26 Agustus, 2020

Nauru, Negara Kaya Raya yang Kini Jatuh Miskin


Penahkah mendengar Nauru? negara pulau ini bisa dikatakan cukup asing bagi telinga banyak orang di Indonesia. Ini wajar, karena negara pulau ini sangat kecil dan hampir tak memiliki peran signifikan dalam dunia internasional. Padahal jika menilik ke belakang, tepatnya pada era tahun 1980-an, Nauru adalah salah satu negara paling makmur di dunia. Namun dalam beberapa tahun kemudian, statusnya melorot menjadi salah satu negara paling miskin di dunia.

Dilansir dari The Guardian, Sabtu (15/8/2020), negara dengan luas hanya 21 kilometer persegi ini merupakan satu di antara negara kepulauan terkecil di Pasifik dengan populasi penduduk sekitar 10.000. Bekas koloni Inggris ini tercatat pernah jadi negara dengan pendapatan per kapita tertinggi secara global, sehingga sempat membuat iri banyak negara-negara tetangganya di Pasifik.

Nauru dulunya adalah negara penghasil fosfat terbesar dunia. Bukan sembarang fosfat, namun fosfat yang bermutu sangat tinggi yang terbentuk dari endapan kotoran burung selama berabad-abad. Fosfat sendiri merupakan bahan baku pupuk. Setelah merdeka dari Inggris tahun 1968, tambang fosfat bergitu marak di Nauru, puncak produksinya terjadi pada era tahun 1980-an.


Eksploitasi fosfat
Permintaan fosfat dunia yang mengalami kenaikan pesat untuk kebutuhan penyubur tanah memicu eksploitasi besar-besaran fosfat di Nauru. Kebutuhan pangan memang meningkat drastis beberapa tahun pasca-Perang Dunia II karena bertambahnya populasi, sehingga mendorong naiknya permintaan fosfat.  Di sisi lain, cadangan di tambang-tambang fosfat di Australia dan Selandia Baru terus menipis. Ini membuat pasokan fosfat beralih ke Nauru.

Pada tahun 1963 hingga tahun 1970, banyak penduduknya dipaksa pindah karena meningkatnya pembukaan tambang fosfat. Keuntungan yang diterima pemerintah Nauru sangatlah besar. Dari penjualan fosfat di tahun 1980 saja, negara itu mendapatkan pemasukan paling sedikit 123 juta dollar AS. Pemasukan itu belum termasuk penerimaan dari pajak dan royalti. Dengan penduduk yang hanya sekitar 10.000, membuatnya sempat nangkring di posisi teratas negara dengan pendapatan per kapita tertinggi di dunia, mencapai 27.000 dollar AS per tahun, jauh di atas pendapatan per kapita AS yang di tahun 1980 sebesar 12.500 dollar AS.


Uang negara dihamburkan
Pendapatan yang besar dari fosfat mendorong pemerintah Nauru membebaskan banyak pajak dan subsidi perumahan besar-besaran. Layanan publik seperti rumah sakit, sekolah, transportasi, semua digratiskan. Selain itu, banyak pemuda Nauru dikirim ke Australia untuk berkuliah di universitas-universitas bergengsi di sana dengan biaya subsidi penuh dari pemerintah. Pejabat pemerintah juga bergaya hidup glamor.

Oleh pemerintah Nauru, kekayaan besar dari tambang fosfat lebih banyak dihamburkan dan tak dimanfaatkan sebagai investasi jangka panjang. Perlahan, deposit fosfat mulai habis dieksploitasi di tahun 1990-an. Selain royalti yang meyusut, bekas tambang membuat kerusakan parah pada sekitar 80 persen pulau utama Nauru. Permukaan sisa tambang tak bisa dimanfaatkan untuk pertanian sehingga jadi lahan gersang dengan lubang menganga dimana-mana.

Negara ini akhirnya mengandalkan pemasukan dari pinjaman pemerintah Australia. Tahun 2002, Nauru bahkan tak bisa membayar utangnya sebesar 239 juta dollar Australia karena devaluasi mata uang Negeri Kanguru itu. Sebagai gantinya, beberapa aset digadaikan ke Australia. Salah satu aset yang disita antara lain Nauru House dengan 50 lantai yang berada di Collin Street, Melbourne.

Aset lain milik Nauru di Australia juga digadaikan, antara lain properti mewah Motel Downtowner dan Hotel Mercure di Sydney. Belum termasuk armada pesawat dan bandara yang ikut disita. Bank sentral Nauru juga akhirnya dilikuidasi. Selain habisnya cadangan fosfat dan kerusakan lingkungan, korupsi akut di kalangan birokrat Nauru semakin memperparah keadaan. Saat kejayaan fosfat di negara itu, banyak pejabat menghambur-hamburkan uang negara.


Jadi negara surga pajak
Untuk menyelamatkan ekonominya, pemerintah Nauru sejak tahun 1990 mengambil kebijakan kontroversial dengan mengubah negaranya jadi negara surga bebas pajak sehingga jadi tempat transit pencucian uang. Menurut laporan The Guardian, diperkirakan ada 70 miliar dollar AS dana dari pengemplang pajak Rusia yang masuk ke bank-bank di Nauru hanya di tahun 1998 saja. Amerika Serikat bahkan menetapkan Nauru sebagai negara tujuan pencucian uang dan menjatuhkan sanksi ekonomi untuk negara pulau tersebut karena dianggap jadi sarang bagi pendanaan aktivitas teroris Al-Qaida.

"Nauru sejauh ini dikenal sebagai negara yang mengizinkan pendirian bank luar negeri tanpa kehadiran fisik di negara itu atau yuridiksi negara lain," demikian bunyi pernyataan Bendahara Negara AS. The Financial Action Task Force (FATF), sebuah lembaga global yang bekerja untuk membatasi aktivitas pencucian uang di negara-negara tax haven, mendesak Nauru untuk meninggalkan praktik keuangan gelap tersebut. Hasilnya pada tahun 2004, pemerintah Nauru mengesahkan UU anti-pencucian uang dan pendanaan teroris, serta perbankan yang bersifat offshore.


Pemerintah Nauru juga menghapus beberapa perusahaan cangkang yang didirikan di wilayahnya. "Sejak terpilihnya pemerintahan Waqa pada tahun 2013, kami telah bekerja keras untuk memperbaiki reputasi Nauru yang rusak selama bertahun-tahun karena keserakahan dan korupsi," demikian kata Menteri Keuangan Nauru, David Adeng di Seminar Perpajakan Internasional di Fiji pada tahun 2018 lalu.

Hingga saat ini, pemasukan Nauru masih bergantung pada bantuan Australia. Setiap tahun hingga 2018, negara ini menerima bantuan sebesar sekitar 176 juta dollar AS dari Australia, atau dua pertiga dari seluruh penerimaan Nauru.

Muhammad Idris
Penulis dan Editor
KOMPAS, 15 Agustus 2020

Tidak ada komentar: