18 November, 2016

Cara Berpikir Kita Sedang Dikendalikan


Krisis ekonomi 2008 yang mengguncang Amerika Serikat dan berimbas ke berbagai negara terutama Eropa hingga Asia, semakin menyadarkan berbagai pihak, bahwa sistem ekonomi dan tata dunia yang dibangun pada peradaban ini patut dipertanyakan kembali. Upaya analisis dilakukan mulai dari hal yang paling mendasar. Mereka menyadari saat ini dunia telah berada pada titik masa konsekuensi dari apa yang telah dibangun selama ini.

Selama berabad-abad, sistem yang berjalan yang menjadi acuan tata kehidupan manusia di bumi ini ditemukan telah dimodifikasi dan dimanipulasi untuk keuntungan segelintir orang atau kelompok saja. Segelintir elit itu memodifikasi dan memanipulasi dengan rangkaian sinergi antara agama, politisi, dan ahli ekonomi secara sistematis dan strategis.

Data statistik yang dirilis pada Credit Suisse Global Wealth Databook 2015 menunjukkan bahwa pusaran uang dan kekayaan dalam piramida distribusi kekayaan dunia, yaitu total kekayaan lebih dari $100 Miliar atau sepadan kurang lebih 1300 Triliun rupiah, dimana jumlah itu mencapai 45% dari total kekayaan seluruh penduduk bumi, hanya dimiliki oleh 1% manusia dari populasi 7 miliar penduduk bumi. 1% manusia ini memiliki kepentingan melanggengkan posisinya di sana. Kemudian diikuti 28% manusia yang mempunyai harta antara $10.000 – $100 Miliar. Dan dengan dogma sukses dunia yang ditanamkan kepada kita selama ini, maka sisanya yaitu 71% dari miliaran manusia lain, yang hanya memiliki kekayaan di bawah $10.000 berebut untuk menempati posisi 1% – 28% itu.


Uang yang pada awalnya hanya alat tukar, kini telah menjadi alat nilai untuk menentukan kehormatan seseorang. Maka level kelompok 1% itu dipandang sebagai manusia terhormat, manusia elit. Bisa terjadinya perubahan cara pandang ini telah diproses berabad-abad lamanya. Benih-benih mindset itu telah ada lama sebelum mencapai tonggaknya ketika Renaissance bergulir di Eropa pada abad ke-17 dan terlaksana hingga hari ini di seluruh dunia.

Turunan skema kelompok elit itu, kini secara berjenjang juga ada di setiap kelompok masyarakat, sehingga hanya sejumlah kecil orang saja yang menguasai masyarakat besar. Sekelompok elit ada di setiap society yang selalu berusaha dan mempertahankan diri untuk memiliki kekuasaan. Karena dengan kekuasaan itu mereka mampu mengontrol masyarakat. Cara para elite itu dalam mengendalikan masyarakat tidak dengan mengontrol jumlah produksi atau jumlah uang yang beredar, tetapi dengan mengendalikan sisi kognitif manusia, yakni cara berpikir. Bila ada perdebatan yang menjadi wacana umum, tujuan intinya bukan pada apa yang menjadi tema perdebatan, melainkan cara berpikir yang dibentuk dalam wacana itu. Semua itu tidak tampak pada arena perdebatan dan tidak akan dibahas, tetapi tertanam dalam kognitif manusia. Cara berpikir inilah yang telah dimanipulasi selama berabad-abad.

Alat manipulasi ini semakin menemukan jalannya ketika Eropa menyadari betapa pentingnya kertas sebagai media penyebaran informasi. Kemudian bermetamorfosa menjadi media massa berbasis kertas yang secara perlahan dikuasai para elite ini melalui kekuatan kapitalnya. Dan pada akhir 1980-an, lebih berkembang lagi bentuk pengendalian informasi itu dengan adanya televisi.


Untuk memahami upaya pengendalian cara berpikir ini bisa dipelajari karya-karya Noam Chomsky, profesor linguistik dunia dari MIT Massachussets. Ia seorang Yahudi yang tidak Yahudi, seorang Amerika yang sangat tidak Amerika hingga ia dicap pengkhianat oleh banyak warga Amerika. Salah satu karyanya adalah Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media dan juga telah menjadi film dokumenter Manufacturing Consent: Noam Chomsky and the Media tahun 1992. Selain itu, gambaran bagaimana sistem dunia ini bekerja dapat juga dibaca dalam bukunya How the World Works yang diterbitkan Bentang Pustaka dalam bahasa Indonesia.

Evolusi bentuk pengendalian mindset ini terjadi lebih canggih lagi ketika tahun 1989, Tim Berners-Lee menggagas World Wide Web (WWW). Ia meletakkan itu menjadi dasar internet yang berkembang hingga ragam bentuknya seperti yang kita rasakan sekarang ini.

Di era yang menurut para peneliti telah memasuki era konsekuensi ini, sejatinya merupakan masa akhir dari sebuah siklus. Letnan Jenderal Sir John Glubb, seorang perwira Inggris yang ditempatkan di Timur Tengah pada akhir masa Ottoman di Turki mengamati daur sebuah dinasti di dunia dalam tulisannya, The Fate of Empire. Dalam pengamatannya, ia melihat kecenderungan putaran yang sama pada setiap masa sebuah dinasti atau kekaisaran. Semua berputar pada siklus 250 tahun atau setidaknya sepuluh generasi. Dalam daur itu, menurutnya ada enam tahap yang dilalui hingga fase keruntuhan.

Tahap pertama adalah generasi para Perintis (Pioneers). Selanjutnya memasuki masa-masa Penaklukan (Conquests). Kemudian adalah era Perniagaan (Commerce). Berikutnya generasi yang berada dalam era Kemakmuran (Affluence). Terus mencapai klimaksnya pada era Intelektual (Intelect). Daur ini berujung setelah manusia terlena dengan capaian-capaiannya yang tidak membatasi sifat kebinatangannya, yakni masuk pada era Kemunduran (Decadent).


Bila kita tarik lebih besar menjadi gambaran peradaban, dunia hari ini telah memasuki masa dekaden. Era kemerosotan dari peradaban Kapitalisme Global. Dalam analisa Glubb, ada kesamaan yang tampak pada masa dekaden di setiap dinasti. Gambaran itu seperti militer yang tidak disiplin dan melakukan tindakan asusila hingga melewati batas kemanusiaan. Salah satunya terlihat ketika tentara Amerika melakukan pelecehan kepada para tawanan di Irak dan Afghanistan, atau kasus pelecehan dan penyiksaan yang mencuat kepada para tahanan Guantanamo.

Gambaran lain yang sangat tampak hari ini yang menunjukkan fase dekaden peradaban adalah mencoloknya tampilan kekayaan dan kemewahan. Rumah-rumah, kendaraan-kendaraan, pakaian-pakaian mewah dan sebagainya. Lalu diikuti oleh jurang kesenjangan yang sangat jauh antara kaya dan miskin. Termasuk yang juga kentara adalah eksploitasi seks yang sangat masif yang bisa kita lihat dari menjamurnya pornografi, terutama di dunia maya.

Namun masa kemunduran peradaban ini tidak terlalu disadari oleh seluruh elemen masyarakat. Bahkan ada yang tidak sadar sama sekali. Juga banyak yang sadar namun merasa tidak berdaya atas serbuan berbagai bentuk dekadensi itu. Namun demikian, masih ada sebagian orang ––yang walaupun tak banyak–– tetap sadar sekaligus terus berjuang untuk memperbaiki keadaan.

Bagi yang tidak sadar, mungkin mereka memang tidak tahu. Ketidaktahuan ini sendiri dicurigai merupakan bentuk upaya elite yang berkepentingan untuk mempertahankan posisi kekuasaan mereka. Masyarakat dialihkan perhatiaanya agar tidak sadar akan kondisi kehancuran yang sebenarnya sedang terjadi.


Mungkin kita bisa belajar dari Kekaisaran Romawi. Di masa dekadensi kekaisaran itu, masyarakat dialihkan perhatiannya sehingga tidak benar-benar sadar akan apa yang sesungguhnya menimpa mereka dengan disuguhi hiburan pertunjukan Gladiator. Pertunjukan itu sangat menyedot atensi dan memecah perhatian rakyat. Saat itu para elite serakah menumpuk emas dan perak yang menjadi standar alat tukar, melampiaskan hawa nafsu kekayaan dan materi, serta obsesi kekuasaan yang dikelabuhi dengan memanipulasi rakyat. Pengalihan perhatian itu sebenarnya adalah upaya elite penguasa yang menyadari masa keterpurukan.

Hari ini, bentuk pengalih perhatian itu mewujud lebih canggih pada program siaran televisi. Di Amerika, masyarakatnya dininabobokan dengan acara-acara televisi. Siaran olah raga adalah salah satu bagian yang menyedot perhatian hingga menjadi bagian utama dari sejarah hidup mereka yang diperbincangkan setiap hari, mulai dari remaja hingga usia lanjut. Bahkan menjadi bagian dari impian anak-anak. Tayangan American Footbal merupakan bisnis multijutaan dolar yang menguntungkan bagi para elite. Puncaknya adalah final Super Bowl yang siaran langsungnya bisa ditonton seratus juta pasang mata, hanya kalah satu tingkat jumlah penontonnya dari Final Piala Dunia FIFA.

Hiburan olah raga, baik itu sepakbola melalui liga-liga Eropa-nya, F1, Moto-GP, dan sebagainya telah menjelma menjadi pengalih perhatian yang strategis selain hiburan televisi lainnya seperti film, musik, drama opera sabun (sinetron), talkshow, kuis, dan gosip. Pelaku olah raga menjadi selebritis yang dipuja-puji sedemikian rupa, seperti para Gladiator di masa keterpurukan Kekaisaran Romawi.

Ada profesi lain yang secara kuat diposisikan menjadi selebriti di masa dekadensi kekaisaran Romawi, Ottoman, dan Spanyol, yaitu para tukang masak atau Chef. Kuliner adalah bentuk lain pengalih perhatian itu. Dan itu tampak juga di sekitar kita saat ini. Hasrat pelampiasan nafsu memburu kenikmatan dan kelezatan sedang bertubi-tubi mengepung dan mendorong kita memburu apa dan di mana makanan yang enak, pakaian yang bagus dan ngetrend, film dan musik yang top, program reality show televisi yang mengasyikkan, atau majalah-majalah hiburan mana yang menghibur.

Semua itu mengalihkan perhatian kita juga membuat cara berpikir dan memandang sesuatu dalam jangkauan yang sangat pendek dan sempit. Bila terkait politik, betapa banyak bentuk pengalih perhatian itu yang akan dipaparkan kemudian, yang bisa kita tadabburi dari kegaduhan nasional yang terjadi belakangan di negeri ini.


Melalui gambaran ini, mudah-mudahan bisa dipahami bahwa para elite “kekaisaran” Kapitalisme Global saat ini, dengan kuasa dan kapitalnya sedang berusaha dengan segala cara untuk melanggengkan kursi kekuasaannya dalam jajaran 1% kelompok oligarki, terutama dengan cara mengendalikan cara berpikir masyarakat dunia.

Dengan menyadari berlangsungnya sebuah sistem yang dimanipulasi itu, dan segala bentuk pengendalian cara berpikir serta pengalihan perhatian yang telah berlangsung berabad-abad lamanya, maka kita menyadari pula bahwa untuk bisa lepas dari kungkungan itu memerlukan langkah dan waktu yang panjang dan tidak mudah.

Kita bisa mencoba bercermin diri, apa yang akan kita lakukan untuk menghadapi kungkungan pengendalian itu. Para elite memiliki kekuatan kekuasaan dan kapital yang besar. Mari coba kita hitung dengan cermat langkah apa yang bisa kita perbuat. Mari kita lihat kembali kemampuan dan kekuatan diri kita yang sejati.

Dengan tetap memegang teguh secara mutlak peran Allah dalam perjuangan untuk berdaulat dari pengendalian kaum elite itu, kita percaya dalam sekejapan mata perubahan akan terjadi. Kun Fayakun. Namun kita juga harus mengupayakan diri dalam perubahan itu. Sehingga dalam kesadaran kita, ini tetap merupakan sebuah "Jurus Jalan Panjang" yang harus terus-menerus diperjuangkan dengan lebih strategis dan bersatu dalam Ummatan Wahidah.

Ahmad Jamaluddin Jufri
Staff Progress, dan Dewan Redaktur Maiyah,
Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
CakNun.com, 17 November 2016

Tidak ada komentar: