16 Januari, 2013

Paradoks Indonesia


Yang dimaksudkan dengan paradoks Indonesia adalah keadaan yang bertentangan sekali antara pandangan luar negeri yang memuji Indonesia sebagai negara yang sukses dalam berbagai hal dan pendapat di dalam negeri yang mengecam banyaknya kelemahan bahkan kegagalan.

Pujian luar negeri terakhir kepada Indonesia yang amat hebat adalah yang diberikan Inggris ketika Ratu Elizabeth II memberikan penghargaan tinggi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berupa bintang The Knight Grand Cross in the Order of the Bath. Disertai berbagai pujian kepada Presiden SBY tentang suksesnya menjadikan Indonesia negara demokrasi, keberhasilan dalam ekonomi yang membuat Indonesia mengatasi berbagai masalah, dan pujian setinggi langit lainnya. Sebelumnya sudah banyak pujian dari pemimpin negara lain, termasuk AS dan Jepang.

Namun, sebaliknya, di dalam negeri masyarakat mengalami tak sedikit berbagai peristiwa buruk: maraknya tawuran bahkan bunuh-membunuh antarsiswa SMA di Jakarta, antarmahasiswa di Makassar, antarrakyat desa di Lampung dan Sulawesi Tengah dan lain-lain.

Masyarakat merasa tak kunjung membaik kesejahteraannya, angka kemiskinan rakyat tetap tinggi, kesenjangan kaya-miskin malah terus melebar, korupsi tak kunjung berkurang. Makin banyak orang bicara tentang Indonesia sebagai negara gagal.


Bukan Burung Unta
Paradoks ini tidak baik untuk bangsa Indonesia dan mengindikasikan kelemahan struktural berat. Tentu kita senang presiden kita dapat penghargaan tinggi dan pujian di luar negeri. Namun, kita bukan burung unta yang memasukkan kepalanya dalam pasir untuk tidak melihat kondisi sekelilingnya yang parah.

Kita bagian dari masyarakat yang masih sangat menderita yang tujuan hidupnya sejak 17 Agustus 1945 adalah hidup dalam masyarakat yang maju-adil-sejahtera dalam negara Indonesia Merdeka.

Untuk itu, seluruh bangsa sepakat bahwa dasar bagi negara Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat adalah Pancasila sebab Pancasila tak hanya mengandung nilai-nilai yang sesuai dengan perjuangan hidupnya, malah merupakan jati diri bangsa Indonesia.

Bung Karno, presiden pertama kita, menegaskan bahwa Pancasila bukan hasil kreasi beliau, melainkan beliau gali dari akar-akar kehidupan bangsa. Maka, dapat dikatakan bahwa paradoks Indonesia adalah akibat kelalaian bangsa Indonesia, khususnya para pemimpinnya, untuk secara konsekuen mengimplementasikan Pancasila. Padahal, semua pihak, ya pemimpin, ya rakyat, masih mengakui Pancasila sebagai dasar negara.

Sikap munafik ini adalah akibat perkembangan dalam perjuangan bangsa. Ketika pada 27 Desember 1949, Belanda dan masyarakat internasional mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia, bangsa Indonesia yang keluar sebagai pemenang dari perjuangan bukan hanya para pejuang yang secara gigih berjuang, melainkan juga orang-orang Indonesia yang awalnya memihak penjajah akhirnya juga menjadi bagian dari Indonesia.


Para pejuang kemerdekaan rela dan legowo menerima mereka, satu sikap hidup yang baik sesuai dengan ajaran leluhur kita. Namun, sebenarnya setelah itu para pejuang kemerdekaan harus menjamin dan mengamankan bahwa NKRI dibangun sesuai dengan Pancasila agar masuknya para nonpejuang bahkan lawan-pejuang dalam barisan Indonesia jangan sampai merusak bangsa Indonesia. Inilah hal yang diabaikan para pejuang sejak 1950.

Tak ada usaha konsolidasi negara Pancasila, namun negara malah dibawa ke alam politik dan ekonomi yang bukan-Pancasila. Akibatnya, timbul kesempatan dan peluang bagi mereka yang pada dasarnya tak sepaham dengan perjuangan kebangsaan Indonesia untuk timbul kembali dan semakin kuat. Mereka bahkan mendapat dukungan luas dari negara-negara yang banyak kepentingannya di Indonesia dan kurang setuju Indonesia menjadi negara Pancasila yang efektif dan kuat.

Buat mereka, Indonesia boleh merdeka, tetapi dalam satu negara yang berpaham liberalisme atau dalam negara komunis atau negara Islam sesuai dengan kepentingannya.

Setelah terjadi Reformasi pada 1998, pihak yang paling kuat adalah yang berpaham liberal Barat. Meskipun yang berpaham komunis berusaha bangkit kembali, kekalahan blok komunis dalam Perang Dingin cukup berpengaruh. Yang mau menegakkan negara Islam, makin besar pula dukungannya dari Timur Tengah, tetapi belum dapat mengimbangi kaum Barat.

Maka, Reformasi yang memang diperlukan bangsa Indonesia untuk menjadikan negara Pancasila satu kenyataan telah menjadi sasaran kaum Barat dan mereka berhasil membajaknya. Bukti sukses pertama mereka adalah UUD 1945 yang diamandemen sehingga mulai menjauhi Pancasila. Tentu itu buat kaum Barat baru merupakan hasil pendahuluan yang harus diikuti keberhasilan lainnya.


Sejak Soeharto
Sebetulnya sejak kepemimpinan Soeharto, kaum Barat sudah membuat inroads yang penting. Mereka berhasil membawa pengendalian ekonomi makin meninggalkan Pasal 33 UUD 1945 sebagai implementasi Pancasila. Meskipun Pasal 33 secara formal tak diganggu, pengendalian ekonomi secara nyata makin dipedomani paham liberalisme Barat.

Buat mereka yang berpandangan Barat atau mengutamakan pandangan Barat, tidak soal bahwa rakyat Indonesia masih banyak yang miskin. Yang penting, Indonesia sesuai dengan kepentingan mereka, baik AS maupun Inggris. Bahwa Indonesia sekarang mendapat pujian dan penghargaan Barat, itu berarti bahwa Indonesia buat mereka sudah on the right track.

Buat orang yang berpikiran Pancasila, tak ada keberatan bahwa Barat senang dengan Indonesia sebab kita selalu mengusahakan hubungan yang selaras dan harmonis dengan bangsa lain. Namun, hubungan harmonis itu hanya bisa ada kalau bangsa Indonesia sendiri juga mengalami kehidupan dan perkembangan sesuai dengan tujuan hidupnya. Tak mungkin hubungan itu harmonis kalau jutaan rakyat Indonesia masih hidup miskin, dalam ukuran Bank Dunia yang didominasi Barat itu: di bawah 2 dollar AS sehari. Adapun kekayaan bumi Indonesia dikeruk perusahaan Barat untuk menjadikan bangsa mereka menjadi makin kaya.

Marilah para pejuang yang masih ada mengingatkan para pemimpin kita yang berkuasa jangan bangga adanya paradoks Indonesia, tetapi lebih memperhatikan bangsanya sendiri. Boleh berbangga telah mencapai pertumbuhan ekonomi 6,5 persen kalau bersamaan dengan itu rakyat petani dan nelayan di desa-desa makin sejahtera hidupnya dan kemiskinan makin hilang dari kehidupan Indonesia.

Sayidiman Suryohadiprojo
Mantan Gubernur Lemhannas
KOMPAS, 24 November 2012



Paradoks Indonesia Itu

Tulisan Sayidiman Suryohadiprojo di Kompas (24 November 2012), “Paradoks Indonesia”, amat menarik karena menyentuh jantung persoalan Indonesia. Mantan Gubernur Lemhannas itu mengemukakan paradoks Indonesia, antara lain tentang pandangan luar negeri yang memuji Indonesia sebagai negara yang sukses dalam berbagai hal, tetapi pendapat di dalam negeri mengecam banyaknya kelemahan bahkan kegagalan.

Seluruh bangsa sepakat bahwa dasar bagi negara Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat adalah Pancasila sebab Pancasila tidak hanya mengandung nilai-nilai yang sesuai dengan perjuangan hidupnya, malah merupakan jati diri bangsa.

Paradoksnya, para pemimpin Indonesia lalai secara konsekuen mengimplementasikan Pancasila. Purnawirawan tinggi TNI tersebut berpendapat bahwa paradoks itu tidak baik untuk bangsa Indonesia dan mengindikasikan kelemahan struktural berat.


Empat Contoh
Pada hemat saya, empat contoh gambaran paradoks Indonesia berkontribusi memperburuk wajah Indonesia.

Pertama, Presiden Soekarno adalah penggali Pancasila dan Presiden Soeharto mendasarkan kebijakan pemerintahannya berdasarkan Demokrasi Pancasila. Paradoksnya, mereka pulalah pelanggar utama Pancasila.

Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Pasal 1 menyebut penyelenggaraan negara bersendikan kedaulatan rakyat. Namun, dalam implementasinya, pada era Orde Lama hanya Presiden Soekarno yang berdaulat dan pada era Orde Baru hanya Presiden Soeharto yang berdaulat.

MPRS/MPR setelah menerima kedaulatan dari rakyat lalu menggadaikan kedaulatan itu kepada penguasa rezim. Kehadiran lembaga itu hanya melegitimasi kehendak kedua penguasa rezim itu. DPR pun hanya mengamini keinginan pemerintah.

Kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan berekspresi hanya berlaku bagi para pendukung penguasa rezim. Pers yang berani mengungkap kelemahan penguasa diberedel dan atau wartawannya dipenjarakan. Penyelenggaraan negara oleh Presiden Soekarno dan Soeharto yang otoriter dan tak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila berakibat ikutan: masing-masing dilengserkan rakyat pemilik kedaulatan.


Kedua, beda temuan tentang karakter dan jati diri manusia Indonesia. Bung Karno penggali Pancasila mengatakan Pancasila adalah dasar filosofis-pandangan hidup untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.

Sementara itu, lewat pemberitaan harian Indonesia Raja sejak 1956 dan buku Manusia Indonesia (1977), wartawan Mochtar Lubis mengungkapkan temuannya: manusia Indonesia memiliki karakter dengan kelemahan berkecenderungan korup, munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya takhayul, tidak hemat dan boros, tidak senang bekerja keras dan cenderung bermalas-malas, bisa kejam, mengamuk, dan membakar.

Paradoksnya, kelemahan-kelemahan manusia Indonesia itulah yang sekarang ini menjadi penyakit kronis yang sedang menggerogoti negara ini. Sementara itu, Pancasila dicitrakan sebagai “keuangan yang mahakuasa; korupsi yang ‘adil’ dan ‘merata’; persatuan mafia hukum Indonesia; kekuasaan yang dipimpin oleh nafsu kebejatan dalam persekongkolan dan kepura-puraan; kenyamanan bagi keluarga pejabat dan keluarga wakil rakyat”.

Ketiga, para pemimpin Indonesia bersikap tidak konsekuen mengimplementasikan Pancasila. Dalam tulisannya, “Pancasila Versus Liberalisme” (Kompas, 23 April 2012), Ketua Dewan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat Kiki Syahnakri mengatakan, “Pascareformasi 1998, kehidupan berbangsa-bernegara di Indonesia praktis dikuasai oleh liberalisme. Liberalisme berhasil mengerdilkan dan mengalienasikan Pancasila.”

Dalam pertemuan bertema “Kembali ke Pancasila” di TMII, Jakarta, Kamis (5/7/2012), yang digelar Gerakan Pemantapan Pancasila, dibagikan makalah “Pokok-pokok Pikiran Revitalisasi Pancasila” oleh mantan Wakil Presiden Try Sutrisno. Katanya, “Setelah gagalnya ideologi komunis di Uni Soviet pada akhir dekade 1980-an, ideologi liberal menjadi acuan bagi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Dengan pengalaman reformasi yang memasuki tahun ke-14 dewasa ini, seharusnya kalangan reformis yang beraliran liberal segera kembali ke Pancasila.”


Pendapat yang disuarakan tiga purnawirawan tinggi ABRI itu semacam peringatan dini bagi pemimpin bangsa. Paradoksnya, mengapa ketika mereka sudah purnawirawan dan sepuh baru menyuarakan peringatan itu? Ketika aktif sebagai bagian dari kekuasaan pada era Orde Baru, mereka hanya diam ketika nilai-nilai Pancasila disimpangkan.

Keempat, amandemen konstitusi masih dipolemikkan. Dalam artikelnya, Sayidiman berpendapat, “Reformasi yang memang diperlukan bangsa Indonesia untuk menjadikan negara Pancasila menjadi satu kenyataan telah menjadi sasaran kaum Barat dan mereka berhasil membajaknya. Bukti sukses pertama mereka adalah UUD 1945 yang diamendemen sehingga mulai menjauhi Pancasila.” Sebaliknya, pendukung amendemen meyakini perubahan itu justru untuk meluruskan UUD 1945 yang atas nama Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila telah diselewengkan oleh rezim tersebut.

Isi pokok amandemen itu antara lain presiden dan wapres dipilih langsung oleh rakyat dan hanya boleh memegang jabatannya maksimal dua kali. Pasal 28 dikembangkan menjadi Pasal 28 A sampai 28 J menjadi landasan konstitusional perlindungan HAM. Pasal 18 Ayat (2), (5), (6), dan (7) jadi landasan penyelenggaraan otonomi daerah. Pasal 28F mempertegas hak berkomunikasi dan memperoleh informasi, serta hak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, serta mengolah dan menyampaikan informasi adalah hak konstitusional warga negara.

Bahwa masih ada sejumlah tokoh lama yang masih merindukan dan memaknai UUD 1945 sesuai dengan konsep Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila, kecenderungan seperti itu adalah bagian dari paradoks Indonesia.

Sabam Leo Batubara
Manggala Pancasila (1996)
KOMPAS, 3 Januari 2013

04 Januari, 2013

China Selalu Mulai dari Dasar


Pada tahun 1992 atau 13 tahun setelah China mulai mempraktikkan dua sistem dalam satu negara, kota Beijing, Shanghai, dan Guangzhou masih merupakan kampung raksasa. Infrastruktur buruk dan kemiskinan menyeruak secara dramatis. Jangankan dengan ukuran dunia, dengan skala Asia saja perekonomian China saat itu sungguh ketinggalan!

Beijing, ibu kota negara dengan penduduk 1,4 miliar jiwa ini, sangat memelas. Pada malam hari, kota gelap gulita karena tidak banyak kawasan ibu kota diterangi lampu penerangan. Gedung-gedung tinggi mematikan lampunya pada malam hari. Akibatnya jalan-jalan kota, terutama jalan-jalan besar, disungkup gulita.

Pada pagi hari, mulai pukul 06.00, semua jalan raya di Beijing yang umumnya terdiri atas enam lajur sampai sepuluh lajur penuh sesak oleh arus manusia bersepeda. Ratusan ribu bahkan jutaan manusia bersepeda melaju cepat laksana ombak yang menerjang-nerjang dan mengarus deras. Mereka memenuhi ratusan kilometer jalan-jalan di Beijing dan sekitarnya. Banyak juga mobil dan bus, tetapi jumlahnya tak sebanding dengan sepeda. Tak ayal, mobil-mobil seakan tenggelam dan tergulung ombak lautan manusia bersepeda. Pemandangan dramatis ini sungguh menggetarkan.

Kemiskinan rakyatnya terasa menyesakkan. Pada umumnya flat-flat tidak dilengkapi dengan lift. Daya beli masyarakat rendah karena gaji mereka di bawah standar. Di desa-desa, keadaannya lebih memelas lagi. Jalan-jalan antar-provinsi buruk. Perjalanan dengan bus, yang menempuh jarak 400 kilometer, acap ditempuh selama 26 jam. Bandara penuh sesak manusia yang ingin terbang ke pelbagai kota. Mereka mesti antre beberapa pekan untuk mendapatkan tiket pesawat karena sedemikian banyaknya warga yang ingin bepergian tak sebanding dengan jumlah pesawatnya.


Akan tetapi, walau dengan determinasi yang amat tinggi itu, China tetap terus maju ke depan. Pertumbuhan ekonomi dan investasi tinggi, dua instrumen yang akan memakmurkan China dan membuka lapangan pekerjaan, terus dipacu dengan kecepatan luar biasa. Bayangkan, pertumbuhan ekonomi berlari cepat: rata-rata di atas 13 persen per tahun. Negara mana yang mampu memacu pertumbuhan ekonominya sedemikian tinggi seperti itu?

Lalu pada tahun 2012 atau “hanya” 20 tahun sejak saat dramatis dan memelas itu, China kini sudah menjelma menjadi negara raksasa dengan kekuatan ekonomi nomor dua di dunia. Cadangan devisanya saja 3,25 triliun dollar AS. Bahkan Amerika Serikat yang kini masih bertakhta sebagai negara dengan kekuatan ekonomi nomor satu di dunia, Jepang di urutan nomor tiga, Jerman di urutan nomor empat, dan Inggris di urutan nomor lima tidak mempunyai cadangan devisa sebanyak itu. Hal yang menarik, ekonomi Amerika Serikat selamat dari krisis ekonomi yang berat karena China turun tangan memberi dana talangan dan membeli saham perusahaan-perusahaan raksasa Amerika Serikat. Kini keadaannya terbalik, Amerika Serikatlah yang berutang pada China. Amerika Serikatlah yang memohon bantuan “Negeri Tirai Bambu” itu. Yang hebat, keadaan berbalik hanya dalam tempo 20 tahun.

Apa yang membuat China mampu membalikkan keadaan “dalam waktu sekejap” itu? Inilah pertanyaan yang banyak mengemuka saat ini. Mengapa negara yang terengah-engah akibat Revolusi Kebudayaan (1966-1976) serta miskin karena sangat menutup diri itu dapat seketika menjadi negeri raksasa ekonomi dan bahkan politik?

Menurut pengamatan Kompas, juga menurut pengakuan warga China, selama puluhan tahun tertutup dan tidak nyaman selama era Mao tidak membuat bakat bisnis yang hebat, pantang menyerah, dan etos kerja rakyat China lenyap. Maka ketika Deng Xiaoping mencanangkan sistem “dua sistem dalam satu negara”, China dengan cepat dapat mengubah diri.


Deng yang tenang dan brilian tidak langsung menerapkan sistem “dua sistem dalam satu negara” tersebut di seluruh negara (wilayah). Ia menjadikan beberapa kota semacam laboratorium ekonomi, di antaranya Shenzhen di selatan China. Diam-diam, tanpa banyak hiruk pikuk, China menyerap investasi asing hingga triliunan dollar Amerika Serikat, angka yang sangat fantastis. Sebagai perbandingan, Indonesia berharap menyerap investasi asing sebesar 50 miliar dollar Amerika Serikat per tahun saja susahnya bukan main.

Pemimpin China mampu meletupkan semua bakat rakyatnya untuk melonjakkan pertumbuhan ekonomi. China pun, terutama pada masa awal penerapan sistem “dua sistem dalam satu negara”, mengajak para usahawan dunia keturunan Tionghoa untuk membangun usaha di daratan China. Yang paling mencolok menanam investasinya adalah usahawan Hongkong, Makau, Taiwan, dan dari pantai barat Amerika Serikat. Para industriawan Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang akhirnya juga ramai-ramai membuka industri di China. Inilah salah satu faktor pemicu amat tingginya pertumbuhan ekonomi China.

Akan tetapi, terlepas dari aspek-aspek tersebut, ada sejumlah faktor menentukan yang membuat ekonomi China berkembang luar biasa. Pertama, pembangunan infrastruktur sangat luas dan menyentuh pelosok-pelosok pedalaman China. Ini secara signifikan memacu ekonomi, membuka sekat-sekat daerah yang selama ini tertutup, dan membuat rakyat leluasa bergerak. Bayangkan, setiap tahun, jalan raya yang dibangun mencapai paling kurang 70.000 kilometer. Ini belum termasuk sarana lain, seperti bandara-bandara dengan luas minimal setara Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Lalu pelabuhan-pelabuhan samudra pun dibangun di banyak kota besar di China.

Salah satu hal yang mencolok adalah sarana jalan di kota-kota tier satu China, di antaranya Beijing, Shanghai dan Guangzhou. Di Beijing, misalnya, meski sudah ada subway, namun jalan tol dan jalan lingkar tetap dibangun. Jalan lingkar di Beijing kini berjumlah lima buah, dan jalan lingkar keenam sedang menunggu penyelesaian. Bandingkan dengan Jakarta yang menyelesaikan satu jalan lingkar saja sudah terengah-engah.


Kedua, China membangun kawasan-kawasan industri dalam bentuknya yang raksasa. Industri pesawat terbang, kapal selam, kapal angkutan, senjata api, mobil rakyat kecil dan mobil luks, sepeda motor, hampir semua barang elektronik, serta pelbagai kebutuhan manusia lainnya dibangun dengan kapasitas serba besar.

Industri-industri China berkembang jauh dari dugaan awal. Mengapa? Sederhana saja, pasar dalam negeri China sendiri memang amat luas. Bayangkan, misalnya, industri pena, sepatu, dan pakaian jadi. Berapa produksinya setiap tahun? Kalau setiap penduduk China menggunakan dua pena setiap tahun, satu (saja) pasang sepatu setiap tahun, dan dua lembar pakaian setiap tahun, lalu jumlah penduduk China mencapai 1,4 miliar jiwa, maka pabrik di China mesti memproduksi masing-masing 2,8 miliar pena, 1,4 miliar pasang sepatu, dan 2,8 miliar pakaian setiap tahun.

Bisa dibayangkan betapa sibuk industri dalam negeri memenuhi kebutuhan domestik, padahal, China adalah eksportir pelbagai jenis pena, pakaian, sepatu, dan beragam produk lain. Konsumen tinggal pilih, produk asli (bukan tiruan) atau produk KW1 atau KW2. Hal yang menarik diamati adalah siapa yang bisa melawan China yang memproduksi aneka jenis barang dagangan dengan cara massal begitu? Bukankah prinsip ekonomi yang sangat mendasar adalah semakin besar kapasitas industri, maka efisiensi bisa diraih. Artinya adalah negara lain pasti susah melawan harga (efisiensi) yang disodorkan China.

Ada kisah menarik tentang hal ini. Suatu ketika ada produk korek api gas Jerman yang laris manis. Pengusaha China melihat ini sebagai peluang, lalu ia membuat juga korek api yang sama mutunya. Namun, kalau produk Jerman hanya menghasilkan warna api merah, produk pengusaha China bisa menghasilkan tiga warna api, yakni merah, kuning, dan biru. Hal ini masih ditambah harga jual separuh dari harga korek api buatan Jerman. Bisa diduga produk Jerman langsung kalah di pasar.

Contoh ini hanya beberapa kisah tentang superioritas ekonomi China yang sangat fantastis dalam waktu singkat. Dalam beberapa hal kita bisa menarik pelajaran, di antaranya karakter kerja keras, etos kerja, dan naluri bisnis.

Abun Sanda
Wartawan Kompas
KOMPAS, 2 Januari 2013