03 November, 2014

Pusat Kesehatan atau Kesakitan?


Dalam pengelolaan kesehatan masyarakat kita mengenal istilah puskesmas, yaitu fasilitas kesehatan yang berada pada level kecamatan dengan fungsi untuk melayani masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan.

Dari sisi struktur, puskesmas memiliki cabang yang disebut dengan puskesmas pembantu (pustu). Apabila kita mencermati kepanjangan puskesmas, yaitu pusat kesehatan masyarakat, tentu kita akan berasumsi pengertiannya cukup luas. Kata pusat menunjukkan sentral dari sisi aktivitas manusia yang memiliki pengaruh yang cukup kuat bagi keberlangsungan hidup dan kehidupan.

Kesehatan adalah nilai tertinggi dalam siklus kehidupan setiap manusia. Lamun ceuk urang Sunda mah, sanajan harta lubak libuk teu kalebok, bru di juru bro di panto ngalayah di tengah imah (kata orang Sunda, walaupun harta berlimpah di setiap penjuru hingga tidak termakan, tidak memiliki arti apabila kita mengalami gangguan kesehatan). Inilah yang terjadi saat ini.

Kecukupan materi terhalang oleh berbagai larangan atas asupan makanan yang harus diterima oleh tubuh. Kita mampu beli gula, tapi tidak boleh makan gula. Beras banyak, tapi makan ditakar. Daging berlimpah, tapi kolesterol harus dikontrol. Garam banyak, tapi tekanan darah tinggi. Riweuh apanan (repot kan?), kalau seperti ini. Artinya, betapa penting makna kesehatan bagi kebahagiaan seseorang.

Kata orang Sunda, sehat itu adalah ngeunah dahar, tibra hees (makan enak tanpa pantangan, tidur nyenyak tanpa halangan). Ngeunah nyandang, ngeunah nyanding, duka ari nyandung mah... (memiliki sesuatu, menggunakan sesuatu, entah kalau beristri lebih dari satu... tidak tahu, ah ...) tanpa harus bayar uang “retribusi”.


Masyarakat adalah kumpulan manusia yang tinggal pada sebuah habitat yang kita kenal dengan istilah kampung, dusun, desa, kecamatan, kabupaten/kota bahkan negara. Orang Sunda membuat rumus bahwa hidup sehat itu adalah mereka yang mampu membentuk karakter dirinya, sehingga mengalami watak keseharian dengan karakter “tiis ceuli, herang mata.” (Tiis ceuli, telinga dingin terhadap berbagai ucapan, pendengaran yang merusak tata pikir dan tata hatinya; herang mata, matanya selalu melihat keindahan yang bersifat menyenangkan seluruh emosi dan rasanya, terbebas dari yang pikasebeleun dan pikakeuheuleun alias penglihatan yang mengakibatkan kebencian dan kekesalan).

Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor alam dan lingkungannya. Gunung yang hijau, air jernih mengalir, angin berembus perlahan, hujan jatuh membasahi seluruh permukaan alam yang menari dan bernyanyi tanpa henti. Keindahan tanpa batas. Ah, pokona mah endah weh... (Ah, pokoknya indah deh...). Dengan demikian, akan melahirkan masyarakat yang panjang umur, terbebas dari konflik, tidak mumet dalam politik, meletakkan diri pada kepasrahan yang menjadi garis perjalanan hidup manusia. Hirup ukur sasampeuran, awak ukur sasampayan, sariring riring dumadi, sarengkak saparipolah, sadaya kersaning Allah... (menerima seluruh ketentuan hidup yang didasarkan pada kepasrahan takdir Yang Mahakuasa).

Alhasil, bagi orang Sunda, untuk setiap musibah, selalu ada kata “untung”. Orang jatuh dari pohon, untung teu potong sukuna (untuk tidak patah kakinya), untung teu maot (untung tidak meninggal). Jika pun jatuh sampai meninggal, untung maot, lamun hirup mah leuwih susah (untung meninggal, jika saja hidup tentu hidupnya lebih sulit).

Kalau melihat hal tersebut, pusat kesehatan itu ada pada setiap rasa manusia yang sangat dipengaruhi oleh apa yang didengar, apa yang dilihat, apa yang diisap, dan apa yang disuap. Artinya, kesehatan sangat dipengaruhi oleh pendengaran, penglihatan, penghisapan, pengucapan, yang membentuk karakter manusia yang berpusat pada perut, hati, dan jantung serta otak. Dari situlah, kesehatan manusia akan mampu ditata dan dikendalikan.


Ketika pusat kesehatan diwujudkan dalam bentuk bangunan, yang memiliki derajat terendah dalam susunan struktur pelayanan publik di dinas kesehatan atau kementerian kesehatan, maka menjadi hal yang sangat aneh. Kita memahami sepenuhnya, bahwa puskesmas itu merupakan standar pelayanan minimal walaupun pada saat ini sudah banyak bermetamorfosis menjadi puskesmas rawat inap yang memiliki fungsi pelayanan tidak sekadar pelayanan dasar. Tetapi tetap saja dari sisi pendekatan bahasa dan pendekatan makna, kata puskesmas tidak cocok untuk meletakkan fungsi dan peran derajat kesehatan masyarakat.

Asa ku aneh (terasa aneh) memang, kesehatan masyarakat dipusatkan pada sebuah bangunan yang diisi oleh tenaga medis, tenaga administrasi, obat, dan bangunan standar. Sangatlah pantas kalau tingkat kematian ibu akibat melahirkan masih tinggi, penyakit dengan ancaman kematian tinggi sudah menyebar ke seluruh desa. Di desa sekarang ada kanker, stroke, gagal ginjal, diabetes, leukimia, bahkan sudah ada HIV. Hal tersebut mungkin dipicu oleh pemahaman kita yang salah terhadap kesehatan. Kesehatan itu adalah berobat, kesehatan itu adalah operasi, kesehatan itu adalah alat pacu jantung, kesehatan itu adalah kemoterapi. Kata saya yang bodoh, itu bukan kesehatan. Itu kesakitan. Kalau yang diurus oleh dinas kesehatan terfokus pada pengobatan, nanti kita ganti saja jangan dinas kesehatan, tapi ganti jadi dinas kesakitan. Lucu kan?

Dunia ini adalah kumpulan kata-kata. Kata menunjukkan makna, menempatkan kata yang salah akan melahirkan makna yang salah. Memaknai sesuatu yang salah, akan melahirkan perilaku hidup yang sesat. Sesat bukan persoalan aliran agama nih, tapi kita tersesat dalam pola hidup kita. Kesehatan terpusat pada hati dan pikiran. Dari hati dan pikiran yang sehat, tidak akan pernah melawan keinginan alam besar dan alam kecil. Alam besar adalah pusat yang menggerakkan, alam kecil, tanah, air, udara, matahari yang menjadi bagian dari diri kita.


Pusat kesehatan dari sisi aspek lingkungan ada pada seluruh wilayah makro dan mikro kita. Kalau ingin sehat, bangunlah pagi-pagi, bukalah jendela rumah agar udara segar masuk ke kamar kita, terus mandi di pancuran, airnya bening, belum tercemar. Shalat Subuh jangan lupa. Setelah itu makan nasi hangat, kayunya pakai kayu bakar, yang tidak perlu subsidi elpiji, sama tutug oncom pakai garam. Ngambil pacul, pergi ke sawah, badan digerakkan, kalorinya dibakar. Pukul 10.00 kita makan lagi, terus kerja lagi sampai pukul 12.00. Pulang shalat Zuhur, istirahat. Pukul 14.00 kita ke kebun sampai pukul 16.00, pulangnya bawa pisang tanpa pestisida. Terus shalat Asar, habis shalat makan lagi. Magribnya menutup pintu dan jendela tanpa dikunci, shalat Magrib. Baca al-Quran sampai Isya. Selepas Isya, tidur deh ... enggak usah nonton televisi.

Tidur tanpa nonton televisi tidak akan pusing oleh kebisingan politik. Tengah malam, bangun shalat Tahajud, terus tidur lagi sampai Subuh. Ah, rarasaan nu kieu pusat kesehatan mah... (Ah, rasa-rasanya yang beginilah namanya pusat kesehatan). Walaupun hal ini tidak mungkin ditemukan lagi, kecuali di kampung adat seperti di Baduy, tidak ada puskesmas, tidak ada dokter, tidak ada perawat, tidak ada obat kimia, mereka umurnya panjang-panjang, hidupnya bahagia tanpa konflik, bahkan tidak ada demokrasi pemilihan langsung, yang ada demokrasi alam yang diatur oleh siklus alam. Jangan-jangan puskesmas itu di sini. Heup ah... (Sudah ah...).


Apabila realitasnya seperti ini, pusat kesehatan itu berada pada tanah, air, udara, dan matahari. Pada titik inilah kita harus gemar untuk menyerahkan diri secara total, agar tidak ada jarak antara kita dan Dia. Tetapi ironinya, kita malah berbuat sebaliknya, merusak keberadaannya, atas nama peningkatan ekonomi dan kemakmuran, kemudian kita bangun bangunan semu atas nama kesehatan masyarakat bernama puskesmas.

Wah, jadi serius nih... Tidak ada salahnya kalau kita melakukan koreksi. Frase “pusat kesehatan masyarakat” kita ganti saja menjadi “balai gangguan kesehatan” atau “rumah berobat”, atau istilah lain yang lebih jujur bahwa yang datang ke situ orang yang sakit dan butuh pelayanan tingkat pertama. Mudah-mudahan kalau diganti kalimatnya sudah enggak ada lagi orang yang datang, karena puskesmasnya sudah dipindahkan oleh masyarakat ke dalam hati dan pikirannya. Bisa jadi nanti enggak ada lagi kementerian kesehatan, karena kesehatan menjadi milik semua kementerian. Yang ada adalah kementerian gangguan kesehatan. Yang diurusnya adalah bangunan pelayanan, obat, kelengkapan medis, tenaga medis dan asuransi gangguan kesehatan serta manajerial pelayanan gangguan kesehatan yang berstandar internasional.

Mengerti kan maksud saya? Kalau tidak mengerti, nanti baca lagi tulisan saya yang berikutnya.

Dedi Mulyadi,
Bupati Purwakarta
KORAN SINDO, 27 Oktober 2014

Tidak ada komentar: