17 April, 2015

Rupiah, Kebesaran, dan Kehormatan Negara


Pekan lalu Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) gembira mendengar kabar dari Bank Indonesia (BI). BI merilis aturan tentang kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Tak sekadar aturan, kewajiban itu terakomodasi dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI), Nomor 17/3/PBI/2015. Pejabat BI mengatakan, aturan ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Selama ini, masih menurut BI, banyak transaksi yang menggunakan mata uang asing dalam wilayah NKRI. Gara-gara itu, Rupiah mudah menjadi “galau”.

Bagi Hipmi, aturan BI ini sejalan dengan aspirasi yang pernah kami sampaikan kepada Presiden Joko Widodo dalam beberapa kesempatan. Itu sebabnya, Hipmi mengucapkan terima kasih kepada BI. Yang bikin Hipmi langsung happy sebenarnya bukan soal Rupiah bakal tiba-tiba menguat saat itu juga setelah PBI tersebut diterapkan. Namun pada pernyataan BI bahwa: “dengan undang-undang dan PBI, ke depan kita harap Rupiah berdaulat dan mendukung nilai Rupiah yang stabil.

Bahlil Lahadalia, Ketua Umum HIPMI.

Rupiah berdaulat dan stabil. Dua kata ini membawa implikasi besar secara geo-ekonomi dan stabilitas perekonomian itu sendiri. Secara geo-ekonomi, mata uang asing telah berkuasa atas negara ini. Bayangkan, transaksi Dollar AS (USD) di wilayah NKRI per bulan mencapai Rp 78 triliun. Per tahun mencapai Rp 936 triliun. Dollarisasi ini merambah proses pembayaran di perusahaan migas, pelabuhan, tekstil, plastik, hingga manufaktur.

Proses dollarisasi ke segala penjuru wilayah NKRI ini tak bisa hanya dipandang sebagai konsekuensi dari liberalisasi yang mesti diterima oleh negara secara mentah-mentah. Dollarisasi juga berarti terjadinya soft invasion (invasi santun) di wilayah kedaulatan politik dan ekonomi suatu negara. Ujung-ujungnya dollarisasi akan menghasilkan “aneksasi” ekonomi suatu negara terhadap ekonomi negara lain. Konsep semacam inilah yang kerap absen dari textbook para pengamat dan praktisi pemuja pasar bebas di negara ini. Dikiranya, uang hanyalah semata-mata sebagai alat tukar yang dapat diambangkan dengan seenaknya di pasar.

Mata uang —sejak awal suatu negara berdiri— telah ditetapkan sebagai simbol kedaulatan ekonomi dan politik suatu negara. Di sini, kehormatan suatu negara dipertaruhkan. Konsep berpikir semacam ini sangat dipahami oleh para penguasa di China. Tak hanya sekadar menggenjot kinerja perekonomian, negara itu juga kemudian “berperang” habis-habisan sejak 2000-an untuk menggeser dominasi Euro dan Dollar AS baik di wilayahnya sendiri maupun di luar negeri.

Mata Uang Rupiah yang "Terjepit" diantara Dollar AS dan Yuan China.

Hasilnya sangat menggembirakan. Setelah berjuang keras lebih dari satu dekade, warga China merayakan pesta kembang api menyambut tahun baru 2014 sambil bergembira ria. Sebab mata uang Yuan (Renminbi/ RMB) untuk transaksi luar negeri berhasil menggeser Euro sebagai mata uang kedua yang paling banyak digunakan dalam perdagangan internasional setelah Dollar. Mata uang ini juga semakin populer di pasar dunia.

Dalam Letter of Credit and Collection (L/C), penggunaan RMB naik signifikan. RMB kini mendominasi perdagangan internasional dengan porsi 81,1%. Porsi Euro turun ke peringkat ketiga dunia. Tak hanya jago kandang, RMB juga berjaya di luar negeri seperti Hong Kong, Singapura, Jerman, dan Australia, bahkan masuk ke Indonesia. Bagi China, persepsi pasar (apresiasi/depresiasi) bukanlah segalanya.

Ditopang oleh struktur industri yang kokoh, negara itu kini justru kadang terlihat sengaja menikmati berkah dari pelemahan mata uangnya. Bahkan dengan sengaja mereka melemahkan mata uangnya untuk menguatkan ekspor.


Kedaulatan
Bagaimana dengan kita? Kedaulatan kita ternyata masih sebatas pada wilayah geografis semata. Itu pun kadang mudah diambil orang. Selebihnya, kita tidak berdaulat sama sekali. Lucunya, atas nama “pasar” para ekonom dan pemuja pasar modal, kerap berperan besar dalam menggerus daulat negara (baca: Rupiah) di perekonomiannya sendiri.

Negara pelan-pelan digeser dari wilayah ini. Miris memang. Bahkan di wilayah yang paling private yakni ideologi bangsa, bercokol ideologi-ideologi asing yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45. Tandanya, daulat negara di wilayah ini pun sudah hilang. Kita tidak anti asing. Namun faktanya, kita kemudian mudah terdikte dan terombang-ambing oleh situasi global. Pasar domestik kita yang besar dan menggiurkan itu, diisi oleh barang-barang dan jasa serta uang panas (hot money) dari luar yang datang dan pergi sesuka hatinya.

Kita sama sekali tidak berdaulat atas perekonomian kita sendiri. Berita terakhir yang bikin kita makin sedih, Rupiah termasuk dalam daftar uang ‘sampah’ sedunia. Sebagaimana diketahui, mata uang yang diakui secara internasional berjumlah 180 mata uang. Dari 180 mata uang dunia yang diakui, Rupiah Indonesia masuk ke dalam urutan keempat mata uang dengan nilai tukar yang paling rendah terhadap Dollar AS.

Herannya, Rupiah lebih buruk dari Leone, mata uang Sierra Leone. Terpuruknya harga diri Rupiah ini berbanding terbalik dengan kapasitas perekonomian kita yang menurut sebagian orang merupakan terbesar ketujuh dunia dan terbesar di kawasan Asia Tenggara.

Dalam pertarungan mata uang dunia, ternyata lebih penting simbolnya (Rp atau $) dibandingkan dengan nilai nominal yang tertulis.

Fluktuasi Rupiah
Beberapa faktor penyebab pelemahan rupiah yakni pertama, sebagai dampak dari lemahnya industri dalam negeri, ketergantungan kita kepada barang impor yang semakin meningkat. Padahal, kinerja ekspor kita juga tidak bagus-bagus amat. Di luar sana, impor mereka sedang ditekan. Tren surplus neraca perdagangan Indonesia pun semakin hilang.

Kedua, negara kita sangat tergantung pada jasa asing, termasuk transportasi barang dan penumpang. Pengangkutan barang ekspor dan impor kita masih tergantung pada kapal-kapal asing, termasuk pembayaran royalti, lisensi, sewa barang dan jasa berbasis kecakapan intelektual —seperti konsultan bisnis dan riset— kepada orang asing jauh lebih tinggi dibandingkan pendapatan Indonesia. Ketiga, dana asing yang masuk sangat besar, namun dana asing itu kebanyakan juga mudah keluar. Bukan dana investasi jangka panjang.

Dana ini nangkring sesaat di investasi portofolio seperti saham, obligasi dan transaksi derivatif. Tak ada regulasi yang dapat menahan dana-dana ini agar betah di dalam negeri. Di sisi lain instrumen investasi ini rentan terhadap isu-isu penurunan pertumbuhan ekonomi, tingginya inflasi, dan spekulasi. Terakhir, tingginya investasi asing dan besarnya utang luar negeri pemerintah dan swasta membuat aliran pendapatan dari investasi asing yang keluar dan pembayaran bunga dari Indonesia ke luar negeri jauh lebih besar dibandingkan dengan pendapatan yang masuk.

Mata uang Rp 1,- hanya ada di dunia virtual saja, karena eksistensinya dalam kenyataan hidup sehari-hari sudah lama tidak ada (almarhum).

Penguatan Regulasi
Sebab itu, Hipmi mengimbau agar semua pihak perlu peduli atas Rupiah. Hipmi mendorong semua pihak baik legislatif, otoritas moneter, maupun eksekutif untuk melakukan beberapa revisi dan penegakan undang-undang dan regulasi yang dapat membuat Rupiah dapat berdaulat di negara sendiri. Pertama, revisi atas UU Lalu Lintas Devisa Nomor 24 Tahun 1999. UU Devisa ini memang memberi kelonggaran yang cukup luas kepada BI untuk mengatur lalu lintas devisa dan valuta asing melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI).

Namun, PBI yang ada belum cukup ampuh menarik ratusan triliun Rupiah DHE (Devisa Hasil Ekspor) yang diparkir di luar negeri. Bila direvisi, UU ini harus mampu menjaring DHE ke bank lokal dalam periode tertentu atau yang disebut holding period. Kedua, revisi atas UU Badan Usaha Milik Negara (BUMN). BUMN harus kembali kepada khitah-nya sebagai agent of development, penopang perekonomian negara, dan pelopor bertransaksi dalam Rupiah di seluruh NKRI.

Sampai kapan mata uang "Rp" melayang-layang dan terombang-ambing diantara mata uang dunia?

Ketiga, revisi UU Perbankan Nomor 10/1998. UU ini dulunya dibuat untuk menarik investasi asing di sektor keuangan nasional. Begitu sektor keuangan menjadi sehat, ternyata perbankan kita masih belum mampu “bersahabat” dengan sektor riil. Poin penting lain, dalam revisi UU Perbankan ini adalah penegasan fungsi Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam lalu lintas pembayaran. Tugas kedua lembaga ini masih tumpang-tindih.

Terakhir, penegasan implementasi UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang penggunaan mata uang Rupiah di seluruh NKRI. Kehadiran negara di seluruh kegiatan perekonomian di NKRI terlihat dari sejauh mana pemerintah dan warga bangsa ini menghargai dan memakai mata uangnya sendiri. Sebab itu, Hipmi tak jengah-jengahnya mendorong pemerintah dan BUMN-BUMN agar menggunakan mata uangnya sendiri dalam setiap transaksi.

Kehormatan dan kebesaran suatu bangsa terlihat dari bagaimana mata uangnya dapat berdaulat minimal di “kampungnya” sendiri.

Bahlil Lahadalia,
Ketua Umum Hipmi
KORAN SINDO, 14 April 2015

05 April, 2015

Etika dan Etiket dalam Argumentasi


Di KompasTV, Ahok yang temperamental itu, saking emosinya, mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan, jelasnya “ta*k” dan “bangsa*”.

Presenter sudah memperingatkan bahwa ini adalah acara live, tetapi Ahok sudah mata gelap dan lepas kendali (namanya juga manusia, bisa salah) sehingga akhirnya KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) mengeluarkan “kartu kuning” (pinjam istilah sepak bola) buat KompasTV. Wajar banget, Ahok pun sudah menyadari kesalahannya dan meminta maaf.

Tapi, jangan lupa, beberapa waktu sebelumnya, dalam sidang pengesahan APBD DKI yang dead lock itu, dalam keadaan sama-sama emosi, seorang anggota DPRD juga mengeluarkan kata-kata “anji**” dan “Ci*a” yang ditunjukkan kepada Ahok. Tidak dibreidel oleh KPI karena sempat ditutup dengan bunyi “tit..tit..” sebelum ditayangkan (siaran tunda). Kata-kata rasis adalah yang nomor satu tidak sopannya. Jauh di atas kata-kata kebun binatang. Tapi di lingkungan kebun binatang pun ada kelas-kelasnya.

“Anji**” lebih tinggi kelasnya dari pada “bangsa*” yang arti sesungguhnya adalah kepinding, tumila atau kutu busuk yang sering sembunyi di kursi-kursi rotan bioskop Megaria dan Menteng di zaman saya masih pacaran, yang membikin paha para penonton gatal-gatal dan merah-merah (kalau mau nonton harus berbekal kertas koran untuk melapisi kursi rotan).


Di era Cinema XXI sekarang ini, dunia perbangsatan sudah lama punah karena kursi-kursi sudah terbuat dari kulit dan udara dalam ruangan sejuk, lagi pula kursi dibersihkan setiap hari. Tapi kata “anji**” pun di telinga sebagian orang tergolong biasa-biasa saja. Jenderal Hugeng (alm) yang dikenal sebagai jenderal polisi yang paling jujur dan paling santun ––dan seorang vokalis pula–– mengakui dalam buku memoarnya bahwa sebagai orang Pekalongan, ia menyapa teman sekampungnya kalau sudah lama tidak bertemu dengan kata-kata “asu” yang artinya adalah “anji**” juga.

Di Surabaya, antar-arek-arek biasa mereka saling menyapa dengan ucapan yang paling akrab buat mereka, yaitu “jancu*”, yang artinya adalah hubungan intim, jauh lebih kasar daripada menyebutkan isi toilet doang. Jadi sumpah-serapah itu, walaupun bisa bikin telinga orang merah-kuning-hijau seperti lampu lalu lintas, tidak berlaku umum. Hanya berlaku di kalangan tertentu.

Di tempat lain, suatu sumpah serapah bisa dianggap biasa saja. Jadi tidak universal. Sama tidak universalnya dengan cara makan. Di istana Kerajaan Tiongkok, jamuan makan disiapkan dengan mangkuk dan sumpit.

Para bangsawan, dengan baju-baju kehormatannya, memunguti nasi, bakmi, atau mata ikan dari sup kepala ikan dengan sumpitnya, dan menyeruput kuah supnya langsung dari mangkuk seperti orang minum kopi sambil berbunyi keras-keras ... sruuut ...sruuut...!! Nah, kalau ada orang Prancis di situ, langsung isi perutnya mau keluar semua.


Sebaliknya orang Prancis biasa makan dengan seperangkat alat makan yang berlapis-lapis dan harus digunakan berurutan sesuai dengan aturan, yang bisa makan waktu 3 jam sekali makan. Kalau ada orang Tionghoa di situ, bisa jadi si Tionghoa sudah ketiduran sebelum jamuan makan selesai. Sopan santun yang tidak universal ini dalam ilmu filsafat disebut etiket. Setiap tempat, waktu, kelompok, suku, dan budaya bisa punya etiket sendiri.

Tapi yang jauh lebih penting adalah etika, yaitu nilai-nilai yang lebih dalam, lebih luhur dan berlaku universal, seperti keharusan menghormati orang tua, larangan untuk membunuh orang tak berdosa, menjunjung tinggi keadilan, dan sebagainya, termasuk tentu saja antikorupsi. Nilai universal antikorupsi inilah sebenarnya yang sedang dibela Ahok dalam perdebatan tentang APBD DKI.

Dalam sebuah wawancara dengan wartawan TV yang mencegatnya setelah dia keluar dari suatu pertemuan, Ahok pernah bercerita tentang anggota DPRD yang punya Lamborghini. Buat Ahok, tidak masuk akal seorang anggota, walaupun dia wakil ketua DPRD Jakarta, untuk bisa mempunyai mobil Lamborghini. Argumentasi Ahok kira-kira seperti ini: (1) mobil Lamborghini adalah mobil yang sangat mahal, (2) gaji seorang anggota DPRD DKI tidak cukup banyak buat membeli Lamborghini; jadi (3) seorang anggota DPRD DKI tidak akan mungkin punya Lamborghini.

Nah, ketika ternyata ada anggota DPRD DKI yang mempunyai Lamborghini, Ahok menyimpulkan, pasti ada yang salah di sini. Maka mau tidak mau logika selanjutnya langsung nyambung ke korupsi. Logika yang saling sambung-menyambung inilah yang disebut argumentasi. Argumentasi adalah gabungan beberapa “premis”, yaitu pernyataan-pernyataan yang sudah teruji kebenarannya, yang saling mendukung dan menghasilkan kesimpulan yang sama benarnya, yang akan menjadi premis baru.


Ilmu pengetahuan pada dasarnya dibangun atas dasar sambung-menyambung rangkaian premis itu. Karena itulah dalil-dalil ilmu pengetahuan sulit digugurkan. Karena itulah argumentasi Ahok, khususnya tentang dana Rp 12 Triliun yang dicoba disisipkan di APBD, sulit sekali untuk bisa dipatahkan.

Semuanya tersusun dalam argumentasi (dalam bahasa filsafat: silogisme) yang memenuhi hukum-hukum logika yang memang (menurut pengamatan saya pribadi) merupakan salah satu kekuatan Ahok.

Di sisi lain, kekuatan logika ini memang rentan untuk digugurkan, antara lain melalui pendekatan diluar logika, termasuk pendekatan kekuasaan, pengerahan massa, perkoncoan, gratifikasi, pelintiran pernyataan, doktrin, kepercayaan, takhayul, dan masih banyak lagi. Tapi yang paling sulit adalah bahwa logika itu bisa dikecoh dengan logika juga. Misalnya, perhatikan baik-baik argumentasi atau silogisme ini: (1) anjing bernapas, (2) Ahok bernapas, jadi (3) Ahok adalah anjing.

Waduh ... bagaimana ini? Itulah yang dalam ilmu logika disebut sesat pikir. Pikiran kita tersesat karena melanggar salah satu hukum silogisme. Untuk mengujinya gampang saja. Ganti saja kata “Ahok” dengan “Sarlito”. Kalau kesimpulan Anda adalah Sarlito itu anjing, Anda sedang membaca tulisan seekor anjing.

Sarlito Wirawan Sarwono,
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 29 Maret 2015