18 April, 2018

Mencegah Hukum Draconian


Alkisah, pada tahun 621 SM, Draco atau Drakon (650-600 SM) dikenal sebagai legislator pertama dari Athena pada masa Yunani Kuno yang berjasa mengganti hukum tak tertulis pada waktu itu dengan hukum tertulis. Namun, sebenarnya sudah ada enam orang pendahulunya yang memprakarsai pembentukan hukum tertulis.

Karena hukum tak tertulis tidak efektif untuk kepentingan kepastian hukum dan kemudahan merujuknya, rakyat Athena dengan tulus memintanya membuat hukum tertulis yang dapat digunakan sebagai alat mencapai keadilan dan ketertiban di negara kota itu. Ketulusan yang bersifat "cek kosong" itu membuat rakyat Athena sama sekali tak menyadari kalau Draco bukan membentuk UU yang adil dan mengayomi, namun malah membuat UU yang kejam dan brutal. Dan akibatnya kelak di kemudian hari rakyat seantero Athena terkena imbas buruknya.


UU ciptaan Draco memang tidak diskriminatif. Namun, kejamnya ancaman pidana terhadap setiap orang yang jauh lebih berat dan tidak sebanding dengan tingkat kesalahan yang dilakukan menjadi sasaran kritik. Mencuri sebuah apel atau tidur di tempat umum, misalnya, dapat berujung pada pidana mati. Juga, beberapa tindak pidana ringan lain bisa membuat status merdeka seseorang hilang dan seketika menjadi budak.

Saking kejamnya, Demades (380-318 SM), orator dan demagog Athena, pernah menggambarkan bahwa UU ini sejatinya ditulis dengan darah manusia, alih-alih tinta (David D Phillips, The Law of Ancient Athens, 2016: 336). Tak kalah sinisnya, Plutarch (46-120 M), esais dan penulis biografi jempolan itu pun menyebut UU ini sebagai karya orang gila. Dari sinilah muncul istilah Draconian Law untuk menyebut UU atau aturan yang kejam dan tidak sebanding antara tingkat pidana dan kesalahan yang dilakukan dengan hukuman yang diterimanya.


Prinsip rekodifikasi
Kini, 26 abad lebih sejak UU buatan Draco itu dibuat, kita sedang berdebat soal Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RUU HP) yang dianggap berisi pasal karet yang multitafsir, pemidanaan yang berlebihan, mengabaikan HAM, kebebasan, dan privasi warga negara. Ada banyak norma-norma yang cenderung berupaya memproteksi kepentingan negara, tetapi pada saat yang sama berpotensi merampas hak-hak warga negara, seperti kebebasan berpendapat dan berekspresi (KOMPAS, 3-4/2/2018).

Boleh jadi RUU HP tidak sekejam dan sebrutal UU buatan Draco. Namun, tak bisa dimungkiri bahwa beberapa materi muatannya menyimpan semangat Draconian dengan libido besar untuk menciptakan balasan bagi pihak yang dianggap menyimpang dan mengganggu apa yang dianggap sebagai tatanan masyarakat atas nama ketertiban, hukum, moral, dan bahkan agama. Seolah-olah RUU HP itu ingin mengungkapkan bahwa pemidanaan yang bersifat retributif adalah satu-satunya jalan suci paling sahih bagi pemulihan cedera kolektif (patologi sosial) masyarakat yang ditimbulkan oleh pelaku.


Kita memang amat masygul dengan satire bahwa setelah hampir 73 tahun merdeka ternyata kita belum mampu membuat KUHP versi kita sendiri yang lepas dari bayang-bayang penjajah Belanda. Meskipun ruang hukum kita telah disesaki ribuan peraturan perundang-undangan buatan kita sendiri, dalam pelbagai jenis dan hierarkinya, tetapi memang menjadi kurang lengkap karena induk hukum pidana materiil kita masih mengandalkan KUHP yang sebagian besar isinya merupakan saduran dari KUHP penjajah Belanda. Oleh karena itu, rekodifikasi KUHP adalah keniscayaan dan kita sebenarnya sudah memulai proyek ini sejak lama, walaupun senantiasa menemui kuldesak (jalan berputar) hingga kini.

Rekodifikasi mestinya didasarkan pada tiga prinsip: dekolonisasi, harmonisasi, dan demokratisasi hukum pidana. Maka, beberapa hal harus diperhatikan: (1) undang-undang sektoral yang memuat ketentuan pidana yang bersifat umum di luar KUHP; (2) pemetaan ulang tindak pidana administratif; (3) aturan tindak pidana dalam peraturan daerah; (4) hukum yang hidup di masyarakat; dan (5) sejumlah instrumen hukum internasional yang berlaku (Institute for Criminal Justice Reform, Melihat Rencana Kodifikasi dalam RKUHP: Tantangan Upaya Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia, 2015: 3).


Unifikasi hukum pidana
Pertanyaan yang perlu diajukan dalam konteks tekad pengesahan RUU HP ini adalah; sudahkah kita memastikan bahwa RUU HP benar-benar telah sesuai dengan spirit demokrasi, HAM, kebangsaan, kebhinekaan, serta steril dari muatan konservatisme, eksklusivisme, dan identitas politik golongan? Bijaksanakah kita mengejar pengesahan RUU HP di tengah ingar-bingar tahun politik 2018 dan 2019 yang rentan dipolitisasi partai politik tertentu, melalui fraksi-fraksi di DPR, sebagai ajang pengumpulan insentif elektoral dengan mengakomodasi pasal-pasal yang bernapaskan primordialisme dan sektarianisme?

Sebelum pertanyaan-pertanyaan itu dijawab dengan benar oleh DPR dan pemerintah, niat mengesahkan RKUHP sebaiknya diendapkan dulu. Sebab, kita tidak mau RKUHP yang disahkan nantinya justru membelah keutuhan kebangsaan kita karena berisi pasal-pasal yang tidak "netral".

Oleh karena itu, harus ditegaskan bahwa perjuangan untuk mengesahkannya bukanlah pertempuran zero-sum game yang menempatkan pihak pemenang mengambil segalanya di satu sisi dan pihak pecundang sama sekali tidak mendapatkan bagiannya di sisi yang lain.


Sebagai induk hukum pidana materiil, RUU HP harus mampu menampung dan memuliakan keragaman cara pandang masyarakat kita. Ia tidak boleh menjadi perkakas penindas bagi golongan tertentu terhadap golongan yang lain.

Harus diingat bahwa hasrat besar rekodifikasi KUHP mutlak harus berpegang pada cetak biru unifikasi hukum pidana yang berkehendak menerapkan penyatuan hukum pidana yang berlaku secara nasional, suatu hal yang telah lama dicita-citakan seperti terlihat dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1978, 1983, 1988, dan 1999.

Harapan kita kepada pembentuk undang-undang adalah janganlah KUHP kita ditulis dengan darah manusia, alih-alih tinta, agar tidak menjelma menjadi hukum Draconian!

A Ahsin Thohari
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta
KOMPAS, 24 Februari 2018

Tidak ada komentar: