15 Maret, 2015

Pemimpin


Kekuasaan mengurung orang dalam kesendirian, dan terkadang mengutuknya dalam kesepian. Ini bisa terjadi pada pemimpin mana saja, namun hanya sebuah novel yang bagus yang bisa melukiskannya: Cien anos de soledad (“Seratus Tahun Kesendirian”), karya tersohor Gabriel Garcia Marquez.

Mari kita baca lagi Marquez ketika ia lukiskan tahapan hidup Kolonel Aureliano Buendia sejak kekuasaannya semakin besar.


Di malam itu juga, ketika wewenangnya diakui semua komandan pemberontakan, ia terbangun dengan ketakutan, dan berseru meminta selimut. Dingin yang meretakkan tulang-tulangnya, yang menyiksanya bahkan di bawah terik matahari, telah membuatnya tak bisa tidur selama berbulan-bulan .... Mabuk kekuasaan yang semula dirasakannya pun mulai terburai ditempa rasa tak nyaman yang datang bergelombang .... Perintahnya dilaksanakan bahkan sebelum ia ucapkan, bahkan sebelum ia pikirkan .... Tersesat dalam kesendirian kekuasaannya yang amat besar, ia mulai kehilangan arah.

Bagi sang Kolonel, dalam “kesendirian kekuasaannya” itu dunia dan manusia membuatnya risau. Ketika di dusun sebelah penduduk mengelu-elukannya dengan ramai, ia bayangkan sambutan itu juga diberikan orang-orang itu kepada musuhnya. Di mana-mana ia merasa orang menggunakan matanya, mata sang pemimpin, dalam menatap, menggunakan suaranya “suara sang pemimpin” sewaktu berbicara. Ia duga mereka menyalaminya dengan rasa curiga sebagaimana ia menyalami mereka.


Dirinya pun terasa tercerai-berai dan lebih sendirian ketimbang sebelumnya. Dan akhirnya --meskipun di awal novel ini disebut bahwa sang tokoh akan mati di depan regu tembak-- Aureliano Buendia meninggal tanpa heroisme: ia mati tersandar di batang pohon castano tempat ayahnya yang sakit jiwa bertahun-tahun yang lalu diikat. Jalan raya yang dulu memakai namanya kemudian lenyap.

Tentu tak semua orang yang berkuasa akan berakhir suram. Tapi satu hal pasti: kesendiriannya. Di puncak piramida kekuasaan, orang tak akan bisa naik banding. The buck stops here: sebuah kalimat yang tertulis di atas meja kerja Presiden Harry S. Truman di Gedung Putih. Jika sebuah kebijakan sesat, sang presiden itulah yang akhirnya harus disalahkan. Sang presiden sendiri.


Kesendirian mengandung keberanian, tapi juga sesuatu yang buruk: keangkuhan. Truman hanya mau melihat dunia dengan sepasang mata sendiri.

The buck stops here: akulah yang memutuskan, akulah yang bertanggung jawab. Agaknya itulah sikapnya ketika Agustus 1945 ia perintahkan bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki. Membunuh hampir 270 ribu orang Jepang, termasuk para ibu dan anak-anak, Truman tak pernah menyesal. Ketika Oppenheimer, salah seorang perancang bom atom, mengatakan, “Pak Presiden, tangan saya berlumur darah,” Truman menjawab ketus: “Yang berlumur darah adalah tanganku, dan biarlah ini jadi urusanku.

From Barefoot Gen, graphic novel about Hiroshima by Keiji Nakazawa, author and illustrator (Hadashi no Gen).

Truman tak pernah ragu. Ia tahu bahwa senjata itu sangat mengerikan, juga bagi masa depan manusia. Daya destruktifnya mirip, dalam gambaran Truman, “Pembinasaan dunia yang dinubuatkan di zaman Lembah Eufrat di masa Nabi Nuh.” Ia juga tahu sejumlah jenderalnya, termasuk Eisenhower, menganggap Amerika tak perlu menjatuhkan bom atom untuk menaklukkan Jepang, toh Jepang sudah nyaris menyerah. Tapi Truman terus. Ia hanya mendengar penasihat yang disukainya: mereka yang menyetujui pandangannya.

Maka bom itu pun meledak. Sejak itu selama berpuluh tahun dunia ketakutan, dan perlombaan senjata yang paling dahsyat dalam sejarah manusia berlangsung. Menuju sebuah kiamat.

Apa yang dapat mencegah seorang pemimpin tertinggi, dalam kesendiriannya, membuat keputusan yang destruktif? Jawaban yang sederhana dan tak mengejutkan: percakapan. Tapi saya kira bukan cuma itu. Justru di pucuk kekuasaan seseorang perlu melihat bahwa kekuasaan itu tak hanya membantunya naik, tapi juga memerosotkannya pelan-pelan.


2003: Presiden Vaclav Havel mengundurkan diri dari kehidupan politik Ceko. Sastrawan ini dulu dipilih jadi kepala negara setelah “Revolusi Beludru” yang tanpa percikan darah itu menang. Mungkin sebab itu ia orang yang peka akan rasa gentar yang tiap hari harus ditanggung sendiri oleh seseorang yang berkuasa.

Pidato perpisahannya diucapkan dengan nada murung tapi dengan kearifan yang dalam. Posisinya selama jadi kepala negara, katanya, bukan menyebabkannya beroleh pengalaman yang membuatnya yakin kepada diri sendiri. Justru sebaliknya: “Tiap hari saya kian menderita demam-panggung, tiap hari saya kian takut kalau-kalau saya tak pantas untuk pekerjaan ini.” Ia sadar, orang sekitarnya, juga hati nuraninya sendiri, tak lagi bertanya apa yang ideal bagi bangsanya dan bagaimana mengubah dunia jadi lebih baik. Lama-kelamaan yang ditanyakan hanya: apa yang sudah dicapainya dan apa yang akan jadi peninggalannya setelah tak berkuasa lagi.

Mungkin karena ia makin merasa sendirian jauh di atas.


Nun di atas, seorang pemimpin lebih mungkin melihat liku-liku perjalanan sejarah yang tak bisa ia kuasai. Di sana pula kesendirian dalam kekuasaan terasa sama dengan kesendirian penyair dalam puisi: masing-masing berada dalam kesunyian yang tak bisa diwakilkan.

Tapi, kalaupun sejarah pernah membuat seorang penyair mengalami posisi penguasa, kalaupun sejarah menjadikan sang penyair seorang pemimpin, kita, kata Havel, “Tak dapat mengharapkan dunia akan tiba-tiba jadi sebuah sajak.

Dunia memang tak akan jadi sesuatu yang indah hanya berkat kekuasaan seorang pemimpin --kekuasaan yang mengurungnya dalam kesendirian.

Goenawan Mohamad
http://www.tempo.co/read/caping/2015/02/23/129742/Pemimpin

Tidak ada komentar: