17 April, 2019

Nasionalisme


Kebangkitan “ultra kanan” (far right) di sejumlah negara Barat belakangan ini dirasakan meningkat. Pandangan kelompok ini bercirikan anti-imigran, xenofobia, anti-semitisme, Islamofobia, dan supremasi kulit putih.

Paham demikian merupakan antitesis terhadap demokrasi karena demokrasi hakikatnya menghargai pluralisme, toleransi, persamaan hak, dan kebebasan individu.

Meskipun dari segi jumlah pengikutnya relatif masih kecil, paham “ultra kanan” sedikitnya telah tersebar di 13 negara Eropa (Jerman, Perancis, Belanda, Polandia, Yunani, Hongaria, Swedia, Austria, Denmark, Italia, Slowakia, Ceko, Yunani) dan Amerika Serikat. Peristiwa pembunuhan massal di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, pada 15 Maret 2019 memberi sinyal bahwa “ultra kanan” juga telah hadir di sana. Namun, perlu dicatat, mayoritas masyarakat Barat menolak “ultra kanan”.

Sikap anti terhadap pendatang disinyalir merupakan salah satu faktor penyebab menguatnya "ultra kanan". Membanjirnya imigran ke negara-negara Eropa, Amerika, dan Australia dinilai kelompok ini sebagai "invasi" terhadap tanah leluhur. Mereka menolak multi kulturalisme. Dari sudut pandang "ultra kanan", identitas nasional sebuah bangsa didasarkan pada kesamaan etnis. Di sini kebangkitan "ultra kanan" seiring menguatnya ideologi nasionalisme berdasarkan etnis atau etnonasionalisme.


Sejarah nasionalisme
Sebagai sebuah ideologi, nasionalisme merupakan konsep yang relatif baru. Tahun 1750, dunia didominasi pemerintahan kekaisaran yang bersifat multinasional, seperti Austria, Britania, China, Ottoman, Rusia, dan Spanyol. Ketika 1775 terjadi Revolusi Amerika, disusul Revolusi Perancis pada 1789, kekaisaran itu pun satu per satu runtuh. Dan doktrin nasionalisme lantas menyebar ke Benua Eropa dan Amerika. Dua abad kemudian, secara berangsur kekaisaran diganti dengan negara-bangsa (nation-state). Tahun 1950, sekitar 70 persen pemerintahan di dunia berbentuk negara-bangsa.

Eropa abad ke-16 sampai ke-18 ditandai perang berkepanjangan antara kekuasaan sentralistik kekaisaran dengan wilayah-wilayah subordinasinya (“provinsi”). Di tengah berkecamuknya perang, timbul kesadaran dari rakyat di banyak wilayah bahwa penguasa harus memerintah demi kepentingan rakyat. Di sinilah mulai bersemi konsep nasionalisme, di mana penguasa (dinasti) ataupun rakyat merupakan satu unit politik yang memiliki asal-usul sejarah dan tujuan yang sama. Pada saat bersamaan muncul tuntutan supaya penguasa berpihak pada kepentingan rakyat, bukan kepentingan dinasti.


Ideologi nasionalisme berkembang pesat dan menjelma menjadi pilar yang kokoh dari sebuah negara-bangsa. Sejarah membuktikan, pengusung konsep negara-bangsa, seperti Perancis, Amerika Serikat, dan Belanda, ternyata secara militer jauh lebih kuat ketimbang kekaisaran. Negara-bangsa dapat membuktikan mereka mampu mengalahkan pemerintahan kekaisaran di medan pertempuran. Dari tahun 1816 sampai 2001, 70-90 persen peperangan melawan kekaisaran dimenangi negara-bangsa.

Dalam konteks sejarah Indonesia, ideologi sekaligus gerakan nasionalisme tampil bukan untuk memerangi kekaisaran, melainkan perlawanan terhadap penjajahan. Kemenangan nasionalisme Indonesia berujung pada pembentukan negara-bangsa pada 17 Agustus 1945 yang kemudian dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.


Etnonasionalisme
Etnonasionalisme merupakan salah satu varian nasionalisme di mana bangsa disadari sebagai sebuah entitas masyarakat dalam wilayah negara yang terbentuk atas dasar kesamaan etnis. Di sini bangsa direkonstruksi sebagai imagined community yang homogen berdasarkan kesamaan bahasa, warna kulit, keyakinan, atau nenek moyang. Dalam hubungan ini, kaum pendatang dari etnis berbeda akan dipandang sebagai orang luar atau “mereka” karena bahasa, warna kulit, keyakinan, dan garis keturunan yang berbeda.

Secara umum, pendukung etnonasionalisme menentang kaum imigran karena alasan keamanan, ekonomi, dan budaya. Mereka menuduh kaum pendatang merupakan sumber tindak kejahatan, membebani ekonomi, sulit berintegrasi dengan penduduk asli, bahkan dalam konteks Eropa dinilai akan menghancurkan bangsa Eropa yang berkulit putih. Pembunuhan terhadap 77 orang di Norwegia tahun 2011 yang dilakukan Anders Breivik bermotif sikap anti-pendatang.

Dalam perspektif universal, etnonasionalisme tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan karena sifatnya yang diskriminatif dan rasistis. Etnonasionalisme identik dengan intoleransi dan ketidakadilan, bahkan dinilai tidak manusiawi. Perang antara etnis Hutu dan Tutsi di Rwanda yang bereskalasi pada 1994 dapat menjelaskan hal ini.


Nasionalisme Indonesia
Bagi Indonesia, yang ditakdirkan sebagai masyarakat majemuk, akan sulit memilih etnonasionalisme sebagai pilar kebangsaannya. Sejak kelahiran Boedi Oetomo tahun 1908 yang diikuti dengan berbagai organisasi kebangsaan lokal, para perintis dan pendiri negara telah berkeyakinan perlunya melahirkan sebuah bangsa atas dasar fondasi keragaman.

Lahirnya Sumpah Pemuda 1928 yang bermuara pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan disahkannya UUD 1945 sehari sesudah proklamasi merupakan peristiwa bersejarah di mana nasionalisme Indonesia terbentuk. Fenomena nasionalisme Indonesia dalam literatur modern kemudian diklasifikasikan sebagai nasionalisme-kewarganegaraan (civic nationalism).


Pandangan nasionalisme-kewarganegaraan jelas bertolak belakang dengan etnonasionalisme. Prinsip dasar nasionalisme-kewarganegaraan adalah kehendak untuk hidup bersama dalam keragaman tanpa membedakan suku, agama, ras, warna kulit, ataupun tanah kelahiran. Seluruh warga negara merupakan bagian atau anggota dari bangsa tersebut. Nasionalisme ini menghargai keragaman, toleransi, persamaan, dan hak-hak individu yang sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi.

Nasionalisme-kewarganegaraan sebagai perekat dan pemersatu bagi negara-bangsa Indonesia ke depan perlu terus dilestarikan dan dikembangkan. Dalam kaitan Pemilihan Umum 2019, bagi presiden-wakil presiden atau wakil rakyat yang terpilih, melestarikan semangat nasionalisme-kewarganegaraan merupakan sebuah tugas serta kewajiban yang mulia demi terwujudnya Indonesia yang bersatu dan damai.

A Agus Sriyono
Diplomat Senior dan Pemerhati Masalah Internasional
KOMPAS, 8 April 2019