21 April, 2016

Hukum Reklamasi

Gambar Master Plan Reklamasi Teluk Jakarta.

Salah satu sebab mengapa rencana reklamasi Teluk Jakarta ribut adalah problem hukum, yakni distorsi pengaturan dan penegakan hukumnya. Distorsi hukum tersebut dikatakan sebagai salah satu sebab karena banyak sebab lain yang mendahului atau mengikuti problem hukum tersebut. Masalah ekologi, sosial, dan politik merupakan problem-problem yang secara simultan mencuat juga sebagai sumber kegaduhan dalam isu reklamasi.

Di bidang hukum banyak terjadi tumpang tindih antarperaturan perundang-undangan baik secara vertikal maupun secara horizontal. Misalnya ada berbagai undang-undang (UU), peraturan presiden, keputusan presiden, peraturan daerah, dan keputusan gubernur yang distortif. Pengaturan dan implementasi berbagai peraturan perundang-undangan tampak tidak sinkron antara yang satu dengan yang lain.

Masalah Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Zonasi untuk reklamasi Teluk Jakarta bisa disebut sebagai contoh distorsi antara pengaturan dan implementasi hukum. Raperda tersebut ternyata dibuat setelah ada keputusan gubernur untuk reklamasi. Dilihat dari kacamata hukum, pembuatan keputusan yang mendahului peraturan merupakan kesalahan yang fundamental.


Di dalam tata hukum ada hubungan yang khas antara peraturan (regeling) dan keputusan (beschikking). Regeling adalah peraturan yang bersifat abstrak ––umum, belum terkait dengan subjek tertentu–– yang menentukan berbagai ketentuan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan suatu kegiatan atau proyek. Adapun beschikking adalah keputusan yang konkret ––Individual, sudah terkait dengan subjek dan objek tertentu–– yang dibuat oleh Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara untuk melaksanakan regeling.

Pembahasan Raperda yang terkait dengan Teluk Jakarta sebagai regeling bisa dinilai salah secara hukum karena ia baru akan dibuat setelah ada keputusan atau beschikking. Gubernur telah memutuskan memberi izin reklamasi untuk beberapa perusahaan properti, termasuk Agung Podomoro Land (APL). Seharusnya keputusan dibuat setelah ada peraturannya.

Dalam kasus reklamasi Teluk Jakarta yang sekarang diributkan, karena keputusannya mendahului peraturannya, tak dapat dihindarkan timbulnya kesan bahwa raperda sebagai regeling dibuat untuk membenarkan beschikking atau keputusan yang telanjur ada. Inilah yang kemudian menimbulkan celah terjadinya kolusi dan korupsi. Pembentuk raperda bisa berkolusi dan berkorupsiria dengan pengembang yang telah mendapat keputusan untuk melakukan reklamasi.


Korupsi dan kolusi itulah yang kemudian tampaknya benar-benar terjadi dalam kasus reklamasi Teluk Jakarta. M Sanusi sebagai salah seorang anggota pembentuk perda ditangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena sangkaan (bukan lagi dugaan) penyuapan terhadapnya oleh APL.

Dalam kasus ini, seperti yang muncul dalam pendapat publik, diduga kuat APL menyuap Sanusi untuk menurunkan kontribusi APL sebagai pengembang dari 15% yang ditentukan oleh gubernur menjadi 5% di dalam raperda.

Indikasi penyuapan tersebut semakin kuat ketika Kepala Dinas Perencanaan Pembangunan Daerah (BPPD) Jakarta, Tutty Kusumawati mengumumkan melalui jumpa pers resmi bahwa usul penurunan kontribusi dari 15% menjadi 5% tersebut dilakukan M Taufik, Wakil Ketua DPRD yang juga memimpin pembahasan raperda.

Usul tersebut ditolak Gubernur. Pembahasan raperda pun ditunda sampai beberapa kali karena tidak ada titik temu dan tidak kuorum. Taufik boleh saja membantah dan mengatakan bahwa tidak mungkin ada penyuapan dalam pembahasan raperda, sebab rapat-rapat di DPRD dilakukan secara terbuka dan bisa diawasi masyarakat.

Dua bersaudara (kakak beradik), anggota DPRD DKI dari Partai Gerindra, Muhammad Sanusi dan Muhammad Taufik.

Tapi pernyataan Taufik ini bisa dibantah balik dengan pernyataan lain, yakni rapat-rapat terbuka di DPR maupun di DPRD biasanya sudah didahului dengan pembicaraan-pembicaraan tertutup di balik panggung yang melibatkan banyak pihak. Semua anggota DPR yang sudah dipenjarakan karena korupsi dalam proses pembuatan UU mulanya selalu mengatakan, tidak ada korupsi karena rapat-rapat DPR dilakukan terbuka.

Tapi tetap saja KPK memenjarakan mereka karena terbukti korupsi. Dalam kaitan dengan pembahasan raperda reklamasi, tetap saja sulit dibantah adanya korupsi karena setelah Sanusi ditangkap, presdir APL pun menyerahkan diri. Logikanya, kalau tidak ada korupsinya, untuk apa seorang presdir menyerahkan diri?

Berdasar pengalaman, kalau sudah di-OTT oleh KPK tidak seorang pun bisa lolos, sebab sebelum melakukan OTT KPK pasti mempunyai informasi lengkap tentang isi, tanggal, jam, transaksi, serta tempat pembicaraan dan pertemuan semua pihak-pihak yang terlibat. Tak mungkin KPK ceroboh melakukan OTT tanpa alat bukti yang cukup menurut hukum.

Gubernur DKI Jakarta, Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) dan Bos Agung Sedayu Grup (Agung Podomoro), Aguan (Sugianto Kusuma).

Dan itulah gunanya pembolehan penyadapan oleh KPK. Tampaknya sudah tepat yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jakarta ketika menghentikan semua proses pembangunan dan melakukan pembongkaran-pembongkaran atas bangunan-bangunan, yang dilakukan oleh pengembang di beberapa bagian lokasi reklamasi. Alasannya, pengembang baru mempunyai izin prinsip dan belum mempunyai izin operasional.

Langkah Pemerintah DKI-Jakarta itu sudah tepat, tetapi akan jauh lebih tepat jika masalahnya dikembalikan dulu ke prinsip hukum tentang hubungan antara peraturan (regeling) dan keputusan (beschikking). Prinsipnya, beschikking tidak boleh mendahului regeling. Oleh sebab itu semua izin yang sudah ada harus dianggap tidak atau belum ada dan perlu dicabut sampai selesai dan diundangkannya perda.

Setelah perda selesai barulah dikeluarkan izin-izin lagi sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang dimuat di dalam undang-undang. Meski kurang sejalan dengan kemanfaatan ekonomi, pencabutan izin-izin yang terlanjur ada itu akan lebih sejalan dengan asas kemanfaatan hukum.

Moh Mahfud MD,
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN),
Ketua MK-RI 2008-2013

KORAN SINDO, 9 April 2016