20 Desember, 2015

Transkrip Lengkap Rekaman Pembicaraan Kasus Setya Novanto (Bag I)


Tiga orang yang terekam dalam pembicaraan adalah Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin (disingkat MS), Ketua DPR-RI Setya Novanto (disingkat SN), dan seorang pengusaha Muhammad Riza Chalid (disingkat MR).

MS: Assalamualaikum, Pak.

SN dan MR: Widiiiihh ….

SN: Gak keluar, Pak?

MS: Enggak Pak, ada tahllilan.

SN: Gak ke Solo?

MR: Besok?

MS: Ke Solo kan lusa.

SN: Kan acaranya 11, Kamis ya?

MR: Bukan 12, kata Lucas, Pak Luhut pesen musti ketemu dia.

SN: Yang bayar duluan!

MR: Gua duluan ya?

MS: Wah ramai.

MR: Loe mau ngikut pesawat gua nggak?

SN: Pak Luhutnya kan?

MR: Gua sebentar, gua salaman, gua ketemu Pak Luhut, gua kabur ke airport. Habis mau ngapain lagi lama-lama. Yang penting buat kita nongol, salaman, ketemu Pak Luhut, udah.

MS: Airport sama kota kan deket?

MR: Iya.

MS: Cuma macetnya Solo itu.

MR: Kalau gak naik itu, bisa jam 3 hari-hari itu. Kalau mau. Tapi kira-kira kan, Bapak kira-kira sudah dapat Garuda kan? Freeport nyupport? (untuk pernikahan anak Jokowi)

MS: Nggak ada. Nggak ada kita!

MR: Maklumlah presidennya, sudah banyak. (ketawa).


MS: Tidak mungkin juga terbatas kali. Bikinnya kan di Solo. Kalau seperti Pak SBY dulu bikinnya di istana kan besar-besaran. Kapasitasnya juga besar.

MR: Ini cuma 2000, 3000.

MS: Itu yang diundang. Belum keluarga. Kapasitas terbatas.

SN: Saya ditanyain wartawan di kita. Pak itu kan dibatasi oleh Menteri PAN hanya 400. Presiden sudah 2000 – 3000. Ya nggak ada masalah, namanya masyarakat pengin ketemu presiden.

MS: Menteri PAN kan kadang masih ecek-ecek. Dia pikir, entar gua ngawinin gua sudah pensiun. Ya kan, anaknya Menteri PAN kan masih kecil-kecil. Bayangin aja 400.

MR: Suka-suka dia, Pak.

MS: Susah Pak, budaya orang Indonesia kan ndak bisa begitu, Pak. Bagi orang barat 400 sudah besar banget.

MR: Pak Syaf waktu ngawinin anaknya, banyak. Pokoknya gua nggak peduli. Pesta gua yang bikin.

SN: Syaf siapa?

MR: Syafruddin.

SN: Ooo ….

MR: Banyak yang datang.

MS: Mana mungkin itu, Pak.

MR: Tapi jangan saya, katanya gitu. Ada aja alasannya.

MS: Susah Pak budaya kita budaya kekeluargaan.

SN: Nanti saya Desember. Eh membengkak ….

MR: 9000 lebih. Yang bikin acaranya caranya gitu. Jadi caranya undangan yang kanan untuk besan saya, yang kiri kita. Jadi bukan saya yang undang, tapi besan saya. Selesai.


SN: Saya itu Pak, sudah ketemu Presiden, waktu sampai ada 5 pimpinan (lembaga) negara lainnya. Ada ketua MA, Ketua KY, Ketua MK. Saya bilang, Pak, Bapak ke Papua? Iya, kata Presiden. Padahal di sana gak ada yang jemput. DPRD-nya, Bupatinya, Gubernurnya. Kesel juga. Soal PSSI macam-macam. Saya bilang bikin itu saja, istana di Papua. Setuju Pak, kata Presiden. Masak ada (istana) Tampak Siring, (istana) Bogor. Masak di sana tidak ada. Saya sudah lihat di sana ada tanah kosong, depannya laut. Jadi secara politis ke depan pasti ke sana. Semua manggut-manggut. Lagi seneng dia.

Freeport itu saya sudah ketemu Jim Bob, Dirutnya, saya minta dipertimbangkan. Waktu itu dengan Menteri itu, soal perpanjangan itu, kan DPR minta untuk duduk. Sedangkan sekarang kan ada tiga hal. Kemarin Menteri ESDM menemui saya di Surabaya, khusus bicara ini. Beliau bicara tiga hal. Satu, penerimaan minta ditingkatkan. Kedua adalah privatisasi, permintaan itu 30 Juta untuk 51%. Mana mungkin, saya bilang gitu. Ketiga adalah pembangunan smelter.

Oh, oke Pak Ketua. Kalau berhenti itu, soal penerimaan, saya nggak sependapat Pak Ketua. Karena kita itu paling hanya nerima 7–8 Triliunlah. Tapi kita keluarkan dananya untuk di Papua, Otsus itu, kita 35 T. Ndak imbang. Tapi kan itu udah dibantu CSR. Iya, tapi tidak cukup Pak Ketua. Kita besar sekali.

Kedua kalau smelter. Kalau di sana bangun smelter, di sana lebih banyak rawa. Jadi kuatirnya waktu. Kalau lihat gitu saya lihat di Gresik ada smelter kecil yang tinggal diterusin. Terus di sana juga ada pabrik semen, juga untuk pupuk, yang penting kan pakai dana sendiri, tidak melalui dana perbankan kita. Kita harus paksa supaya cepat-cepat dibangun. Ya kalau gitu. Habis itu baru Timika, Pak Ketua. Yang mana duluan Pak. Dia diam saja.

Yang ketiga, soal apa Pak Ketua. Soal penyerahan, soal sahamnya itu, kan sudah 30% diminta 51%. Itu tidak mungkin Pak. Ini kan sudah berbagi dengan daerah yang 250.000 Ha itu, susah juga. Kebayang juga dengan Kabupaten lain. Ini tidak mungkin. Terus dia diam saja. Pak Luhut cuma bilang, kita runding. Pas saya makan, Presiden samperin saya. Ini kan Pak Luhut. Itu apa Pak Luhut sudah bicara belum? Oh iya, sudah Pak. Pak Luhut yang banyak memberikan pendapat. Bagusnya kalau bisa segera. Ngobrol-ngobrol itu. Oh iya, sekarang Pak karena sekarang sudah waktunya.

Lalu saya pulang. Saya mau rundingan dengan, sama Pak …. Jangan-jangan ini karena yang dulu ada keributan antara anak buahnya Pak Luhut, Si Darmo dan Si siapa itu, Sudirman Said diekspos. Ini minta diklirken. Saya akan ngomong ke Pak Luhut. Ya udah. Makanya perlu ketemu itu. Ha ha ha haa….


MR: Jadi gini Pak. Ini bahan dari Pak Luhut dan timnya. Sudah baca?

MS: Perpres sudah baca yang percepatan pembangunan ekonomi Papua.

MR: Jadi mereka itu kan mau maju dulu, dibangun di sana. Apa sudah ada konsep di sana? Dari Pak menteri?

MS: Oh, tidak begitu.

MR: Jadi tetap di Gresik?

MS: Oh ndak. UU tidak mengatakan begitu. PP juga tidak mengatakan begitu. Jadi pemurnian (smelter) harus dibangun di dalam negeri. PP-nya juga begitu. Pemurnian itu dilakukan 100 persen di dalam negeri. Kemudian tanggal 23 Januari 2015, pas setengah bulan yang lalu, itu persyaratan untuk memperpanjang izin ekspor harus melengkapi. Salah satu diantara enam itu harus menentukan exact location. Satu lagi soal feasibilty study. Dapatlah di Gresik. Jadi tidak ada yang mengatakan harus di Papua. Setelah kita umumkan di Gresik dan kita tanda tangani 23 Januari itu, baru muncul Pemda Papua yang mengatakan harus dibangun di Papua.

SN: Terus janji Presiden?

MS: Ya betul, kemudian Presiden ke sana, janjikan oke kalau gitu dibangun. Kalau kita bangun di Papua siapa yang mau kasih. Di Gresik saja sudah 2,3 M. Kalau di Papua bisa hampir 4 M. Dari mana mau dananya. Nggak mungkin bangun di Papua.

MR: Ya, ya. Jadi begini Pak, soal itu saya ngomong sama Darmo. Saya bilang Darmo siap ya? Dia kan ngurusi semua. Dia akan melihatnya ini kalau perlu biayanya besar juga.

SN: Pengusaha juga.

MR: Kalau ini tugasmu untuk mengamankan. Jadi saya sudah bicara, Pak Jokowi. Urusan dia saya. Dia dipakai Pak Luhut semua.

MR: Soal saham itu ada pemikiran, PLTA.

MS: PLTA? Yang mau memiliki sahamnya siapa Pak?

MR: Ada nomine-nya, punya Pak Luhut.

MS: Pak Luhut?

MS: Yang sahamnya itu juga maunya Pak Luhut. Itu jaminan guarantee itu dari Freeport untuk saham itu. Seperti dulu yang dilakukan oleh Freeport kepada pengusaha.

SN: Pak Luhut pernah bicara dengan Jim Bob di Amerika.

MR: Jadi kalau itu bisa diolah, ini rahasia yang tahu cuma kita berempat ya Pak. Diolah gitu .…


MS: Pak itu harus ada yang perlu dihitung Pak sekarang. Waktunya tinggal 6 minggu dari sekarang. Dari enam isu yang saya kasih Pak Ketua itu, waktunya tinggal 6 minggu dari sekarang. Kalau itu tidak keluar, katakanlah 23 Juli nanti, tanggal 1 Juli tidak ada kepastian, maka kita akan arbitrase internasional.

MR: Apa?

MS: Arbitrase internasional jalan. Tidak ada lagi itu. 1 Juli-lah Pak, sudah ada kepastian. Sekarang apa guarantee-nya kalau permintaan itu dipenuhi? Ini juga keluar. Apa garansinya kalau permintaan itu ada signal? 1 Juli sudah ada signal, apa garansinya? Ya to Pak. Apa garansinya?

MS: Ini kan masih di Solo.

MR: Ya, ketemunya di sinilah. Ketemu Pak Luhut. Ini kan masih ada kesibukan. Habis itu baru .... Habis itu Jumat ke Pak Luhut. Harus ditugasin itu dia. Kalau bisa tuntas dan minggu depan sudah bisa settlement. Tanggal 22, seperti usul lalu, itu yang sekarang sudah kerja. Kita sudah approach beberapa kali. Benar. Kalau Freeport memiliki 15%, kita pasti bilang.

MS: Kalau tidak salah ada feasibility study, coba ditinjau lagi. Kalau tidak salah Freeport itu off taker.

MR: Itu tadi Pak. Saran saya jangan off taker dulu. Kalau Bapak off taker dulu itu akan ada di kedua belah pihak.

MS: Dari mana .…

MR: Dari third parties yang ….

MS: Bapak juga nanti baru bisa bangun kalau kita kasih purchasing guarantee lho Pak.

MR: Oh ya betul.

MS: Ketergantungan bukan dari third party, tapi dari kita dong.

MR: Oh iya, tapi kan kalau Bapak ikut bikin, kan Bapak ikut mengendalikan. Bapak bikin PLTA-nya, Bapak ikut mengendalikan.

MS: Artinya investasinya patungan 49, 51?

MR: Iya.

MS: Investasi patungan. Tapi off taker kita juga?

MR: Iya.

MS: Kalau gitu double dong?

MR: Enggak double, Pak.

MS: Modal dari kita, kita juga yang off taker. Anu, kita bicara dulu di depan, supaya kita bisa mengolahnya.


MR: Pak, off taker itu hanya sugar guarantee.

MS: Iya purchasing guarantee.

MR: Purchasing guarantee itu tidak ada uang keluar. Hanya guarantee. Make acuan. Uang keluar itu hanya untuk pembangunan. Kalau itu Bapak juga harganya bisa dikontrol pada yang wajar.

SN: Harga itu sektor terbesar.

MR: Iyalah itu kira-kira. Harga perlu dikendalikan yang wajar. Atau kalau terbalik, kalau pure itu, itu kan satu deal. Misalnya Jim bilang Freeport gak usah ikut. Silahkan yang lain, murni. Investor banyak yang mau, nggak susah kalau Freeport. Marubeni ngotot mau masuk situ. Cuma harga tinggi. Itu maksud saya Pak. Justru kita sebagai lokal, merasa nyaman kalau itu opsinya sama Freeport. Dibandingkan kalau sama orang luar. China pun ada yang mau Pak.

MS: Ini yang Pak Riza sampaikan yang lalu, sama Dharmawangsa itu kan?

MR: Iya. Itu harganya yang wajar. Bukan harga yang, tidak ketinggian tidak kerendahan. Kan PT-nya milik Bapak juga, 51%. Nanti Bapak juga jangan sampai menekan ke induk usaha Freeport, pertambangan.

MS: Kuncinya kan itu lagi, surat perpanjangan itu. Tidak mungkin keluar purchasing guarantee kalau tidak. PLTA mau dibangun itu kan untuk underground mining. Underground mining baru bisa dipastikan mau dilanjutkan kalau ada perpanjangan.

MR: Betul perpanjangan. Ini komitmen itu dibutuhkan. Komitmen itu belum off take guarantee belum, Pak?

MS: Lho kalau komitmen, Freeport komitmen. Begitu ada perpanjangan, komitmen kita akan jalankan. Saya pertaruhkan itu!

MR: Itulah Pak yang perlu duduk itu komitmen.

MS: Karena tidak mungkin itu Pak. Freeport sudah menanam 4 M Dollar. Sudah mempersiapkan yang underground, untuk infrastruktur dan persiapan operasional, meskipun tanpa kepastian. Jadi jangan ragu dengan komitmen. Terus untuk smelter, Desember nanti kita taruh lagi 700.000 Dollar. Itu commitment fee. Itu Desember. Tanpa ada kepastian lho Pak. Karena kita tidak mau dianggap tidak komitmen.

MR: 700 Juta ya Pak?

MS: Sorry, 700 Juta Dollar. Apalagi yang kita kurang komitmen? Tidak perlu komitmen lagi. Ini sudah komitmen. Ndak ada, ndak ada.

Muhammad Riza Chalid, yang disingkat MR.

MR: Tapi kira-kira kalau konsep tadi mau ambil apa enggak?

MS: Saya nggak jamin mau apa nggak. Tapi kasihkan dulu itu Pak.

MR: Wah kalau ada 700 Juta, proposal gitu, gua lepas ini.

SN: Artinya kalau ada opportunity …. Kan ada di Pak Luhut.

MS: Signed dulu itu.

MR: Signed itu pasti, itu akan segera.

MS: Tapi kalau dengar penjelasan Pak Ketua tadi, saya-nya enggak begitu jelas. Dari Pak Jokowi ya enggak jelas.

SN: Kalau Pak Jokowi itu, dia, beliau sudah setuju kalau sarannya untuk di Gresik. Tapi berikutnya di Papua. Tapi ada ujung-ujungnya, waktu saya makan itu, Pak Ketua sudah bicara belum (kepada) Pak Luhut? Saya disuruh ngadep ke Pak Luhut, ngobrol-ngobrol. Saya langsung tahu ceritanya ini waktu rapat, yang terjadi antara Si ESDM dengan Darmo. Kalau menurut saya, memang Pak, Presiden itu ada yang mohon maaf ya, ada yang dipikirkan untuk ke depan memang. Kalau dilihat dari, karena dia dengan Pak Jusuf Kalla itu kan terjadi begitu, makanya selalu menyinggung, masak Jusuf Kalla terus. Kalau lihat begitu memang dia ….

MS: Ada ganjalan.

SN: Ada ganjalan. Makanya kita harus menutupi. Nggak habis-habis.

MS: Mempercantik.

SN: Mempercantik. Tapi kalau pengalaman kita, artinya saya dengan Pak Luhut, pengalaman-pengalaman dengan Presiden, itu rata-rata 99% itu goal semua Pak. Ada keputusan-keputusan penting kayak Arab itu, bermain kita. Makanya saya tahu. Makanya Bung Riza, begitu tahu Darmo, di-maintain, dibiayai terus itu Darmo habis-habisan, supaya belok. Pinter itu.

MS: Anu, The lobbies.

(MS, SN, MR ketawa)

SN: Itulah.

Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin, yang disingkat MS.

MR: Pak, Pak. Hubungan Pak Luhut itu dekat sekali dengan Pak Jokowi. Kalau kasih sign beliau keluar, kasih sign, eh beliau kayaknya begini-gini, rahasia ya. Ngerti nggak? Paling nggak Pak, kalau saya bilang, confirm on. Kalau meleset, saya habis Pak.

MS: Ndak Pak, kalau meleset komitmen. Kalau sudah keluar komitmen, tidak akan meleset Pak. Kalau sudah keluar komitmen. Seperti saham, berapa persen Pak?

MR: Itu yang saya juga belum, yang belum.

MS: Bapak harus jelas juga, berapa persen sahamnya? Karena itu bukan uang kecil lho Pak soal saham itu. Dan nilai asset Freeport itu bukan main.

MR: Kedua, nilainya berapa. Sama yang itu kan diambilnya harus untung, biar pinjaman bisa recover.

MS: Mungkin harus jelas juga Pak, supaya anunya, perhitungannya lebih jelas juga.

MR: Bapak, itu sudah jalan divestasi sudah berapa persen?

MS: 30% yang sudah jalan.

MR: Yang sudah jalan 9% dong.

MS: 9,3%, dipegang BUMN.

SN: Kalau nggak salah, itu Pak Luhut sudah bicara.

MR: Pak Luhut sudah bicara?

SN: Pak Luhut bicara dengan Jim Bob. Pak Luhut udah ada unek-unek, Pak.

Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan.

MR: Pak, kalau gua, gua bakal ngomong ke Pak Luhut, janganlah ambil 20%, ambillah 11% kasihlah Pak JK 9%. Harus adil, kalau enggak ribut.

SN: Iya. Jadi kalau pembicaraannya Pak Luhut di San Diego dengan Jim Bob, empat tahun lalu. Itu, dari 30% itu, dia memang di sini 10%. 10% dibayar pakai deviden. Jadi dipinjemin tapi dibayar tunai pakai deviden. Caranya gitu, sehingga nggak mengganggu konstelasi ini. Begitu dengar adanya istana cawe-cawe, Presiden nggak suka, Pak Luhut ganti dikerjain. Kan begitu. Sekarang kita tahu kuncinya. Kuncinya kan begitu-begitu LHP, ha, ha, ha, ha. Kita kan ingin beliau berhasil. Di sana juga senang, kan gitu. Strateginya gitu lho. Ha, ha, haaa ….

MS: Lobbies.

MR: Untuk pertama kali, berapa yang saya olah. Disampaikan, kalau cawe-cawe kan dia juga kerja di konsultan. Dia kan kalau konsultan datang, dia langsung bikin titik.

MS: Ada saya baca ....

MR: Saya punya presentasinya. Habis presentasi sedetil itu, habis itu langsung saya telpon. Tanggal berapa itu?

SN: Sekarang sudah digarap sama Bung Riza. Ha, ha, haa .… Saya tahu Pak ....

MS: Tanggal 14.

MR: Memang kita tidak mau mencampuri politik. Tapi kenyataannya barrier politik itu ada. Kerjanya cepat, makanya …. dan happy. Kita akan kasih pengertian. Pak Luhut pasti oke. Karena Pak Luhut nggak terlalu gini juga. Kita happy-happy semua Pak. Kalau Bapak happy, kita semua juga happy.

SN: Kita happy Pak, kalau Bung Riza yang mengatur.

MR: Bukan, kita kerja. Kita kan sunggung-sungguh kerja ya Pak ya? Ada prospek. Insya Allah, Allah kasih rezeki. Berjalan. Kan masalah banyak di situ. Sampai empat tahun, Pak?

MS: Nggak setahun saja, ini selesai urusan monster.

MR: Kalau itu, itu bisa sampai 25 tahun.

MS: Lama itu Pak. Nggak cuma ini aja Pak. Setiap pembangunan di Papua nanti butuh power, tinggal nambah, nambah, nambah Pak.

SN: Pinter, ini dibayar sama itu.

MR: Menurut saya, cara itu elegan. Freeport yang kontrol, harga dikendali. Freeport bantu cari guarantee, pinjaman. Terus, di sana cicil bagus, bisa kredit guarantee sesuai. Yang enak gitu lho Pak. Freeport yang kontrol, semua jalan semua. Pengendali. Kalau kita bikin CSR ke orang-orang kampung kita bisa. Ada Freeport juga di situ. Itulah Pak, bagus sekali itu. Kalau itu misalnya sama China. Jepang itu lain lagi.

Surahman Hidayat, Ketua MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan).

MS: Teknologi mau pakai teknologi mana?

MR: China! Gampang itu, Pak.

MS: Enggak, kalau begini, Pak!

MR: Dari China? Oh bisa!

MS: Ini kan perusahaan Amerika, harus dilihat juga. Jangan lupa yang kecil-kecil gitu. Biar strateginya nyambung nanti, Pak.

MR: Turbin dapat kredit ekspor dari sana?

MS: Itu Pak, smelter Papua sudah ada statemen bersama. Pemda Papua akan mencari investor. Statemen bersama dihadiri oleh Komisi 7, Ketua DPR-P, Ketua MRP, ada Menteri ESDM. Statemen bersama.

SN: Yang waktu itu ya?

MS: Iya. Dan gubernur mendukung pembangunan smelter Freeport di Gresik. Kalau dia punya smelter jadi, Freeport akan menyuplai konsentratnya dengan perhitungan B to B ke smelter yang sudah ada akan dibangun. Begitu Pak.

SN: Perjalanan tambah sudah mulus dong?

MS: Sudah ada komitmen. Gubernur Lucas itu sudah mengeluarkan statemen itu. Cuma kan ada kemungkinan, ini gubernur punya pemikiran bahwa semua smelter, semua spesifikasinya sama. Di setiap komoditas mineral itu, mainnya itu beda. Tidak bisa tembaga atau emas itu makan nikel atau bauksit. Dia pergi ke China nyari. Teknologinya nikel dan bauksit. Kalau teknologi tembaga dan emas itu adanya di Jepang. Dia salah langkah Pak. Gitu lho Pak. Makanya dia agak mandek mau membangun smelter. Kan teknologinya beda Pak. Njlimet itu Pak teknologi setelah saya pelajari. Yang top itu teknologinya Mitsubishi.

MR dan SN: Oooo ….


MS: Untuk smelter. Memang gila itu, Jepang memang top. Tidak pakai kimia. Tidak pakai kimia, semua fisik. Makanya Freeport itu tidak ada proses kimia dalam pemurnian. Salah langkah dia untuk Papua. Harusnya dia lakukan ini dulu sudah betul. Bangun dulu Papua secara keekonomian. Bangun dulu infrastruktur Papua secara keekonomian. Jangan bangun smelter dulu di depan. Bagaimana mau bangun smelter kalau enggak ada listrik, enggak ada pelabuhan, enggak ada jalan, enggak ada air bersih, enggak ada gas. Mahal Pak. Bangun dulu nilai keekonomian. Makanya itu Keppresya sudah betul. Makanya Bappenas, sudah cocok itu. Bangun dulu infrastruktur, bagun pabrik semen, pabrik pupuk.

SN: Sudah Pak. Kemarin itu saya diarahkan sama Bu Rini, Menteri BUMN, jadi nanti itu ditunjuk di Bintuni. Bintuni itu arealnya 6.000 hektar. Itu dibuat di sana itu pabrik pupuk. ANTAM juga di situ. Pelabuhan bukan hanya Sorong Pak tapi di situ. Sehingga ini sebenarnya untuk menunjang perekonomian itu. Ini lagi mulai pembuatan-pembuatan itu, yang pihak Dirut ANTAM, Pak Budi ketemu saya waktu itu, memang betul sedang membuat. Gasnya selain gasnya itu dari apa itu yang di sana .…

MS: Tangguh.

SN: Tangguh, tetapi juga dari Malaysia, dari Ginting. Mereka dapat itu.

MR: Genting, Genting.

SN: Genting.

MR: Benar itu Pak. Ada 5 TCf cadangan di Papua. Itu yang akan disuplai ke tempatnya Bapak.

MS: Bintuni, kalau mau membawa nanti konsentratnya dari Timika, coba dilihat kondisi geografinya Pak, bagaimana. Berapa cost delivery-nya. Faktor cuaca melalui laut. Kalau lewat darat, wah pembangunannya gila berat, very costly. Bapak harus lihat line cost-nya, garis pantainya untuk membawa konsentrat dari Timika ke situ.

SN: Ya, ya, ya.

MS: Kenapa tidak dari Timika dibawa ke Gresik. Karena line cost-nya gampang. Kalau mau dibawa ke Papua harus lihat dari garis pantai.

MR: Ooo … geografi dengan cost-nya ya?

MS: Harus lihat itu Pak. Modal.


MR: Kalau begitu, tidak ada jaminan pupuk bangun, tidak ada jaminan semen bangun. Sehingga revisinya. Makanya gandeng kita. Mau bangun enggak, gitu. Tapi kalau di-pressing nggak ada semua orang yang ngasih duit. Uang ke Freeport, sudah pasti oke, sudah pasti dibeli nih.

MS: Off taker-nya banyak.

MR: Banyak off taker-nya.  

SN: Iya purchasing guarantee.

MS: Harus integrated Pak. Susah ini Pak.

MR: Kalau orang mau menggaransi, off taker baik, pasti bangun pabrik pupuk. Bangun di sana.

MS: Itu nanti menjual hasil konsentrat itu secara internasional juga harus dipikirkan market-nya.

SN: Kalau semen itu Pak, pada akhirnya bisa dibangun di situ nggak? Di Timika? Kalau seandainya Presiden sudah setuju? Sudah Pak Ketua, kita di sini. Tapi harus janji di Timika. Sesuai permintaan itu bangun pabrik semen di sana.

MS: Pak, masalah lahan di Papua itu juga masalah besar. Masalah hak ulayat itu susah. Pak Riza mau bangun di sana, berhubungan sama yang punya. Pak Riza sudah bayar, nanti pamannya datang, kamu bayar ke dia, saya mana? Datang lagi keponakannya, itu yang bikin perang suku Pak.

MR: Itu mirip di Padang. Sama kalau di Padang.

MS: Kepastian hukumnya tidak ada. Ada kebun sawit besar, bagus, cantik, udah jadi Pak. Tiba-tiba ditutup sama gubernur, katanya merusak alam. Kasihan Pak buat investor. Itu orang nggak jadi, males menginvestasi.

MR: Provinsinya Dajjal.

MS: Betul Pak, zamannya Dajjal.

MR: Sama Pak. Gila itu. Itu waktu Riza mengondisikan ngurusi gula. Sudahlah begini, begini. Dia sudah kuasai lahan Pak, pada waktu itu. Beda kongsi. Gua ketawa aja. Makan dulu, kalau udah jalan 5 tahun baru saya ambil.

MS: Diganggu?

MR. Ya enggaklah. Dia juga memulai itu jalan pelan-pelan sekarang. Miliknya ANTAM. Akhirnya dia bikin pabrik gula di NTT. Hmm… begitu.

MS: Ati-ati Pak. Betul Pak.

SN: Ngeri, makanya bolak-balik situ.

MR: Tentara.

(Bersambung ke Bag II)

Sumber:
1.    http://nasional.kompas.com
2.    http://news.detik.com

Tidak ada komentar: