17 Februari, 2013

Generasi VUCA


Pernahkah Anda memperhatikan gaya berfoto antargenerasi? Rabu kemarin (13/2/2013) di PT Indocement, dalam forum Generation Gap, Direktur SDM dan Pengembangan Usaha Wijaya Karya, Tony Warsono menunjukkan dua buah foto.

Foto pertama adalah generasi “ponsel pintar” yang lahir pasca 1980-an dan direkrut perusahaan setelah 2006. Foto kedua adalah kumpulan para senior yang direkrut jauh sebelum krisis moneter 1997. Sebut saja generasi telepon. Ya, teleponnya telepon rumah, just a telephone. Atau kadang juga disebut generasi komputer, atau Gen X. Lahir setelah tahun 1960-an. Generasi ponsel pintar saat diminta bergaya bebas terlihat sangat ekspresif, lepas, riang, dan benar-benar bergaya bebas dengan gerakan tangan, mulut, dan badan yang “merdeka”.

Sebaliknya, saat diminta bergaya bebas, generasi telepon ternyata benar-benar jadul. Kaku, tidak ekspresif, dengan gerakan tangan yang terbatas. Paling-paling cuma sekadar angkat jempol. Entah karena umur, agak jaim, atau memang sejak sekolah dibelenggu banyak aturan yang menyebabkan mereka menjadi generasi pasif yang menunggu, tak banyak pilihan dan menghadapi banyak risiko.

Beda benar dengan generasi ponsel pintar yang dibesarkan dalam iklim demokrasi yang lepas, banyak pilihan, penuh keberanian, dan kebebasan. Lantas, apa hubungannya antara gaya berfoto dan produktivitas kerja? Benarkah beda generasi telah menjadi sebuah masalah bagi bangsa ini?


Empat Generasi
Saya pernah menulis adanya empat generasi yang menjelaskan mengapa kurikulum baru disambut dengan berbagai pandangan. Adalah keyakinan saya, jurang antargenerasi tak dipahami para pemikir pendidikan. Keempat generasi itu adalah generasi kertas-pensil (lahir sebelum 1960), generasi telepon/komputer (lahir 1960–1970), generasi internet (lahir 1970–1980), dan generasi ponsel pintar (lahir setelah 1980).

Tentu saja selain masalah beda generasi, kita juga membedakan mana pandangan orang yang mengerti masalah, yang senang melihat masalah, dan mana yang ingin mengatasi masalah. Sebuah gap yang dulu terjadi tanpa perbedaan yang jelas, sekarang justru menjadi masalah besar. Anda mungkin masih ingat, ketika apa yang dimainkan di rumah sama dengan yang dimainkan di sekolah.

Misalnya saja mobil-mobilan dari kulit jeruk bali, juga menjadi mainan di sekolah. Anak-anak perempuan bermain boneka dengan Dakocan yang kulitnya hitam gelap atau boneka Barbie di rumah, juga di sekolah. Masa emas itu kini telah berlalu. Apa yang mereka mainkan di rumah (video dan electronic games) kini tak boleh lagi dibawa ke sekolah. Oleh generasi kertas-pensil dan generasi telepon, video game dianggap kurang mendidik. Jangankan video game, kalkulator saja adalah pembodohan, sedangkan sekolah internasional yang berbahasa Inggris dinilai melanggar Sumpah Pemuda.


Begitulah generasi tua mendidik anak-anaknya. Selalu melihat dari kacamata generasinya. Bagi generasi tua, “Indonesia itu gemah ripah loh jinawi,” negeri kaya raya, tetapi “feelingnya” adalah sebuah tragedi kemiskinan. Bagi mereka, penduduk Indonesia masih miskin sehingga wajar dikasihani, diberi listrik yang murah, bensin subsidi, sekolah gratis. Sedangkan bagi generasi muda, Indonesia adalah sebaliknya. Alamnya sudah habis dikuras dan dikorupsi. Hutannya sudah gundul.

Tanahnya sudah dikorek habis. Bagi generasi ponsel pintar, Indonesia adalah negeri dengan jumlah orang kaya yang fantastis. Alamnya miskin, tetapi orangnya kaya-kaya. Jadilah generasi yang bingung: diberi subsidi negara tetapi malah dipakai buat foya-foya, sedangkan yang dari swasta, kalau semakin mahal, semakin diburu. Tak bisa sekolah internasional di sini, ya pindah ke luar negeri.

Guru bilang A, murid melakukan B. Sekolah mengutamakan angka nilai dan otak kiri, tetapi mereka mengembangkan keterampilan lapangan dan otak kanan. Gap ini bukanlah ilusi. Tetapi terjadi sungguhan. Seperti Anda ketika ditanya orang tua “apa cita-cita mu kelak ke depan, Nak?” Maka jawabannya adalah nama-nama fakultas seperti dokter, ekonomi, psikologi, lawyer, sastrawan, atau seniman.

Semuanya ada fakultasnya. Tetapi bila hal serupa Anda tanyakan pada anak-anak sekarang, Anda akan terbengong-bengong sebab mayoritas keinginan mereka tidak atau belum ada nama fakultasnya di sini. Ada yang mau jadi sutradara film, fashion desainer, pelukis, fotografer, perancang pesawat terbang, pembuat robot ruang angkasa, atau bahkan juru masak, social entrepreneur, atau artpreneur.

Basuki Cahaya Purnama alias Ahok bersama isteri dan 3 anaknya.

Kegelisahan Ahok
Ahok, wakil gubernur DKI, bukanlah generasi kertas. Dia dilahirkan pada tahun 1966. Jadi ketika dewasa, dia merasakan nikmatnya komputer, lalu memakai internet belakangan. Namun, Ahok gamang saat melihat pegawai-pegawainya yang masih muda (mungkin generasi ponsel pintar) justru membuat notulensi dengan pensil (bolpoin) dan kertas, bukan langsung menulis di laptop.

Ahok pantas berang, sebab setiap tahun pegawai-pegawai itu mengajukan permintaan anggaran untuk membeli laptop. Laptop di depan meja, tetapi tulisnya tetap saja di kertas. Ini benar-benar pemborosan. Namun, para eksekutif yang menjadi mentor untuk menjembatani generation gap mengajukan usul lebih jauh dari Ahok. “Jangan suruh orang lain menjadi notulis. Kita saja, pemimpin, harus bisa langsung menulis report di depan mata, di komputer, yang langsung bisa di-share melalui internal media,” inilah yang disampaikan sejumlah eksekutif. Memang ini merepotkan.

Bagi saya saja repot, apalagi bagi kita yang sudah biasa dilayani. Kegelisahan Ahok seharusnya tidak boleh sekadar menjadi tontonan di YouTube atau TV saja, melainkan juga sinyal bagi kita semua. Apa yang dialami Ahok adalah realita generation gap yang diakibatkan pembekuan yang dilakukan hampir semua lembaga dan badan pemerintah di era krisis moneter. Bukan main, 7–8 tahun freezing merekrut pegawai antara 1997–2006, bahkan beberapa lembaga birokrasi melakukan zero growth berkali-kali.

Grup band SLANK menyebut dirinya "Generasi Biru".

Di banyak perusahaan, bahkan bukan cuma freezing, melainkan juga PHK. Maklum, SDM ada dalam komponen biaya. Apa akibatnya? Kumpulan orang tua menguasai lembaga. Kalau saya lihat, pegawai yang dimarahi Ahok itu rasanya dari wajahnya berkisar masuk pada Generasi Ponsel Pintar. Tetapi mengapa ia tak memakai laptop langsung? Pengalaman saya menemukan, dalam konteks generation gap, kaum muda yang dinamis akan menjadi sama dengan seniornya, terbelenggu dan tak ada bimbingan untuk menegakkan aura generasinya yang memberikan kekuatan kreativitas dan teknologi yang besar.

Jadi, generasi muda di banyak lembaga dan dunia usaha kita porsinya sudah tinggal sedikit, sedangkan generasi tua begitu banyak. Sudah banyak, mereka menguasai pangkat teratas. Itulah yang disebut band Slank sebagai feodalisme. Salah satu bait lirik lagu itu berbunyi begini:

“Salah nggak salah, sama atasan slalu diturutin
Maunya seumur hidup minta-minta dihormatin ….
Benar nggak benar yang lebih tua sudah pasti benar
Suruh-menyuruh, larang-melarang dia-dia yang paling benar ….”


Jadi, sekarang jelas mengapa reformasi birokrasi susah, biaya perjalanan dinas terus membengkak kendati peningkatan kesejahteraan PNS tidak terjadi, atau kendati rapat pakai BB Group, Skype, Kakao, atau pakai Line saja sudah cukup.


Juga mengapa protokoler di mana-mana dominan. Kalau sudah begitu, bagaimana kita mau memperbaiki pelayanan dan kecepatan? Bagaimana perusahaan lokal mau mendapatkan kualitas SDM kaum muda yang lebih bagus? Tahun ini ribuan perusahaan asing berdatangan ke sini bersiap-siap menyambut pasar bersama ASEAN 2 tahun lagi. Rebutan talent sudah pasti.

Sedangkan para manajer dari negara yang tak terbelenggu feodalisme, selain atasan berani turun langsung ke bawah, bahkan melakukan wawancara di bursa-bursa tenaga kerja, mereka juga memutuskan dengan cepat sendiri ke bawah. Kala feodalisme merajalela, atasanlah sasaran pelayanan, mereka sulit turun ke bawah. Dan, pantaslah produktivitas terganggu. Potensi besar generasi baru itu perlu didampingi mentor-mentor hebat, karena mereka punya kekuatan menembus batas yang mengalahkan kekuatan generasi di atasnya.

Mereka kini disebut juga sebagai generasi VUCA, yang dibesarkan dalam lingkungan yang Volatile, Uncertain, Complex, dan Ambiguous. Artinya, mereka generasi tahan banting dan adaptif ditempa dalam pergulatan yang cair dan tidak pasti, tapi punya kemembalan, daya penetrasi yang kuat dan lincah bergerak. Jadi, bagaimana sistem pendidikan yang dikomentari kaum tua yang kolot yang masih berpikir hanya dirinya yang benar? Bagaimana reformasi birokrasi?

Bagaimana meremajakan partai-partai politik dan sekaligus meluruskan makna subsidi dan sosial? Semua hanya bisa dilakukan kalau jembatan antara generasi segera dibangun.Yang tua sadar untuk memberi ruang bagi kaum muda untuk maju, yang muda tetap respek, tapi yang jelas negeri ini butuh manusia yang kaya perspektif. Bukan orang yang merasa paling benar, padahal ada kacamata kuda di wajahnya.

Rhenald Kasali
Ketua Program MM UI
Koran SINDO, 14 Februari 2013

09 Februari, 2013

Modal yang Terguncang


Catatan antikorupsi partai ini sebenarnya tidak diragukan. Dalam periode waktu empat belas tahun reformasi, yang telah melahirkan banyak sekali koruptor, partai ini relatif papan bawah untuk urusan korupsi.

Di awal kiprahnya, partai ini menunjukkan komitmen antikorupsi yang mengundang decak kagum. Komitmen antikorupsi tercermin, misalnya, dari penyelamatan uang negara sebesar Rp 739,6 miliar oleh anggotanya yang duduk dalam badan legislatif, baik pada level nasional maupun lokal selama kurun waktu empat tahun (1999–2003). Pengembalian uang kadeudeuh di Jawa Barat yang hingga ratusan juta itu termasuk di dalamnya.

Dalam buku “Mereka Melawan Korupsi”, terlihat bagaimana kader-kader partai ini piawai melawan godaan dan jebakan korupsi. Tak tanggung-tanggung, kader-kader mereka di DPRD kerap menjadi musuh bersama karena menolak untuk menaikkan tunjangan anggota dewan atau berbagai bentuk uang siluman. Dalam beberapa kasus, mereka dan keluarga diteror karena enggan untuk terbeli, setelah tentu saja uang dengan jumlah besar dan rayuan lainnya coba disodorkan.


Padahal, mereka pun bukan sosok-sosok yang sehat walafiat secara finansial. Sepanjang pengetahuan saya sebagai peneliti partai politik, masih jarang partai yang komitmennya terhadap antikorupsi cukup besar di era reformasi seperti partai ini. Hal ini diakui oleh banyak kalangan, bahkan oleh mereka yang menentangnya sekalipun. Cukup banyak data dari pelbagai lembaga survei yang memperlihatkan bahwa partai ini bukanlah pemain utama dalam pagelaran korupsi di negeri ini.

Ibarat film, mereka hanya figuran yang berlalu lalang sekelebatan saja. Saya tentu saja tidak mengatakan dengan naifnya partai ini bersih, sebagaimana slogan yang pernah diusung oleh partai ini “bersih dan peduli”. Namun, partai ini jelas bukanlah partai yang membuat kita berkata “ah itu mah biasa”, setidaknya dalam hati, manakala mendengar kabar korupsi yang dilakukan oleh seorang anggota partai.

Dengan demikian, amat pantas jika kemudian partai ini, yang saya tebak anda pasti tahu, kemudian berbangga diri menyatakan sebagai partai yang relatif bersih dari soal korupsi. Tidak itu saja, selain loyalitas kader dan kegiatan kaderisasi yang jauh di atas rata-rata, begitu pula kepeduliannya yang cukup baik, kebersihan para anggotanya dari praktik korupsi menjadi modal utama partai untuk memenangkan hati para pemilih.


Stop Mengelak
Namun demikian, seiring perjalanan waktu, modal dasar ini nampak mulai terguncang. Hal ini sebenarnya lebih karena efek dari situasi internal ketimbang hal-hal lain. Terutama pascapemilu kedua (2004), partai ini secara internal tampak mengalami “perkembangan”, menuju “kenormalan”. Mulai saat itulah, perilaku yang menunjukkan “karakter umum partai-partai” mulai hadir dan menggejala di partai yang tadinya terkenal dengan kontrol internal yang cukup ketat ini.

Pascapemilu 2004, partai ini tidak saja kelimpungan dalam mengontrol kader-kader kritis yang mulai lantang bersuara dan bersikap, dipicu terutama oleh ketidakpuasan perilaku kurang pas para elite, namun pula dalam mengontrol perilaku elitenya. Seiring dengan pengawasan partai yang semakin hambar dan tidak efektif, sebagian elite partai pun menjadi lebih leluasa untuk melakukan beberapa aktivitas atau manuver yang sebelumnya dianggap “amat tidak patut”.

Efeknya mulai terlihat kemudian ketika satu demi satu sebagian elite terbukti menunjukkan perilaku yang berlawanan terhadap jati diri dan sikap partainya. Puncaknya terjadi di akhir bulan Januari lalu. Tidak tanggung-tanggung, presiden partai ini pun terjerat dalam kasus penyuapan. Dilihat dari kronologi internal, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), partai yang saya maksud, seharusnya dapat bersikap lebih arif dan objektif.


PKS tidak perlu reaksioner dengan menyalahkan berbagai pihak, apalagi melontarkan berbagai teori tentang konspirasi. Terlepas dari “pengecualian yang amat” dari manuver KPK dalam meringkus Luthfi Hasan Ishaaq (LHI), yang juga berpotensi menguatkan kecurigaan dan cibiran pada institusi ini, namun menyalahkan strategi KPK semata karena telah menjerat presiden partai tentu bukan hal yang bijak. Prinsipnya tetaplah tidak bakal ada asap tanpa api.

Akan merupakan kesia-siaan bagi KPK untuk berurusan dengan orang yang memang sama sekali tidak membawa bara di tangannya. Dengan kasus ini, PKS sungguh diminta untuk introspeksi diri dan meluaskan kewaspadaannya terhadap perilaku korupsi di level kader dan internal partainya sendiri, bahkan pada kader-kader terbaiknya.

Dengan terus mengelak, tidak saja PKS akan membingungkan kader dan masyarakat, serta pada gilirannya turut menyulitkan proses pemberantasan korupsi di masa-masa selanjutnya, namun juga akan berpotensi memunculkan sikap penghormatan yang tidak pada tempatnya, yang kerap disertai pembelaan mati-matian yang tidak perlu terhadap elite yang tidak pantas mendapatkannya.


Lanjutkan Sikap Elegan
Langkah terbaik yang dapat dilakukan oleh partai saat ini memang telah dilakukan. Inilah sesungguhnya momentum untuk mengembalikan partai pada jati dirinya. Juga momentum untuk melakukan bersih-bersih partai kepada siapa saja yang berpotensi sebagai benalu bagi partai. Sungguh inilah peluang besar untuk melakukan internal revolution yang selama ini sulit dilakukan karena belum ada bukti gamblang untuk mengeksekusinya.

Sikap PKS yang melakukan pergantian posisi presidennya secara cepat, hanya dua hari saja, menunjukkan keseriusan partai ini dalam merespons kasus korupsi yang menjerat presidennya secara elegan. Langkah elegan inilah yang sekali lagi membedakan partai ini dengan partai lainnya. Mantan anggota DPR dari PKB, AS Hikam, misalnya, berkomentar jika saja kasus serupa mengenai partai lain, terutama yang masih mengidap penyakit kultus individu, ceritanya pasti akan lain.

Namun, PKS adalah partai yang kader-kadernya dituntut untuk setia pada tradisi dan sistem secara bersamaan, bukan kepada perorangan. Bekerjanya sistem, dan bukan kepentingan individu, itu dipertontonkan kepada publik saat Anis Matta dengan mudahnya menggantikan LHI. Memang langkah elegan ini bagi sebagian kalangan dianggap sia-sia. Bagi sebagian kalangan, pengangkatan Anis adalah sebuah blunder.


Mereka melihat Hidayat Nur Wahid atau Surahman Hidayat sebagai sosok yang lebih pas menggantikan LHI. Hal ini karena kesan perubahan akan lebih terasa jika figur-figur kalem dan terlihat sederhana itu ditonjolkan. Pandangan itu mungkin tidak sepenuhnya salah. Namun, pidato apik Anis beberapa waktu lalu cukup memberikan efek positif bagi internal partai. Dan, itulah yang saat ini sepertinya jauh dibutuhkan oleh partai yang mengandalkan kekuatan internal dari para kadernya ini, ketimbang pencitraan eksternal.

Terlepas dari siapa yang patut memimpin partai ini, PKS telah menunjukkan pada khalayak bahwa jabatan bukan segalanya dalam partai ini; dan semuanya bekerja untuk partai, bukan sebaliknya. Dengan kedua hal ini, tidak mengherankan jika akhirnya seorang presiden partai sekalipun —jika dirasa merugikan partai— bisa dengan mudah ditendang. Bisa jadi, di sinilah penguatan modal yang telah terguncang dahsyat itu berawal.

Firman Noor
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI,
Pengajar pada Departemen Ilmu Politik FISIP UI

JAWA POS, 4 Februari 2013

02 Februari, 2013

The Busy Generation


Busy, busy, busy, busy, busy, busy. Busy … dead !

Menurut kalender, dalam seminggu yang disebut hari kerja (workdays) ada lima hari, lalu hari libur (holidays) dua hari. Mengapa jumlah hari kerja lebih banyak ketimbang hari libur?

Karena bekerja itu sehat, melegakan dan membahagiakan, sedangkan diam menganggur itu melelahkan dan bahkan menyiksa. Tidak percaya? Coba saja sendiri selama setahun jadi pengangguran, pasti tersiksa. Di dalam bekerja seseorang menemukan keasyikan, sebuah aktualisasi diri sebagai pribadi yang produktif dan berharga bagi sesamanya. Pohon pisang saja tidak mau mati sebelum mempersembahkan buah dan keturunan dari kehadirannya.


Terlebih manusia yang dibekali potensi hidup dan kreativitas yang sampai sekarang belum diketahui secara persis batas akhir kemampuannya. Oleh karenanya manusia juga disebut homo faber. Makhluk yang senantiasa mencipta berbagai produk baru untuk menyalurkan imajinasinya dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Saking kreatifnya, sangat mungkin para ilmuwan di masa depan akan menciptakan produk-produk baru yang sesungguhnya tidak diperlukan oleh masyarakat, padahal biayanya amat mahal, semata untuk menyalurkan daya kreatifnya.

Dalam kehidupan sehari-hari, sekarang pun anomali dan deviasi sosial sudah terjadi, yaitu orang terjerat pada gaya hidup yang supersibuk. Sibuk seakan menjadi identitas dan gaya hidup kalangan eksekutif. Padahal ide besar yang menjanjikan sukses besar justru muncul saat orang dalam suasana santai, rileks, meditatif. Makanya banyak inspirasi dan peristiwa besar yang terjadi di malam hari seperti yang dialami para nabi. Mereka mendapatkan pencerahan hati dan pikiran di malam hari, di tempat yang sunyi, seperti yang dialami Nabi Muhammad di Gua Hira.

Peristiwa Isra’-Mi’raj pun juga di malam hari. Dengan bantuan teknologi modern, seseorang dapat melakukan multi-tasking dalam jam dan tempat yang sama. Artinya, bisa saja seseorang semakin sibuk dibuatnya ataupun sebaliknya, bisa lebih rileks karena rapat jarak jauh pun dapat dilakukan. Jadi, godaan dan peluang untuk menjadi sibuk dan supersibuk pun semakin terbuka. Namun perlu disadari bahwa sukses tidak selalu identik dengan sibuk. Para inovator bidang ilmu selalu memerlukan suasana rileks untuk mencari ilham.


Terlebih mereka yang selalu sibuk dengan dalih demi memenuhi kebutuhan keluarga sesungguhnya perlu diingatkan dan dipertanyakan keabsahan dalihnya. Bagi mereka yang secara ekonomi sudah cukup, yang diperlukan anak-anak dan anggota keluarga adalah kebersamaan berkualitas yang tidak dapat ditukar dengan materi. Banyak keluarga yang hidupnya tidak bahagia, suami-isteri cerai bukan karena tidak punya uang, tetapi tidak punya waktu senggang dan nyaman untuk berbagi hati dan pikiran dalam rangka menjaga kehangatan keluarga.

Ketika panggung politik terasa pengap, kondisi lalu lintas macet dan membuat stres, sementara kejahatan dan konflik sosial bermunculan tak berkesudahan, pasti semua itu berpengaruh secara negatif pada suasana hati warga bangsa ini. Situasi demikian mesti diimbangi dengan pencerahan hati dan pikiran agar kita tidak menjadi orang yang reaktif, melainkan menjadi pribadi yang kreatif. Menjadi pribadi yang sabar sekaligus penyebar damai dengan pikiran-pikiran alternatif yang mendatangkan aura optimistis-konstruktif.

Ketika yang terjadi adalah akumulasi stres, marah, pesimistis, dan sikap egoistis, sesungguhnya kita telah mempersempit dan membuat gelap dunia kita sendiri. Ketika kita memandang dunia, tanpa disadari yang muncul dan terlihat sebenarnya adalah proyeksi dari keyakinan, ideologi, dan endapan emosi serta pikiran tentang hidup yang kita inginkan. Kita akan selalu mengejar hal-hal yang kita bayangkan menyenangkan dan selalu berusaha menghindari hal-hal yang kita bayangkan menyakitkan.


Padahal, pada kenyataannya, bayangan, keinginan, dan pikiran yang menyenangkan itu tidak mudah diwujudkan dan apa yang kita bayangkan menyenangkan adakalanya justru sebaliknya yang terjadi. Kita seringkali terlalu sibuk sehingga tidak bisa mengambil jarak dari kehidupan praktis mekanistis sehingga tidak bisa merenung dan membuat refleksi tentang makna dan tujuan hidup, tak ubahnya seperti pesawat terbang yang kehilangan peta titik koordinat dan tujuan akhir untuk mendarat. Seperti kasus yang pernah menimpa pesawat terbang Adam-Air beberapa tahun lalu yang akhirnya nyasar ke lautan.

Tragedi serupa banyak terjadi pada kehidupan kita semua. Bukankah perjalanan hidup ini tak ubahnya pesawat yang melaju kencang ke depan? Apa yang terjadi kalau kehilangan peta yang menjadi petunjuk jalan? Oleh karena itu fenomena munculnya busy generation mesti diwaspadai karena akan mendorong seseorang hidup bagaikan mesin berputar. Selalu sibuk bahkan super sibuk tapi kehilangan sense of meaning of life. Kesibukan tanpa pemahaman dan penghayatan yang mendalam, untuk apa dan siapa hidup ini dijalani. Kesibukan yang tanpa makna apa-apa dan sia-sia belaka.


Ada sindiran Dalai Lama yang sangat populer. Katanya; "Saya heran dengan perilaku manusia, mereka sibuk mengumpulkan uang sampai-sampai mengorbankan kesehatan dan waktu senggang untuk memelihara hubungan sosial. Anehnya, setelah uang terkumpul, semuanya habis terkuras untuk biaya berobat akibat gaya hidup yang tidak sehat." Mereka hidup pada hari ini, tapi pikiran dan emosinya meloncat jauh ke depan sehingga tidak bisa menikmati keindahan hari ini. Sementara ketika memasuki hari tua yang dijumpai ternyata tidak seindah yang dibayangkannya.

Sibuk seakan menjadi mantra baru. Ketika bertemu teman, dulu orang masih sempat ngobrol tentang kehidupan keluarga dan cerita hobi masing-masing. Sekarang hal itu telah berubah, pertanyaan yang muncul biasanya adalah: “Sekarang lagi sibuk apa?” 

Busy, busy, busy, busy, busy, busy. Busy … dead !

Komaruddin Hidayat
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
SINDO, 14 Desember 2012