21 Januari, 2019

Capres Fiktif dan Kode Keputusasaan


Kemunculan calon presiden dan wakil presiden fiktif, Nurhadi-Aldo, di jagat maya secara komedik berhasil meramaikan situasi politik hari-hari ini.

Kandidat yang populer mula-mula dari akun Instagram (yang hingga kini diikuti ratusan ribu pengikut) ini menguraikan visi-misi dan program yang sebagian besar berisi humor dan sindiran.

Beberapa orang merasa tidak nyaman dengan pasangan fiktif tersebut, terutama lantaran konten kampanyenya yang banyak menyindir elite politik dan partai. Nurhadi-Aldo dianggap sebagai pembiasan dari politik yang normal, dan karena itu tidak perlu diberi perhatian lebih sebagaimana hiasan komedik belaka. Kekhawatiran paling lanjut, dan barangkali agak mengada-ada, adalah bahwa kandidat fiktif dapat menurunkan elektabilitas kandidat riil yang terdaftar dalam pemilu.

Namun, sebagai bagian dari keriuhan publik, tersisa pertanyaan besar: mengapa kandidat fiktif ini muncul? Sedangkah ia menyediakan sebuah pertanda dari sesuatu hal lain yang wajib disimak? Apakah kejenakaan ini sesungguhnya adalah semacam “subversi” dari buntunya diskusi substantif menyangkut ide dan gagasan kandidat riil?


Satire politik
Berdomisili di Kudus, sehari-hari Nurhadi hanyalah tukang pijat urut tradisional yang membuka praktik di rumahnya yang sederhana di Desa Gulangtepos, Kecamatan Mejobo. Tentu saja dapat ditebak ia tak punya pengalaman politik, apalagi berkontestasi secara serius dalam konvensi atau penyaringan kandidat. Namun, sebuah frustrasi politik yang penuh basa-basi dan perdebatan miskin substansi dapat ditebang seketika tatkala potret Nurhadi dan kutipan-kutipannya yang jenaka diunggah di media sosial. Publik merespons baik dan turut melipatgandakan partisipasi untuk konten-konten kreatif Nurhadi-Aldo.

Sebagaimana amat lazim diketahui, debat politik hari-hari ini berkutat dalam banyak sekali kemubaziran. Tidak perlu mata terlatih untuk menilai mutu debat politik kita: mulai dari adu argumen ihwal tempe setipis ATM hingga cara berwudlu yang baik dan benar. Belum lagi soal siapa kontestan yang pantas menyandang status ulama dan mana yang paling ahli menjadi imam shalat.

Ke mana pembahasan tentang skema konkret dan peta jalan pembangunan teknologi Indonesia di masa depan? Atau penyelesaian nasib petani yang bertahun-tahun ditindas tengkulak? Atau perumusan mekanisme dalam menuntaskan pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) di masa lampau? Bagaimana dan di mana publik bisa mengakses adu gagasan atas isu-isu itu? Tema-tema ini lenyap ditenggak syahwat keserakahan untuk menang.

Dengan demikian, satire politik Nurhadi-Aldo adalah juga kode yang amat kuat atas keputusasaan politik. Lenyapnya gagasan dan rusaknya ideologi politik telanjur dipercaya sebagai sebuah keadaan mutlak yang tak dapat diubah. Publik kehilangan teladan yang dapat dipercaya.


Frustrasi politik
Penting untuk diperhatikan tahap menentukan dari prosesi pemilu hari ini dan masa lampau. Kehadiran teknologi siber telah berhasil mendefinisikan ulang jagat politik; tidak lagi dilihat sebagai medan fisik yang dijubeli kampanye baliho dan parade panggung terbuka dangdut, tetapi telah bermetamorfosis menjadi ruang-ruang digital yang tak berbatas dalam membagi segala macam teks dan konten.

Dalam konteks sekarang, internet harus dihitung sebagai “infrastruktur politik” yang memediasi seluruh kepentingan, diskursus, dan pesan, atau aspirasi politik publik. Teknologi ini banyak menghabisi konvensionalitas politik: mulai dari perubahan teknik kampanye hingga pendekatan elite kepada publik. Media digital pula yang memfasilitasi kekesalan, kritik, atau cacian —dari yang paling sopan hingga yang paling liar.

Kadang-kadang tidak terlalu diperlukan kedalaman argumentasi atau rasionalitas dan kerapian pikiran untuk mendesain sebuah pesan. Teks tidak lagi dicipta dengan ukuran kedalaman. Logika dan rasio teks justru dibalik dan dipertukarkan sehingga yang tertinggal adalah sebuah anomali, paradoks, olok-olok, dan cemooh.

Nurhadi adalah tukang pijat urut tradisional yang membuka praktik di rumahnya yang sederhana di Desa Gulangtepos, Kecamatan Mejobo, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.

Komedi Nurhadi-Aldo persis menunjukkan olok-olok yang amat serius dari hancurnya ruang publik politik. Inilah bentuk antitesis dari oligarki ruang publik yang terlalu lama didominasi oleh perbincangan kelompok elitis sekaligus dipenuh-sesaki oleh tema-tema yang tak substantif. Publik telah lama dikepung oleh keragu-raguan untuk mempercayai pada kubu sebelah mana kebaikan yang sejati akan didapat.

Dilihat dari sudut pandang ini, Nurhadi-Aldo adalah pantulan frustrasi politik yang menemui saluran idealnya melalui media digital. Kritik dan satire tajam —sebagaimana ditunjukkan lewat capres-cawapres fiktif— hampir tak bisa dibayangkan dapat disampaikan secara langsung dan terbuka di forum publik riil. Konfidensi ekspresi politik muncul di dunia maya, bahkan secara kreatif mengalami intensitas melalui kejenakaan komedik dengan segala amunisi satirenya.

Jika humor satire Nurhadi-Aldo dianggap sebagai sebuah strategi, ia menjadi metode efektif dalam menggugat kebuntuan diskusi elite dalam ranah kontestasi pemilu. Satire ini juga bentuk dari subversi atau penggugatan atas makna dalam realitas politik yang dikorup secara habis-habisan melalui tema-tema dangkal dan nirfaedah.

Rendy Pahrun Wadipalapa
Pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga
KOMPAS, 19 Januari 2019

Tidak ada komentar: