24 Mei, 2014

Perennial Wisdom


Kapan pun diterbitkan, semua buku terasa baru ketika pertama kali dijumpai dan dibaca. Sebagaimana juga setiap anak manusia yang baru terlahir seakan bumi ini baru tercipta untuknya, padahal sudah lama dihuni oleh nenek moyangnya.

Ketika kita membaca buku, seringkali merasakan di sana tak ada gagasan baru. Banyak informasi dan pernyataan klasik yang diulang-ulang kembali. Ini amat terasakan ketika kita membahas pesan moral, misalnya tentang kejujuran, keberanian, kasih sayang, semangat saling tolong-menolong serta melayani, dan sebagainya. Bukankah sejak zaman Yunani Kuno sampai sekarang gagasan tentang kejujuran tak pernah berubah? Begitu pun teks kandungan kitab suci justru selalu dijaga keasliannya.

Meski diwahyukan ratusan atau ribuan tahun silam, kitab suci masih tetap menarik dibaca dan direnungkan karena apa yang disajikan merupakan perennial and timeless wisdom atau al-hikmah al-khalidah. Sebuah ajaran dan pesan kebaikan abadi yang tak pernah lekang oleh waktu. Dalam ajaran Islam, misalnya, tata cara dan adegan shalat memiliki bacaan baku yang wajib dibaca berulang kali tanpa perubahan, dan itu sudah berlangsung sejak belasan abad lalu. Meski diulang-ulang pesan dan kandungannya senantiasa aktual dan relevan. Artinya, tidak semua yang klasik dan lama berarti buruk dan mesti diganti.


Jika kita perhatikan sejarah peradaban manusia, pada masa klasik antara Abad V sebelum dan setelah Masehi, di berbagai belahan bumi muncul guru-guru peradaban yang telah meletakkan dasar kebajikan moral dan ajaran ketuhanan dengan bahasa dan latar budaya yang berbeda. Zaman itu ada yang menyebutnya sebagai axial age. Abad poros bagi peletakan fondasi moral dan ketuhanan bagi manusia. Pada abad-abad itu lahir para nabi dan orang-orang suci yang menyuarakan pesan langit sebagai pedoman hidup bagi penduduk bumi.

Prinsip-prinsip moral dan paham ketuhanan yang disebarkan oleh para rasul Tuhan itu berkembang sampai tingkat kematangan jauh mendahului abad kelahiran sains dan teknologi modern. Menariknya lagi, setelah Nabi Muhammad tak ada lagi sosok nabi. Kalaupun ada yang mengaku dirinya nabi utusan Tuhan, ajaran dan pengaruhnya tak mampu menyaingi para nabi-nabi sebelumnya yang oleh umat Islam Nabi Muhammad diyakini sebagai pamungkasnya.

Dengan mengamati ulang evolusi peradaban manusia, tampaknya Tuhan ingin menyampaikan sebuah pesan bahwa silakan manusia melakukan eksplorasi dan pengembangan sains serta ilmu pengetahuan dan teknologi ultramodern dengan anugerah nalar yang telah diberikan, tetapi jangan sampai melepaskan landasan moral yang sudah ditanamkan oleh para rasul-Nya. Kalau itu terjadi, prestasi iptek modern tak akan menjamin mampu membawa kebaikan dan kebahagiaan. Sementara itu jauh-jauh sebelumnya, Tuhan telah mengingatkan melalui para rasul-Nya agar nilai kebertuhanan dan moralitas harus menjadi fondasi kehidupan dan peradaban.

Karenanya, kita melihat dua orientasi pemikiran manusia. Dalam hal kreasi dan inovasi bidang sains, para ilmuwan mesti menatap dan melangkah ke depan. Bahkan sains cenderung dan bisa bersifat ahistoris. Namun dalam bidang agama dan humaniora, kita diajak menghubungkan diri ke sumber masa lalu yang menyediakan pesan wisdom of life . Sumber masa lalu itu jika ditelusuri dan didalami akan memperkenalkan kita pada guru-guru peradaban agung yang ajarannya pasti sejalan dengan bisikan nurani kita yang terdalam.


Orang beragama selalu ingin terhubung dengan sosok nabi pembawa ajaran suci yang hidup ratusan atau ribuan tahun yang lalu. Membayangkan ingin hidup sezaman dan berada di dekatnya. Sebaliknya, para ilmuwan sains melakukan eksplorasi dan pengembaraan ke masa depan bagaikan mengejar kaki langit. Ilmuwan selalu menatap dan melangkah ke depan, sementara agamawan selalu menengok dan mencari akar otentisitas ke belakang. Namun setelah pencari kebajikan abadi menemukan apa yang dicari di belakang, mereka harus kembali lagi memasuki percaturan hidup hari ini dan berjalan menuju hari esok untuk mendampingi gerak laju para ilmuwan.

Dengan demikian, apa yang disebut perennial wisdom dan formula sains sesungguhnya saling isi mengisi, saling bergandengan tangan, tidak boleh keduanya berpisah atau bahkan bermusuhan. Kalau itu terjadi, maka bangunan peradaban dan kebudayaan akan keropos, lumpuh dan ambruk. Dengan ungkapan lain, ajaran moral tanpa dukungan sains tak akan mampu menyelenggarakan kehidupan yang nyaman dan sejahtera. Sebaliknya, sains tanpa prinsip moral dan ketuhanan akan kehilangan dimensi transenden, kehidupan menjadi mekanistis dan dangkal.

Iptek sebagai aplikasi dari sains memang mampu menawarkan fasilitas hidup secara teknis agar terasa nyaman dan mudah dijalani. Tetapi iptek tak bisa mengambil alih ajaran moralitas agama yang menawarkan makna dan tujuan hidup transenden sehingga kehidupan tidak berhenti pada nihilisme, meaninglessness, dan absurditas.

Komaruddin Hidayat,
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
KORAN SINDO, 23 Mei 2014

Tidak ada komentar: