan dengan “mampetnya” alur manajemen sampah mereka. Pada 2017, misalnya, separuh dari 1,5 juta ton sampah plastik negeri itu “dibersihkan” dengan cara ekspor. Tambahan bahan baku plastik bekas dua kali lipat secara mendadak menjadi pukulan telak bagi industri daur ulang, apalagi bagi pemerintah lokal di Jepang yang bertanggung jawab dalam tata kelola sampah dan limbah.

Negara-negara Uni Eropa juga kalang kabut dengan langkah China. Selama ini setiap tahun, para anggota Uni Eropa hanya bisa mendaur ulang seperempat dari total 25-26 juta ton sampah plastik yang dihasilkan. Adapun sekitar separuh dari jumlah sampah tersebut diekspor ke China.

Maka, para petinggi Uni Eropa berkumpul dan merumuskan 60 langkah penanggulangan yang bakal diumumkan bulan ini. Intinya, pemerintah di benua itu ingin seluruh perusahaan swasta lebih banyak menggunakan produk plastik hasil daur ulang.

Saat ini, kalangan swasta di Eropa hanya menyerap 2,5 juta ton plastik daur ulang per tahun. Hitung-hitungan Uni Eropa, jika benua itu ingin selamat dari timbunan sampah plastik, setidaknya hingga 2025, pihak swasta di sana harus sudah menyerap 10 juta ton produk plastik daur ulang.


Di Indonesia, Wisnu dengan perusahaan Leo Graha-nya merupakan praktisi ekonomi sirkular. Wisnu sudah lama bermitra dengan produsen kemasan karton Tetra Pak. Perusahaan asal Swedia itu sendiri telah lama merintis jalinan kemitraan ekonomi sirkular di negeri ini. Mereka telah 10 tahun merajut kerja sama dengan mitra pengumpul dan pendaur ulang sampah kemasan karton EcoBali Recycling.

Kemitraan dengan produsen sumber sampah diakui aktivis lingkungan Swietenia Puspa Lestari sebagai hal yang penting. Tenia, begitu gadis 23 tahun itu disapa, adalah Direktur Eksekutif Divers Clean Action (DCA), organisasi nonpemerintah yang berkecimpung di bidang pelestarian lingkungan.

DCA berfokus dalam kebersihan pesisir dan laut dari sampah. Di Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta, DCA mendorong warga bergiat sebagai bank sampah: penampung, pengemas, dan menyalurkan sampah plastik ke pengepul yang meneruskannya ke pabrik-pabrik pendaur ulang.

Dengan dipayungi perusahaan produsen sumber sampah plastik, tutur Tenia, warga si bank sampah memperoleh jaminan harga beli yang stabil. “Jika langsung berhubungan dengan pengumpul, besaran harga tidak bisa dipegang. Jika begitu terus, animo warga untuk tetap menjadi bank sampah bisa hilang,” kata Tenia. Akibatnya bisa ditebak, upaya untuk melepaskan alam dari pencemaran sampah plastik kembali dari nol.


Praktik hubungan antarentitas bisnis dalam ekonomi sirkular —perusahaan pengumpul sampah industri — perusahaan pendaur ulang sampah— sesungguhnya sudah banyak terjalin di Indonesia. Di satu sisi, pola tersebut menjadi solusi dari ancaman pencemaran sampah.

Namun, ekonomi sirkular sama sekali bukan rantai makanan alam yang sempurna. Produk daur ulang plastik bekas, misalnya, sulit dijadikan produk barang dalam bentuk, kualitas, dan kegunaan yang sama.

Plastik dan aluminium kemasan karton sebagai contoh, tak lagi bisa didaur ulang sebagai bagian dari kemasan karton yang baru. Dia menjadi atap gelombang. Sangat bermanfaat tentu bagi lingkungan. Seperti kata Wisnu, “daripada plastik dan aluminium itu ada di laut selama 15 tahun, lebih baik ada di atas kepala kita sebagai atap selama 15 tahun”.

Bagaimanapun, perputaran bahan baku plastik bekas tak bisa terus-menerus dalam siklus yang berulang hingga akhir zaman. Pada satu waktu, dia akan tetap menjadi sampah yang tak lagi bisa diapa-apakan jua.


Karena itu, pesan kuno untuk berhemat kembali memperoleh aktualitasnya. Jika kita memiliki sebuah botol minum plastik, tepat untuk tetap setia padanya dibandingkan kita menambah dengan dua-tiga botol lagi karena terpikat dengan warnanya yang indah dan bentuknya yang lucu.

Semakin kita berhemat, semakin berkurang pula sampah yang kita hasilkan. Dan bertahun dari sekarang, semakin ringan pula tekanan pada lingkungan, juga pada entitas ekonomi sirkular —seperti yang dirasakan Jepang dan Uni Eropa sekarang. (AFP/REUTERS)

Referensi teks dan tabel:
United Nations Environment Programme, Global Waste Management Outlook 2015
Adam Hart-Davis, "The Age of Plastics" dalam Science, Dorling Kinderley Limited 2012
Eric Elliott, Polymers & People, Beckman Center, 1990

Yunas Santhani Aziz,
Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 7 Januari 2019