15 Januari, 2019

Sampah Plastik: Ketika Ekonomi Teladani Kitab Para Satwa


Dia ada dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dari serambi hingga kamar mandi. Kita hidup di zaman plastik, age of plastics. Ketika akhirnya plastik sisa pakai menyesakkan Bumi, kita berpaling pada alam. Manusia pun meneladani siklus ekologis berulang laksana rantai makanan, seperti yang dilihat Al-Jahiz dalam Kitab tentang Satwa, 1.000 tahun silam. Kita menyebutnya dengan “ekonomi sirkular”.

Penampilan Wisnu Wiguna mewakili gambaran seorang pengusaha muda yang sukses. Tinggi sekitar 170 sentimeter, postur yang lampai, dan berkulit putih bersih. Setelan kemeja dan pantalon yang dikenakan bermodel sederhana, tetapi garis-garis jahitan dan potongan yang teramat rapi dan mulus agaknya menunjukkan kualitas merek pakaian itu.

Sepetak besar noda coklat tanah di bagian belakang celananya menjadi paradoks tampilan Wisnu sebagai eksekutif. Juga ketika dia dengan mantapnya melangkah melewati genangan-genangan air lindi berbau menyengat di lorong yang mengapit dua hanggar besar di Karawaci, Tangerang. Ia tak peduli sepatu moccasin coklatnya tak lagi mengkilap.

Atap gelombang dari bahan bekas; kertas, plastik, aluminium foil, dll.

Di kartu nama Wisnu tersemat predikat general manager perusahaan pembuatan dan perdagangan kertas, Leo Graha Sukses Primatama. Sejatinya, perusahaan ini adalah pendaur ulang sampah, khususnya kertas. Sejak sekitar dua tahun silam, Wisnu mengembangkan sayap: membuat atap gelombang bermaterikan aluminium dan plastik yang tersisa dari kemasan minuman dan karton.

Meneruskan usaha dari orangtuanya itu, Wisnu tampak bangga dengan apa yang dia jalani. “Sejak kecil saya sudah bermain sampah,” katanya diikuti senyum lebar.

Sampah-sampah kertas telah dia geluti sejak lama. Dari berbagai jenis kertas buangan, perusahaannya mampu memproses berbagai jenis kertas baru. Dari yang paling tipis hingga kertas kardus yang tebal. “Kertas apa saja kita bisa buat. Ukuran 18 gram (jenis ketebalan kertas umumnya ditandai lewat bobotnya, gramatur) sampai 1.200 gram. Mau yang kertas coklat, mau yang kertas putih, kami buat,” katanya.


Dua tahun lampau, perusahaan kemasan minuman dan makanan cair Tetra Pak mendekatinya. Leo Graha memang telah lama menampung kemasan-kemasan karton bekas pakai, termasuk karton-karton kemasan. Namun, sebuah kotak karton pengemas susu tak seluruhnya terbuat dari kertas keras.

Satu kotak karton produksi Tetra Pak, misalnya, terdiri atas 75 persen kertas. Namun, untuk menjamin isi minuman atau makanan cair bebas kuman dan tahan lama, kotak itu memerlukan 21 persen lembaran tipis plastik polietilena dan 4 persen lembaran aluminium.

Pada 2017 saja, ujar Manajer Lingkungan Tetra Pak Indonesia Reza Andrento, perusahaannya menyuplai 6.637 ton kemasan karton ke produsen minuman dan pangan cair. Kalau toh seluruh bagian kertasnya termanfaatkan, masih ada 1.660 ton plastik dan aluminium sisa pakai yang tetap menjadi sampah.

Tetra Pak pun menyodori Wisnu kerja sama investasi membuat atap gelombang dari 25 persen bahan kemasan karton sisa pakai tersebut. Perusahaan asal Swedia itu punya keyakinan besar karena cabang mereka di sejumlah negara, seperti Brasil, sukses membuat dan memasarkan produk tersebut.

Aluminium foil.

Gayung bersambut. Wisnu melihat peluang tambahan dari seluruh suplai sampah karton kemasan yang dia terima. Bagian kertasnya sudah lama menjadi bahan baku perusahaannya. Kini, dia melihat aluminium. “Kapan lagi saya mendapatkan aluminium murah. Dan aluminium adalah bahan paling bagus untuk membuat atap,” ujarnya.

Bagian plastik di kemasan karton pun menjadi material penting pembuat atap. Plastik itu menjadi lem yang merekatkan cacahan-cacahan aluminium. Alur pembuatan atap gelombang itu sederhana. Kotak-kotak karton bercampur air digiling dalam bak besar untuk memisahkan tiga bahan pembentuknya. Bubur kertas lalu disalurkan dengan pipa untuk diolah menjadi kertas baru, cacahan aluminium dan plastik yang tersisa lalu dikeringkan berulang-ulang.

Setelah itu dengan dibungkus sarung lembaran aluminium baru, cacahan aluminium serta plastik dicetak dan dipanaskan untuk memperoleh bentuknya. Sehari, Wisnu bisa menghasilkan 300 lembar atap gelombang berukuran 2,1 kali 0,85 meter. Atap itu dijual Rp 60.000 per lembar jauh lebih murah dari atap seng dan bersaing dengan atap asbestos.

Saya belum mempromosikan produk ini. Tapi hingga setahun ke depan, pesanan telah penuh,” ujarnya sambil memperagakan kekuatan atap tersebut. Diinjak, dilindas mobil, atap itu tetap tak berubah bentuk.


Plastik sang penyelamat
Plastik memang selalu hadir menemani kita. Kemasan: botol, bungkusan, atau saset hanyalah sedikit dari yang kentara. Dari penjepit rambut di kepala, kancing baju di badan, pulpen di saku, hingga tali sandal jepit yang berbentuk huruf “Y” adalah juga plastik yang terkadang abai kita sadari. Dia juga melekat pada pakaian yang kita kenakan. Bukankah nilon, serat sintetis yang dibuat dari kandungan batu bara, air, dan udara juga tergolong plastik.

Polyester yang benang sintetisnya digunakan luas menjadi kain dan pakaian, juga satu keluarga dengan polimer pembuat botol minuman. Kita menyebutnya dengan botol PET, polyethylene terephthalate.

Plastik, kata yang kita kenal dengan begitu akrab itu berakar kata dari bahasa Yunani: plastikos. Artinya, yang dapat dibentuk atau dicetak. Dan kata itu mengacu pada berbagai produk jadi dengan merekayasa bahan baku berupa polimer, alami ataupun sintetis.

Polimer sendiri merupakan senyawa yang disusun oleh molekul-molekul karbon bersama hidrogen, nitrogen, dan oksigen. Pilihan dan susunan atom-atom pendamping karbon itulah yang membedakan jenis spesifik polimer yang terbentuk.

Barang-barang sehari-hari yang ada di lingkungan kita banyak yang berasal dari plastik.

Meski ikatannya sederhana, molekul-molekul itu saling berkait membentuk rantai yang panjang. Saking panjangnya, beberapa belas tahun sejak pertama kali dikenali 158 tahun silam, para peneliti awal mengira polimer merupakan sebuah molekul raksasa.

Kita terperangah, sama seperti para ahli satwa bakal tercengang jika ada yang bilang pada mereka, nun di pelosok Afrika, ada gajah yang panjangnya 450 meter dan tingginya 90 meter,” ujar seorang ahli kimia Jerman dalam sebuah seminar di Berlin, 1926.

Di alam, “molekul-molekul raksasa” sesungguhnya sudah menjadi bagian dari kehidupan berbagai makhluk yang mendiami Bumi. Karet, damar, sel pembungkus daun, zat pati, tanduk sapi, katun, semua merupakan polimer alam. Namun hasrat untuk meniru keajaiban alam tersebut semakin keras menuntut manusia di pengujung abad ke-19.

Di masa-masa itulah revolusi industri berbuah di Eropa dan Amerika Utara: berbagai barang kebutuhan mampu diproduksi secara massal dan relatif cepat. Dan ekonomi konsumtif tumbuh pesat. Pasar menggeliat melintasi batas-batas negara. Tantangannya: bahan baku yang sebagian datang dari negeri-negeri jajahan nun jauh terasa mulai tak mampu mencukupi, dalam jumlah, juga dalam kecepatan ketersediaannya.


Pada 1867 harian terkemuka AS, New York Times menuliskan kekhawatiran para ilmuwan dan naturalis bahwa gajah, satwa darat terbesar di bumi, bakal segera punah menyusul sepupunya dari zaman es, mamut. Pasalnya, permintaan di dunia barat terhadap gading terus meningkat.

Ketika itu, gading merupakan bahan baku untuk membuat berbagai barang. Dari kancing baju hingga tuts piano. Dari sisir hingga bola biliar. Setiap tahun, AS membutuhkan lebih dari 500 ton gading gajah dan memaksa Sri Lanka —salah satu pemasok gading— membantai sekitar 1.750 gajah dalam waktu kurang dari tiga tahun.

Maka, ketika John Wesley Hyatt yang bukan ahli kimia tetapi merupakan penemu yang produktif mampu menciptakan “gading tiruan” dengan mencampur kamper dan nitroselulosa pada 1872, selamat pulalah masa depan gajah-gajah liar di Asia dan Afrika (ketika itu). Para penyu yang juga dilirik cangkangnya juga bisa tersenyum —untuk sementara waktu.

Plastik mampu mengatasi keterbatasan. Dalam Perang Dunia II ketika negeri-negeri jajahan di Asia Timur dan Tenggara dikuasai Jepang dan kapal-kapal sekutu dan kekuatan Jerman saling menghancurkan di Samudra Atlantik, kedua kubu berada di titik kritis. AS mampu melewati titik itu karena plastik. Lewat polimer buatan, AS bisa terus menyuplai ban-ban kendaraan militer mereka dan mengerahkan pasukan payung yang diterjunkan dengan parasut-parasut nilon si sutra sintetis.


Dengan merebaknya industri ekstraksi bahan bakar fosil —bahan baku penting bagi pembuatan plastik modern— istilah mengatasi keterbatasan itu berganti menjadi tak terbatas. Plastik menggantikan kayu, logam, katun, dan apa saja untuk dibentuk menjadi apa saja dalam jumlah sebanyak yang bisa diserap dan “dipaksakan” (dengan iklan dan rangsangan konsumtivisme lainnya) pada konsumen.

Satu setengah abad berlalu, plastik yang sangat berguna bagi manusia dan praktis tersebut ternyata tak berguna bagi alam. Plastik-plastik bekas pakai menjadi sampah permanen dan menggerus keseimbangan alam.

Banyak masyarakat di negara-negara yang belum memiliki manajemen pengelolaan sampah yang bagus mengambil cara pintas mengatasi sampah plastik. Bank Dunia merilis data, sekitar 90 persen dari sampah di negara-negara berpendapatan rendah dibuang begitu saja, lalu sebagian di antaranya “dibersihkan” dengan dibakar.

Tanah memang bebas sampah plastik lewat pembakaran itu. Namun, tidak dengan atmosfer. Karbon terlepas dari ikatan senyawanya dan ikut menyumbang bagi fenomena yang terus kita takuti: pemanasan global dan perubahan iklim. Pembakaran sampah diperkirakan ikut menyumbang 5 persen emisi karbon ke atmosfer.


Di laut, tak ada samudra yang lolos dari sampah plastik. Jika pun tampak bening dan bersih, tak berarti sebuah perairan bebas dari plastik. Konferensi Para Pihak Ke-24 (COP24) di Katowice, Polandia paruh pertama Desember 2018 yang digelar untuk mencari strategi penyelamatan Bumi dari perubahan iklim, tak luput menyoroti ancaman mikroplastik.

Pencemaran mikroplastik —dari sampah-sampah plastik yang hancur, tetapi tak terurai— terus menjadi sorotan dalam satu dekade terakhir. Itu terutama karena mikroplastik dapat dimakan ikan, mengendap dalam sistem pencernaan atau diserap tubuh mereka. Pada akhirnya, manusia yang mengonsumsi ikan juga bakal terdampak.

Mikroplastik bahkan telah mencemari perairan yang jauh dari konsentrasi tempat tinggal manusia, Samudra Arktika di Kutub Utara. Bahkan, konsentrasi mikroplastik di perairan tersebut paling tinggi di seluruh dunia. “Tampaknya, arus laut membawa polusi ini —dari plastik yang diproduksi dan dibuang di wilayah berpopulasi di Bumi— ke Kutub Utara,” ujar Karen Frey, profesor Geografi Universitas Clark, Worchester, AS.


Kitab tentang satwa
Lebih dari 1.200 tahun lalu, cendekiawan dan pujangga Muslim, Abu Utsman Amr ibn Bahr al-Kinani al-Fuqaymi al-Basri (781-869), merampungkan mahakaryanya. Kitab al-Hayawan, begitu si pujangga Al-Jahiz menyematkan judulnya. Para ilmuwan barat menerjemahkannya dengan Kitab tentang Satwa. Ada pula yang menyadurnya sebagai Kitab tentang Kehidupan.

Kitab al-Hayawan bukanlah buku teks ilmu pengetahuan dengan struktur ilmiah yang baku. Uraian Al-Jahiz tentang beragam satwa dituturkan dalam bahasa dan cerita yang puitis. Itu menyadarkan kalangan cendekiawan, Al-Jahiz-lah yang pertama kali memikirkan tentang evolusi, jauh sebelum teori evolusi dirintis Charles Darwin dan Alfred Russel Wallace.

Dalam kitab itu pula para jauhari menemukan dasar pemikiran tentang rantai makanan. Rumput menjadi pakan domba, domba dimangsa anjing hutan, anjing hutan diterkam singa. Singa tua yang tak lagi kuasa, kemudian mati, membusuk, menjadi tanah. Di sana pula kemudian tumbuh kembali rumput sebagai makanan domba.

Pemikiran tersebut terus berkembang hingga pakar ekologi Universitas Oxford, Inggris, Charles Sutherland Elton (1900-1991), mengembangkan tentang teori jaring makanan. Kini dalam dunia modern yang kita bentuk, teladan dalam siklus alam itu ditiru manusia bagi produk budaya yang ditolak oleh tanah: plastik.


Manusia memang sangat tak mampu mengembalikan sampah plastik kembali menjadi senyawa etilen dari gas bumi yang menjadi bahan baku polimer polietilena (PE). Namun, paling tidak, polimer dapat didaur ulang: polimer PE dibuat menjadi botol minuman ringan, botol dibuang ke bak sampah, dikumpulkan pengepul, lalu dibuat kembali menjadi botol sabun cuci.

Dari bahan baku kembali menjadi bahan baku. Dari produk kembali menjadi produk. Manusia menyebutnya dengan ekonomi sirkular. Dan, dunia belum pernah menyadari teramat pentingnya mendaur ulang sampah plastik dalam ekonomi sirkular hingga tahun lalu.

Saat itulah, importir terbesar sampah (baca: bahan baku plastik bekas pakai) China berhenti membeli bahan baku seperti itu. Tahun lalu lewat program Operasi Pedang Nasional, Pemerintah China melarang impor 24 jenis sampah. Tahun ini, jumlah tersebut bakal ditambah dengan 32 ragam sampah lainnya.

Negeri dengan industri daur ulang terbesar di dunia itu juga tak mau mengambil risiko lingkungan dengan banyaknya sampah (termasuk plastik yang menjadi bagian amat besar) di negara tersebut. Lagi pula, dengan jumlah penduduknya yang 1,3 miliar jiwa, produksi bahan baku bekas pakai toh sudah cukup melimpah.


Keputusan China yang sebelumnya menampung 45 persen impor sampah global tersebut mengguncang banyak negara. Baru disadari, tak banyak negara yang punya strategi ekonomi sirkular memadai. Bahkan pada negara-negara berteknologi dan berekonomi maju.

Jepang, misalnya, kelimpungan dengan “mampetnya” alur manajemen sampah mereka. Pada 2017, misalnya, separuh dari 1,5 juta ton sampah plastik negeri itu “dibersihkan” dengan cara ekspor. Tambahan bahan baku plastik bekas dua kali lipat secara mendadak menjadi pukulan telak bagi industri daur ulang, apalagi bagi pemerintah lokal di Jepang yang bertanggung jawab dalam tata kelola sampah dan limbah.

Negara-negara Uni Eropa juga kalang kabut dengan langkah China. Selama ini setiap tahun, para anggota Uni Eropa hanya bisa mendaur ulang seperempat dari total 25-26 juta ton sampah plastik yang dihasilkan. Adapun sekitar separuh dari jumlah sampah tersebut diekspor ke China.

Maka, para petinggi Uni Eropa berkumpul dan merumuskan 60 langkah penanggulangan yang bakal diumumkan bulan ini. Intinya, pemerintah di benua itu ingin seluruh perusahaan swasta lebih banyak menggunakan produk plastik hasil daur ulang.

Saat ini, kalangan swasta di Eropa hanya menyerap 2,5 juta ton plastik daur ulang per tahun. Hitung-hitungan Uni Eropa, jika benua itu ingin selamat dari timbunan sampah plastik, setidaknya hingga 2025, pihak swasta di sana harus sudah menyerap 10 juta ton produk plastik daur ulang.


Di Indonesia, Wisnu dengan perusahaan Leo Graha-nya merupakan praktisi ekonomi sirkular. Wisnu sudah lama bermitra dengan produsen kemasan karton Tetra Pak. Perusahaan asal Swedia itu sendiri telah lama merintis jalinan kemitraan ekonomi sirkular di negeri ini. Mereka telah 10 tahun merajut kerja sama dengan mitra pengumpul dan pendaur ulang sampah kemasan karton EcoBali Recycling.

Kemitraan dengan produsen sumber sampah diakui aktivis lingkungan Swietenia Puspa Lestari sebagai hal yang penting. Tenia, begitu gadis 23 tahun itu disapa, adalah Direktur Eksekutif Divers Clean Action (DCA), organisasi nonpemerintah yang berkecimpung di bidang pelestarian lingkungan.

DCA berfokus dalam kebersihan pesisir dan laut dari sampah. Di Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta, DCA mendorong warga bergiat sebagai bank sampah: penampung, pengemas, dan menyalurkan sampah plastik ke pengepul yang meneruskannya ke pabrik-pabrik pendaur ulang.

Dengan dipayungi perusahaan produsen sumber sampah plastik, tutur Tenia, warga si bank sampah memperoleh jaminan harga beli yang stabil. “Jika langsung berhubungan dengan pengumpul, besaran harga tidak bisa dipegang. Jika begitu terus, animo warga untuk tetap menjadi bank sampah bisa hilang,” kata Tenia. Akibatnya bisa ditebak, upaya untuk melepaskan alam dari pencemaran sampah plastik kembali dari nol.


Praktik hubungan antarentitas bisnis dalam ekonomi sirkular —perusahaan pengumpul sampah industri — perusahaan pendaur ulang sampah— sesungguhnya sudah banyak terjalin di Indonesia. Di satu sisi, pola tersebut menjadi solusi dari ancaman pencemaran sampah.

Namun, ekonomi sirkular sama sekali bukan rantai makanan alam yang sempurna. Produk daur ulang plastik bekas, misalnya, sulit dijadikan produk barang dalam bentuk, kualitas, dan kegunaan yang sama.

Plastik dan aluminium kemasan karton sebagai contoh, tak lagi bisa didaur ulang sebagai bagian dari kemasan karton yang baru. Dia menjadi atap gelombang. Sangat bermanfaat tentu bagi lingkungan. Seperti kata Wisnu, “daripada plastik dan aluminium itu ada di laut selama 15 tahun, lebih baik ada di atas kepala kita sebagai atap selama 15 tahun”.

Bagaimanapun, perputaran bahan baku plastik bekas tak bisa terus-menerus dalam siklus yang berulang hingga akhir zaman. Pada satu waktu, dia akan tetap menjadi sampah yang tak lagi bisa diapa-apakan jua.


Karena itu, pesan kuno untuk berhemat kembali memperoleh aktualitasnya. Jika kita memiliki sebuah botol minum plastik, tepat untuk tetap setia padanya dibandingkan kita menambah dengan dua-tiga botol lagi karena terpikat dengan warnanya yang indah dan bentuknya yang lucu.

Semakin kita berhemat, semakin berkurang pula sampah yang kita hasilkan. Dan bertahun dari sekarang, semakin ringan pula tekanan pada lingkungan, juga pada entitas ekonomi sirkular —seperti yang dirasakan Jepang dan Uni Eropa sekarang. (AFP/REUTERS)

Referensi teks dan tabel:
United Nations Environment Programme, Global Waste Management Outlook 2015
Adam Hart-Davis, "The Age of Plastics" dalam Science, Dorling Kinderley Limited 2012
Eric Elliott, Polymers & People, Beckman Center, 1990

Yunas Santhani Aziz,
Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 7 Januari 2019

Tidak ada komentar: