14 Desember, 2012

Lamunan Mas Dawam Tentang Ulumul Qur'an

Nurcholis Majid, Syafi'i Maarif, Amien Rais,
Yahya Muhaimin, Ichlasul Amal, Kuntowijoyo

Pada akhir dasawarsa 80-an, ketika teman-teman dekat saya dari Yogya seperti Amien Rais, Ichlasul Amal, Yahya Muhaimin dan Kuntowidjojo, demikian pula yang lebih senior ketika itu, Syafi’i Ma’arif dan Nurcholish Madjid, sedang belajar di luar negeri, saya masih asyik bergumul di dunia LSM bersama Hadimulyo dan Fachry Ali di LP3ES, sambil menulis esai-esai ekonomi-politik. Teman-teman dekat saya kala itu adalah Adi Sasono, Sugeng Saryadi, Fahmi Idris (Trio Bimbo) dan Sritua Arief.

Tapi saya membayangkan, bahwa pada pertengahan dasawarsa ’80-an Indonesia akan panen intelektual Muslim, yang akan menguasai dunia wacana. Maka sambil memimpin LP3ES, saya merancang pendirian lembaga-lembaga baru. Saya ikut membidani beberapa lembaga baru di luar LP3ES, yaitu LSP yang dipimpin oleh Adi Sasono, PPA, oleh M. Amin Azis dan juga Paramadina yang saya pimpin sendiri sebagai direktur eksekutif pertama. Hadimulyo menggerakkan HP2I di Ciputat. Polanya sama, mengkombinasikan gerakan sosial dan pemikiran.

Saya ingat betul, ketika itu saya mulai asyik mempelajari al-Quran karena dirangsang oleh Fanani, salah seorang murid Isa Bugis, yang namanya saya ketahui dari coretan-coretan di pagar madrasah al-Hayatul Islamiyah, di kampung saya, Cawang, sampai kemudian saya mengembara ke berbagai pesantren untuk menggerakkan diskusi al-Quran dengan para ustadz muda, seperti Habib Chirzin dari Pabelan.

Fanani, Isa Bugis dan Dawam Rahardjo

Tentang al-Quran saya  punya beberapa ide: menyelenggarakan Kongres al-Quran, komputerisasi al-Quran, menyusun Ensiklopedia al-Quran dan menerbitkan majalah yang diilhami oleh al-Quran. Karena itu majalah yang saya dorong terbit, bernama “Ulumul Qur’an”. Kongres al-Quran telah terselenggara di Hotel Sahid Yogya, bekerjasama dengan UII. Saya juga minta bantuan Pak Munawir untuk melakukan komputerisasi al-Quran, tapi saya hanya berhasil menyampaikan gagasan itu saat MTQ-di Lampung. Sebetulnya saya ingin agar Kongres al-Quran itu dilaksanakan pada setiap acara MTQ. Saya waktu itu minta bantuan Hery Ahmadi –Pakar komputer yang saya kenal pada waktu itu. Saya punya gagasan kongkret bagaimana mendigitalisasi al-Quran berdasar informasi mengenai kemampuan komputer dari Hery Ahmadi.Ternyata telah banyak orang lain yang melaksanakannya.

Dan alhamdulillah, terbitlah Ulumul Qur’an. Mula-mula saya berfikir, bahwa yang menyusun Ensiklopedia adalah para ahli tafsir. Tapi itu tidak terjadi, walaupun banyak ahli tafsir al-Quran, ternyata mereka tidak bisa membuat tafsir. Karena itu maka gagasan itu saya laksanakan sendiri, tanpa gentar terhadap kritik. Bondo nekad. Di UQ itulah saya nekad menulis rubrik Ensiklopedia al-Quran. Dan masih banyak ide yang ingin saya tulis.

Ketika akan menerbitkan Ulumul Qur’an, saya sering menulis makalah tentang tema-tema kajian Islam pada waktu itu. Saya temukan beberapa gagasan: Reaktualisasi Ajaran Islam, Pak Munawir Sadzali, Future Study atau Futurology oleh Ziauddin Sardar, Studi Peradaban, Malik bin Nabi, Pribumisasi Islam, Abdurrahman Wahid. Islamization of Knowledge, Ismail Faruqi dan Syed Naquib Alatas, Rethinking Islam, Mohammad Arkoun. Sedang saya sendiri punya gagasan mengenai studi al-Quran dan sastra religius (sebenarnya juga Ekonomi Islam). Dari situlah lahir rubrik-rubrik dalam Ulumul Qur’an waktu itu. Jadi UQ pada waktu itu dilatar belakangi oleh “proyek gagasan”, meminjam Hasan Hanafi (proyeknya sendiri adalah Islam al-Yasar). Di Mesir juga lahir gagasan al-mujtama’ al-madani, suatu gagasan yang tepat untuk Dunia Islam. Gagasan-gagasan seperti itulah yang bisa diproyekkan dalam UQ menjadi wacana ilmiah.


Hasil dan dampak gagasan UQ sudah sama-sama kita ketahui, telah membangkitkan wacana intelektual Islam di Indonesia. Saya ingin menggarisbawahi peran aktif teman-teman muda seperti, Pipip Rifai Hassan (guru besar al-Quran saya) , Hadimulyo, Ali Ihsan Fauzi, Saiful Mujani, Syafi’i Anwar, Edi Efendi (sastra), Budhy Munawar Rahman, Deden Ridwan, Arif Subhan pelukis Sri Widodo. Jasa mereka luar biasa. Di UQ mereka berkembang menjadi intelektual-intelektual handal. Mereka itu adalah generasi kedua. Generasi pertama adalah intelektual IAIN seperti Hadimulyo, Fahry Ali, Pipip, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Bachtiar Effendi, Iqbal Saimima, Mulyadi Kertanegara.

Akhirnya pada tahun 1998, UQ berhenti terbit karena kenaikan harga kertas. Saya depressed banget. Perasaan yang sama dialami oleh teman-teman yang lain. Tapi dari kalangan luas, timbul dorongan-dorongan untuk menerbitkan kembali UQ. Akhirnya alhamdulillah, berkat bantuan Herdi SRS saya dipertemukan dengan investor yang sudah berhasil di bidang penerbitan, “Inilah.com group”. Insya-Allah, dengan dukungan Anda semua, UQ akan segera terbit lagi, mungkin di bulan April 2012.

Tapi saya terlebih dahulu ingin tahu pendapat kawan-kawan, terutama para senior pimpinan UQ. Pertama kali saya hubungi Hadimulyo, Pemimpin Umum UQ waktu itu. Suatu pagi, dalam perjalanan menuju ke Yogya saya telepon dia. Mas Hadi menyambut sangat antusias, tetapi masih ragu bergabung aktif, katanya “sudah tua”. Emangnya umurnya sudah berapa? Ternyata ia ingin saounding dulu dengan teman-teman, lewat facebook. Hasilnya di luar dugaannya. Begitu antusias, kawan-kawan mengirim sambutan yang dikirimkian via email ke Mbak Mala. Saya baca, alhamdulillah, luar biasa. Dan Mas Hadi pun, menurut Mbak Mala merasa mantap untuk bergabung kembali. Ini merupakan dukungan moral yang besar.

Dawam Rahardjo dan Hadimulyo

Saya telepon yang lain-lain. Fachry Ali dan Deden Ridwan menanyakan apakah diperlukan konsep baru atau menghiduplan kembali yang sudah menemukan bentuknya (Rubrik: aktualisasi, tafsir, khasanah, futurologi dan seni-budaya)? Deden menyambut penerbitan baru. Cuma dia bilang, perlu penyempurnaan. “Bahasanya diperingan Mas, Jangan hanya bisa dibaca oleh orang-orang pinter saja.” Kawan di kantor LSAF, Solahuddin, punya pengalaman penerbitan di Kairo dan tahu jaringan,  lulusan Al-Azhar yang lagi menyiapkan proposal itu punya gagasan yang serupa: “Audience UQ hendaknya diarahkan ke kalangan menengah ke bawah”. Ini adalah aliran jurnalistik saat ini.

Respon saya: apa maunya UQ menjadi majalah dakwah semacam “Hidayatullah” atau “Gema Islam?” Ataukah menjadi majalah berita semacam “Umat” yang jurnalistik? Atau semacam Madina, yang ilmiah tapi agak diperingan bahasa maupun tema-temanya? Teman Andi Suruji dari grup “Inilah.Com” menginginkan majalah dengan artikel ringan dan popular yang terbit mingguan setebal 68 halaman. “Kita harus mengikuti trend, waktu membaca orang sekarang sedikit ”, katanya. “Di AS, jurnal-jurnal ilmiah sudah pada berguguran,” tandasnya.

Waduh, bagaimana ya? Apa kita harus mengikuti trend popular. Saya justru ingin melawan arus. Orang sekarang jangan terlalu sibuk rutin mengikuti run away world. Istirahat dong. Saya ingin menghidupkan kembali budaya baca sebagai cara rekreatif.  Minum kopi. santai pegang majalah. Pergunakan waktu luang untuk membaca. Untuk rekreatif, kontemplatif. Baca puisi, cerpen, dan esai, sungguh merangsang otak untuk berpikir. Kalau bisa menulis subuh-subuh dong. Mosok kerja terus, sebentar baca koran. Itupun headline-nya doang. Maka deliteralisasi dong nanti. Manusia jadi robot. Baca Ulumul Qur’an dong, yang mencerahkan pikiran dan rohani.


Saya berfikir, justru kecenderungan umum seperti itu harus dilawan. Kita harus mengembangkan lagu-lagu klasik. Dengarkan Jose Carera bernyanyi.

Jadi gagasan saya adalah:
1.    UQ harus menjadi jurnal pencerahan rohani dan akal-pikiran.
2.    UQ adalah jurnal pemikiran, yang mengundang pemikiran para pemikir.
3.    Artikel utamanya adalah analisis public issue dan public policy yang menjadi trend setter dan menjadi rujukan pengambil keputusan.
4.    Style bahasanya adalah literer, cerdas dan jernih, yang pasti enak dibaca. Tapi jernih kan tidak harus memakai bahasa jurnalistik. Bahasa ilmiah-lah, tapi yang jernih. Jika pikirannya jernih, tulisannya pun juga jernih. Kalau tulisannya ruwet, pikirannya yang sebenarnya ruwet. Bukankah al-Quran itu qaulan tsaqiila? Tapi kalau kita serius baca, ternyata enak juga kan?
5.    Tulisan yang dimuat dipilih di antara yang punya sudut pandangan lain, pandangan baru, pandangan dari luar. Misalnya pandangan Syi’ah yang lain. Karena itu corak pemikirannya adalah pluralis-liberal-progresif. Kalau lain, tentu menarik. Tak usah diperingan-ringan lewat bahasa. Nanti norak. Keindahan sastra itu bukan terletak pada kulitnya, tetapi isinya yang indah.
6.    Di bidang pengetahuan, berusaha menampilkan rediscovery, misalnya perekonomian atau pluraisme di Zaman Turki Usmani. Kalau aktual, menemukan temuan statistik yang mengejutkan. Coba kemukakan, misalnya, berapa luas perekonomian kita dikuasai asing?
7.    UQ berusaha membangkitkan pemikiraan Islam, walaupun dalam konteks perbandingannya dengan pemikiran lain.
8.    UQ bisa saja mempunyai suatu proyek pemikiran tertentu, misalnya “filsafat Nusantara”, “demokrasi Indonesia”, atau “civil economy”.
9.    UQ akan banyak meliput perkembangan Dunia Islam dan Muslim minoritas.
10.    Perwajahan luar dan dalam bersifat artistik, misalnya menampilkan ornamen, kaligrafi, lukisan, vignette, dan lain-lain.
11.    UQ akan meramaikan dunia sastra.
12.    UQ menampilkan berita-berita dan peristiwa budaya.
13.    Puisi dan cerpen adalah rubrik tetap yang menyegarkan dan romantic.
14.    UQ harus membawa angin segar, damai, saling menghargai, rukun walaupun bisa berbeda pendapat.
15.    UQ harus menjadi “Penyebar Semangat”  kebangkitan Islam yang damai, yang rahmatan lil ‘alamin.

Kongkretnya, saya usulkan 7 rubrik, walaupun satu nomor hanya bisa memuat 5 rubrik saja karena tergantung artikel yang masuk.
1.    Public issue, public policy. Teorisasi kondisi realitas dan perkembangan masyarakat, misalnya: No.1 berjudul “Korupsi, Demokrasi dan Kapitalisme” atau “Musim Semi Arab”, “Peta Pemikiran Islam Timur Tengah”.
2.    Dunia al-Quran, antara lain Ensiklopedia al-Quran.
3.    Dunia Islam. Laporan perkembangan di dunia Islam, artikel-artikel dari Timur Tengah yang lagi ngetrend. Atau dari Turki dan Iran. Kata teman-teman Kairo, banyak yang menarik dalam trend baru pemikiran Dunia Islam.
4.    Sastra dan kebudayaan; puisi, cerpen, esai kebudayaan.
5.    Khazanah atau Rediscovery zaman Klasik.
6.    Bumi Manusia. Berisi kehidupan beragama di Indonesia.
7.    Ekonomi Islam dan pembangunan.

Rubrik-rubrik itu disajikan dalam berbagai bentuk.
1.    Iftitah, membuka cakrawala pemikiran.
2.    Editorial redaksi. Pengantar isi.
3.    Dialog (bukan wawancara lho).
4.    Tokoh atau sosok. Bisa sosok sejarah atau pelaku sekarang.
5.    Liputan, bisa gagasan, tradisi, bumi wisata seperti kota-kota batik dan komunitas Cina di Lasem, masyarakat Tengger, masyarakat Badui dan semacamnya.

Tapi dipilih yang unik. Rediscovery.
1.    Pembahasan buku.
2.    Liputan seminar, konperensi, diskusi.
3.    Kelompok-kelompok epstemik.


Dalam Liputan dapat digali tema-tema sebagai berikut:
1.    DEMOKRASI
2.    EKONOMI KREATIF
3.    KEADILAN
4.    KEHIDUPAN BERAGAMA
5.    TRADISI
6.    BUDAYA PERUSAHAAN
7.    GENDER
8.    MINORITAS
9.    BIROKRASI
10.  TEKNOLOGI
11.  TOKOH-TOKOH
12.  KEMISKINAN
13.  HASIL PENELITIAN
14.  LAPORAN SEMINAR
15.  KRIMINALITAS
16.  TOKOH-TOKOH SUFI KEBANYAKAN
17.  SEMINAR KREATIF
18.  ILMUWAN
19.  TOKOH DAERAH
20.  KOMUNITAS

Bagaimana teman-teman, pandangan Anda? Tolong dong, komentar, kritik dan saran. Pokoknya saya akan mengelola UQ dengan perasaan, cinta, dan dengan rasa seni, penuh diskusi di kantor. Setiap nomor harus memuaskan. Pokoknya setiap artikel, kelak bisa dikumpulkan menjadi buku berseri. Para dosen dan mahasiswa harus bangga menenteng UQ. Biar UQ menjadi bahan diskusi di warung-warung kopi.

Jakarta, 23 Februari 2012
Sumber: Akun fb Dawam Rahardjo

07 Desember, 2012

Generasi Digital


Dalam sebuah tulisan yang memenangi sayembara penulisan esai Kompas pada 1980-an, saya membahas sebuah masalah yang tergambar dalam judulnya, “Generasi yang Hilang”. Sebuah istilah yang kemudian muncul pada dekade berikutnya di Amerika sebagai gambaran dari mereka yang lahir di pertengahan 1960-1970-an.

Itulah generasi yang digambarkan dengan bawaan mental yang apatis. Kelompok pemilih terendah dalam soal partisipasi politiknya karena skeptisitas tinggi terhadap realitas kontemporer mereka. “Generasi yang tersingkirkan dan tak pernah berhasil kembali pada isu-isu mutakhir,” tulis Newsweek.

Di Indonesia, kondisi itu sangat mudah dimafhumi. Sebagaimana saya jelaskan dalam esai 1980-an itu, generasi yang kemudian hari juga disebut sebagai “Generasi X” itu hidup dan berkembang dalam realitas politik, sosial, dan kultural yang penuh tekanan karena otoritarianisme rezim Orde Baru. Sebagaimana kerap juga saya nyatakan, bukan korupsi Rp 150 triliun atau kekerasan politik-militer Soeharto yang generasi ini sesalkan, melainkan hancur dan rusaknya daya khayal atau imajinasi remaja dan anak muda kala itu karena indoktrinasi dan teror mental yang dipraktikkan rezim.


Generasi yang Bertumbuh
Generasi X adalah segerombolan anak yang bukan hanya biaya sekolah, uang jajan, dan makan minumnya ditentukan orangtua, bahkan hingga warna sepatu atau profesi idaman tak bisa mereka tentukan sendiri. Inilah generasi yang duduk sendiri, di belakang rumah, di bawah pohon, membaca biografi tokoh-tokoh dunia dengan fantasi yang disembunyikan.

Maka, saya pun mengamati almarhum cendekiawan Wiratmo Soekito dalam diskusi-diskusi kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, mengikuti caranya membaca buku dengan hafal setiap kutipan, halaman, penerbit, hingga kredit bukunya. Namun, semua itu seperti tak berjejak pada generasi berikut, Generasi Y alias mereka yang lahir antara 1976 dan 1995. Barisan manusia muda yang rapi dan canggih, dengan kearifan teknologis yang tinggi, imun pada gaya-gaya propaganda dan intimidasi tradisional. Sebuah generasi yang menyebar dalam keragaman etnik dan ras, akrab dengan televisi multikanal, radio satelit serta internet generasi pertama.

Pada masa kanak-kanak dan remaja generasi ini, dunia mengalami pertumbuhan dan perubahan dengan percepatan bukan lagi kecepatan, membuat mereka menjadi lebih fashionable dan well-known dan loyalitasnya tinggi pada merek yang mereka anggap memberi identitas. Mereka turut menentukan apa yang keluarga harus konsumsi, memiliki kartu kredit dengan tanda tangan orangtua, dan mulai dapat merancang masa depannya sendiri.


Betapapun orangtua atau nenek-kakek mereka masih duduk manja di kursi kekuasaannya, tetapi di tingkat bawah sesungguhnya terjadi pergeseran serta pergerakan yang tak terbaca oleh suprastruktur, dan diselenggarakan oleh generasi kreatif ini. Jarak antara sains dan teknologi dengan realitas mutakhir —yang sebenarnya menjauh— masih dapat mereka jembatani, ide teraktualisasi, betapapun kadang sumir dan artifisial.

Namun, dunia tidak berhenti bergerak. Teknologi komunikasi dan informasi seperti menggenggam dunia dalam telapaknya, membuat manusia seperti berlari-lari kecil untuk mengelilingi bumi dan mengetahui setiap detail tubuh (persoalan)-nya. Media menjadi begitu canggih sehingga hidup superkompleks bisa diringkusnya dalam data, yang siapa pun mampu mengaksesnya dalam hitungan detik. Kini dunia juga dalam genggaman kita, manusia.

Pada masa inilah, pasca-1995, lahir sebuah generasi baru, “Generasi Z”, yang tak hanya diubah oleh percepatan teknologi di atas, tetapi juga mengubah hampir setiap dimensi hidup berbudaya kita. Bukan hanya gaya hidup, cara berpikir, kosmologi, hingga cara menatap waktu atau masa lalu dan masa depannya.

Mereka, yang kerap disebut sebagai iGeneration (i: Internet) atau NetGeneration atau Generation@, adalah gelombang manusia yang tumbuh bahkan menjadi digital: generasi digital!


Penuh Paradoks
Maka, semua jadi purba dalam soal bagaimana kita mengaktualisasi diri, meneguhkan eksistensi. Diri dibentuk oleh perjumpaan data dan kata yang diakses dari seluruh dunia, hingga sudut terkucilnya, lewat BBM, WWW, instant messaging, MP4, mobile phone, Skype, hingga Youtube. Hidup yang posmodernik, multikultural, dan global menjadi keniscayaan yang sesungguhnya memberi mereka paradoks: bebas meneguhkan atau menciptakan klaim tentang diri sendiri tetapi pada saat bersamaan mereka lenyap dalam riuh.

Jadilah kemudian mereka generasi yang diam karena dunia sudah terlalu (di) dalam dirinya. Generasi yang tidak terusik ketika berhadapan dengan monitor atau keypad di gadget-gadget terbarunya. Manusia-manusia yang sangat praktis, bahkan hiperpragmatis, dengan kantong yang tipis tetapi padat isi dan makna: ada dunia di dalam sakunya, dalam bentuk yang tidak lebih besar dari bungkus rokoknya.

Inilah generasi yang sangat berbeda dengan penulis yang mengeja semua huruf dan kata, menghafalkannya dengan bangga. Sementara generasi ini mengakses dan meresepsi data, kata, dan makna dengan cubitan di kotak screen. Dengan ujung telunjuknya mereka memindai semesta dalam kecepatan daya tangkap visual dan kognitif yang luar biasa. Mereka tahu banyak, bahkan terlalu banyak. Namun tetap dalam paradoks: mereka juga tak tahu banyak.


Generasi inilah yang akan menentukan bagaimana sebuah bangsa, negara, bahkan kebudayaan akan dikembangkan dan menjadi pada masa nanti. Mungkin sebagian kita tidak rela. Namun, betapa desisif mereka, tidak hanya membuat musik, tari, pertunjukan menjadi “Gangnam Style”, tetapi juga politik, hukum, agama bahkan lembaga internasional. Karena ratusan juta manusia mengamininya.

Lalu di mana James Joyce, Homerus, Hemingway, atau Chairil Anwar dan Ronggowarsito? Mereka adalah teman lama kutu-kutu yang menggerogoti buku-buku, monumen masa lalu. Peradaban dan kebudayaan sedang dibentuk ulang dengan perangkat keras dan lunak terbaru, yang bahkan generasi saya, X, merasa malu dan sungkan untuk mengakui, “Maaf, aku tidak paham itu.”

Lalu apa yang bisa kita lakukan? Mengingat generasi canggih ini sebenarnya juga terluka oleh krisis-krisis politik, moneter, hingga lingkungan yang diproduksi oleh sistem hasil ciptaan kakek dan buyutnya. Mereka yang begitu bernafsu ingin membeli iPad terbaru, tetapi ternyata ia sudah terlalu banyak utang. Apa dan bagaimana kondisi mental sosial itu memberi mereka alasan-alasan terbaik untuk membentuk diri, masyarakat, atau bangsanya?

Betapa tidak bertanggung jawabnya bila kita lebih peduli pada rebutan kursi kosong dan rezeki murahan ketimbang membantu generasi ini membentuk diri dan masa depannya. Atau kita siap menyambut generasi kosong, generasi katastropik yang tidak (mau) mengerti untuk apa mereka ada di atas tanah ini?

Radhar Panca Dahana
Budayawan
KOMPAS, 28 November 2012