19 Februari, 2010

facebook, fuckbook, fearbook … or falsebook ?


Lagi, Remaja Jadi Korban Facebook

Pertemanan lewat facebook kembali menelan korban remaja. Setelah Marietta Nova Triano (14), siswi SMP Surabaya yang menghilang dari rumah tantenya di Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan, kali ini hal tersebut menimpa AS (14), warga Ciledug, Kota Tangerang. Korban menghilang bersama AMJ (21), warga Ngawi, Jawa Timur, dari rumah selama empat hari, sejak tanggal 1 hingga 4 Februari. Mereka ditangkap saat berada di sebuah hotel di Cibitung, Bekasi, Kamis (4/2/2010) pekan lalu.

"Pelakunya sudah kami tahan di sini. Sementara itu, korbannya sedang menjalani rehabilitasi kejiwaan," kata Kepala Kepolisian Resor Metro Tangerang Komisaris Besar Maruli CC Simanjuntak kepada wartawan, Kamis (11/2/2010).

Maruli sempat bertanya jawab dengan tersangka. Dalam tanya jawab tersebut tersangka yang merupakan pengangguran itu mengaku bahwa AS adalah korban rayuan yang keenam. Lima korban lainnya, semuanya siswa SMA, telah dirayu dan disetubuhi dengan motif berkenalan langsung dan akhirnya mengajak tidur di hotel. Sementara itu, AS adalah satu-satunya korban yang dikenal AJM melalui jaringan elektronik tersebut.


Kenal dua bulan
Tersangka mengenal korban melalui facebook sejak tanggal 29 November 2009. Dalam komunikasi melalui dunia maya itu, keduanya saling tukar nomor telepon genggam dan alamat rumah.

Selama dua bulan mereka saling berkomunikasi secara intensif. Pada tanggal 29 Januari, tersangka memberi kabar kepada korban lewat facebook bahwa ia datang ke Bekasi dan tinggal di salah satu perumahan di Cibitung. Berbekal informasi itu, korban datang menemuinya.

Kepada orangtuanya, korban minta izin untuk mengikuti les. Namun, sejak pergi les, korban tidak pernah pulang hingga ditemukan bersama pria dalam sebuah hotel di Bekasi.

"Orangtua korban akhirnya melapor kepada polisi. Selanjutnya, bekerja sama dengan kepolisian Bekasi, kami memburu tersangka dan korban," ungkap Maruli.

Sesuai dengan janji, tersangka dan korban bertemu di depan salah satu hotel di Cibitung. Selanjutnya, mereka masuk dalam salah satu hotel di sana. Tersangka mengaku, selama menginap di hotel, ia menyetubuhi korban sebanyak lima kali.


Rp 5 juta
Maruli mengatakan, sebelum bertemu dengan teman prianya, korban sempat mencuri uang milik orangtuanya sebesar Rp 5 juta. Uang tersebut digunakan oleh korban untuk bersenang-senang dengan teman prianya.

Tersangka tidak mau menjawab saat ditanya apakah ia yang menyuruh korban untuk mencuri uang orangtuanya. Ia hanya menggelengkan kepala dan bungkam.

Maruli mengatakan, tersangka diancam dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 332 Kitab Undang-undang Hukum Pidana karena melarikan anak di bawah umur. Ancamannya hukuman penjara 5 tahun.

Mengacu dari kasus di atas, Maruli mengimbau agar setiap orangtua harus lebih memerhatikan dan mengontrol anak-anaknya, terutama yang masih di bawah umur atau belum dewasa.

Laporan wartawan KOMPAS, Pingkan E Dundu
KOMPAS.com, 11 Februari 2010
http://megapolitan.kompas.com/read/2010/02/11/17080896/Lagi..Remaja.Jadi.Korban.Facebook


Abel Ditemukan
Lah, Anak Orang Dititipkan Begitu Saja di Warnet

Stefani Abelina Napitupulu (15) alias Abel Si Kudceg, Siswi SMA Negeri 22 Surabaya yang menghilang dari rumah orangtuanya sejak Sabtu (6/2/2010) akhirnya bertemu dengan dua saudara sepupunya, Ade Hutagalung dan Lita Manurung di Warung Internet Ipos, Jalan Balai Pustaka Baru Nomor 11, Rawamangun, Jakarta Timur, Kamis (11/2/2010) pukul 12.30.

Dari sana ketiganya menuju rumah Keluarga Manurung di Jalan Alu-alu nomor 10, Rawamangun, Jakarta Timur. Selanjutnya, mereka meluncur ke Jalan Sawahlunto, Manggarai, Jakarta Selatan. Di sana Abel menunggu dijemput kedua orangtuanya, Binsar Napitupulu dan Yanti Sibarani.

Saat ditemui sejumlah wartawan di Jalan Alu-alu nomor 10, Abel mengaku bahwa hari Sabtu sore itu ia pamit kepada kedua orangtuanya melihat pertandingan basket di Development Basketball League di kawasan Jalan A Yani, Surabaya. Dari sana ia dijemput teman dekatnya berinisial JJ. Keduanya lalu ke Stasiun Gubeng, naik kereta api menuju Stasiun Jatinegara, Jaktim. Di kereta api, Abel kehilangan telepon genggamnya.

Tiba di Stasiun Jatinegara, Abel dan JJ menuju rumah orangtua JJ di belakang velodrom (arena balap sepeda) di kawasan Rawasari, Jaktim, lalu menuju Warung Internet Ipos. JJ kemudian meninggalkan Abel menuju Lampung untuk bekerja.

Nindya, salah seorang penjaga warnet, yang ditemui terpisah kemarin mengatakan bahwa Abel dan JJ ke warnet pada hari Rabu (10/2/2010) pagi. ”JJ menitipkan Abel ke saya karena katanya hendak ke Lampung untuk bekerja. Abel lalu saya ajak menginap di rumah kontrakan saya di Jalan Layur. Tentang di mana Abel dan JJ pada hari Minggu sampai hari Selasa, saya tidak tahu,” ujarnya kepada wartawan.


Sebelumnya, Lita mengatakan, setelah tiba di Jakarta, kedua remaja ini tinggal di warnet. ”Itu penjelasan Abel sendiri. Saya juga heran, kok Abel enggak menghubungi ayah-ibu atau keluarganya? Dia juga tidak kelihatan menyesal atau sedih. Cuma kelihatan bingung waktu ditinggal JJ,” tutur Lita.

Abel mengaku telah mengenal JJ sejak kelas II SMP lewat situs jejaring sosial Friendster. Satu saat, JJ mengajak Abel meninggalkan Friendster dan memanfaatkan situs jejaring sosial facebook. Menurut Lita, bukan sekali ini Abel kabur ke Jakarta menemui JJ. ”Tanggal 3 Desember lalu, dia kabur ke Jakarta menemui JJ. Pada kasus yang sekarang, JJ-lah yang menjemput Abel di Surabaya,” ucap Lita.

Menurut Lita, Prasetyo, salah satu teman facebook Abel lainnya yang akrab disapa Tio, melihat tayangan berita tentang kasus Abel di televisi. Lewat facebook, Tio yang juga kawan JJ menghubungi Abel. Abel memberi tahu bahwa ia sekarang ada di Warnet Ipos. Tio mendapatkan Abel di bilik nomor 11 warnet tersebut. Tio kemudian menghubungi orangtua Abel. Orangtua Abel lalu meminta bantuan saudara-saudaranya di Jakarta.

Abel adalah anak kedua dari empat bersaudara. Saat pergi dari rumah, Abel memakai kaus pendek warna ungu bergambar Micky Mouse dan celana ketat warna hitam.

Laporan wartawan KOMPAS, C. Windoro AT
KOMPAS.com, 11 Februari 2010
http://megapolitan.kompas.com/read/2010/02/11/20311491/Lah..Anak.Orang.Dititipkan.Begitu.Saja.di.Warnet


Mahasiswi "Korban Facebook" Ternyata Tidak Hilang

Sylvia Russrina (23), mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, Jawa Tengah, yang dikabarkan kabur dan hilang dibawa teman laki-laki "facebook-nya" sejak Sabtu lalu (6/2), ditemukan, Jumat (12/2) di Kota Jambi.

Sylvia yang merupakan warga Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi tersebut ditemukan sekitar pukul 06.00 WIB di Hotel Denis kawasan Simpang Rimbo, Kotabaru Jambi, kata Kapoltabes Jambi Kombes Bobbyanto Adoe di Mapolsekta Kotabaru Jambi, Sabtu.

Ditemukannya Sylvia berkat laporan dari seseorang yang mengenali korban setelah melihat siaran berita di televisi. Warga tersebut kemudian melaporkan ke Polsek Kotabaru.

Anggota Polsek Kotabaru Jambi yang mendapatkan laporan tersebut langsung mengamankan keduanya dan dibawa ke Mapolsekta untuk dimintai keterangan.

Dari hasil pemeriksaan sementara, Sylvia tidak merasa diculik karena pergi bersama teman laki-lakinya dan mereka berdua sudah sama-sama suka dan saling mencintai.

Sementara itu, Kapolsek Kotabaru AKP Iwan Sayuti membantah bila ada pihak yang mengatakan bahwa Sylvia dilarikan dan dibawa kabur pacarnya karena berteman di dunia maya melalui jejaring sosial facebook. Keduanya pergi karena sama-sama suka dan telah kenal sebelumnya.

"Dia bukannya dilarikan, tapi mereka berdua pergi karena sama-sama suka dan sejak awal mereka berdua sudah berkenalan langsung, bukan lewat `facebook`. Mengenai telepon milik Sylvia yang tidak bisa dihubungi tersebut, itu karena rusak setelah terjatuh," katanya.


Informasi yang didapat menyebutkan, kasus itu berawal saat Sylvia jalan-jalan hingga nyasar ke Brebes, Jateng. Sylvia tidak tahu cara untuk pulang ke Semarang.

Kemudian, dia berkenalan dengan Andi di kawasan terminal di Brebes dan Andi bersedia mengantarkan Sylvia untuk pulang ke Semarang.

Berawal dari perkenalan tersebut, kemudian keduanya bertukar nomor HP dan alamat `facebook`, yang selanjutnya keduanya menjalin hubungan.

Setelah berpacaran, Andi dicarikan rumah kos oleh Sylvia dan tinggal di Kota Semarang. Hubungan yang semakin dekat tersebut membuat keduanya ingin dan berniat untuk pulang ke Kerinci guna menemui kedua orang tua Sylvia dan keduanya pulang karena sepakat untuk meminta restu hubungan mereka.

Keduanya berangkat dari Semarang sejak Kamis (4/2), kemudian singgah di Jakarta selanjutnya melanjutkan perjalanan menuju Jambi menggunakan bis antar provinsi dan akhirnya mereka sampai di Jambi pada Kamis (11/2) sekitar pukul 24.00 WIB.

Sesampai di Jambi keduanya langsung menginap di Hotel Denis dan akhirnya diamankan pihak kepolisian.

"Saat ini keduanya masih kita mintai keterangan dan akan dibawa ke Poltabes Jambi untuk dicek kondisi kesehatannya dan rencananya keduanya akan dibawa ke Semarang oleh anggota Polwiltabes Semarang yang saat ini masih diperjalanan menuju Jambi," kata Kapolsekta Iwan Sayuti.

ANTARA News, 13 Februari 2010
http://antaranews.com/berita/1266062622/mahasiswi-korban-facebook-ternyata-tidak-hilang


Anak Sekolah Korban Facebook Masih Terpukul

Edy Trisno Arifin mengaku anaknya terpukul akibat dikeluarkan dari sekolah, setelah berkomentar di jejaring sosial facebook. Bersama tiga orang temannya, mereka dituduh menghina salah seorang guru.

"Anak saya sampai saat ini masih terpukul akibat kejadian itu," kata Edy di kediamannya Jalan Brigjend Katamso, Tanjung Pinang, Sabtu (13/2/10).

Edy merupakan orang tua dari salah seorang siswa SMA 4 Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), yang dikeluarkan dari sekolah karena dituduh menghina salah seorang guru perempuan dengan kata-kata kotor. Dia menuturkan, anaknya AN, bersama tiga orang temannya MA, AR dan YK sudah berusaha meminta maaf kepada guru yang bersangkutan dan kepada pihak sekolah.

"Sampai tengah malam mereka dibantu teman-temannya berusaha mendatangi guru-guru di SMA 4 untuk meminta maaf. Bahkan mereka mau bersimpuh di hadapan guru-guru tersebut untuk meminta maaf dan menyatakan penyesalan, namun hanya sebagian saja guru yang bisa ditemui," ujarnya bersedih.

Yang lebih menyedihkan menurut dia, di saat dia dan istrinya melihat anak mereka hanya duduk di lantai depan kelas karena tidak diizinkan mengikuti pelajaran oleh wali kelas.

"Saya bersama ibu AN menangis di sekolah tersebut melihat anak saya tidak boleh belajar dan hanya duduk di depan teras ruang kelasnya," ujarnya sambil mengusap air mata yang menetes di pipinya.


"Kami juga kecewa kenapa pihak sekolah tidak memberikan sanksi lain selain dikembalikan kepada orang tua. Bukannya kami membenarkan tindakan anak kami, tapi karena guru adalah sama dengan orang tua siswa di sekolah," katanya.

Edy mengaku masih trauma mengingat kejadian yang menimpa anaknya tersebut, namun merasa bersyukur anaknya masih diterima di salah satu SMA negeri di Tanjung Pinang.

"Kami merasa bersyukur masih diterima di sekolah lain, karena sebelumnya salah seorang teman AN sempat ditolak oleh sekolah itu karena sekolah tersebut sudah mendapat laporan dari SMA 4 bahwa anak-anak kami melakukan perbuatan itu," ujarnya.

Edy mengaku anaknya tersebut juga aktif di sekolah dan pernah menjadi utusan sekolah ketika mengikuti lomba grafiti tingkat SMA di Kabupaten Bintan dan mendapat juara pertama.

"Dia juga tercatat sebagai anggota Paskibraka Kota Tanjung Pinang tahun 2009," ujarnya.

Dia berharap, guru-guru di sekolah proaktif dalam memberikan pengetahuan kepada siswa mengenai kerugian, bahaya maupun keuntungan dari jejaring sosial facebook tersebut, agar siswa dapat memahami.

"Sebagai orang tua di sekolah, hendaknya guru memberikan pemahaman kepada siswa mengenai bahaya maupun manfaat dari jejaring sosial facebook ataupun mengenai pengetahuan dalam mengakses dunia maya tersebut," harapnya.

KOMPAS.com, 14 Februari 2010
http://regional.kompas.com/read/2010/02/14/00011197/Anak.Sekolah.Korban.Facebook.Masih.Terpukul


Menghilang Sebulan, Siswa SMK Akhirnya Pulang

Setelah hampir sebulan menghilang, siswi SMK kelas 2, Rizkyanti Nursaidah alias Kiki, 17, akhirnya pulang ke rumahnya. Senin.

Keluarga korban mendatangi Mapolwiltabes Bandung untuk mencabut laporan kehilangan ke Sat Reskrim Polwiltabes Bandung. “Anaknya sudah ketemu, makanya kami akan mencabut laporan kehilangan. Dia masih stres dan belum bisa diwawancara,” kata Lina, 35, salah seorang anggota keluarga korban di Mapolwiltabes Bandung.

“Kondisinya sehat dan tak ada luka. Hanya dia masih belum bisa bicara banyak,” katanya lagi.

Lina sendiri mengaku belum tahu persis mengapa Kiki sampai berani meninggalkan rumah hingga sebulan. Untuk mengorek motif dibalik itu, pihak keluarga masih kesulitan karena Kiki belum bisa diajak bicara panjang. “Mudah-mudahan polisi bisa mengorek motif di balik semua ini. Siapa yang membawa dia, dan apa tujuannya hingga kini masih misterius. Kami bersyukur dia sudah pulang,” papar Lina.

Kasat Reskrim Polwiltabes Bandung AKBP Arman Achidiat menjelaskan, siswi SMK yang pernah hilang itu kini masih menjalani pemeriksaan. Oleh karena itu, pihaknya belum tahu persis motif di balik kasus ini. ”Tunggu saja hasil pemeriksaan nanti,” lanjutnya.

Lina menjelaskan, adiknya berhasil dijemput dari rumah ketua RT di Jalan Penggalang RT 10 RW 10, Matraman, Jakarta Timur. Awal terungkapnya kasus ini, korban mengirim facebook ke kakaknya dan memberikan informasi keberadaan dirinya di Jakarta.

“Kiki tahu keluarga melapor ke polisi setelah membaca beberapa media ibukota yang melansir berita siswi SMK hilang,” kata Lina.

Pos Kota, 15 Februari 2010
http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2010/02/15/menghilang-sebulan-siswa-smk-akhirnya-pulang


Siswi SMP Kabur Bersama Pacar Kenalan Facebook

Seorang siswi SMP Negeri 1 Rajadesa, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat dilaporkan kabur bersama pacarnya yang diduga dikenal lewat jejaring sosial facebook.

Kapolres Ciamis AKBP Agus Santoso SIK didampingi Kabag Binamitra, Kompol H Yudi Saprudin SH, kepada wartawan, Selasa mengatakan, korban hilang bernama Nunung Nurhayati (15) siswi kelas 3 SMP warga Kubangsari, Desa Sirnabaya, Kecamatan Rajadesa.

"Dari laporan keluarganya, dia kabur dari sekolahnya dibawa oleh pacarnya yang dikenalnya melalui facebook," kata Yudi.

Keterangan dari pihak keluarga korban, Nunung menghilang sejak Senin (1/2), dan kepergiannya itu di saat jam belajar dengan meminta izin keluar sekolah sekitar pukul 09.00 WIB.

Kata Yudi, berdasar laporan keluarga korban, kepergian Nunung dibawa kabur pacarnya yang bernama Tatang (19) warga Dusun Cigoong, Desa Sirnabaya, masih satu kecamatan dengan korban.

Sejak kehilangannya itu pihak keluarga korban bersama sekolah melakukan pencarian, namun setelah lebih dari dua pekan tidak ditemukan akhirnya melaporkan kejadian kehilangan anak ke Polsek Rajadesa.


"Kami berusaha mencari korban hingga sekarang (Selasa), namun kami akan kroscek dulu kebenarannya, apakah kenalan lewat facebook atau dari SMS, karena ini kasusnya dibawa pacarnya sendiri," kata Yudi.

Karena laporan kehilangan siswi SMP yang diduga kenalan dari jejaring sosial facebook itu, Yudi mengimbau kepada orang tua murid untuk lebih waspada dalam mengawasi anak-anak gadis mereka.

Ia menyarankan, kepada pihak orang tua agar tidak memberikan handphone mewah dengan fasilitas lengkap ke jaringan internet. Namun jika sudah terlanjur memilikinya, maka orang tua harus pandai-pandai membimbing mereka.

"Sementara pihak guru juga harus mengawasi murid-muridnya, termasuk siapa yang menjemput anak didiknya di sekolah. Bila perlu tanya dengan jelas identitasnya," katanya.

ANTARA News, 16 Februari 2010
http://antaranews.com/berita/1266319274/siswi-smp-kabur-bersama-pacar-kenalan-facebook


Sudah 100 Pengaduan Terkait Facebook ke Komnas PA

Ketua Komnas Perlindungan Anak (PA), Seto Mulyadi mengatakan pihaknya menerima setidak-tidaknya 100 laporan pengaduan tentang dampak dari penggunaan situs jejaring sosial, facebook.

"Banyaknya laporan tersebut menandakan ada yang salah dalam mendidik anak-anak dalam keluarga," kata Seto Mulyadi, disela-sela acara Simposium Nasional dengan Tema Transformasi Bangsa Menuju Masyarakat Maju, Sejahtera dan Adil, di Balai Sidang Kampus Universitas Indonesia (UI), Depok, Selasa.

Menurut dia, laporan tersebut berasal dari kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Solo, dan lainnya. "Kebanyakan memang berasal dari kota besar yang melapor," kata Kak Seto, sapaan akrab Seto Mulyadi.

Anak-anak terutama remaja, katanya, selalu mencari tempat untuk memperoleh perhatian. Kalau dulu mereka memakai surat menyurat atau radio, saat ini ada media lain yang lebih canggih yaitu facebook ataupun twitter.

"Mereka selalu mencari perhatian di luar rumah dengan menggunakan facebook. Ini harus disadari orang tua agar selalu lebih memperhatikan anaknya," jelasnya.

Menurut Kak Seto situs jejaring sosial yang marak digunakan oleh remaja merupakan tempat curhat bagi mereka, karena selama ini mereka merasa tidak diperhatikan oleh sekolah maupun keluarga.

"Mereka selalu mencari alternatif lain di luar rumah untuk mencurahkan perasaan hatinya," ujarnya.


Penggunaan situs jejaring sosial tersebut, katanya, ibarat pisau bermata dua, bisa berdampak positif maupun berdampak negatif. "Tergantung mana yang digunakannya," katanya.

Dikatakannya, sebaiknya anak tidak disalahkan atas dampak negatif yang muncul dari penggunaan facebook, karena anak hanya menjadi korban saja.

"Orang tua harus menyadari bahwa selama ini mereka telah salah dalam mendidik anak," katanya.

Begitu juga warung internet (warnet), tidak bisa disalahkan atas banyaknya kasus anak hilang karena facebook, tetapi salahkan orang tua dan pihak sekolah dalam mendidik anak.

"Pemerintah daerah yang melakukan razia ke warnet jelas merupakan pelanggaran atas hak anak," jelasnya.

Untuk itu solusi yang harus dilakukan adalah dengan mengubah cara mendidik anak, yaitu dengan cara memberi perhatian lebih kepada anak remaja. Misalnya dengan mengadakan pertemuan minimal seminggu sekali tentang apa yang menjadi keluhan anak untuk dibahas dalam keluarga.

ANTARA News, 16 Pebruari 2010
http://antaranews.com/berita/1266314137/sudah-100-pengaduan-terkait-facebook-ke-komnas-pa


Diduga Dibawa Kabur Teman
Siswa SMK Jadi Korban Facebook

“Aecha Nazara, anakku sayang, Tolong pulang, Nak. Mama dan Papa sedih serta khawatir .…” ratap Bernardus. Dia dibetot gundah-gulana plus kekhawatiran luar biasa karena anak perempuannya yang berusia 15 tahun itu menghilang sejak dua hari lalu. Aecha Nazara diduga menjadi korban teman dunia maya di jejaring sosial facebook.

Menurut ayah tiga anak ini, putrinya biasa dipanggil Kaka, tidak pernah pergi dari rumah. Hanya satu pesan singkat yang disampaikan Aecha ke HP ibunya; “Jangan cari saya, Kaka ingin mandiri, Kaka sayang mama.” Pesan perpisahan singkat serupa juga disampaikan kepada ayah dan teman-temannya.

Kecurigaan bahwa kepergian putrinya terkait dengan teman dunia maya di facebook karena beberapa bulan belakangan ini Aecha selalu sibuk dengan HP-nya. Ketika ditanya sang ayah, remaja yang bersekolah di salah satu SMK di Jaktim ini berkata, “Main facebook, Pa,” tiru Bernadus, yang Rabu (17/2) sore datang ke Redaksi Pos Kota.

Beberapa jam sebelumnya Bernadus juga telah melaporkan putrinya yang hilang ini ke Polres Jakarta Pusat dengan No.Pol: 689/ B/11/2010/RES JP.


Seragam Sekolah
Anak kedua dari pasangan Bernadus, 42, dan Yeni, 37, ini hilang sejak Selasa, 16 Febuari 2010, dengan masih memakai seragam sekolah dan tas hijau bulat besar. “Dia berangkat sekolah seperti biasa dan tidak kembali hingga kini. HP-nya juga sudah sulit untuk dihubungi, istri saya shock karena sangat khawatir,” tutur Bernardus.

Sebelum berangkat ke sekolah pada Selasa lalu, putrinya sempat mencari ijazah dan seluruh piagamnya pada Senin malam. “Saya nggak curiga, katanya buat kegiatan sekolah. Tetapi setelah kejadian begini saya berpikir, mungkin kepergiannya ini sudah direncanakan jauh-jauh hari,” lanjutnya.

Pihak keluarga kebingungan karena tidak ada permasalahan di rumah yang dapat menyebabkan kepergian Aecha secara tiba-tiba ini. “Tidak ada masalah apa-apa, makanya saya dan istri sangat khawatir dan bingung sekali. Saya juga sudah tanya pada teman-teman sekolahnya, katanya tidak ada masalah di sekolah atau dengan teman-temannya. Semuanya biasa saja,” ungkap Bernardus. Selain itu, Aecha juga tidak pernah mengenalkan siapapun sebagai pacar atau teman dekatnya. “Dia dekat sama mamanya, tetapi nggak pernah cerita tentang pacarnya,” katanya.

Pos Kota, 17 Februari 2010
http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2010/02/17/siswa-smk-jadi-korban-facebook


Pergi Bersama Teman di Facebook

Diva Erin, gadis 12 tahun yang pergi bersama lelaki teman di Facebook-nya pada Ahad lalu, akhirnya pulang kembali ke rumahnya pada Rabu (17/2).

Nasib keluarga Diva Erin lebih beruntung dibanding keluarga Tri Wahyuningsih, di Bantul. Sudah hampir dua pekan, Tri Wahyuningsih belum juga ada kabar beritanya. Ada dugaan, Tri telah dibawa kabur orang yang memperjualbelikan gadis-gadis belia lewat facebook.

Sama halnya dengan kasus Ari dan Nova. Mereka kabur setelah berkenalan lewat facebook juga. Meski mengaku suka sama suka, namun tetap saja Ari ditangkap polisi dan dijerat hukuman penjara, karena Nova masih berumur 14 tahun.

Lain halnya dengan Efendi yang harus berurusan dengan polisi, karena menggauli perempuan berumur 14 tahun yang ia kenal melalui facebook. Gadis itu ia bawa menginap di hotel selama dua hari.

Fenomena kaburnya anak di bawah umur setelah berkenalan lewat facebook yang terjadi akhir-akhir ini, patut dijadikan pembelajaran bagi kita semua sebagai orang tua. Orang tua memang harus lebih perhatian terhadap anaknya. Bergaul di dunia maya tentu tidak dilarang asal tetap bijak, agar kelak tidak muncul jadi mimpi buruk.

Tim Liputan 6 SCTV
Liputan6.com, 17 Februari 2010
http://berita.liputan6.com/hukrim/201002/264168/Pergi.Bersama.Teman.di.Facebook.Gadis.Kembali


Marak di Surabaya
Penjualan Anak untuk Bisnis Seks Melalui Facebook

Kasus penjualan anak dan remaja sebagai komoditas seks dengan modus menggunakan situs jejaring sosial facebook banyak terjadi di Surabaya.

Setidaknya, 25 laporan pengaduan dari 40 laporan yang diterima Komnas Perlindungan Anak (PA) mengenai dampak negatif facebook terhadap penculikan, pelecehan, dan penjualan anak sebagai komoditas seks pada 2010 berasal dari Surabaya.

Data tersebut disampaikan Sekjen Komnas PA Arist Merdeka Sirait saat dihubungi Kompas.com, Rabu (17/2/2010). Menurut Arist, pelaku penjualan anak biasanya mendekati korban melalui facebook hingga korban akhirnya bersedia bertemu pelaku dan menjalin hubungan.

"Dengan janji-janji palsu, chatting dulu, mengajak makan, jalan-jalan, kalau sudah mau melakukan hubungan (seks dengan pelaku), nanti difoto-foto (saat berhubungan)," ujarnya.

Arist melanjutkan, setelah mengambil gambar adegan seks pelaku dengan sang korban, pelaku kemudian mengancam korban akan menyebarkan foto-foto tersebut jika korban tidak bersedia diperjual-belikan oleh pelaku.

Terkadang ada juga pelaku kejahatan melalui facebook yang hanya memerkosa tanpa menjual sang korban. "Ada yang untuk transaksi, ada yang 'dipakai' sendiri, ada yang dibawa ke luar daerah," ujarnya.

Untuk itulah, Komnas PA mengimbau agar orang tua lebih berperan mengawasi aktivitas berinternet anak-anaknya. Arist juga menambahkan, pemerintah sudah sepatutnya mengadakan sosialisasi mengenai penggunaan internet yang sehat kepada anak-anak, remaja, orangtua, dan pihak sekolah.

KOMPAS.com, 17 Februari 2010
http://regional.kompas.com/read/2010/02/17/12175414/Penjualan.Anak.untuk.Bisnis.Seks.Melalui.Facebook


Mahasiswi Hilang Korban Facebook Sudah Kembali

Rahma Safitri telah kembali kepada keluargamya setelah sempat diberitakan menghilang dari Purwakarta, Jawa Barat, baru-baru ini. Rahma ditemukan di Batam, Kepulauan Riau, setelah ditinggal lelaki yang dikenalnya melalui situs pertemanan facebook.

Seperti telah diberitakan sebelumnya, Rahma Safitri, 19 tahun seorang mahasiswi semester satu akademi kebidanan di Purwakarta, Jawa Barat, diduga telah menjadi korban penculikan sindikat yang memanfaatkan situs jejaring sosial facebook.

Korban tidak kembali ke rumah orang tuanya, Riman dan Suliah, di Kampung Bunder, Kecamatan Jatiluhur. Rahma diketahui hilang saat akan dijemput usai menjadi saksi dalam sidang pencurian telepon temannya di Pengadilan Negeri Purwakarta, 28 Januari lalu.

Saat menghilang ia masih menggunakan seragam kuliah. Orang tua menduga anaknya menjadi korban penculikan mengingat selama ini anaknya sering ke warung internet hingga lupa waktu. Ayah Rahma menduga anaknya sering bermain facebook di sana sehingga ia menghubungkan kasus ini dengan kasus yang belakangan marak, yaitu hilangnya para gadis remaja pengguna facebook.

Setibanya di rumah, ibu Rahma, Suliah tak henti-hentinya memeluk mahasiswi Akademi Kebidanan (Akbid) Bakti Asih Purwakarta itu. Sang ibu pun berbisik agar anaknya tak pergi lagi.

Syamsu Nursyam
Liputan6.com, 18 Februari 2010
http://berita.liputan6.com/daerah/201002/264280/Mahasiswi.Hilang.Korban.Facebook.Kembali

16 Februari, 2010

C a p


KADANG-KADANG orang menjepit orang lain dengan kata, menjerat diri dengan kata. Sejarah politik Indonesia moderen bisa ditulis sebagai sejarah bekerjanya jepit dan jerat kata dari masa ke masa.

Pada tahun 1960-an, di bawah ”demokrasi terpimpin”, jepit dan jerat itu misalnya terbentuk dalam kata ”kontra-revolusioner”. Kata ini, bila dikenakan kepada seseorang, satu kelompok, atau satu pola sikap, dapat membuat yang dikenai seakan-akan tertangkap. Dalam posisi itu, ia berubah jadi sasaran untuk diserang atau —dalam kata yang dominan waktu itu— ”diganyang”. Kata ”kontra-revolusioner” sama artinya dengan ”musuh” Republik, pengkhianat tanah air, penentang ”Revolusi”, dan segala usaha yang sedang digerakkan oleh Sang Pemimpin Besar Revolusi yang tak bisa dibantah.

Dalam varian ”kontra-revolusioner” ini ada kata ”PSI” dan ”Masyumi” —dua partai politik yang dibubarkan Bung Karno, Pemimpin Besar Revolusi. Kedua partai itu juga dimusuhi oleh dua kekuatan pendukung, PKI dan ABRI. Para pemimpin PSI dan Masyumi dipenjarakan. Surat kabar mereka ditutup. Dan melalui serangan verbal lewat media massa, ”PSI” dan ”Masyumi” (kemudian juga ”Manikebu”) segera jadi kata yang menjepit dan menjerat siapa saja yang dianggap musuh politik. Buat digebuk.

Pada tahun 1970-an, di bawah ”Orde Baru”, kata yang dengan lebih buas menjepit dan menjerat adalah ”PKI” dan ”G30S” atau ”Gestapu”. Dengan kata itu, orang langsung tak dapat bergerak dan tak mungkin bicara. Acap kali mereka dipenjarakan dan dibunuh, tanpa bekas.


Seperti pada masa sebelumnya, daya jerat dan jepit kata ”PKI” dan lain-lain itu juga dilahirkan oleh kampanye media massa, yang dikobarkan dengan penuh kebencian. Dengan teror dan ketakutan. Demikianlah sepatah kata menjadi stigma.

Stigma adalah cap. Kata ini berasal dari bahasa Yunani untuk menyebut semacam tanda yang diterakan dengan luka bakar atau tato ke kulit seorang hukuman, pelaku kriminal, budak, atau pengkhianat. Dengan cap yang melekat di jangat itu, stigma akan menandai orang yang tak diinginkan. Stigmatisasi terjadi bersama penyingkiran.

Pada zaman komunikasi kata-kata ini, cap itu tak melekat di jangat. Ia hanya jadi metafor. Ia berbentuk bunyi, penanda yang dikumandangkan ke dalam bahasa. Sebagai bagian dari bahasa, ia masuk ke kepala dan hati orang ramai, membentuk persepsi dan bahkan sikap dan laku mereka. Kata sebagai stigma berkembang dalam pusaran kesadaran kita bagaikan racun. Racun ini kemudian bisa disemburkan ke tiap sosok yang jadi sasaran.

Sebagai racun, ia bergabung dengan racun jiwa yang lain: purbasangka dan paranoia. Maka dengan mudah ia bisa dipergunakan untuk menyebarkan permusuhan. Yang menakjubkan, stigma bisa bertahan lama.


Setelah ”demokrasi terpimpin” runtuh, kata ”PSI” dan ”Masyumi” masih merupakan stigma yang berlanjut. Ketika pada Januari 1974 terjadi gerakan yang membakar dan merusak mobil, motor, dan gedung di jalan-jalan Jakarta, pihak penguasa menggunakan media untuk menuduh bahwa yang jadi dalang kekerasan itu ”PSI” dan ”Masyumi”. Sejumlah orang yang sering diberi label ”PSI” dan ”Masyumi” dipenjarakan. Banyak di antaranya tanpa diadili. Segera sesudah itu, sebuah buku propaganda diterbitkan dalam bentuk mewah, ditulis oleh seorang wartawan, Marzuki Arifin. Dakwaan terhadap ”PSI” dan ”Masyumi”, dua partai yang sudah dibubarkan 14 tahun sebelumnya, dikumandangkan lagi.

Bahasa membentuk endapannya sendiri. Kata-kata ikut bercampur dengan bawah-sadar, dan diubah-ubah maknanya oleh apa yang bergolak dalam percampuran itu. Oleh hasrat dan dalam hasrat. Oleh kengerian dan dalam kengerian. Makna tak lagi jelas dan transparan. Dan tak ingin untuk demikian.

Apa arti ”PSI”? ”Masyumi”? ”Manikebu”? ”PKI”? ”Gestapu”? Tak penting lagi dikaji apa sebenarnya arti kata-kata itu. Orang tak peduli lagi apa yang terkandung dan tak terkandung di dalamnya. Sebagai salah satu perumus ”Manifes Kebudayaan” (yang diubah jadi ”Manikebu”, sebagai langkah awal stigmatisasi), saya sering takjub: sampai hari ini manifesto yang diganyang habis-habisan pada tahun 1960-an itu masih dianggap mendukung paham ”seni untuk seni”.

Endapan racun itu memang berumur panjang. Tak mengherankan jika paranoia masih mencengkam ketika orang dengar kata ”komunis” dan ”Marxis”, juga 20 tahun setelah Partai Komunis terbesar di dunia itu jatuh.


Agaknya kini pun orang sedang memproduksi dan mengawetkan stigma sendiri: ”neoliberal”, ”liberal”, ”sekuler”, ”fundamentalis” —dan dengan itu pertukaran pendapat tak bisa lagi jernih, bahkan jadi mustahil. Akhir-akhir ini, dalam kasus Bank Century, bahkan meningkat suasana yang mempermudah stigmatisasi itu: orang bicara, dan racun bertaburan di antara tiap bunyi, tiap rangkaian huruf, tiap penanda.

Stabilitas yang dikukuhkan pada stigma seperti itu berbareng dengan berlanjutnya politik sebagai ajang kebencian dan intoleransi. Bahasa adalah arus yang tak henti-hentinya memelesetkan makna, dan orang memerlukan apa yang disebut psikoanalisis Lacan point de capiton agar ada pegangan, biarpun sementara, untuk mematok makna kata. Tapi point de capiton itu bisa menjepit dan menjerat —bukan hanya musuh kita, tapi juga kita sendiri.

Pada saat itulah bermula kecurigaan jadi rumus, kebencian jadi doktrin. Kita hanya bisa membebaskan diri dari jerat dan jepit itu bila kita ingat bahwa pada tiap stigma ada racun yang melumpuhkan semuanya.

Goenawan Mohamad
TEMPO, Februari 2010