05 April, 2015

Etika dan Etiket dalam Argumentasi


Di KompasTV, Ahok yang temperamental itu, saking emosinya, mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan, jelasnya “ta*k” dan “bangsa*”.

Presenter sudah memperingatkan bahwa ini adalah acara live, tetapi Ahok sudah mata gelap dan lepas kendali (namanya juga manusia, bisa salah) sehingga akhirnya KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) mengeluarkan “kartu kuning” (pinjam istilah sepak bola) buat KompasTV. Wajar banget, Ahok pun sudah menyadari kesalahannya dan meminta maaf.

Tapi, jangan lupa, beberapa waktu sebelumnya, dalam sidang pengesahan APBD DKI yang dead lock itu, dalam keadaan sama-sama emosi, seorang anggota DPRD juga mengeluarkan kata-kata “anji**” dan “Ci*a” yang ditunjukkan kepada Ahok. Tidak dibreidel oleh KPI karena sempat ditutup dengan bunyi “tit..tit..” sebelum ditayangkan (siaran tunda). Kata-kata rasis adalah yang nomor satu tidak sopannya. Jauh di atas kata-kata kebun binatang. Tapi di lingkungan kebun binatang pun ada kelas-kelasnya.

“Anji**” lebih tinggi kelasnya dari pada “bangsa*” yang arti sesungguhnya adalah kepinding, tumila atau kutu busuk yang sering sembunyi di kursi-kursi rotan bioskop Megaria dan Menteng di zaman saya masih pacaran, yang membikin paha para penonton gatal-gatal dan merah-merah (kalau mau nonton harus berbekal kertas koran untuk melapisi kursi rotan).


Di era Cinema XXI sekarang ini, dunia perbangsatan sudah lama punah karena kursi-kursi sudah terbuat dari kulit dan udara dalam ruangan sejuk, lagi pula kursi dibersihkan setiap hari. Tapi kata “anji**” pun di telinga sebagian orang tergolong biasa-biasa saja. Jenderal Hugeng (alm) yang dikenal sebagai jenderal polisi yang paling jujur dan paling santun ––dan seorang vokalis pula–– mengakui dalam buku memoarnya bahwa sebagai orang Pekalongan, ia menyapa teman sekampungnya kalau sudah lama tidak bertemu dengan kata-kata “asu” yang artinya adalah “anji**” juga.

Di Surabaya, antar-arek-arek biasa mereka saling menyapa dengan ucapan yang paling akrab buat mereka, yaitu “jancu*”, yang artinya adalah hubungan intim, jauh lebih kasar daripada menyebutkan isi toilet doang. Jadi sumpah-serapah itu, walaupun bisa bikin telinga orang merah-kuning-hijau seperti lampu lalu lintas, tidak berlaku umum. Hanya berlaku di kalangan tertentu.

Di tempat lain, suatu sumpah serapah bisa dianggap biasa saja. Jadi tidak universal. Sama tidak universalnya dengan cara makan. Di istana Kerajaan Tiongkok, jamuan makan disiapkan dengan mangkuk dan sumpit.

Para bangsawan, dengan baju-baju kehormatannya, memunguti nasi, bakmi, atau mata ikan dari sup kepala ikan dengan sumpitnya, dan menyeruput kuah supnya langsung dari mangkuk seperti orang minum kopi sambil berbunyi keras-keras ... sruuut ...sruuut...!! Nah, kalau ada orang Prancis di situ, langsung isi perutnya mau keluar semua.


Sebaliknya orang Prancis biasa makan dengan seperangkat alat makan yang berlapis-lapis dan harus digunakan berurutan sesuai dengan aturan, yang bisa makan waktu 3 jam sekali makan. Kalau ada orang Tionghoa di situ, bisa jadi si Tionghoa sudah ketiduran sebelum jamuan makan selesai. Sopan santun yang tidak universal ini dalam ilmu filsafat disebut etiket. Setiap tempat, waktu, kelompok, suku, dan budaya bisa punya etiket sendiri.

Tapi yang jauh lebih penting adalah etika, yaitu nilai-nilai yang lebih dalam, lebih luhur dan berlaku universal, seperti keharusan menghormati orang tua, larangan untuk membunuh orang tak berdosa, menjunjung tinggi keadilan, dan sebagainya, termasuk tentu saja antikorupsi. Nilai universal antikorupsi inilah sebenarnya yang sedang dibela Ahok dalam perdebatan tentang APBD DKI.

Dalam sebuah wawancara dengan wartawan TV yang mencegatnya setelah dia keluar dari suatu pertemuan, Ahok pernah bercerita tentang anggota DPRD yang punya Lamborghini. Buat Ahok, tidak masuk akal seorang anggota, walaupun dia wakil ketua DPRD Jakarta, untuk bisa mempunyai mobil Lamborghini. Argumentasi Ahok kira-kira seperti ini: (1) mobil Lamborghini adalah mobil yang sangat mahal, (2) gaji seorang anggota DPRD DKI tidak cukup banyak buat membeli Lamborghini; jadi (3) seorang anggota DPRD DKI tidak akan mungkin punya Lamborghini.

Nah, ketika ternyata ada anggota DPRD DKI yang mempunyai Lamborghini, Ahok menyimpulkan, pasti ada yang salah di sini. Maka mau tidak mau logika selanjutnya langsung nyambung ke korupsi. Logika yang saling sambung-menyambung inilah yang disebut argumentasi. Argumentasi adalah gabungan beberapa “premis”, yaitu pernyataan-pernyataan yang sudah teruji kebenarannya, yang saling mendukung dan menghasilkan kesimpulan yang sama benarnya, yang akan menjadi premis baru.


Ilmu pengetahuan pada dasarnya dibangun atas dasar sambung-menyambung rangkaian premis itu. Karena itulah dalil-dalil ilmu pengetahuan sulit digugurkan. Karena itulah argumentasi Ahok, khususnya tentang dana Rp 12 Triliun yang dicoba disisipkan di APBD, sulit sekali untuk bisa dipatahkan.

Semuanya tersusun dalam argumentasi (dalam bahasa filsafat: silogisme) yang memenuhi hukum-hukum logika yang memang (menurut pengamatan saya pribadi) merupakan salah satu kekuatan Ahok.

Di sisi lain, kekuatan logika ini memang rentan untuk digugurkan, antara lain melalui pendekatan diluar logika, termasuk pendekatan kekuasaan, pengerahan massa, perkoncoan, gratifikasi, pelintiran pernyataan, doktrin, kepercayaan, takhayul, dan masih banyak lagi. Tapi yang paling sulit adalah bahwa logika itu bisa dikecoh dengan logika juga. Misalnya, perhatikan baik-baik argumentasi atau silogisme ini: (1) anjing bernapas, (2) Ahok bernapas, jadi (3) Ahok adalah anjing.

Waduh ... bagaimana ini? Itulah yang dalam ilmu logika disebut sesat pikir. Pikiran kita tersesat karena melanggar salah satu hukum silogisme. Untuk mengujinya gampang saja. Ganti saja kata “Ahok” dengan “Sarlito”. Kalau kesimpulan Anda adalah Sarlito itu anjing, Anda sedang membaca tulisan seekor anjing.

Sarlito Wirawan Sarwono,
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 29 Maret 2015

Tidak ada komentar: