27 September, 2008

Warga Dunia Harus Menanggung Perilaku Boros Amerika Serikat

Saat ini seluruh dunia harus menanggung akibat dari borosnya perekonomian Amerika Serikat. Perilaku boros yang dilakukan pemerintah maupun masyarakat AS telah membuat perekonomian dunia menjadi tidak seimbang. Demikian dikatakan Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, akhir pekan lalu.

“Pemerintah dan rakyat AS sama-sama boros. Keuangan Pemerintah AS dibiarkan defisit tinggi karena harus membiayai perang dan program jaring pengaman sosialnya, sementara perilaku rakyatnya besar pasak daripada tiang,” ujarnya. Dijelaskan, meskipun neraca keuangan Pemerintah AS dan rakyatnya terus defisit, tetapi banyak negara di dunia yang mendanai defisit itu. Ini dibuktikan dengan tingginya penjualan obligasi dari pemerintah dan perusahaan AS, terutama yang diserap oleh negara seperti China, Jepang, Korea Selatan, Uni Eropa, dan negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah.

Negara-negara itu telah mendanai banyak perusahaan di AS. Maka, ketika banyak perusahaan di AS nyaris bangkrut, negara-negara yang mendanainya juga terancam ambruk. Contohnya, kasus dua perusahaan penyedia kredit pemilikan rumah (KPR) terbesar di AS, Fannie Mae dan Freddy Mac, yang terus merugi akibat krisis penyaluran kredit bermasalah sektor properti (subprime mortgage) mulai pertengahan 2007.

“Saya langsung berkomunikasi dengan Menteri Keuangan AS untuk mengetahui maksud Pemerintah AS menalangi kedua perusahaan itu. Intinya, Pemerintah AS ingin memulihkan sektor perumahan mereka dengan menyuntikkan dana hingga 100 miliar dollar AS ke masing-masing perusahaan,” katanya. Hal tersebut, lanjut Menkeu, harus dilakukan karena banyak negara yang akan terkena dampaknya jika Fannie Mae dan Freddy Mac runtuh. China, misalnya, memegang obligasi senilai 260 miliar dollar AS yang diterbitkan Fannie Mae dan Freddy Mac. Itu belum termasuk obligasi yang dibeli oleh perusahaan di Taiwan, Jepang, dan negara lain di Asia.

Sri Mulyani meyakini, dengan perilaku AS yang terus memelihara defisitnya, secara teoretis mata uang dollar AS akan terus melemah terhadap mata uang dunia lainnya. AS harus menutupi utangnya yang makin besar. Dalam catatan Ensiklopedia Britannica: 2007 Book of The Year, tampak defisit anggaran AS terus meningkat, tahun 2002 defisit 473,94 miliar dollar AS, 2003 menjadi 530,66 miliar dollar AS, kemudian berturut-turut defisit 668,07 miliar dollar AS (2004), dan 791,51 dollar AS (2005).

Pertumbuhan ekonomi AS juga diperkirakan akan terus melambat sebab masih banyak industri di AS yang bangkrut setelah subprime mortgage. “Pada akhirnya orang-orang sadar perekonomian AS tak akan bertahan terus. Jika ada masalah dan goncangan dalam perekonomian dunia saat ini, semua orang akan tahu episentrumnya di AS,” kata Menkeu.

Jangan lengah
Situasi menguatnya dollar AS terhadap mata uang dunia lainnya dalam seminggu terakhir ini sempat membuat pelaku pasar modal bingung. Seiring dengan itu, beberapa mata uang sempat menguat meski kemudian melemah dalam waktu yang sama cepatnya. Hal itu terjadi karena diprediksi perekonomian Uni Eropa mengalami masalah sehingga investor bingung dan memutuskan kembali ke dollar AS. Ini juga terjadi di pasar uang Indonesia. Pada penutupan Jumat (12/9), nilai tukar rupiah di level Rp 9.435 per dollar AS, merosot dibandingkan dengan 9 September 2008, yakni rupiah di level Rp 9.350 per dollar AS.

Ketua Komite Tetap Fiskal dan Moneter Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bambang Soesatyo mengingatkan pemerintah agar tidak lengah dengan pelemahan rupiah, terutama terhadap sikap spekulan pasar uang yang telah berasumsi akan terjadi tekanan terhadap euro akibat resesi di Eropa. Dengan demikian, mereka akan memborong dollar AS. Kondisi itu bisa menekan rupiah. Rupiah bisa terguncang jika menembus level Rp 9.500 per dollar AS. Diingatkan, target nilai tukar rupiah dalam APBN Perubahan 2008 adalah Rp 9.100 - Rp 9.400 per dollar AS.

KOMPAS, 15 September 2008

24 September, 2008

Ideologi Parpol = Ideologi Uang?


Ideologi partai politik ke depan lebih didasarkan pada uang, bukan hal-hal seperti keyakinan perjuangan. Kondisi ini membuat tidak ditemukan banyak perbedaan antarpartai politik. Peran figur menjadi amat penting dalam politik.

"Ini merupakan salah satu aspek dari liberalisasi politik yang terjadi, di mana peran pasar menjadi amat penting. Parpol yang umumnya masih belajar dituntut mengikuti kebutuhan pasar agar tetap eksis,” kata Wakil Sekjen Partai Golkar Rully Chairul Azwar dalam diskusi ”Kompetisi dan Kartelisasi Partai di Indonesia”, Jumat (15/8/2008) di Jakarta.

Pembicara lain dalam acara ini adalah politisi dari PDI-P, Heri Akhmadi, dan pengajar Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Gadjah Mada, Dodi Ambardi. Menurut Heri, pentingnya uang dalam politik antara lain didorong mahalnya biaya politik. ”Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan contohnya. Ada yang bilang, untuk mengangkat pasir saja ada biayanya, apalagi mengangkat seorang kepala daerah,” katanya.

Politik Indonesia yang lebih mementingkan citra dan bukan rekam jejak juga makin menambah mahal biaya politik. Sebab, untuk membuat citra, dibutuhkan sejumlah cara seperti iklan.
Besarnya biaya politik ini, tutur Dodi, telah membuat kompetisi antarparpol hanya terjadi saat pemilu. Seusai pemilu, kompetisi juga berakhir dan yang muncul adalah koalisi melebihi ukuran yang merangkum hampir semua parpol dan mengabaikan seleksi berdasarkan ideologi.

"Kelompok parpol yang bergerak bersamaan dan mengabaikan posisi ideologis serta ditambah absennya oposisi ini menyerupai kartel," kata Dodi. Munculnya kasus-kasus seperti aliran dana Bank Indonesia ke sejumlah anggota DPR periode 1999-2004 serta aliran dana dari Departemen Kelautan dan Perikanan merupakan contoh hampir semua parpol memburu rente dari dana nonbudgeter. "Hilangnya kompetisi antar-parpol seusai pemilu ini telah menghilangkan sejumlah kebajikan dalam kompetisi seperti adanya kontrol dari pihak yang kalah," papar Dodi.

KOMPAS, 16 Agustus 2008

Technorati Profile

22 September, 2008

Ketika Islam Berjumpa Demokrasi


Bagi ilmuwan politik seperti Samual P. Huntington atau ahli sejarah Islam seperti Bernard Lewis, judul buku ini pasti terasa aneh. Muslim Demokrat, bagi mereka adalah sebuah contradictio in terminis. Huntington dan Lewis pasti heran bagaimana mungkin dua kategori yang saling bertentangan disebut dalam satu tarikan nafas. Bagi mereka, semakin Islami seseorang, maka akan semakin jauh ia dari nilai-nilai demokrasi.

Selama ini, ada sejumlah pandangan umum yang menunjukkan kontradiksi diantara dua kategori tadi (Saiful Mujani, hal 32 s/d 34):
• Hipotesis pertama, semakin Islami, semakin kecil keterlibatannya dalam kegiatan masyarakat yang bersifat sekuler.
• Kedua, semakin Islami, semakin tidak toleran ia terhadap kelompok lain (terutama yang berbeda keyakinan).
• Ketiga, semakin Islami semakin jauh ia terlibat dalam politik (demokrasi).
• Keempat, semakin Islami maka akan semakin tidak percaya ia terhadap institusi demokrasi.
• Hipotesis kelima, semakin Islami, semakin besar pula penolakan atas prinsip demokrasi.
• Keenam, semakin Islami, semakin ia tidak mendukung negara bangsa sebagai sebuah komunitas politik (karena Islam lebih mengenal konsepsi ummah).
• Ketujuh, semakin Islami semakin ia tidak berpartisipasi dalam politik kecuali politik itu terkait dengan tuntutan agama.
• Kedelapan, semakin Islami semakin kecil kemungkinan ia menjadi warga yang setia (tertarik pada politik dan percaya pada institusi politik demokrasi).
• Hipotesis terakhir, seorang muslim yang tidak toleran akan cenderung aktif dalam politik.

Peneltian empiris Freedom House yang terangkum dalam indeks hak politik dan kebebasan sipil tahun 2002 mengkonfirmasikan hipotesis tadi. Selama tiga puluh tahun terakhir, hanya ada satu negara berpenduduk muslim yang dikategorikan demokratis. Sisanya yakni 35 negara masuk kategori otoritarian. Bahkan, delapan dari tigabelas negara paling represif di dunia adalah negara-negara muslim, khususnya yang ada di Timur Tengah.

Disertasi Saiful Mujani yang kemudian dibukukan ini, ingin menguji hipotesis yang dibangun oleh orang seperti Huntington dan Lewis, mengenai Islam dan demokrasi.

Beberapa Temuan
Melalui survei opini publik, Saiful Mujani menemukan sejumlah kesimpulan (baca hal 313 s/d 324) :
• Islam di Indonesia mempunyai keterlibatan dalam kegiatan kewarganegaraan sekuler. Ibadah sunnah di NU, identitas ke-Muhammadiyah-an dan jaringan keterlibatan dalam perkumpulan sesama muslim, justru memperkuat keterlibatan orang dengan kegiatan yang bersifat sekuler.
• Keterlibatan umat Islam di Indonesia dalam kegiatan keagamaan dan sekuler membuat umat Islam toleran terhadap kelompok lain.
• Pada hipotesis ketiga, Umat Islam di Indonesia justru memberikan kontribusi positif bagi munculnya partisipasi demokrasi.
• Keempat, umat Islam yang saleh di Indonesia tidak mengancam konsolidasi demokrasi.
• Ada sejumlah nilai dalam Islam yang diyakini mendukung demokrasi, yakni melalui ijtihad (penalaran rasional), ijma (konsensus), ikhtilaf (perbedaan pendapat), dan syura (konsultasi).

Saiful Mujani menyimpulkan, korelasi negatif antara Islam dengan prinsip demokrasi meragukan.
• Muslim di Indonesia sangat mendukung negara bangsa. Konsepsi tentang ummah tidak otomatis bertentangan dengan gagasan negara bangsa.
• Unsur-unsur ibadah dalam Islam justru makin memperkuat keterlibatan umat Islam di Indonesia dengan berbagai masalah masyarakat, tak hanya yang terkait dalam urusan agama.
• Dalam hipotesis kedelapan, Saiful menemukan tak ada kaitan antara keimanan seorang muslim dengan ketertarikan dengan politik dan kepercayaan terhadap institusi politik.
• Terakhir, Islamisme yang bersifat intoleran tak terkait dengan aktifitas politik. Seorang muslim yang intoleran justru cenderung tidak aktif dalam politik dan bukan merupakan ancaman bagi demokrasi.

Arti Penting
Dalam pandangan saya, buku ini menempati posisi yang sangat penting dalam kajian tentang Islam dan demokrasi kontemporer di Indonesia.

Alasan pertama, buku ini menyajikan pendekatan baru dalam ilmu politik. Selama ini, dunia ilmu politik Indonesia didominasi oleh pendekatan historis, sosiologis atau antropologis. Pendekatan antropologis ala Clifford Geertz melalui buku Religion of Java, membawa pengaruh besar bagi kajian politik di Indonesia. Penelitian tentang politik di Indonesia banyak dipengaruhi oleh Geertz. Saiful Mujani bisa disebut sebagai orang pertama yang memperkenalkan pendekatan empiris dalam dunia politik yang sebetulnya sudah berkembang sejak tahun 1960-an di Amerika Serikat.

Alasan kedua, Islam kini menjadi sorotan dunia terutama pasca peristiwa 11 September. Isu Islam dan demokrasi menjadi kajian penting apalagi bagi negara berpenduduk mayoritas muslim seperti Indonesia . Buku ini memberi sumbangan berarti tidak hanya bagi kita di Indonesia , tapi juga peneliti dari negara lain yang tertarik mengkaji hubungan antara Islam dan demokrasi.

Beberapa kritik
Meski memberikan sumbangan yang sangat penting, bukan berarti buku ini sepi dari kritik.

Kritik pertama datang atas pendekatan metodologis yang dipilih Saiful. Bukan rahasia umum, bahwa para peneliti politik dari aras lain (terutama kiri), mencibir model pendekatan empiris. Argumentasinya, bagaimana mungkin manusia (baca: sikap dan pandangannya) bisa dipilah-pilah dan dikerangkeng dalam kategori yang ketat untuk kemudian ditundukkan (baca: ditafsirkan oleh sang peneliti).

Kritik kedua, terkait pendekatan budaya yang dipakai Saiful Mujani. Pendekatan model ini banyak dikritik oleh para ahli yang mengkaji masalah demokrasi. Alih-alih menjelaskan, pendekatan ini justru dianggap kerap mengaburkan. Bahkan kita ingat, alasan budaya pernah dipakai oleh rejim otoriter untuk menolak demokrasi. Para penguasa otoriter di Asia seperti Soeharto, Mahathir Mohamad, dan Lee Kuan Yew pernah menolak demokrasi dengan alasan tak sesuai dengan nilai (baca: budaya) Asia.

Terakhir, penelitian Saiful Mujani yang dibuat antara tahun 2001 dan 2002 ini, dilakukan pada saat terjadinya perubahan drastis di dunia muslim tanah air. Pasca reformasi, kita menyaksikan bangkit dan menguatnya ke-Islam-an. Partai politik dan organisasi agama berbasis Islam muncul. Fenomena terorisme, perusakan tempat ibadah dan sejumlah peristiwa intoleransi lain mengindikasikan menguatnya konservatisme. Kalau asumsi ini benar, bisa jadi Saiful Mujani harus banyak merevisi pandangannya yang menganggap Islam di Indonesia tidak bertentangan dengan demokrasi.

Resensi Buku: Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru. Penulis: Saiful Mujani. Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2007
Peresensi: Andy Budiman. Sumber: Klub Buku dan Film SCTV
Technorati Profile

02 September, 2008

Antara Proklamasi dan Deklarasi

Teks proklamasi kemerdekaan sudah dibacakan 62 tahun lalu oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia. "Tidak ada yang luar biasa" pada peristiwa 17 Agustus 1945 itu, kecuali telah dinyatakan kepada seluruh rakyat Indonesia dan dunia bahwa kita telah merdeka. Dengan merdeka, terjadi pengambilalihan kekuasaan. Ia tidak ditunjukkan dengan kejadian luar biasa, misalnya, ada upacara sertijab (serah terima jabatan) yang dramatis dari penguasa Jepang yang kalah dari sekutu kepada Soekarno-Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta.

Kehendak merdeka
Namun, sesederhana apa pun peristiwa proklamasi itu, inilah yang oleh Jl Austin, filsuf bahasa dari Inggris, dalam buku How to Do Things with Words, disebut act of speech. Ini sama seperti mengucapkan "terima kasih". Tak ada tindakan apa pun untuk menunjukkan bahwa seseorang berterima kasih, kecuali mengucapkan kata "terima kasih" itu sendiri.
Demikian juga dengan teks proklamasi. Bahwa suatu bangsa menyatakan merdeka dan mengambil alih kekuasaan, tak ada tindakan lain selain mengeluarkan pernyataan itu sendiri, maka merdekalah bangsa itu.
Sebagai act of speech, membacakan teks proklamasi yang singkat, merupakan tindakan sederhana meski sarat makna dan sakral sehingga (kecuali para separatis) nyaris tak ada pemimpin di Indonesia yang berpikir untuk mengkhianati apa yang eksplisit terkandung dari teks proklamasi itu. Ia terlalu sederhana namun sakral. Semacam credo atau syahadat sebuah bangsa.
Namun, kini orang cenderung lupa, sebagai bangsa sebenarnya kita memiliki dokumen lain yang terkait "kehendak merdeka", selain proklamasi kemerdekaan. Inilah deklarasi yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yang oleh Bung Karno dikatakan telah "memberikan pedoman-pedoman tertentu untuk mengisi kemerdekaan nasional kita, untuk melaksanakan kenegaraan kita, untuk mengetahui tujuan dalam perkembangan kebangsaan kita, untuk setia kepada suara batin yang hidup dalam kalbu rakyat kita" (Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid II).
Namun, dalam perjalanannya, berbeda nasib antara teks proklamasi dan isi teks deklarasi. Tidak seperti terhadap proklamasi, banyak pemimpin kita (politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya) kerap mengkhianati deklarasi kemerdekaan yang menjadi "suara batin yang hidup dalam kalbu rakyat kita" itu.
Banyak dari mereka setelah terpilih sebagai pemimpin rupanya lebih sering gagal "untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial" (Alinea IV Pembukaan UUD 1945).

Deklarasi yang Ideologis
Berbeda dengan teks deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat yang jelas mengatakan tak ada sesuatu pun yang berhak merebut hak setiap orang untuk mengejar kebahagiaan pribadinya, maka teks deklarasi kemerdekaan Indonesia bertitik tekan untuk "memajukan kesejahteraan umum". Sebagai sebuah teks, deklarasi kemerdekaan, kita menegaskan watak ideologis yang komunitarian demokratik, bukannya individualisme demokratik.
Dalam sebuah kajian yang dibuat Harvard Business School, disebutkan, apa pun namanya, di dunia ini ada dua tipe ideologi, yaitu individualisme dan komuni-tarianisme. Jika individualisme lebih menekankan pada persamaan kesempatan, berbasis kontrak, hak-hak milik, daya saing untuk memuaskan kebutuhan konsumen (yakni sebagian dari masyarakat yang punya daya beli), dan peran minim dari negara, maka komunitarianisme demokratik lebih menekankan persamaan hasil (yang diharapkan kesejahteraan umum bisa maju dan kecerdasan bangsa bisa diraih), hak dan kewajiban anggota komunitas, memuaskan kebutuhan seluruh komunitas (terlepas punya daya beli atau tidak), peran aktif negara, serta bersifat holistik atau saling tergantung antarmanusia, dan manusia dengan alam.
Dari tugas pemerintahan yang hendak didirikan oleh sebuah Indonesia yang merdeka, pesan ideologis yang terkandung adalah Pancasila merupakan bagian dari tipe ideologi yang komunitarian demokratik yang menekankan peran aktif negara untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Studi dari Harvard itu juga menunjukkan, dalam kajian terhadap sembilan negara, justru negara-negara yang tradisi komunitarianisme demokratiknya paling tinggi, yaitu Jepang, Korea, Taiwan, dan Jerman, adalah negara yang paling kompetitif dalam mengatasi ketertinggalannya dalam pembangunan ekonomi dan karakter bangsanya pada era seusai Perang Dunia II.
Karena itu, perlu kiranya kita menggunakan momentum refleksi kemerdekaan ini untuk sungguh-sungguh berpikir dan berbuat berdasarkan pikiran yang sehat. Pikiran dan perbuatan yang sehat seyogianya memaknai kemerdekaan sebagai sebuah tindakan dan kehendak (atau tekad) sekaligus untuk semakin pantas kita mengklaim diri merdeka. Dalam hal ini adalah memerdekakan sebuah komunitas bangsa yang dicirikan oleh kecerdasan dan kesejahteraan umumnya yang meningkat, yang segenap dirinya dilindungi secara sengaja oleh pemerintahnya dalam sebuah negara yang sudah dimerdekakan melalui proklamasi. Inilah fungsi dan guna dari sebuah deklarasi kemerdekaan.

Perkara logika
Menurut hemat penulis, kehendak untuk mewujudkan kemerdekaan komunitas bangsa sebagai amanat deklarasi kemerdekaan bukanlah perkara etika, melainkan perkara logika.
Karena berbeda dengan apa yang dilakukan pemerintah asing yang menjajah kita yang bermaksud "mencerdaskan" dan "menyejahterakan" bangsa jajahan melalui "politik balas budi/politik etis", Pemerintah Indonesia tidak diminta berbuat etis atau membalas budi rakyatnya sendiri saat melindungi dan memajukan kesejahteraan umum mereka.
Ini adalah urusan yang logis sekaligus ideologis dari sebuah pemerintahan yang masih mau disebut sebagai pemerintah negara Indonesia. Karena ia sudah tertulis dalam bacaan pendahuluan kitabnya bangsa Indonesia merdeka, yakni Pembukaan UUD 1945 atau Deklarasi Kemerdekaan Indonesia.

Leaders, you were elected not only to lead but also to read. Dirgahayu Indonesia.

Budiman Sudjatmiko, Mantan Ketua Partai Rakyat Demokratik [PRD], Sekarang Direktur Eksekutif ResPublica Institute; dan Departemen Pemuda dan Mahasiswa DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
KOMPAS, 15 Agustus 2007