12 Oktober, 2009

Penulis Jerman Raih Nobel Sastra


Karyanya Kerap Disensor Pemerintah

Herta Mueller (56), penulis asal Jerman, meraih hadiah Nobel Sastra 2009 yang diumumkan tim juri di Stockholm, Swedia, Kamis (8/10). Tim juri menilai karya-karya Mueller menggambarkan secara kritis penindasan dan penghinaan oleh rezim komunis Nicolae Ceausescu.

Kemenangan Mueller ini seakan dukungan terhadap perayaan 20 tahun kejatuhan komunis. Juri menilai penulis perempuan kelahiran Romania itu sebagai penulis yang dengan kekuatan sajak serta kejujuran prosanya menggambarkan penindasan yang sangat kejam kediktatoran suatu rezim.

Mueller yang lahir di Romania memulai debutnya sebagai penulis tahun 1982 dengan menerbitkan kumpulan cerita pendek bertajuk Niederungen atau Titik Terendah. Di situ dikisahkan kekerasan hidup di sebuah kota yang warganya berbahasa Jerman di Romania. Namun, karyanya itu disensor pemerintah komunis. Dua tahun kemudian, versi yang tidak disensor diselundupkan ke Jerman. Tulisan itu dipublikasikan dan dibaca banyak orang.


Pada saat yang sama, Mueller menerbitkan Oppressive Tango di Romania. Namun, penerbitan itu dilarang karena kekritisannya terhadap kediktatoran pemerintahan Nicolae Ceausescu. ”Dengan memberikan penghargaan kepada Herta Mueller, komite mengakui sikap seorang penulis yang menolak sisi tak berperikemanusiaan dari rezim komunis,” kata Michael Krueger, pemimpin penerbitan Hanser Verlag yang menerbitkan buku Mueller.

Latar belakang kehidupan Mueller memang tidak lepas dari kekejaman rezim komunis. Ibunya sempat dikirim selama lima tahun sejak 1945 ke kamp tahanan di Uni Soviet.

Mueller awalnya bekerja sebagai penerjemah di perusahaan mesin tahun 1977-1979. Dia dipecat karena menolak menjadi pemberi informasi bagi polisi rahasia. Mueller meninggalkan Romania bersama suaminya, Richard Wagner, pada tahun 1987 dan hidup di Jerman. Mueller merupakan perempuan ke-12 yang menerima Nobel Sastra.

KOMPAS, 9 Oktober 2009


Hadiah Nobel untuk Herta Mueller

Nyatakanlah dengan pena! Demikianlah moto perjuangan Herta Mueller (56), dengan ekspresinya lewat berbagai tulisan, melawan korupsi, hingga kediktatoran Nicolae Ceausescu almarhum, diktator yang pernah memimpin Romania. Ceausescu, pembungkam kebebasan berekspresi, tewas ditembak orang tak dikenal pascakejatuhan komunis.

Sebaliknya, Mueller kemudian berhasil mendunia setelah dipilih sebagai peraih Hadiah Nobel Sastra 2009 oleh Akademi Swedia di Stockholm, Swedia, Kamis (8/10). Dia merupakan wanita ke-12 penerima nobel serupa, berhak menerima hadiah uang sekitar Rp 14 miliar.

Dengan demikian, wajar pula untuk menyatakan bahwa Mueller menjadi simbol perjuangan moral, menambah deretan nama yang pernah menjadi ikon dalam konteks serupa. ”Saya sungguh terkejut dan masih belum bisa percaya. Saya belum bisa berbicara banyak,” kata Mueller secara tertulis lewat penerbitnya di Berlin, Jerman.

Prestasi Mueller sekaligus menjadikan wanita lebih terhormat. Dia adalah wanita keempat pada tahun 2009 yang menerima hadiah nobel. Selama ini maksimal hanya ada tiga wanita penerima nobel, yakni pada 2004.


Hari Senin lalu dua wanita, yakni Elizabeth Blackburn dan Carol Greider, sama-sama warga AS, meraih Hadiah Nobel Kedokteran. Pada hari Rabu warga Israel bernama Ada Yonath menerima Hadiah Nobel Kimia.

Pemilihan Mueller memunculkan sedikit kontroversi. Ini bukan salah Mueller, tetapi salah Akademi Swedia yang dituduh eurosentris. Sekretaris Permanen Akademi Swedia Peter Englund pekan ini menuduh Akademi terlalu eurosentris dalam memilih pemenang. ”Menjadi warga Eropa akan membuat Anda mudah meraih nobel. Ini adalah sebuah bias psikologis yang harus kita waspadai. Bukan ini yang kita kehendaki,” kata Englund.

Kritik itu mungkin juga mengandung kebenaran. Mueller sama sekali tidak dikenal di luar negara-negara yang tidak berbahasa Jerman, seperti Swiss, Austria, dan Jerman, walaupun dia amat terkenal di tiga negara itu. Tidak heran jika sejak 1995 dia menjadi anggota Deutsche Akademie für Sprache und Dichtung, di Darmstadt.

Namun, makna kemenangan Mueller tidak harus sirna karena kritik itu. Selain hasil karyanya yang memang amat dihargai di negara-negara deutsch-sprechen, kisah hidupnya pun amat menarik. Selain sebagai penulis, dia juga pernah menjadi anggota Aktionsgruppe Banat, kumpulan para penulis berbahasa Jerman, yang memperjuangkan kebebasan berekspresi pada era kepemimpinan Ceausescu.


Dia tidak saja mengkritik kediktatoran, tetapi juga menuliskan praktik korupsi dan sikap antitoleransi serta represif di lingkungan komunitas Jerman Romania. Kenangan ini tertancap dalam bukan saja di lingkungan keluarga Mueller, melainkan juga warga Romania. Tidak heran jika kemenangannya disambut kota kelahirannya, Nitchidorf, yang terletak di Romania tenggara, yang dulu adalah sebuah desa terpencil dan tertinggal.

Wali Kota Nitchidorf Ioan Mascovescu mengatakan, ”Saya bangga kepada seseorang yang lahir di kota ini. Sekarang Nitchidorf ada di peta dunia,” katanya. Mascovescu menegaskan, Mueller tidak saja dikenal di komunitas Jerman Romania, tetapi juga warga Romania. ”Buku-bukunya rutin diperkenalkan para guru kepada murid-murid,” kata Mascovescu.

The Berlin International Literature Festival melukiskan karyanya sebagai fokus pada kehidupan yang sulit pada era kediktatoran, juga citra dari derita seorang yang terasa asing di lingkungannya yang menjadi minoritas.

Kenyataan hidup masa lalu juga mendorong lahirnya buku-buku berisi esai politik. Hal ini membuat dia mendapatkan penghargaan ”Aristeion” dari European Literary Prize, juga dari International IMPAC Dublin Literary Award. Penghargaan lain adalah Kleist Prize dan Kafka Prize.


Gunter Grass, seorang penulis Jerman, menyatakan terkesan dan senang dengan pilihan Akademi Nobel. ”Saya senang dan bahagia karena dia memang penulis bagus,” kata Grass, yang juga penerima Nobel Sastra 1999, di kota Gdansk, Polandia utara, tempat dia sedang melakukan ekshibisi. ”Saya harus mengakui bahwa saya menyukai Amos Oz, penulis Israel. Namun, saya harus mengakui bahwa para juri melakukan pilihan terbaik.”

Kemenangan Mueller di sisi lain juga mengejutkan. Dalam perkiraan banyak orang, pemenang tahun ini adalah Joyce Carol Oates dan Philip Roth, sama-sama warga AS. Sastrawan lain yang dijagokan adalah Amos Oz dari Israel. Juga muncul nama Bob Dylan, penyanyi lama yang terkenal pada masa lalu.


Sesuai konteks
Kisah kepahitan hidup Mueller sudah lama berlalu. Namun, kemenangannya sekaligus mengingatkan kekejaman masa lalu. Kemenangannya sekaligus mengingatkan dan menjadi perayaan tersendiri atas kejatuhan rezim komunis 20 tahun lalu.

Hal ini tetap sesuai konteks, di mana sebagian Eropa Timur masih menjadi sandera dan seperti pelanduk di tengah perseteruan lama Perang Dingin, yang tetap membekas. Hal ini diejawantahkan dengan pertentangan Rusia dan AS, atau antara Rusia dan Uni Eropa yang berebut pengaruh di eks jajahan komunis hingga kini.

Berbagai pemerintah di Eropa Timur, katakanlah Georgia, Ukraina, masih terbelah antara politisi yang pro-Barat dan Timur. Ini adalah satu hal yang tidak bisa dilupakan total karena dianggap masih tetap rawan.

Mungkin inilah yang memunculkan isu bahwa kemenangan Mueller menjadi semacam pengingat agar kekejaman masa lalu tidak terulang. Mueller pun tetap tidak mau melupakan semua itu. Di sebuah kolom harian Jerman, Frankfurter Rundschau, pada 2007, dia menorehkan tulisan. ”Romania masih trauma dengan kediktatoran komunisme masa lalu.”


Dia pun menyebutkan Ceausescu sebagai diktator paling jahat setelah Josef Stalin, almarhum pemimpin Uni Soviet. Di Times Online disebutkan bahwa dia masih mengingat jeritan orang-orang yang disiksa, saat dia bekerja sebagai penerjemah di sebuah pabrik di Romania.

Ada sisi politik yang kental di balik kemenangan Mueller. Secara implisit Kanselir Jerman Angela Merkel, Kamis, tak segan-segan mengatakan, ”Kemenangan Mueller merupakan sebuah anugerah besar dalam dua puluh tahun kejatuhan tembok Berlin.” ”Saya senang dia telah menjadi warga Jerman dan saya mengucapkan selamat kepadanya,” kata Merkel.

Hal serupa juga diutarakan Presiden Jerman Horst Koehler. Menteri Luar Negeri Jerman Frank-Walter Steinmeier tak ketinggalan. ”Dalam mengenang 20 tahun kejatuhan Tembok Berlin, kemenangannya merupakan simbol kuatnya persatuan Eropa dan kuatnya kerja sama yang damai.”

Simon Saragih
KOMPAS, 9 Oktober 2009

Tidak ada komentar: