19 Mei, 2016

Tuan Menyita, Kami Membaca


Caesar, maukah nama Paduka dikenang anak cucu sebagai tentara barbar yang terlampau bodoh untuk mengerti nilai penting buku-buku?” kata Theodotus kepada Caesar di sebuah adegan dalam lakon Caesar and Cleopatra karya George Bernard Shaw (1856-1950).

Fernando Baez, penulis buku Penghancuran Buku dari Masa ke Masa (edisi Indonesia oleh Penerbit Marjin Kiri, 2013), mengutip dialog itu demi menegaskan fakta tentang luluh lantaknya gedung Perpustakaan Nasional Baghdad berikut jutaan koleksi bukunya, Mei 2003, seiring jatuhnya Saddam Hussein.

Ribuan kertas berhamburan. Ruang baca, kartu katalog, dan tumpukan buku-buku telah rata dengan tanah.

Inilah bab terakhir pendudukan Baghdad. Harta karun berupa dokumen-dokumen bersejarah dari zaman Ottoman, termasuk arsip kerajaan kuno di Irak, berubah jadi abu dalam panas 3000 derajat,” tulis Robert Fisk, koresponden Independent untuk Timur Tengah, seperti dicatat Baez.


Kenangan kita tak ada lagi. Tempat lahirnya peradaban, tulisan, dan hukum musnah terbakar,” keluh seorang profesor sejarah yang berdengung langsung di kuping Baez.

Baez seketika teringat ungkapan kemarahan Theodotus itu. Dan, yang lebih memilukan, ingatannya terpelanting jauh ke masa lalu, pada peristiwa tahun 1258 di negeri yang sama.

Masa itu pasukan Hulagu Khan menaklukkan kedigdayaan Dinasti Abbasiyah, menghancurkan semua buku di semua perpustakaan kota Baghdad dengan membuangnya ke Sungai Tigris. Tinta dan darah bersenyawa, dan mengalir sampai jauh.

Yang terbakar di sana adalah ingatan umat manusia,” kata Theodotus, melanjutkan kemurkaannya kepada Caesar.


Membenci ingatan
Para biblioklas —istilah yang digunakan untuk para perusak buku— sesungguhnya tak memusuhi kertas-kertas berjilid, tetapi membenci ingatan yang dimonumentasikan oleh buku. Ingatan yang mungkin menakutkan, atau mengingatkan pada dosa-dosa mereka di masa silam.

Novel 1984 karya George Orwell bahkan menggambarkan sebuah negara totaliter dimana pemerintahnya harus membentuk kementerian khusus yang bertugas menemukan, sekaligus melenyapkan ingatan masa lalu.

Masyarakat demokratis pun tak segan-segan menghancurkan buku demi memperkokoh penolakan identitas yang lain,” ungkap Baez.

Inilah jawaban bagi kegemparan akibat aksi penyitaan buku oleh aparat negara yang kembali terulang.


Jika berpijak pada argumentasi dan kajian Baez, ada perlindungan hukum atau tidak, pelarangan, penyitaan, bahkan pemusnahan buku akan sukar dihindari. Kaum biblioklas tak akan pernah bosan sepanjang buku masih ditulis dan disiarkan.

Bagi mereka, ikatan kuat antara buku dan memori membuat teks harus dibaca sebagai patrimonium budaya utama.

Baez menjelaskan, “patrimonium” berasal dari bahasa Yunani dan merujuk pada padre (ayah) dan moneo (mengetahui, mengingat).

Maka, “patrimonium” berarti yang diingat oleh ayah. Berbeda dengan “matrimonium” (pernikahan) yang berarti yang diingat oleh ibu, patrimonium budaya dimaknai sebagai yang paling representatif secara kultural dari suatu negeri.

Ia menggugah rasa afirmasi dan kepemilikan, memperkuat atau menstimulasi identitas masyarakat di suatu wilayah. Perpustakaan, arsip, museum adalah patrimonium budaya, dan semua bangsa memandangnya sebagai kuil-kuil memori.


Dengan demikian, dibaca atau tidak, buku bakal tetap dianggap ancaman. Tengoklah aksi membakar buku berjudul "Pemikiran Karl Marx; Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme," karya Prof Franz Magnis-Suseno oleh Aliansi Anti Komunis, pada 19 April 2001.

Dalil pembakaran adalah klaim bahwa buku itu bagian dari propaganda dan penyebarluasan Marxisme-Leninisme yang dilarang oleh TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1996.

Padahal, sebagaimana disinyalir oleh Robertus Robet, jika dibaca dengan saksama buku itu justru mengandung kritik tajam terhadap ideologi Marxisme.

Pemusnahan buku tak kunjung berhenti. Pada tahun 2007, Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, yang diikuti oleh kejaksaan tinggi di beberapa daerah, menghancurkan ribuan buku pelajaran Sejarah SMP/SMA atas dasar keberatan sejumlah pihak lantaran dihapusnya kata “PKI” dari kelaziman istilah Orde Baru: “G30S/ PKI”.

Di tahun yang sama, Jaksa Agung RI melarang peredaran lima judul buku, antara lain: Dalih Pembunuhan Massal (John Rossa), Gereja Umat Penderitaan (Socrates Sofyan Yoman), LEKRA Tak Membakar Buku (R Dwi Aria Yulianti dan Muhidin M Dahlan), Enam Jalan Menuju Tuhan (Dharmawan), dan Mengungkap Misteri Keragaman Agama (Syahrudin Ahmad).

Meski dunia buku kemudian beroleh kabar baik dengan keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi, 13 Oktober 2010, yang menyatakan bahwa pelarangan buku bertentangan dengan konstitusi, tetapi aksi kaum biblioklas bagai tak kunjung letih.

Selalu terulang kembali, dan mungkin akan begitu seterusnya, sepanjang dunia buku masih berdenyut.


Tegak di atas kepandiran
Di kurun ketika ruang bagi kebebasan berekspresi telah sedemikian lapang dan tidak lagi terbatas di atas kertas-kertas berjilid, rupa-rupa dalil pelarangan akan sia-sia. Bagi para pengarang, apalagi saudagar buku, aksi pelarangan buku justru ditunggu, diam-diam tentunya.

Heboh akibat penyitaan buku baru-baru ini akan membuat banyak orang memburu buku, bahkan kelompok yang anti buku sekalipun.

Apabila penerbit kesulitan menyediakannya dalam bentuk buku berjilid, teknologi digital segera mengantarkan buku-buku itu ke tangan pembaca, tanpa halangan yang berarti, dan pasal-pasal dalam kitab hukum akan kepayahan mengejarnya.

Dalam kemarau pembaca yang senantiasa melanda dunia literasi di republik ini, kita akan berutang banyak kepada kaum biblioklas. Sitalah buku-buku itu, kami akan lekas membacanya!

Kepada tuan-tuan biblioklas yang budiman, mungkin para pembaca hanya perlu menyuarakan maklumat ringan: bahwa, yang semestinya tuan ringkus adalah pikiran. Bukan buku-buku yang tuan tak pernah membacanya, lalu tuan anggap berbahaya.

Perbuatan menyita buku adalah pertanda kekuasaan yang tegak di atas kepandiran ....

Damhuri Muhammad,
Sastrawan dan Pekerja Buku,
Alumnus Pascasarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada

KOMPAS, 16 Mei 2016

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Saya sebenernya punya banyak buku paham kiri di rumah. Tapi untungnya masyarakat di desa saya tak mau tahu, dan itu yg membuat buku-buku saya tetap aman sampai sekarang