15 Februari, 2016

Sisifus pada 2016


Tentang Sisifus, Albert Camus bernarasi: “Sesosok tubuh yang meregang untuk mengangkat, menggelindingkan batu raksasa mendaki lereng berulang-ulang.”  Lalu, “Kita lihat wajah yang tegang, pipi menempel di batu, bahu menahan bongkahan pejal berlumur tanah itu, dengan satu kaki menopang …. Di ujung usaha yang lama, dalam dimensi ruang tanpa langit dan waktu tanpa dasar, tercapailah tujuannya. Sesaat kemudian, Sisifus memandang batu itu menggelinding ke bawah, tempat ia harus kembali untuk membawa benda itu ke puncak.”

Azab neraka yang harus diterima Sisifus dari dewa adalah absurditas. Ia harus membawa batu ke puncak hanya untuk melihat batu itu menggelinding turun. Begitu terus, tanpa kejelasan kapan siksaan itu akan berakhir.

Berdasarkan Al-Quran, yang menyatakan bahwa Allah menciptakan dunia dan seisinya bukan tanpa makna, banyak pemikir Muslim yang berupaya mematahkan pemikiran Eropa tentang absurditas, penalaran absurd dan manusia absurd itu. Meski demikian, bagi bangsa yang negerinya digempur teror dan konflik bersenjata tak berkesudahan, kesadaran akan absurditas selalu aktual. Juga bagi sebagian kita, manusia Indonesia.

Mayoritas bangsa kita bukan sekadar beragama, tetapi religius di segala aspek kehidupan. Setiap pengalaman dimaknai dalam kaitannya dengan kuasa Ilahi, direspons dengan doa dan harapan. Kalaupun kalah, diterima dengan pasrah dan mempertebal asa. Kriminal pun, saat terbongkar, mengatakan dengan khidmat bahwa dia sedang diberi cobaan oleh Tuhan, bukan sedang dihukum akibat dosanya. Koruptor yang tertangkap basah menerima suap bersumpah “demi Allah” di layar TV bahwa dia hanya korban fitnah lawan politik.


Ada sekelompok orang religius yang tak sungkan menista saudara seagama hanya karena berbeda mazhab. Mereka melembagakan kekuatan terorganisasi untuk melindas orang-orang yang dipandang berbeda demi klaim kebenaran pihaknya sendiri. Agama yang diajarkan di atas fondasi kedamaian dan kasih sayang, kehilangan maknanya di kalbu yang mengeras dan dipenuhi kebencian untuk dengan enteng mengkafirkan orang lain.

Mereka bertindak seakan di langit hanya ada kekosongan. Kebenaran direbut dari tangan Allah demi kepentingan kelompok. Merasa paling benar sendiri tanpa memberi ruang kepada yang lain, sama saja dengan menihilkan rahmat Ilahi.

Pernyataan Al Quran bahwa dunia dan isinya diciptakan bukan tanpa makna pun kehilangan arti pentingnya jika makna yang diisyaratkan itu dinafikan oleh tindakan manusia yang mengaku beriman. Kebenaran yang dimonopoli dan dijadikan dalih untuk mengusir orang atas nama agama dan membakar rumahnya bisa dipastikan kehilangan argumentasi.

Kekosongan langit di dunia kaum beriman merupakan contradictio in terminis. Tahun 2015 mencatat sejumlah peristiwa yang mengandung absurditas semacam ini. Kaum religius bertindak tidak rasional, yang justru mengingkari religiositas universal. Upaya para nabi melakukan emansipasi akal dan hati manusia diabaikan dengan kejumudan pra Abad Rasio.


Kehilangan orientasi
Kita adalah bangsa kreatif, rajin, optimistis, dan siap terlibat dalam berbagai persoalan sosial dan politik, minimal melalui media sosial. Generasi masa kini tumbuh positif membangun paradigma segar tentang inovasi, toleransi, dan emansipasi. Itulah sebabnya ada sikap kritis mengevaluasi fenomena “golput” dalam pemilihan umum kendati pesimisme dan skeptisisme terhadap komitmen moral politik anggota parlemen tetap dominan.

Parlemen kita masih dinodai pengkhianatan oleh sebagian wakil rakyat yang memaknai hidup dengan status kebendaan belaka. Kesadaran politik rakyat tak berbalas imbalan yang sepadan. Tahun 2015 ditutup dengan skandal memalukan di DPR, yang mempertontonkan nihilnya etika, moralitas, dan nasionalisme, serta tiada keberpihakan pada konstituen yang seharusnya dijadikan prioritas dalam setiap tindakan seorang wakil rakyat.

Jika sebagian legislator kehilangan orientasi terhadap kebenaran dan menonjolkan koncoisme membabi buta, patut dipertanyakan apakah mereka melihat hidup ini bermakna atau sekadar mengisi waktu demi snobisme sonder peduli keberartian?

Politikus kita rata-rata tampil religius. Bahasa verbal mereka tak jarang memercikkan emosi agamis dan nasionalisme bercita rasa personal. Siapa sangka, golongan ini yang menjadikan kita Sisifus. Lima tahun sekali kita dibujuk agar datang ke tempat pemungutan suara. Mereka pidato di panggung kampanye dengan bahasa agamis, lalu bersumpah selaku pejabat atau wakil rakyat dengan nama Tuhan. Kemudian, apa yang terjadi? Kita boleh menegaskan bahwa ritus lima tahunan itu merupakan tragedi Sisifus. Berulang kali kita mendorong batu ke puncak hanya untuk melihat batu itu menggelinding ke bawah kembali.


Rakyat Indonesia harus bersikap tegas terhadap kelancungan politikus. Wujud moral manusia absurd, kata Bertrand Poirot-Delpech, akan menelan habis semua yang dihadapi, tanpa harus peduli pada tatanan nilai. Ini bertolak belakang dengan persetujuan yang dipenuhi kepasrahan terhadap hal-hal yang tak dapat diuraikan maknanya.

Yang jadi masalah, kita terbiasa pasrah dan kukuh dengan sikap yang kita nilai pantas selaku umat beragama. Padahal, sikap ini yang hampir selalu menjadikan kita pecundang di hadapan moncong sedan mewah politikus busuk. Kita hanya bersandar pada makna final bahwa kelak di akhirat politikus lancung akan menuai buah amal buruknya sehingga kita bersikap lembut (baca: lemah).

Di sisi lain, kita lupa adagium bahwa nasib suatu bangsa terletak di tangan bangsa itu sendiri. Manusia politik Indonesia secara umum di abad ini tak mendalami arti penting era informasi terbuka, boleh jadi karena mereka terlalu sibuk mengukir makna hidup mewah dan berkelimpahan tanpa komitmen moral.

“Saya menilai makna hidup adalah pertanyaan yang paling mendesak,” tulis Camus mengenai subyek pemikiran absurditas. Kita tidak berurusan dengan konstatasi itu, sebab kitalah Sisifus dalam esai Le Mythe de Sisyphe. Yang penting bagi kita, menyongsong 2016, yakinkah kita bisa keluar dari jebakan labirin dan tak mengulang-ulang perbuatan yang sia-sia?

Kurnia JR,
Sastrawan
KOMPAS, 14 Januari 2016

07 Februari, 2016

Negeri Tunabudaya


Ini bukan waktunya berteori panjang. Sudah lama negeri ini bergerak ke arah ketunabudayaan meski jargon penguatan budaya terus didengungkan. Padahal, budaya adalah soal menjadi manusia.

Manusia spiritual, manusia moral, manusia estetis, dan manusia yang sadar dan berpikir. Ia berakar pada konsen-konsen kemanusiaan yang paling dalam, sebagai makhluk sekaligus pengejawantahan ketuhanan, sebagai bagian dari persaudaraan kemanusiaan, bahkan persaudaraan kemakhlukan, yang cirinya adalah memiliki fitrah cinta kebenaran, kebaikan, dan keindahan.

Segala yang kurang dari itu, betapapun dikemas dalam sofistikasi dan citra kemajuan dan peradaban, adalah anti budaya. Budaya adalah sumber keutuhan dan integritas kehidupan manusia. Dengan demikian, juga sumber kesejahteraan dan kebahagiaan hidupnya. Akibat yang kita lihat sekarang ini, manusia Indonesia makin jauh dari spritualitas-kemanusiaannya. Integritasnya tergerus, kita makin terbenam dalam banalitas. Tak ada apresiasi pada kedalaman dan keindahan.


Strategi budaya
Soal inilah yang terngiang-ngiang di benak saya saat saya bersiap-siap ketemu Pak Jokowi beberapa waktu lalu. Negeri kita sudah lama kosong strategi budaya. Dan, jangan salah, kekosongan ini bukan berarti perkembangan budaya berjalan sendiri. Melainkan, vacuum yang ada akan didesaki oleh budaya "asing", yang belum tentu sejalan secara organis dengan budaya kita.

Terkesan chauvinistik? Xenofobik? Nanti dulu. Kenyataannya sekarang, lapangan "budaya" zaman ini sudah jadi bulan-bulanan hegemoni ekonomi dan komersialisme para pemilik kapital besar. Sendirian saja kekuatan mereka (kaum kapital) sudah begitu besar. Apalagi dalam kenyataannya ia masih berselingkuh dengan kekuatan-kekuatan politik dan ideologis, yang dipaksakan lewat kekuatan mahadahsyat media massa yang menginvasi dengan derasnya. Kesemuanya itu didukung teknologi audiovisual dan IT yang luar biasa canggih dan berkembang terus dengan pesat, hingga menyusup ke dalam ruang-ruang paling privat masyarakat kita.

Saya tidak menyangkal bahwa budaya itu sudah seharusnya dinamis, sekaligus terbuka terhadap kreativitas dan unsur-unsur kebaikan yang berasal dari kesadaran persaudaraan dan persamaan manusia. Tidak, ia tidak boleh chauvinistik, apalagi nativistik. Kenyataan yang tak dapat disangkal adalah, selalu saja terjadi interaksi/akulturasi budaya yang saling memperkaya.

Budaya memang tak berkembang secara terisolasi, dalam ruang kedap pengaruh. Pada saat yang sama, budaya seharusnya berkembang secara organis. Berakar pada lokalitas dan mengembang secara alami berdasar irama (pace)-nya sendiri, sesuai dengan temperamen-khasnya, dan menyerap pengaruh yang sejalan dengan kesemuanya itu.


Kita bukan penganut keyakinan akan keunggulan satu budaya atas budaya lain, bahkan tidak juga keunggulan budaya nasional kita dibandingkan budaya-budaya lain. Kita percaya budaya apa pun menyimpan aspek-aspek positif yang berasal dari fitrah kebaikan manusia. Kita percaya bahwa setiap budaya, selama ia memenuhi syarat-syarat untuk disebut budaya ––yakni berpusar pada kebenaran, kebaikan, dan keindahan–– punya logika dan pembenarannya sendiri. Bahkan yang disebut budaya-budaya paling primitif sekalipun.

Kita percaya bahwa budaya berkembang terus, sebutlah maju kalau mau, tetapi kemajuannya tak serta-merta mencampakkan yang lama, melainkan meliputi yang lama itu dan tentu saja menjadi lebih matang. Budaya umat manusia kita yakini bersifat perenial karena, betapapun berbeda, manusia adalah manusia, di sudut bumi mana pun ia hidup, dan bagaimanapun sejarahnya. Karena itu, semua musti berbagi perihal nilai-nilai universal.

Jika kita pelajari beragam budaya umat manusia, dalam seluruh epos sejarahnya, di dalamnya selalu terkandung unsur moralitas (kebaikan), kebenaran, dan keindahan. Akarnya, boleh disebut agama atau tidak, adalah spiritualitas, yakni semacam kesadaran batin yang memandu seluruh gerak hidup manusia dan masyarakat. Kesemuanya itu menyatu dalam pandangan dunia (world view atau weltanschaung), mencakup sebuah cara pandang khas tentang Tuhan, manusia, dan alam.

Budaya Indonesia, dalam segenap kekhasannya,  pada kenyataannya berbagi unsur-unsur yang universal dengan budaya-budaya lain yang mana pun. Ia mecakup apa yang disebut sebagai tahap "primitif" (mistis/teologis/religius), tahap pra-Indonesia (metafisis, ontologis, tanpa meninggalkan yang mistis/teologis/religius), tahap Hindu, dan tahap Islam. Lalu, tentu saja tahap Indonesia "modern", yang di dalamnya tercipta sintesis baru dengan masuknya unsur budaya saintifik, positivistik.


Kehilangan kesadaran budaya
Polemik Kebudayaan dan majalah Poedjangga Baroe sudah merekam semuanya ini dengan sangat baik. Setelah masa Orde Lama dengan jargon "politik adalah panglima", Indonesia zaman Orde Baru menawarkan "budaya" developmentalis dan teknokratis. Tetapi, sedevelopmentalis dan seteknokratis itu, di zaman Orde Baru kita masih diberkahi dengan kiprah strategis pemimpin-pemimpin yang memiliki kesadaran budaya tinggi sekelas Soedjatmoko, Fuad Hassan, bahkan juga Emil Salim, dan yang lainnya.

Dengan rasa pahit ––meski tanpa kehilangan optimisme–– ingin saya tegaskan sekali lagi di sini, justru di masa pasca Reformasi, sampai hari ini, negeri kita kehilangan kesadaran budaya. Budaya seperti terlindas oleh salah kaprah dalam melihat tujuan pembangunan. Undang-undang kita boleh saja menulis dengan tinta emas bahwa tujuan bangsa, khususnya di bidang pendidikan, adalah melahirkan manusia-manusia seutuhnya.

Dalam kenyataannya cara yang ditempuh justru memecah manusia ke dalam seonggokan jisim tanpa roh. Serba materialistik. Bukan saja ia telah menelan korban spiritualitas, moralitas, kebenaran, dan rasa keindahan, pun tak ada tujuan ekonomi bisa dicapai jika manusia Indonesia menjadi tunabudaya seperti itu. Dan, korban besarnya, itu pun kalau kita asumsikan bahwa tujuan materialistik tercapai, adalah tak kurang dari kebahagiaan manusia itu sendiri.


Maka, sebelum makin terlambat, perlu direvitalisasi suatu kesadaran kolektif bangsa yang meletakkan budaya sebagai tempat persemaian seluruh aspek kehidupan kita, sebagai manusia. Baik itu politik, ekonomi, sosial, bahkan juga agama. Ya, bahkan agama yang harus kita kembangkan pada akhirnya adalah suatu agama yang ramah budaya, kalau tak mau sama sekali disebut sebagai agama kultural, dan bukan semata agama ideologis atau hukum ––seberapa pentingnya pun ideologi dan hukum dalam agama.

Agama diberikan Tuhan untuk manusia, yang memiliki kesetiaan pada moralitas, kebenaran, dan keindahan. Bukan sekadar gejala kebangkitan agama, yang sesungguhnya lebih tepat disebut sebagai pengerasan agama, yang disertai sikap-sikap penindasan atas nama agama. Suatu agama anti budaya. Pemerintah tentu harus mengambil komando. Harus ada concerted efforts, yang memastikan bahwa semua upaya pembangunan ––di bidang apa pun–– musti sepakat untuk menjadikan pencapaian-pencapaian kultural sebagai tujuan puncaknya.

Inilah yang antara lain disampaikan Pak Jokowi dalam pertemuan yang saya ikut hadir di dalamnya itu. Beliau siap memastikan bahwa tak ada satu menteri pun boleh melupakan hal ini dalam setiap kebijakan dan program kementerian mereka. Tetapi, sudah tentu ini bukan hanya tugas pemerintah saja. Kemampuan (dan kesadaran) pemerintah terbatas. Tetapi, lebih dari itu, tak ada suatu pekerjaan sebesar dan sekolektif pengembangan budaya ini yang akan bisa berhasil tanpa keterlibatan langsung dan aktif oleh masyarakat, selaku dan sebagai rumah budaya itu sendiri.

Haidar Bagir,
Pengajar Filsafat dan Mistisisme Islam di ICAS Paramadina
KOMPAS, 9 Januari 2016